Sabtu, 06 Januari 2018

KINERJA JOKOWI URUS HUKUM DAN HAM

KINERJA JOKOWI URUS HUKUM DAN HAM

Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP
(Ketua Tim Studi NSEAS)



Saat kampanye lisan Pilpres 2014, Capres Jokowi berjanji, tidak akan memilih Jaksa Agung dari Parpol. Faktanya, Jokowi menunjuk kader Parpol Nasdem, HM Prasetyo menjadi Jaksa Agung.

Selanjutnya, Jokowi berjanji, menyelesaikan pelanggaran HAM  masa lalu (Http://tribune.com/pemilu-201 janji-janji ham). Faktanya sudah 3 tahun lebih menjadi Presiden,  satupun pelanggaran HAM  dimaksud  tidak diselesaikan.

Kampanye tertulis  Jokowi tertuang didalam dokumen   Tri Sakti dan Nawacita. Berjanji, akan menolak negara lemah dgn melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya. Memprioritaskan akan memberantas korupsi, mafia peradilan, penebangan liar, perikanan liar, penambangan liar, kejahatan perbankan, pencucian uang,  lingkungan, dan pemberantasan narkoba. Jokowi juga menjamin, kepastian hukum hak kepemilikan tanah, penyelesaian sengketa tanah,dan menentang meminimalisasi penuntutan kembali hak tanah masyarakat; perlindungan anak, perempuan dan kelompok masyarakat international, serta penghormatan HAM dan penyelesaian berkeadilan  terhadap kasus2 pelanggaran HAM masa lalu. Intinya, Jokowi disamping penegakan hukum, juga berjanji akan menyelesaikan kasus2 pelanggaran HAM masa lalu. Apakah Jokowi menepati janji ini? Tidak juga !

Setelah berhasil menjadi Presiden, diterbitkan RPJMN 2015-2019. Di bidang hukum dan HAM Jokowi akan mencapai sasaran:
1. Meningkatkan kualitas penegakan hukum yg transparan, akuntabel, tidak terbeli-belit, melalui: Peningkatan keterpaduan dalam sistem peradilan pidana; Pelaksanaan sistem peradilan anak; Reformasi sistem hukum perdata yang mudah dan cepat; Penegakan SDM aparat penegak hukum; Pelayanan hukum.
2. Meningkatkan efektivitas pencegahan dan pemberantasan korupsi melalui: Harmonisasi peraturan perundang-undangan di bidang korupsi; Efektivitas implementasi kebijakan anti-korupsi; Pencegahan korupsi.
3. Terwujudnya penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM melalui: Harmonisasi dan evaluasi peraturan terkait korupsi; Penegakan HAM; Optimalisasi bantuan hukum dan layanan peradilan bagi masyarakat; Penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak; Pendidikan HAM.
Dlm rangka mewujudkan arah kebijakan bidang hukum dan HAM ini, penataan regulasi akan diambil:
1. Revisi KUHP dan KUHAP.
2. Revisi KUHAPer.
3.Revisi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan mengenai Aparat Penegak Hukum.
4. Revisi UU terkait dgn pemberantasan tindak pidana korupsi.
5. Pembentukan peraturan pelaksana UU SPPA (Sistem peradilan pidana anak).

Setelah 3 tahun lebih jadi Presiden, berhasil kah Jokowi mencapai sasaran? Tidak  juga!

Hingga kini belum juga ada revisi KUHP, KUHAP juga KUHAPer,dll. dimaksud.

Khusus bidang HAM, Kondisi pelaksanaan di Indonesia ditinjau UPR (Universal Periodical Review, Dewan HAM PBB).Pd 2017, beberapa issue al.: 1. Memburuknya toleransi agama; 2. Pelanggaran HAM di Papua ; 3. Pelaksanaan hukuman mati; 4.  Penyediaan pelanggaran HAM masa lalu; dan, 5. Kekerasan terhadap perempuan, terutama kekerasan seksual.

Apa penilaian aktor pejuang HAM di masyarakat madani?
YBHI menilai, selama 3 tahun memimpin pemerintahan, Jokowi cenderung fokus ke bidang ekonomi dan infrastruktur. Kurang memperhatikan soal hukum dan HAM. Hal ini terlihat dari bagaimana Pemerintah saat ini menanggapi kasus2 dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu. Juga korban2 minoritas di berbagai tempat tidak bisa mendapatkan hak. Jokowi gagal dalam menuntaskan pelanggaran HAM.

Salah satu issu HAM,  penanganan peristiwa pelanggaran HAM berat. Di era SBY, dibuka ruang diskusi dgn para korban pelangaran HAM berat di Istana. Sementara di era Jokowi, tidak ada diskusi dan terjadi kemunduran. Jokowi belum merealisir janji kampanye Pilpres 2014 juga sudah dituangkan dalam Nawacita dan RPJMN 2015-2019. Salah satu janji Jokowi yakni pembentukan Komite adhoc, bertugas mirip Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Menurut Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Kontras, Feri Kusuma, hingga kini belum ada pembahasan apapun upaya untuk memanggil para korban untuk mendiskusikan langkah apa yang sebaiknya ditempuh. Ia dan teman2 pegiat HAM sudah berulangkali datang ke Kantor Staf Presiden dan Sekretaris Kabinet untuk memberikan berkas2  dan menyampaikan argumentasi terkait penyelesaian kasus2 ini tetapi sampai sekarang tidak ada respon dari Presiden (Harian Terbit, 11 Des 2017).

Suciwati Munir kembali menagih janji Jokowi utk menuntaskan kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Pasalnya, bagi Suciwati, selama 3 tahun terakhir Jokowi sama sekali belum berbuat apa2 utk merealisasikan janjinya. "Saya bilang, pemerintahan ini tidak punya jiwa dalam penegakan hukum.Saya pikir dalam penindakan hukum dan HAM, Jokowi nol," kata Suci, Istri Almarhum Munir aktivis korban pelanggaran HAM (18/8/2017).

Para pejuang HAM mencermati, pd 2016 dan 2017, kasus penegakan HAM  absen dalam pidato kenegaraan Jokowi. Padahal dalam pidato kenegaraan 2015, Jokowi mengatakan bahwa pemerintah berkomitmen membentuk komite rekonsiliasi untuk pelanggaran HAM berat.

“Saat ini pemerintah sedang berusaha mencari jalan keluar paling bijaksana dan mulia untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di Tanah Air. Pemerintah menginginkan ada rekonsiliasi nasional sehingga generasi mendatang tidak terus memikul beban sejarah masa lalu,” sebut Jokowi.

Prakarsa muncul dari Menko Polkam, Wiranto,  yakni DKN ( Dewan Kerukunan Nasiobal), suatu solusi penyelesaian kasus HAM diluar hukum. Prakarsa ini bukan dari suara korban. Tetapi, DKN belum ada payung hukum. Tujuannya, kata Menko Polkam Wiranto  (7 Nopember 2017) untuk menegakkan kembali rasa musyawarah mufakat merupakan budaya Indonesia.
Rencananya lembaga tersebut akan diisi oleh para tokoh-tokoh bangsa yang diakui kredibilitasnya dan kebijakannya. Menurut Wiranto, hal ini karena tidak semua masalah horisontal dilarikan ke yudisial melainkan harus melalui non yudisial. Cara ini menggunakan cara-cara lama atau adat musyawarah mufakat.

Pada  8 Juni 2018, Komnas HAM  bertemu Jokowi. Jokowi meminta masukan terkait DKN untuk menuntaskan kasus HAM.
Tetapi, prakarsa ini tinggal prakarsa, walau sudah 3,5 tahun Jokowi berkuasa. Tidak ada tindak lanjut sehinngga  janji lisan kampanye Pilpres 2014 masih janji belaka.

Hingga tahun ketiga kepemimpinannya sebagai Presiden, penyelesaian kasus HAM masa lalu masih buram. Jokowi tercatat memiliki hutang untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM semisal kasus Tragedi Pembantaian Massal 1965-1966, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II, termasuk kasus tewasnya aktivis HAM, Munir.  Intinya, kinerja Jokowi urus bidang HAM buruk dan gagal.

Parameter persekusi dapat dijadikan kriteria penilaian kinerja Jokowi urusan penegakan HAM. Kata “Persekusi” menjadi populer di Indonesia terutama di era Jokowi ini. Persekusi bermakna perlakuan buruk atau penganiyaan secara sistematis oleh individu atau kelompok terhadap individu atau kelompok lain, khususnya karena suku, agama, atau pandangan politik. Persekusi adalah salah satu jenis kejahatan kemanusiaan, HAM dan juga pelanggaran hukum pidana.

Dalam suatu acara dialog di TV One, 12 Des 2017, nara sumber UHAMKA, Manager Nasution menyebutkan, ada 47 kali persekusi tanpa ada penegakan hukum melalui pengadilan. Dari sisi penegakan hukum, sepanjang terjadinya persekusi tahun 2017, tiada bukti,  Pemerintah melaksanakan. Negara absen saat terjadi persekusi. Kinerja buruk !


SUMBER DATA BATU:

1. PERNYATAAN JAGUNG TTG  KASUS HAM

Jaksa Agung - Muhammad Prasetyo
Red: Bayu Hermawan |
Kejaksaan Agung kesulitan memproses kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM masa lalu
REPUBLIKA.CO.ID,  BOGOR -- Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan, pihaknya masih menunggu kelengkapan bukti dari penyelidikan Komnas HAM terhadap terjadinya dugaan pelanggaran HAM berat. Prasetyo mengungkapkan, Kejaksaan Agung kesulitan memproses kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM masa lalu, karena saksi dan bukti yang belum mencukupi



"Hanya masalah perkara pelanggaran HAM berat ini yang memiliki kewajiban mengumpulkan bukti awal itu Komnas HAM untuk mengadakan penyelidikan, sementara Kejaksaan menerima hasil penyelidikan Komnas HAM dan itu lalu diteliti apakah sudah memenuhi syarat untuk ditingkatkan ke penyidikan atau belum, tentunya sedang kita bicarakan terus," kata Jaksa Agung HM Prasetyo seusai bersilaturahim dengan Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Bogor pada Jumat (15/6).

Pada 31 Mei 2018 lalu, Presiden Joko Widodo memerintahkan Jaksa Agung HM Prasetyo untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM seusai bertemu dengan para peserta aksi Kamisan. Kasus-kasus tersebut antara lain kasus 1965-1966, kasus Talangsari Lampung, kasus Tanjung Priok, kasus penghilangan orang secara paksa, kasus Mei 1998, kasus Trisakti-Semanggi 1 dan 2 Jakarta , kasus Jambu Keupok dan Simpang KKA di Aceh.

"Kita sudah bicara dengan semua pihak bahkan sebelum mereka datang (ke Istana Presiden), juga ada perwakilan yang sempat ketemu dengan Komnas HAM juga sempat bertemu, kita semua sepakat tentunya dengan melihat fakta-fakta yang ada," ungkap Prasetyo.

Prasetyo mengakui bahwa Kejaksaan Agung kesulitan untuk memproses kasus-kasus tersebut karena kasus-kasus itu sudah lama berlalu sehingga saksi dan buktinya pun belum mencukupi.

"Saya selalu katakan bahwa peristiwa itu sudah lama terjadi sementara tentunya penegakan hukum itu harus di atas fakta dan bukti. Bukti itu macam-macam, ada saksi, ahli, ada surat-surat dan ada petunjuk tentunya harus dikumpulkan dengan baik dan kami tentunya mengharapkan kelengkapan itu karena kalau tidak hasilnya pun tidak maksimal bahkan akan hadapi kegagalan ketika menghadapi pengadilan," jelas Prasetyo.

Prasetyo mengatakan bahwa ia akan memprioritaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi setelah diberlakukannya UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

"Kita akan coba lebih cermati dulu kasus-kasus yang terjadinya setelah kita memiliki UU Pengadilan HAM No 26 tahun 2000 karena kalau sebelum itu perlu keputusan politik dari DPR dan sebagainya untuk peradilan HAM ad hoc," ujarnya Prasetyo.

Prasetyo pun menyarankan adanya penyelesaian nonyudisial terhadap kasus-kasus tersebut. "Maka tempo hari saya mengatakan setelah melihat fakta bukti dan hal-hal lain yang diperlukan untuk meningkatkan ke penyidikan masih belum ditemukan lengkap ada cara lain untuk melakukan rekonsiliasi penyelesaian non yudisial, ini yang sedang kita coba bahas lebih intens dengan semua pihak supaya bisa memahami maksud dan tujuan kita," jelas Prasetyo.

Sebelumnya Koalisi Masyarakat Sipil mengatakan bahwa tugas Komnas HAM sebagai penyelidik menurut UU No 26 tahun 2000 dan UU No 8 tahun 1981 cukup sampai menemukan perbuatan yang diduga sebagai pelanggaran HAM yang berat sedangkan mencari bukti guna membuat terang siapa pelakunya adalah tugas penyidik yaitu Jaksa Agung itu sendiri.

Sumber: Antara |
kasus pelanggaran ham jaksa agung prasetyo

2. HRW: Kepemimpinan Jokowi Gagal Hadang Intoleransi
Kepemimpinan Presiden Joko Widodo dinilai tidak mampu menggerakkan aparat negara untuk menuntaskan kasus kejahatan HAM. Menurut Human Rights Watch, kegagalan tersebut menempatkan generasi mendatang dalam risiko besar.

Awalnya pemerintah Joko Widodo dipuji berkat "langkah-langkah kecil" melindungi hak sipil kaum minoritas. Langkah Kejaksaan Agung menggugurkan larangan LGBT dalam perekrutan tenaga kerja dan menyusutnya tahanan politik Papua dari 37 menjadi lima orang adalah dua kebijakan yang disambut hangat oleh organisasi HAM, Human Rights Watch, dalam laporan tahunannya.

Selebihnya Indonesia mendapat rapor merah dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM dan intoleransi.

Pemerintah dinilai gagal mewujudkan perlindungan HAM seperti yang dijanjikan Presiden Joko Widodo. Kaum minoritas agama tercatat masih sering menghadapi diskriminasi dan intimidasi dari otoritas pemerintahan dan ancaman kekerasan dari kelompok militan Islam. Sementara tahanan politik di Papua dibui hanya karena menyuarakan pendapat secara damai.

"Pemerintah Jokowi menutup mata terhadap maraknya penganiayaan terhadap kelompok minoritas agama dan seksual," kata Wakil Direktur Asia HRW, Phelim Kine. "Pejabat menggunakan pasal penistaan agama yang ambigu untuk membidik kelompok agama tertentu, sementara polisi menggelar penggerebekan terhadap kaum LGBT."

Penilaian miring tersebut terkandung di dalam laporan setebal 643 halaman tentang kondisi pelanggaran HAM di lebih dari 90 negara yang dirilis Human Rights Watch baru baru ini.


Terrorisme
Pemerintah mengklaim sebanyak 999 eks-jihadis berhasil mengikuti program deradikalisasi. Sejumlah pengamat juga menghargai satuan anti teror Densus 88 yang kini lebih sering menangkap terduga teroris, dan tidak lagi menembak di tempat. Pendekatan lunak ala Indonesia juga mengundang pujian dunia. Tantangan terbesar adalah RUU Anti Terorisme yang bakal melibatkan TNI dalam penanggulangan terorisme.


Infrastruktur
Pembangunan infrastruktur sejak awal menjadi jurus pamungkas Jokowi. Berbagai proyek yang tadinya mangkrak kembali dihidupkan, antara lain jalan Trans-Papua, infrastruktur kelistrikan berkapasitas 35.000 megawatt yang baru tuntas 40% dan transportasi. Di bawah pemerintahannya anggaran infrastruktur digandakan dari 177 triliun Rupiah pada 2014 menjadi 401 triliun untuk tahun anggaran 2017.

HRW menyusun laporan tahunan berdasarkan catatan HAM sejumlah organisasi sipil di Indonesia, antara lain Komisi Nasional Perempuan yang mendata ratusan Undang-undang dan Peraturan Daerah yang diskiriminatif terhadap perempuan - termasuk diantaranya Perda yang mewajibkan perempuan mengenakan jilbab di sekolah, kantor pemerintah atau ruang publik.

Hal serupa diungkapkan Kepala Divisi Pembelaan HAM Kontras Arif Nur Fikri. Kepada CNN Indonesia dia mengaku pihaknya mencatat sedikitnya 163 kasus penyiksaan yang dilakukan aparat kepolisian, TNI, maupun sipir penjara. Sebanyak 86 kasus melibatkan anggota Kepolisian, 39 kasus oleh aparat TNI dan sisanya dilakukan sipir.

"Kasus penyiksaan grafiknya terus meningkat sementara hukuman terhadap pelaku penyiksaan itu masih minim," kata Arif kepada CNN Indonesia.

Menurut HRW sederet kasus pelanggaran HAM seharusnya bisa menjadi batu loncatan bagi pemerintah Indonesia untuk memastikan perlindungan hak sipil buat masyarakat di masa depan.

"Ke depan Presiden Jokowi harus mendemonstrasikan kepemimpinannya dengan memastikan keadilan bagi korban diskriminasi dan pelanggaran HAM, entah itu 50 tahun lalu atau sekarang," kata Kine. "Kegagalan mengadili pelaku kejahatan HAM akan menempatkan generasi muda dalam risiko yang sama.


SUMBER DATA BARU:

1.CNN Indonesia
Selasa, 07/08/2018 06:50
Bagikan :

Komnas HAM menegaskan berkas kasus yang sudah diajukan ke Jaksa Agung akan tetap menjadi berkas hukum meski ada proses lain yang sedang berlangsung. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menolak pilihan Menko Polhukam Wiranto untuk membentuk tim terpadu dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di luar jalur hukum.

Tak hanya menolak bergabung dengan tim itu, Komnas HAM mengatakan berkas kasus yang sudah diajukan ke Jaksa Agung akan tetap menjadi berkas hukum meski ada proses lain yang sedang berlangsung.

"Saya tidak tahu tim itu akan seperti apa. Berkas Komnas HAM ini berkas hukum, satu-satunya cara ditindak secara hukum yakni penyidikan, tidak ada jalan lain," kata Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Amiruddin di kantornya, Senin (6/8).

Lihat juga: Wiranto Klaim Tim Terpadu Bukan Buat Jual Isu HAM di Pilpres

Amir mengatakan hal itu berdasarkan amanat UU 26/2000 yang mengatakan bahwa penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM hanya bisa diselesaikan secara hukum.

Hanya penyidik Kejaksaan Agung yang mampu mengetok palu tanda kasus tersebut selesai atau perlu ditangani lebih lanjut.

"Tidak ada jalan lain karena lembaga yang lain bukan lembaga hukum yang dimaksud dalam UU No. 26 tahun 2000. Di situ hanya menyebut penyidik, jaksa agung dalam arti," lanjutnya.

Dia melanjutkan Komnas HAM juga diberi amanat sebagai penyidik dalam kasus kasus pelanggaran HAM tersebut. Pihaknya mengklaim telah menyelesaikan tugas penyelidikan sejak lama. Kini, kelanjutan kasus HAM masa lalu berada di tangan Jaksa Agung.


"Kasus-kasus yang sudah kami kirimkan pada jaksa Agung ada sembilan. Itu juga bukan kasus-kasus kemarin sore, sudah puluhan bahkan belasan tahun. Kami sudah menyelesaikan itu," kata dia.

Lihat juga: Isu HAM Diperkirakan Masih Seksi untuk Pilpres 2019

Komnas HAM telah menyelidiki enam kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu yang menjadi perhatian khusus. Kasus tersebut yakni tragedi 1965-1966, peristiwa Talangsari, penembakan misterius (petrus), Peristiwa Semanggi I dan II, serta penghilangan paksa para aktivis.

Sementara sekitar tahun 2000 ada kasus Wamena, Wasior, dan Jambu Kepok di Aceh. Setiap kasus memiliki tipologi yang berbeda-beda.

Kasus-kasus tersebut mandek karena Jaksa Agung merasa data yang disediakan Komnas HAM belum valid dan masih kurang bukti.

Jaksa Agung M. Prasetyo pun mengaku kesulitan mengusut kasus pelanggaran HAM masa lalu lantaran peristiwanya sudah terlalu lama berlalu. Saksi dan bukti yang ada juga belum dianggap memenuhi kebutuhan penyelesaian kasus.

Menko Polhukam Wiranto. (CNN Indonesia/Bimo Wiwoho)
Belakangan ini, Wiranto berinisiatif membentuk tim terpadu penyelesaian kasus HAM masa lalu. Langkah tersebut menjadi kontroversial tak hanya karena dia memilih jalur non-yudisial tetapi juga dipimpin oleh Wiranto sendiri yang diduga punya catatan hitam dalam kasus pelanggaran HAM.

Sebagian pihak menganggap inisiatif tersebut sebagai langkah politis menyongsong pilpres dan pileg 2019.

Penuntasan Berdasarkan Hukum

Komisioner Pengkaji Komnas HAM M. Choirul Anam menegaskan berdasarkan UU 26/2000 satu-satunya cara untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM adalah melalui jalur hukum. Bahkan, pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonisiliasi (KKR) juga diamanatkan dalam pasal 47 dalam UU 26/2000.

Dia mengatakan tak boleh ada pembentukan tim berdasarkan ide politik di luar undang undang.

"Kerangka waktu lahir ketika 2000 awalnya reformasi. Kalau dilihat dari kerangka itu bahw


0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda