Selasa, 29 Agustus 2017

.KPK SUDAH SAATNYA HARUS DIBUBARKAN

Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS) Kerja Pansus Angket KPK berakhir 28 September 2017. Banyak temuan dianggap pelanggaran di internal KPK. Pansus menemukan adanya dugaan pelanggaran hukum maupun pelanggaran HAM dilakukan oknum KPK. Kerberadaan KPK sebagai produk gerakan reformasi anti KKN kini dalam perdebatan dan polemik publik. Salah satu kelompok wacana dan pendapat yakni bubarkan KPK. Wacana ini bermula oleh Marzukie Alie Politikus Partai Demokrat dan Fahri Hamzah politikus dari Partai Keadilan Sejahtera PKS. Wacana bubarkan KPK oleh Marzuki Alie (Ketua DPR) muncul pada medio 2011, saat KPK sedang melakukan seleksi pimpinan KPK baru. Menurutnya, lembaga ad hoc tak perlu dipertahankan lagi jika memang tak lagi dapat menjalankan tugas dan kewenangannya dengan baik. Pasalnya, selama ini KPK diharapkan memberikan hasil signifikan dalam memimpin upaya pemberantasan korupsi di tingkat legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Namun, sampai saat ini, KPK dinilai tidak bisa memenuhi harapan tersebut. "KPK adalah lembaga ad hoc. Kalau lembaga ad hoc ini sudah tidak dipercaya, apa gunanya dirikan lembaga ini? Nyatanya, tidak membawa perubahan juga. Jadi, lebih banyak manuver politik daripada memberantas korupsi," katanya di Gedung DPR, Jakarta, (29/7/2011). Selanjutnya, Fahri Hamzah menegaskan KPK dibubarkan saja karena tidak kompak KPK, Polri dan Kejaksaan termasuk kasus Bibit-Chandra. Kemudian pada Juli 2017, Fahri Hamzah selaku Wakil Ketua DPR kembali berewacana bubarkan KPK. Ia mendesak Jokowi segera mengevaluasi keberadaan KPK dan Komnas HAM. Fahri menilai, kedua lembaga ini merupakan bagian dari "auxiliary state's organ", bekerja menunjang kerja pemerintah. Namun, pada praktiknya kedua lembaga tersebut bekerja di luar batas kewenangan. Bagi Fahri, sudah tidak diperlukan lagi keberadaan kedua lembaga ini. Di lain pihak, Pansus Hak Angket KPK di DPR telah menyampaikan 11 temuan sementara berdasarkan hasil kerja pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK. Beberapa temuan dimaksud: KPK dengan argumen independennya mengarah kepada kebebasan atau lepas dari pemegang cabang-cabang kekuasaan negara. Hal ini sangat mengganggu dan berpotensi terjadinya "Abuse of Power" dalam sebuah negara hukum dan Negara demokrasi. Kemudian ditemukan juga, KPK dalam menjalankan tugas, fungsi dan kewenangan belum bersesuaian atau patuh atas asas-asas yang meliputi asas kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum dan proporsionalitas. Siapakah berwenang membubarkan KPK? Pertanyaan ini dijawab Yusril Ihza Mahendra, pakar hukum tata negara, (10/7/2017) DPR dan Pemerintah. Sebab keberadaan KPK berdasarkan UU.
kondisi kinerja KPK semakin menunjukkan jelek dari hasil kerja akhir Pansus Angket KPK.   Media Indonesia, 27 September 2017 melaporkan tentang empat aspek fokus Pansus Hak Angket KPK:
I.      Kelembagaan
a.       KPK dinilai gagal mengedepankan tugas utama dalam mengkoordinasikan dan menyupervisi.
b.      KPK tidak mengikuti MOU yang mereka buat sendiri dengan Kepolisian dan Kejaksanaan dalam hanl penanganan korupsi.
c.       Peran KPK sebagai triger mechanism dinilai tidak berjalan.
KPK bergerak tanpa mekanisme pengawasan dan kontrol yang mengedepankan prinsip ketatnegaraan yang baik.
Tidak terbangun sinerji yang harmoni di anatar sesama lembaga negara dan lembaga pemerintah.

II.Kewenangan
a.       KPK diduga sering kali menyalahgunakan kewenangan (abuse of power) dalam hal terjadi pertentangan kepentingan (conflict of interest) dalam penanganan kasus sepetti dalam penanganan pperkara kasus Bupati Sabu Rai Jua, NTT, Kementerian PUPR dan Kasus Probosutedjo.

III.Anggaran
Pada tahun anggaran 2015 terdapat beberapa temuan yang signifikan, antara lain:
a.       Kelebihan gaji pegawai KPK, yakni pembayaran terhadap pegawai yang melaksaakan tugas belajar berupa living cost tetapi gaji masih dibayarkan sebesar Rp. 748,46 juta.
b.      Realisasi belanja perjanalan dinas biasa tidak sesuai dengan ketentuan minimal sebesar Rp. 1,29 miliyar.
c.       Perencanaan pembangunan gedung KPK terdapat keleihan pembayaran Rp. 655,30 juta.
Pada tahun anggaran 2016:
a.       Besarya anggaran tidak sebanding dengan penanganan kasus-kasus.
b.      Penye;amatan uang negara masih jauh berada di bawah Kejaksanaan dan Kepolisian (Data dari LPIKP).

IV.Tata Kelola Sumber Daya Mansuia:
a.       Terjadi dualiems konflik internaal yang cukup fatal baik bersifat struktural (antara pimpinan, penyidik dan pegawai) maupun kultural.
b.      KPK melanggar ketentuan sebagaimana Putusan MK Nomor 109/PUU-XII/2015 dan Ketentuan PP Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia KPK.
c.       Pembentukan wadah pegawai KPK dipertanyakan karena sebagai lembaga negara telah ada wadah sendiri untuk apartur da wadah pegawai KPK,

d.      Sejumlah temuan menunjukkan buruknya integritas dan moralitas SDM KPK baik yang terjadi pada unsur pimpinan maipin petugas penyidik dan/atau pegawai KPK yang terindikasi tindak pidana.  

Fakta terakhir muncul prakarsa Polri untuk membangun lembaga baru Sensus Tipikor. Jika terwujud, KPK tidak diperlukan lagi. Agung Laksono melalui http://www.tribunnews.com, 2w okt.2017 mendukung pembentukan Densus Tipikor.
Dengan membentuk Densus Tipikor, maka kepolisian dan kejaksaan mendapatkan kepercayaan publik untuk memberantas korupsi di Indonesia.
“Kepolisian dan kejaksaan harus segera membenahi diri sehingga membangun sebuah kepercayaan bahwa program pemberantasan korupsi sudah bisa dilakukan kedua instansi itu,” ujarnya, Kamis (19/10/2017).
Jika Densus Tipikor dibentuk, lanjut dia, maka KPK sebagai lembaga anti rasuah tak diperlukan lagi.
Menurutnya, KPK didirikan karena kepolisian dan kejaksaan pada saat itu belum mampu menjalankan fungsi pemberantasan korupsi.
Agung berharap Densus Tipikor terbentuk agar pemberantasan korupsi dapat dilakukan secara optimal.
Tak hanya tindakan OTT, namun diharapkan tindakan pencegahan juga dapat dimaksimalkan.

Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian meyakini keberadaan Densus Tipikor akan secara masif mengungkap berbagai kasus di Indonesia.
Tito menyebut, kelebihan utama Polri dibandingkan KPK adalah jaringan yang luas di seluruh Indonesia dan jumlah personel yang banyak.
Menurut dia, jika hanya mengungkap kasus-kasus besar, maka efeknya di masyarakat tak akan masif.
Sebelumnya, Pembentukan Densus Tipikor oleh Polri kini masih menjadi polemik di masyarakat.
Pemerintah dan DPR tak satu suara mengenai pembentukan Densus Tipikor.(*)


 Sesungguhnya beragam alasan muncul mengapa KPK harus dibubarkan. Tim Studi NSEAS mengidentifikasi setidaknya ada empat sebab. Pertama, prilaku KPK dalam melaksanakan peran sebagai penegak hukum pemberantasan korupsi bukan saja "tebang pilih" tetapi sudah "diskriminatif" dan "rasialis". KPK acapkali digunakan untuk membunuh karakter dan karir politik tokoh2 Islam, al: BC (Menteri), SDA (Menteri), AU (Ketum Parpol) , AM (Menteri), PA (Hakim MK), Ketum PKS, IG (Ketua DPD), Kader PKD (Gubernur Sumut), Kader PAN (Gubernur Sultra), dll. KPK secara tak langsung turut membangun opini négatif publik bahwa Tokoh Islam jika jadi Pejabat Negara berprilaku korupsi.Prilaku KPK ini dibantu média mainstream. Berbagai opini dibentuk dengan menyandarkan berbagai fakta menguatkan, sehingga tercitra di mata publik, Tokoh Islam itu benar-benar melakukan tindakan kejahatan. Saat Pilkada DKI kelompok anti Islam politik dan pendukung buta Ahok menggunakan issu ini untuk menunjukkan Ahok krn bukan orang Islam berprilaku jujur, bersih dan tidak korupsi. Perlu diketahui, meski anggota KPK itu seorang tokoh Islam, dialah membunuh karakter dan karir politik SDA. Di lain pihak, para okigark dan pengusaha Cino hitam terlibat kasus BLBI tetap saja terbebas dari jerat hukum KPK hingga kini. Satu contoh memalukan, kasus dugaan korupsi Ahok selaku Gubernur DKI dalam pembelian tanah RS Sumber Waras. Bahkan dengan seenaknya petugas KPK tegaskan ke publik, " silakan lembaga penegak hukum lain ambilalih kasus Sumber Waras ini. KPK juga acapkali mempergunakan kewenangan untuk menyelidiki pejabat negara tidak bersalah sehingga dapat menimbulkan kezoliman. Ada kritikan tajam sbb: "KPK hebat kalau membidik dan menghancurkan karir politik dan citra tokoh Islam. KPK itu hanya hebat mentersangkakan tokoh Islam. Vonis Hakim pun mantap: 18 tahun penjara dan pencabutan hak politik.Hukuman terberat untuk korupsi tidak merugikan negara. Sikap KPK tidak sama terhadap korupsi BLBI, dll." Terakhir nama tokoh Islam Amien Rais dibawa-bawa ke Forum Pengadilan. Tanpa konfirmasi dgn Amien, KPK dengan gampangnya memfitnah Amien terima aliran dana korupsi fihak lain. Tatkala Amien bermaksud menjumpai anggota Komisioner KPK utk klarifikasi, tak satupun Komisioner mau terima. Tetapi, Ahok tatkala kasus korupsi RS Sumber Waras, para Komisioner mau mènerima Ahok. Ini bukti KPK diskriminatif dan rasialis terhadap tokoh Islam. Satu contoh lain KPK diskriminatif, kasus Setnov Ketum Golkar dan Ketua DPR. Fakta KPK telah menetapkan dia sebagai Tersangka dalam kasus e-KTP. Keputusan KPK tsb diambil setelah mencermati fakta persidangan Irman dan Sugiharto terhadap kasus e-KTP pada 2011-2012 di Kemendagri. Ia diduga mengakibatkan kerugian negara Rp 2,3 triliun dari nilai proyek Rp 5,9 triliun. Tapi, fakta juga hingga kini KPK tidak memasukkan Setnov ke rumah tahanan. Publik pun bingung ! Sekelompok masyarakat atas nama "Masyarakat Pecinta Keadilan", 23 Agustus lalu adakan aksi demo ke Kantor KPK, Kuningan, menuntut KPK segera menahan Ketua DPR RI, Setnov. Juga Segera limpahkan berkas perkara tersangka korupsi E-KTP Setya Novanto ke penuntut umum agar segera di sidangkan. Kedua, KPK itu sudah 15 tahun berdiri tetapi prilaku korupsi bahkan semakin meningkat dan meluas baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Secara qualitatif korupsi bukan saja rampok dana APBN atau APBD, tetapi sudah pada korupsi kebijakan politik negara seperti UU, PP, Kepres, Perpres, Permen, Perda, Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota,dll. Dalam ilmu politik kontemporer, korupsi kebijakan ini disebut "Korupsi Sandera Negara". Para pelaku modus Korupsi Sandera Negara ini antara lain penguasa negara, anggota législatif, korporasi (asing, national, dan lokal), lawyer, journalis, LSM, Pengamat, dll. Mereka saling kerjasama terlibat di dalam tindak korupsi kebijakan ini. Keterlibatan para pihak ini bisa langsung bisa tidak langsung. Contoh modus korupsi ini adalah korupsi pembangunan Pulau Palsu/reklamasi utara pantai Jakarta. Para developer asing dan national kasih uang ke sejumlah pejabat agar menerbitkan kebijakan pembangunan Pulau Paksu/reklamasi. Selama 15 tahun bekerja KPK, tetapi korupsi terus neningkat. Ini artinya, outcome KPK gagal dan KPK disfungsional. Bandingkan di negara2 lain, hanya 5 tahun lembaga semacam KPK ini dibentuk, korupsi berkurang signifikan. Bahkan berdasarkan laporan tahunan Transparency Internasional awal 2017. dari hasil upaya pemberantasan korupsi dilakukan 176 negaraIndeks Persepsi Korupsi menempatkan Indonesia di peringkat ke 90 dengan skor 37. Dari sisi skor ada kenaikan satu poin, tetapi dari sisi peringkat Indonesia menurun dua tingkat. Tidak ada perubahan berarti. Indeks itu menggunakan skala 0 – 100, dimana 0 adalah skor untuk negara dengan tingkat korupsi terburuk dan 100 untuk negara yang paling bersih dari korupsi. Marzuki Alie (Ketua DPR) berada posisi ini. KPK sebagai lembaga ad hoc tak perlu dipertahankan lagi jika memang tak dapat menjalankan tugas dan kewenangan dengan baik.KPK diharapkan memberikan hasil signifikan dalam memimpin upaya pemberantasan korupsi di tingkat legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Namun, ternyata tidak bisa memenuhi harapan tersebut. Kalau sudah tidak dipercaya, dan tak membawa perubahan, lembaga ini tak ada gunanya dirikan. Lebih banyak manuver politik daripada memberantas korupsi. Dalam bahasa Fahri Hamzah, KPK bekerja sudah di luar batas kewenangan. Sudah tidak diperlukan lagi lembaga ini. Bahkan, belakangan ini melalui kerja Pansus Angket KPK mulai terkuak data dan fakta, KPK dalam proses penegakan hukum banyak melakukan kesalahan dan ada proses tidak benar. Hal ini diperkuat Putusan Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memenangkan gugatan Syarifuddin Umar, Mantan Hakim Pengadilan Jakarta Pusat. Putusan menyatakan, penyitaan dilakukan KPK dalam penangkapan Syarifuddin tidak sah karena tanpa surat penggeledahan. Pada 2014 Mahkamah Agung menolak pengajuan kasasi KPK. Akibatnya, KPK harus dan telah menyerahkan Rp.100 juta kepada Syarifudin sebagai biaya ganti rugi. Ketiga, dari segi management keuangan KPK tidak efektif. Setiap tahun uang APBN digunakan sekitar Rp 1 triliun, tetapi uang peroleh dari koruptor jauh lebih sedikit hanya sekitar Rp 500 miliar. Bisa dinilai, KPK tidak efektif dan efisien atau rugi melulu. Sebagai contoh, dari 542 kasus korupsi (2001-2009), kerugian diderita negara Rp 73,1 triliun. Uang korupsi dikembalikan hanya Rp 5,32 triliun. Sangat rendah ! Pada 2011 jumlah uang negara telah dikorupsi berhasil dikembalikan mencapai Rp 138,06 miliar. Namun, pada 2012 berkurang hanya Rp 113,83 miliar. Rendahnya pengembalian uang korupsi ini juga berlaku hingga tahun 2016. Pada 2016 KPK mengajukan pagu anggaran Rp 1,1 triliun ke DPR. Rp 750 juta untuk penanganan setiap perkara. KPK klaim, besarnya anggaran ini karena tidak punya cabang di daerah. Maknanya, berbeda dgn Kejaksaan dan Polri, punya cabang di daerah. Di samping itu, KPK berkilah, anggaran itu digunakan juga untuk pencegahan. Keempat, lebih 15 tahun pendukung berat dan buta (data dan fakta) KPK mengklaim, lembaga Polri dan Kejaksaan tidak efektif dan tidak mampu urus pemberantasan korupsi. Lalu secara sepihak tetap mempertahankan eksistensi KPK. Maka ada pertanyaan pokok: sampai kapan lembaga pemerintahan Kejaksaan dan Polri tetap tidak efektif dan tidak mampu berantas korupsi? Masih harus menunggu 15 tahun lagi? Padahal sudah 15 tahun keberadaan KPK dianggap lembaga alternatif utk pemberantasan korupsi ternyata juga tidak efektif, tidak mampu dan gagal mengurangi kuantitas dan kualitas korupsi di kalangan penyelenggara negara. Solusi harus diambil, yakni harus bubarkan KPK terlebih dahulu, lalu Pemerintah dan rakyat memperkuat kelembagaan Kejaksaan dan Polri urusan pemberantasan korupsi. Beri waktu 5 tahun ke depan kedua lembaga negara ini bekerja. Seorang Komisioner KPK berkilah, seharusnya pegawai KPK 8.000 orang. Hal ini menjawab keinginan Pemerintah memperkuat KPK yang kini diisi sekitar 1.500 pegawai ini.Jika alasan ngeles ini mau diterima, tentu kembalikan saja fungsi KPK terhadap Kepolisian. Lembaga penegak hukum sudah punya pegawai bahkan di atas jumlah pegawai KPK tsb. Jika 5 tahun ke depan masih tidak efektif, tidak mampu dan gagal melaksanakan fungsi pemberantasan korupsi dan outcome tidak tercapai, baru Kita mengakui: masyarakat, bangsa dan rakyat Indonesia berbudaya korupsi ! Solusinya, antara lain gunakan hukuman mati bagi setiap pelaku korupsi dalam batas2 tertentu. Peduli amat terhadap kelompok anti hukuman mati !

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda