Rabu, 03 Januari 2018

KINERJA JOKOWI URUS OTONOMI DAERAH

KINERJA JOKOWI URUS  OTONOMI DAERAH
Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP
(Ketua Tim Studi NSEAS)


Otonomi daerah, satu urusan pemerintahan harus dikerjakan Presiden Jokowi. Saat kampanye Pilpres 2014, Capres Jokowi berjanji tertulis di dalam dokumen “Visi, Misi dan Program Aksi Jokowi Jusuf Kalla 2014”. Di dalam dokumen ini tercatat konsep terkenal Jokowi yakni Trisakti dan Nawa Cita. Apa janji Capres Jokowi terkait urusan otonomi daerah?
Bersama Wacapres Jusuf Kalla, Jokowi berjanji, akan memperkuat politik desentralisasi dan otonomi daerah. Kebijakan akan diambil dgn proritas utama:
1.Meletakkan dasar dimulai desentralisasi “asimestris” utk melindungi kepentingan nasional di kawasan perbatasan, memperkuat daya saing Indonesia secara global, dan membantu daerah kapasitas berpemerintahan yg belum cukup memadai dalam memberikan pelayanan publik.
2.Mensinerjikan tata-kelola pemerintahan sebagai suatu sistem tidak terfragmentasi.
3.     Menyelesaikaan problem fragmentasi penyelenggaraan politik desentralisasi di Pusat, menggantikan dominasi rezim sektoral dan keuangan dgn rezim desentralisasi. Operasionalisasi rezim desentralisasi dilakukan dgn pengutamaan pendekatan kewilayahan, terutama Bappenas dan Kementerian Koordinator.
4.Mengatur kembali sistem distribusi keuangan nasional dgn melihat kondisi dan kebutuhan daerah yang asimetris.
5.Merubah kebijakan DAU sebagai salah satu sebab mendorong pembentukan daerah otonom baru (DOB) dan mengharuskan adanya pentahapan dlm pembentukan DOB.
6.Mereformasi keuangan daerah, mendorong mengurangi biaya rutin dan alokasi lebih banyak utk pelayanan publik.
7.   Mereformasi pelayanan publik melalui penguatan Desa dan  Kelurahan (UU Desa),  Kecamatan (UU Pemerintahan Daerah) sebagai ujung tombak pelayanan publik.
8.Mendorong perubahan UU ttg Kewarganegaraan,  memberikan hak bagi setiap warga negara; melanjutkan reformasi sistem kependudukan nasional terintegrasi (Nomor Induk Kependudukan Nasional).
9.     Meningkatkan kapasitas Pemerintah Nasional lebih menjalankan fungsi pembinaan dan pengawasan bagi daerah otonom lebih maksimal; mendorong penggabungan atau penghapusan daerah otonom.
Setelah Jokowi berhasil menjadi Presiden RI, diterbitkan RPJMN 2014-2019, juga menyajikan issu strategis untuk dipecahkan terkait kapasitas kelembagaan pemerintah daerah mencakup:
1.     Restrukturisasi organisasi perangkat daerah (OPD)
2.     Penataan kewenangan antar tingkat pemerintahan.
3.     Penataan daerah.
4.     Kerjasama daerah.
5. Harmonisasi peraturan perundang-undangan.
6.Sinerjitas perencanaan dan penganggaran Pusat dan daerah.
7.     Akuntabilitas dan tata pemerintahan.
8.     Peningkatan pelayanan publik.
9.     Otonomi khusus
Janji kampanye (Tri Sakti dan Nawa Cita) dan program (RPJMN 2014-2019) akan dikerjakan Presiden Jokowi  sehubungan urusan otonomi daerah sesungguhnya sangat luas. Namun, setidaknya Kita dapat mengambil intisari permasalahan otonomi daerah menurut  Jokowi.
Pertama, adanya fragmentasi dalam tata kelola pemerintahan dan penyelenggaraan politik desentralisasi di pusat, serta dominasi rezim sektoral. Jokowi akan memecahkan masalah ini  dgn pengutamaan pendekatan kewilayahan, terutama Bappenas dan Kementerian Koordinator (Menko). Sudahkah Bappenas dan Menko selama tiga tahun ini mengutamakan pendekatan kewilayahan?  Kayaknya sih belum !.  Dominasi rezim sektoral dan keuangan masih menguat, tidak ada perubahan berarti.
Kedua, pelayanan publik di daerah dinilai masih rendah dan harus ditingkatkan. Presiden Jokowi akan mereformasi pelayanan publik melalui penguatan pemerintahan Desa/Kelurahan (UU Desa) dan   Kecamatan (UU Pemda) sebagai ujung tombak pelayanan publik. Sudah tiga tahun berjalan kekuasaan Jokowi, perhatian terhadap masalah ini justru sangat rendah. Tidak ada kegiatan berarti baik regulasi, kebijakan maupun kegiatan pembinaan Pemerintah Nasional  untuk peningkatan pelayanan publik di daerah ini. Selama ini Jokowi lebih memperhatikan dan memperioritaskan pembangunan infrastruktur, fisik, ketimbang penguatan kelembagaan pemerintahan daerah. Malah, di suatu pengarahan kepada para Gubernur, Bupati dan Walikota se-Indonesia di Istana Negara, Jokowi mengingatkan, politik anggaran penting tapi pengelolaan APBD jangan lagi menggunakan pola lama. Kebijakan anggaran dilakaukan para Kepala Daerah hampir semuanya mirip, masih menggunakan pola lama. APBD tersedia dibagikan secara merata kepada para Dinas. Sementara, program prioritas berhubungan kepentingan rakyat tidak diperhatikan secara penuh.  Sehingga, kilah Jokowi, anggaran “mengedrive” adalah Kepala Dinas. Idealnya, Gubernur, Bupati dan Walikota berani menentukan penggunaan anggaran dianggap memiliki dampak signifikan bagi sektor produktif (SINDOnews, 24/10/2017). Hingga kini pemikiran Jokowi ini baru level pengarahan lisan, belum dalam bentuk kebijakan politik atau regulasi.
Ketiga, pembentukan DOB harus bertahap, tidak boleh langsung terbentuk. Untuk itu harus ada perubahan kebijakan DAU.  Parameter pembentukan DOB menunjukkan, selama tiga tahun Jokowi berkuasa, tidak ada satupun pembentukan DOB. Sikap Presiden Jokowi selama tiga tahun ini memastikan moratorium pemerkaran DOB tetap berlanjut. Selama era pemerintahan Jokowi belum ada pembentukan DOB. Pemerintah masih menunda pemekaran 314 DOB sudah diusulkan DPD (173 DOB) dan DPR (141 DOB). Mengapa ditunda? Menurut Mendagri  Tjahjo Kumolo, anggaran negara sedang diprioritaskan dulu utk kebutuhan mendesak seperti pembangunan infrastruktur dan mempercepat kesejahteraan rakyat di daaerah (28/8/2017). Wapres Jusuf Kalla juga berkilah, usulan DOB sulit direalisasikan mengingat pemekaran daerah membutuhkan alokasi anggaran besar. “Seperti dimaklumi, defisit kita makin tinggi secara persentase. Kami harus selesaikan dulu masalah pokoknya, ya masalah anggaran itu,” ujarnya.
Dapat disimpulkan, sudah tiga tahun lebih kekuasaan Presiden Jokowi, urusan otonomi daerah belum menunjukkan perubahan berarti. Bahkan, para pengamat otonomi daerah masih mengkritis kondisi obyektif otonomi daerah, al: (1) Masih berlakunya tumpang tindih kewenangan antar institusi pemerintahan dan aturan berlaku; (2) Pelayanan publik masih lamban, terlalu birokratis, kurang responsif dan jauh dari standar umum dan berlaku universal (faster, better dan cheaper); (3) Menjamurnya praktik korupsi pemimpin daerah; dan, (4). Kecenderungan pemimpin daerah bersifat elitis dan bagaikan “Raja2 Kecil”. 
Kebijakaan desentralisasi dan otonomi daerah semula diharapkan mampu al: mewujudkan suatu tatanan sistem pemerintahan daerah yang lebih demokratis; mempercepat tercapainya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat; dan, meningkatkan kapasitas publik. Namun, di era Jokowi masih terjadi kesenjangan besar antara perubahan tingkat konseptual dengan perubahan tingkat pemahaman dan perilaku penyelenggara pemerintahan daerah. Dominasi elite daerah tetap ada bahkan oligarki politik ekonomi masih berlangsung, dan  jauh dari cita-cita negara demokrasi. Kaum oligarki menyandera negara acap kali terjadi di daerah sebagai turunan dari Pusat.

Satu kasus kebijakan Jokowi syarat kritik dan kecaman baik dari penyelenggara negara maupun masyarakat madani, yakni pengangkatan seorang anggota Polri aktif
sebagai Pejabat Gubernur Jabar. Kebijakan pengangkatan anggota Polri aktif ini dituangkan di dalam Keputusan Presiden  (Kepres)  Nomor 106/P Tahun 2018 tertanggal  8 Juni 2018.Kepres itu berisi pengesahan pemberhentian Gubernur dan Wakil Gubernur sebelumnya Ahmad Heryawan dan Deddy Mizwar. Kepres itu juga menyebutkan pengangkatan pimpinan tinggi madya Sekretaris Utama Lembaga Ketahanan Nasional Komisaris Jenderal Mochamad Iriawan sebagai penjabat Gubernur Jawa Barat. Presiden menugaskan pelantikan penjabat Gubernur tsb dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.

Para pengkritik menilai, kebijakan Jokowi ini  melanggar UU antara lain:
1. UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, Pasal 28 ayat 3
2. UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada Pasal 201 Ayat 10
3. UU No. 5 Tahun 2014 Tentang ASN Pasal 19 ayat (1) huruf b

Tentu saja Jokowi tidak akan mampu mewujudkan tatanan sistem pemerintahan daerah dimaksud mengingat waktu berkuasa hanya tinggal sekitar 1,5 tahun lagi. Bagaimanapun, kinerja Jokowi urus otonomi daerah belum bagus dan masih jauh dari keberhasilan berdadasrkan janji kampanye (Tri Sakti dan Nawa Cita)  dan program (RPJMN 2014-2019). 

Sumber data baru:
REZIM YG NUDUH UI, ITB, UB, UNDIP, UNAIR, ITS, IPB  kampus radikal... saat nya kita telanjangi rezim ini..     IKATAN ALUMNI UI : Release Media ILUNI UI*

Diskusi Publik *“Dwifungsi Polri menjelang Pilkada Serentak”*

Beberapa hari belakangan ini, diskursus tentang usulan mendagri untuk mengajukan dua orang perwira tinggi (aktif) Polri menuai protes dan kecaman dari berbagai pihak, diskursu yang kian meluas tersebut tertutama terkait dengan beberapa peraturan perundang-undangan yang dilanggar dengan pengangkatan penjabat gubernur yang berasal dari perwira tinggi (aktif) POLRI. Dalam rilisnya Pusat studi Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia juga menyoroti terlanggarnya pasal 201 ayat 10 UU Pilkada dan menyoroti juga bagaimana ketidakpatuhan permendagri juga terhadap pasal 201 (10) dalam UU pilkada. Karena pimpinan tinggi madya yang dimaksudkan tidak dapat diartikan secara serampangan karena harus pula merujuk pada UU Aparatur Sipil Negara.

Menyoroti hal tersebut, Policy Center ILUNI UI pada hari Kamis tanggal 1 Februari 2018 mengadakan diskusi public untuk membahas polemik pengangkatan penjabat Gubernur dari perwira tinggi (aktif) POLRI tersebut dengan menghadirkan pembicara diantaranya HR Muhammad Syafii (Romo Syafii) sebagai anggota DPR RI pada Komisi III DPR RI, Titi Anggraini (PERLUDEM) dan Mustafa Fakhri (Ketua Pusat Studi Hukum Tata Negara atau PS HTN pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia). Diskusi yang juga di hadiri oleh pembahas lainnya diantaranya Ramdansyah (activist Reformasi 1998) dan juga Dr. Ferry Liando (Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Sam Ratulangi).

Romo Syafii, menyoroti perihal pengangkatan Penjabat Gubernur dari Pati aktif Polri adalah sebuah keputusan yang tidak argumentative dan hanyalah pertimbangan politik belaka, alasan kurang eselon di kemendagri serta kepentingan kambtibnas dalam pilkada di sumut dan jabar adalah suatu alasan yang tidak beralasan. Mengingat tindakan tersebut sangat jelas bertentangan dengan pasal 201 ayat 10 UU PIlkada serta pasal 28 UU Kepolisian Negara dan UU ASN khususnya pasal 20. Bahwa dalam pasal 201 yang kemudian diartikan oleh mendagri lewat permendagri 1 tahun 2018 juga tidak tepat, karena harus merujuk pada pasal 20 UU ASN yang mana disebutkan secara tegas bahwa pengisian jabatan itu hanya dapat diperuntukan untuk tingkat pusat dan bukan daerah. Terlebih UU kepolisian negara secara tegas menyebutkan bahwa kepolisian negara tidak boleh melibatkan diri dalam politik praktis dan dalam hal pejabat kepolisian mengisi jabatan diluar dinas kepolisian maka harus terlebih dahulu mundur atau berhenti dari kedinasan kepolisian. Hal ini semakin menunjukkan bahwa policy yang akan diambil oleh kemendagri adalah suatu kebijakan yang tidak lagi state oriented akan tetapi government oriented, dan menarik polisi negara untuk masuk dalam tindakan government oriented adalah hal yang membahayakan bagi polri dimana akan menimbulkan distrust akan peran polri yang netral dalam pilkada.

Titi Anggraini selaku Direktur Perludem selain menyoroti perihal pelanggaran undang-undang sebagaimana yang juga sudah dijelsakan oleh Romo Syafii. Titi juga menyayangkan pandangan Presiden Jokowi yang menanggapi enteng perihal ini, padahal  pilkada serentak tahun ini adalah bentuk pemanasan sekaligus batu ujian bagi mesin partai untuk bergerak sebelum pemilu dan pilpres 2019. Terlebih lagi, menurut Titi dalam 2024 akan dilakukan pilkada serentak secara nasional maka perihal penjabat gubernur dan Bupati akan terjadi pada 2022 dan 2023. Jangan sampai hal ini menjadi pintu masuk permisifitas kita sehingga memuluskan jalan bagi kembalinya dwifungsi yang mana sama sama telah kita sepakati semenjak reformasi yaitu terkait dwifungsi ABRI, dimana Poli juga berada di dalamnya. Bias dibayangkan pada 2022/2023 akan dibutuhkan 272 penjabat sementara dari pimpinan madya dan pratama untuk mengisi kekosongan jabatan di daerah. Semestinya mulai saat ini kemendagri harus sudah menyusun roadmap terkait permasalahan 272 penjabat sementara tersebut.

Mustafa Fakhri, selaku Ketua PSHTN selain membahas tentang pelanggaran berbagai peraturan sebagaimana rilis media yang telah dilakukan PSHTN kan tetapi juga menyoroti tentang bagaimana amanat reformasi dalam pemisahan struktur menjadi TN POLRI dalam Tap MPR akan tetapi juga juga dimaksudkan agar profesionalitas dan Netralitas TNI dalam Pertanahan negara serta Polri dalam kemanan dalam negeri tetap terjaga. Secara teoritis polri adalah lembaga superbody karena tidak saja dalam lingkungan eksekutif dalam rangka kamdagri akan tetapi juga sebagian dalam yudikatif yaitu penegakan hokum, dimana polri dapat menetapkan seseorang sebagai tersangka, untuk itu akan sangat berbahaya jika jabatan sipil juga dipegang oleh pejabat polri aktif. Karena amanat Tap MPR VII tahun 2000 terkait pemisahan TNI POLRI dalam ayat 3nya disebutkan jabatan sipil jika akan ditempati pejabat TNI POLRI maka terlebih dahulu harus berhenti atau mundur. Jika diberbagai negara bahkan tidak dapat langsung menempati jabatan sipil akan tetapi ada jeda waktu 2 tahun, agar jabatannya tidak digunakan untuk mempengaruhi bekas bawahannya. Untuk itu PS HTN mendesak Presiden untuk menolak usulan mendagri yang menempatkan pejabt polri aktif sebagai penjabat sementara gubernur atau jabatan sipil lainnya. Meminta Presiden untuk tetap menjaga semnagat reformasi sebagaimana yang terdapat dalam amanat reformasi 1998 yaitu menolak dwifungsi ABRI (TNI-POLRI).

Ferry Liando sebagai pembahas menyoroti soal netralitas memang agak sulit untuk dijamin meskipun itu juga dilakukan atau jabatan tersebut dipegang oleh sipi, namun memang dalam pilkada netralitas sangat perlu dilakukan untuk pilkada yang jujur dan adil dan tidak menimbulkan distrust. Ramdansyah selaku activist Reformasi 1998 mencoba mengingatkan kepada seluruh activist reformasi dan mahasiswa jaman now untuk menyikapi secara serius kembalinya dwifungsi dan tetap konsisten akan agenda reformasi jika tetap dilanjutkan usulan atau disetujui maka ini adalah suatu bentuk pembangkangan atas aamanat reformasi, dan Ramdansyah juga menyoroti ada berbagai ketidakpatuhan KPU akan pengunduran waktu tahapan pemilu atas UU Pemilu dan trend ketidakpatuhan menunjukkan penegasian atas demokrasi yang jujur, adil dan bermartabat.

Sebagai penutup semoga kesetiaan pada negara (state oriented) lebih diutamakan daripada pada pemerintahan (government oriented) sehingga tidak mengubah jalur rule of laws menjadi rule by laws yang pada ujungnya hanya akn menciptakan negara kekuasaan belaka (machstaat) dan tidak lagi negara yang berdasarkan atas hukum (Rechstaat). Untuk itu tindakan pemerintah hendaknya menuju pada penciptaan suasan yang kondusif, jauh dari distrust serta pelaksanaan demokrasi yang jujur,adil dan bermartabat.



ILUNI UI 2016-2019

“Rumah Kita”

Contact Person

Ivan Ahda

Communication Center


M: 08112030230


0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda