Selasa, 29 Agustus 2017

DI BAWAH DUKUNGAN EMPAT PARPOL, JUSTRU ELEKTABILITAS JOKOWI MEROSOT DRASTIS

Empat Parpol secara resmi mendukung Jokowi sebagai Capres Pilpres 2019 mendatang. Yakni Golkar, Hanura, Nasdem dan PPP. Dua Parpol lain belum secara resmi mendukung yakni PDIP (Partai Jokowi) dan PKB. Golkar sesumbar mempromosikan diri, kehadiran Golkar sbg pendukung akan membuat elektabilitas (keterpilihan) Jokowi di atas 65 % pd Pilpres 2019. Promosi ini secara tak langsung meyakinkan Rezim Jokowi bahwa kontribusi Golkar adalah membuat elektabilitas Jokowi di atas 65 %. Tetapi, realitas obyektif berkata, setelah ada dukungan empat Parpol tsb, bukannya menaik elektabilitas Jokowi, justru merosot drastis. Sebelum Golkar dukung Jokowi Capres Pilpres 2019, elektabilitas Jokowi di atas 50 %. Di acara Rapimnas Partai Golkar, Mei 2017, Balikpapan, Kalitim, Menko Maritim menyatakan tanpa Sumber bahwa elektabilitas Jokowi saat ini masih di atas 50 persen. Lebih tinggi dibandingkan dengan elektabilitas SBY, Megawati dan Prabowo. Padahal sebelumnya, April 2017, hasil survei Litbang Kompas menunjukkan, elektabilitas Jokowi hanya 41,6%. Sebuah sumber lain, satu Lembaga Survei, Juni 2017, menunjukkan elektabilitas Jokowi 34%. Kemudian, hasil survei Lembaga Survei berikutnya tidak dipublikasi menunjukkan angka elektabilltas Jokowi kian rendah, jauh di bawah 40 persen. Bahkan, ada sumber lain menyebutkan, angka elektabilitas Jokowi hanya 5 persen selisih dgn elektabilitas Prabowo, seorang Calon Pesaing potential bagi Petahana Jokowi. Padahal kalau mau menang pada Pilpres 2019, Jokowi sbg Petahana (Incumbent) harus memiliki tingkat elektabilitas di atas 60%. Dalam hal ini, angka di atas 65 % diklaim Golkar akan dicapai Jokowi sungguh rasional dan masuk akal utk menang. Bisa disimpulkan sementara bahwa di bawah dukungan empat Parpol, justru elektabilitas Jokowi merosot drastis. Mengapa? Inilah jawabannya. Pertama, dukungan politik Golkar dan Parpol2 lain tidak mampu mengurangi persepsi negatif massa konstituen tentang Jokowi urus pemerintahan dan rakyat. Hal ini diperkuat lagi mesin Parpol pendukung tidak bekerja efektif mempromosikan atau mengkampanyekan Jokowi di publik. Sudah ada indikasi segmen pemilih Golkar, Hanura, Nasdem dan PPP tidak taat pada instruksi atau himbauan Parpol mereka. Konstituen Parpol tidak taat pada instruksi Parpol pendukung Jokowi ini sudah terlihat pada Pilkada DKI 2017. Parpol pendukung Paslon Ahok-Djarot tidak solid. Sebuah Lembaga Survei menemukan, hanya 54 persen pemilih Nasdem memilih Ahok-Djarot. Hanya pemilih PDIP disiplin, 90%. Sisanya memilih Anies-Sandi tanpa terkecuali Ketika PPP dan PKB memutuskan di putaran dua mendukung Ahok-Djarot, ternyata vonis terberat datang dari segmen pemilih kedua Parpol Islam itu sendiri. Segmen pemilih PPP dan PKB tidak memilih sesuai instruksi Parpol, yakni Ahok-Djarot. Lebih 70% pemilih PPP dan PKB tidak memilih Ahok-Djarot, tetapi Anies-Sandi. Intinya, konstituen Parpol pendukung Ahok-Djarot, sebagian mengambil pilihan berbeda dengan garis Parpol mereka. Diperkirakan, kasus tidak taat konstituen pada intruksi atau himbauan Parpol agar mempromosikan atau mengkampanyekan Jokowi juga berlaku. Akibatnya, dukungan resmi Parpol tidak membantu elektabilitas Jokowi, jika tidak boleh dinilai justru kontraproduktif bagi peningkatan elektabilitas Jokowi. Informasi di publik sejumlah kader Parpol pendukung Jokowi terlibat korupsi e-KTP, bagaimanapun, tidak bisa dihindari munculnya penilaian negatif ttg Parpol2 pendukung Jokowi. Bahwa Jokowi didukung kader2 Parpol korupsi. Hal ini tentu membawa dampak negatif terhadap persepsi publik tentang Jokowi sebagai Capres Pilpres 2019 dan elektabilitas Jokowi. Kedua, sesungguhnya bersamaan muncul dukungan empat Parpol, elektabilitas Jokowi terus menurun. Hal ini karena Jokowi ingkar janji kampanye, tak mampu dan gagal urus pemerintahan sesuai RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) Pemerintah RI Tahun 2014-2019. Semakin banyak rakyat menyadari kondisi kehidupan sosial ekonomi kian merosot; kemiskinan dan pengangguran meningkat; daya beli menurun; harga kebutuhan pokok mening kat; kesenjangan sosial kian melebar; pertumbuhan masih rendah dan jauh dari target; dll. Ketiga, Jokowi terbitkan kebijakan2 politik menekan dan membubarkan ormas Islam dan kriminalisasi aktivis/ulama Islam. Penerbitan Perppu Ormas telah digunakan utk membubarkan ormas Islam HTI tanpa pengadilan. Kalangan aktivis umat Islam politik dan pro demokrasi kelas menengah perkotaan menentang penerbitan Perppu ini. Mereka menilai, Perppu itu anti demokrasi dan instrumen Rezim Jokowi menekan kekuatan oposisi. Hingga tulisan ini dibuat, gelombang aksi tolak Perppu Ormas terus berlangsung baik di DPR-RI (Jakarta) maupun di sejumlah Ibukota Propinsi. Keempat, rakyat semakin banyak memiliki persepsi dan sikap negatif serta resistensi terhadap Jokowi, terutama umat Islam politik dan kelas menengah perkotaan. Persepsi dan sikap negatif ini meningkat sejalan dengan semakin meluas dan membanyak issu dan informasi beredar massif di tengah2 publik ttg inkar janji kampanye, ketidakmampuan dan kegagalan Jokowi urus pemerintahan dan rakyat Indonesia. BAWAH DUKUNGAN EMPAT PARPOL, JUSTRU ELEKTABILITAS JOKOWI MEROSOT DRASTIS Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS) Empat Parpol secara resmi mendukung Jokowi sebagai Capres Pilpres 2019 mendatang. Yakni Golkar, Hanura, Nasdem dan PPP. Dua Parpol lain belum secara resmi mendukung yakni PDIP (Partai Jokowi) dan PKB. Golkar sesumbar mempromosikan diri, kehadiran Golkar sbg pendukung akan membuat elektabilitas (keterpilihan) Jokowi di atas 65 % pd Pilpres 2019. Promosi ini secara tak langsung meyakinkan Rezim Jokowi bahwa kontribusi Golkar adalah membuat elektabilitas Jokowi di atas 65 %. Tetapi, realitas obyektif berkata, setelah ada dukungan empat Parpol tsb, bukannya menaik elektabilitas Jokowi, justru merosot drastis. Sebelum Golkar dukung Jokowi Capres Pilpres 2019, elektabilitas Jokowi di atas 50 %. Di acara Rapimnas Partai Golkar, Mei 2017, Balikpapan, Kalitim, Menko Maritim menyatakan tanpa Sumber bahwa elektabilitas Jokowi saat ini masih di atas 50 persen. Lebih tinggi dibandingkan dengan elektabilitas SBY, Megawati dan Prabowo. Padahal sebelumnya, April 2017, hasil survei Litbang Kompas menunjukkan, elektabilitas Jokowi hanya 41,6%. Sebuah sumber lain, satu Lembaga Survei, Juni 2017, menunjukkan elektabilitas Jokowi 34%. Kemudian, hasil survei Lembaga Survei berikutnya tidak dipublikasi menunjukkan angka elektabilltas Jokowi kian rendah, jauh di bawah 40 persen. Bahkan, ada sumber lain menyebutkan, angka elektabilitas Jokowi hanya 5 persen selisih dgn elektabilitas Prabowo, seorang Calon Pesaing potential bagi Petahana Jokowi. Padahal kalau mau menang pada Pilpres 2019, Jokowi sbg Petahana (Incumbent) harus memiliki tingkat elektabilitas di atas 60%. Dalam hal ini, angka di atas 65 % diklaim Golkar akan dicapai Jokowi sungguh rasional dan masuk akal utk menang. Bisa disimpulkan sementara bahwa di bawah dukungan empat Parpol, justru elektabilitas Jokowi merosot drastis. Mengapa? Inilah jawabannya. Pertama, dukungan politik Golkar dan Parpol2 lain tidak mampu mengurangi persepsi negatif massa konstituen tentang Jokowi urus pemerintahan dan rakyat. Hal ini diperkuat lagi mesin Parpol pendukung tidak bekerja efektif mempromosikan atau mengkampanyekan Jokowi di publik. Sudah ada indikasi segmen pemilih Golkar, Hanura, Nasdem dan PPP tidak taat pada instruksi atau himbauan Parpol mereka. Konstituen Parpol tidak taat pada instruksi Parpol pendukung Jokowi ini sudah terlihat pada Pilkada DKI 2017. Parpol pendukung Paslon Ahok-Djarot tidak solid. Sebuah Lembaga Survei menemukan, hanya 54 persen pemilih Nasdem memilih Ahok-Djarot. Hanya pemilih PDIP disiplin, 90%. Sisanya memilih Anies-Sandi tanpa terkecuali Ketika PPP dan PKB memutuskan di putaran dua mendukung Ahok-Djarot, ternyata vonis terberat datang dari segmen pemilih kedua Parpol Islam itu sendiri. Segmen pemilih PPP dan PKB tidak memilih sesuai instruksi Parpol, yakni Ahok-Djarot. Lebih 70% pemilih PPP dan PKB tidak memilih Ahok-Djarot, tetapi Anies-Sandi. Intinya, konstituen Parpol pendukung Ahok-Djarot, sebagian mengambil pilihan berbeda dengan garis Parpol mereka. Diperkirakan, kasus tidak taat konstituen pada intruksi atau himbauan Parpol agar mempromosikan atau mengkampanyekan Jokowi juga berlaku. Akibatnya, dukungan resmi Parpol tidak membantu elektabilitas Jokowi, jika tidak boleh dinilai justru kontraproduktif bagi peningkatan elektabilitas Jokowi. Informasi di publik sejumlah kader Parpol pendukung Jokowi terlibat korupsi e-KTP, bagaimanapun, tidak bisa dihindari munculnya penilaian negatif ttg Parpol2 pendukung Jokowi. Bahwa Jokowi didukung kader2 Parpol korupsi. Hal ini tentu membawa dampak negatif terhadap persepsi publik tentang Jokowi sebagai Capres Pilpres 2019 dan elektabilitas Jokowi. Kedua, sesungguhnya bersamaan muncul dukungan empat Parpol, elektabilitas Jokowi terus menurun. Hal ini karena Jokowi ingkar janji kampanye, tak mampu dan gagal urus pemerintahan sesuai RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) Pemerintah RI Tahun 2014-2019. Semakin banyak rakyat menyadari kondisi kehidupan sosial ekonomi kian merosot; kemiskinan dan pengangguran meningkat; daya beli menurun; harga kebutuhan pokok mening kat; kesenjangan sosial kian melebar; pertumbuhan masih rendah dan jauh dari target; dll. Ketiga, Jokowi terbitkan kebijakan2 politik menekan dan membubarkan ormas Islam dan kriminalisasi aktivis/ulama Islam. Penerbitan Perppu Ormas telah digunakan utk membubarkan ormas Islam HTI tanpa pengadilan. Kalangan aktivis umat Islam politik dan pro demokrasi kelas menengah perkotaan menentang penerbitan Perppu ini. Mereka menilai, Perppu itu anti demokrasi dan instrumen Rezim Jokowi menekan kekuatan oposisi. Hingga tulisan ini dibuat, gelombang aksi tolak Perppu Ormas terus berlangsung baik di DPR-RI (Jakarta) maupun di sejumlah Ibukota Propinsi. Keempat, rakyat semakin banyak memiliki persepsi dan sikap negatif serta resistensi terhadap Jokowi, terutama umat Islam politik dan kelas menengah perkotaan. Persepsi dan sikap negatif ini meningkat sejalan dengan semakin meluas dan membanyak issu dan informasi beredar massif di tengah2 publik ttg inkar janji kampanye, ketidakmampuan dan kegagalan Jokowi urus pemerintahan dan rakyat Indonesia. Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda