Minggu, 16 Juli 2017

MENGAPA PERPPU ORMAS DITOLAK?

I. Muchtar Effendi Harahap: Perppu-Ormas-Bertentangan-dengan-Prinsip-Demokrasi: REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2/2017 tentang organisasi kemasyarakatan (Ormas) dianggap sebagai keputusan politik untuk mengendalikan perilaku politik Ormas. Nantinya, Ormas-Ormas mendukung pemerintahan atau minimal tidak menjadi kekuatan oposisi. "Dengan perkataan lain, Perppu itu merupakan instrumen kekerasan administratif terhadap Ormas sehingga, tidak menjadi oposisi terhadap eksistensi dan kebijakan Politik saat ini," ujar Pengamat Politik Muchtar Effendi dari Network for South East Asian Studies (NSEAS) kepada Republika.co.id, Kamis (13/7). Menurutnya, dengan Perppu ini, pemerintah tidak perlu menunggu atau bergantung pada proses peradilan untuk membubarkan Ormas. Pemerintah yang memberi izin atau legalitas sekaligus yang mencabutnya. "Alasan pembubaran Ormas semata-mata dibuat pemerintah, bukan para hakim di pengadilan. Dari perspektif demokratisasi, keputusan politik Perppu ini bertentangan dengan prinsip partisipatif dan penegakkan hukum," ujar dia. Dengan begitu, kata Muchtar, kebenaran dan obyektivitas hanya ada pada Pemerintah yang berkuasa. Pemerintahlah penentu baik-buruk serta melanggar atau tidak Ormas dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan. "Intinya, Perppu ini sangat bertentangan dengan prinsip demokrasi," kata Muchtar. Soal ancaman hukuman seumur hidup yang ada pada Perppu tersebut, Muchtar menyebutkan, ancaman hukuman tersebut tidak rasional, tidak realistik, dan tidak relevan.  II. PERNYATAAN SIKAP PUSAT STUDI KEBIJAKAN NEGARA (PSKN) FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN ATAS DITERBITKANNYA PERPPU ORMAS Pemerintah telah menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) dengan alasan bahwa UU Ormas tidak memberikan kewenangan yang cukup untuk dapat mengenakan sanksi yang efektif kepada Ormas yang dianggap bertentangan dengan pancasila dan undang-undang dasar 1945. Berkenaan dengan alasan tersebut, Pusat Studi Kebijakan Negara (PSKN) Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran menyatakan bahwa Perppu Ormas Tidak Memenuhi Syarat Konstitusional dan Mengancam Demokrasi! Pernyataan ini didasarkan atas tiga hal sebagai berikut: 1. Penerbitan Perppu Ormas tidak memenuhi unsur hal ihwal kegentingan yang memaksa sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU-VII/2009. Dalam hal ini PSKN berpendapat bahwa Pemerintah tidak memiliki hambatan-hambatan yang nyata untuk mengubah UU Ormas melalui prosedur yang normal. 2. Perppu ormas secara substansial melakukan pembatasan-pembatasan terhadap hak berserikat, dan hak berpendapat warga negara dan menghilangkan kewenangan pengadilan untuk menilai tindakan Ormas dan tindakan represif pemerintah. Oleh karena itu, Perppu ormas berpotensi melanggar prinsip due process of law yang menjadi prinsip dasar dari konsep negara hukum. 3. Perppu merupakan produk hukum yang memiliki unsur kediktatoran karena dapat langsung berlaku tanpa melalui persetujuan DPR. Oleh karena itu, PSKN berpendapat bahwa materi muatan perppu hanya dapat mengatur hal-hal yang bersifat urusan pemerintahan dan tidak dapat mengatur hal-hal yang bersifat ketatanegaraan, termasuk mengatur atau membatasi hak asasi manusia. Atas pertimbangan di atas, kami mendorong DPR untuk secara tegas menolak Perpu tersebut pada masa sidang berikutnya. PSKN juga turut mengingatkan kepada Pemerintah untuk kembali menaati UUD 1945 dan asas-asas hukum yang berlaku umum demi menjaga demokrasi dan hak asasi manusia. Pengabaian asas-asas hukum sebagaimana telah dinyatakan di atas dapat menjadikan Pemerintah sebagai rezim yang represif yang telah ditolak oleh bangsa Indonesia melalui gerakan reformasi. Ketua Pusat Studi Kebijakan Negara (PSKN) FH Unpad Dr. Indra Perwira, S.H., M.H. Contact: 08112285840 III.Prof. DR. H. Syaiful Bakhri, SH, MH – Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta: Perppu Ormas, Jalan Pintas yang Tidak Pantas | 14 Juli 2017 Empat tahun lalu, ketika kami mengajukan permohonan pengujian UU Ormas atas kuasa Persyarikatan Muhammadiyah menegaskan pertama, adanya pengkerdilan makna kebebasan berserikat melalui pembentukan UU Ormas. Kedua,adanya pembatasan kemerdekaan berserikat yang berlebih-lebihan melalui UU Ormas. Ketiga, banyak pengaturan yang tidak memberikan kepastian hukum, dan keempat, nampak turut campur pemerintah dalam penjabaran kemerdekaan berserikat. Putusan bernomor 82/PUU-XI/2013 ini, menetapkan soal hasil permohonan uji materi Pasal 1 Angka 1, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 21, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 30 ayat (2), Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 34 ayat (1), Pasal 35, Pasal 36, Pasal 38, Pasal 40 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), Pasal 57 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 58, dan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 58, dan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3). ‎Hasilnya, MK mengabulkan sebagian permohonan yang dikabulkan yakni Pasal 5, Pasal 8, Pasal 16 ayat (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 34, Pasal 40 ayat (1), dan Pasal 59 ayat (1) huruf a. Dari ketentuan ini MK jelas telah melakukan purifikasi secara menyeluruh berkenaan dengan UU Ormas. Dalam proses persidangan ketika itu Pemohon jelas memohon kepada Mahkamah untuk meninjau seluruh norma dalam UU Ormas yang juga terdampak apabila norma hasil pengujian mengakibatkan tidak berjalannya segala ketentuan dalam UU Ormas. Selang empat tahun kemudian, dibawah pemerintahan Presiden Joko Widodo menerbitkan Perppu No 2 Tahun 2017 tentang perubahan UU Ormas. Perubahan yang pada pokoknya hendak menerapkan asas contrarius actus dalam hal pembubaran ormas menunjukan bahwa ketidakpahaman Pemerintah terhadap kontsruksi UU Ormas dan masalah yang mendasar didalamnya menjadikan pembentukan Perppu ini tidak relevan. Kami menganggapnya ini sebagai sebuah jalan pintas semata, kehendak untuk memudahkan kekuasaan dalam intervensi kebebasan berserikat menjadi satu-satunya yang tampak dalam penerbitan perppu ini. Perihal prosedur pembuatannya yang dianggap tidak memenuhi syarat, kami merasa tidak perlu membahasnya, karena telah banyak uraian yang menjelaskan mengenai itu. Kami lebih tertarik dengan penghapusan segala macam mekanisme due process of law dalam pembubaran ormas karena memang itu yang menjadi pokok dalam perppu ini. Penghilangan mekanisme peradilan dalam pembubaran ormas menunjukan bahwa UU ini tidak menjamin dilindunginya kebebasan berserikat melainkan mengancamnya. Disatu sisi, penghapusan ketentuan perlunya Peringatan terhadap ormas yang dianggap melakukan hal-hal yang dilarang menunjukan bahwa pemerintah menghilangkan tujuan pembinaan yang sebelumnya justru menjadi ruh dalam Pembentukan UU Ormas 2013, terlepas isu “Pembinaan” dianggap sebagai kepentingan terselubung, Perppu Ormas meletakkan ormas sebagai musuh yang setiap waktu dapat dibasmi. Selain itu, munculnya ketentuan Pidana pasal 82A dalam Perppu ini yang menentukan bahwa seseorang dapat dipidana dikarenakan sengaja secara langsung atau tidak langsung menjadi anggota ormas yang terlarang maka diancam pidana paling lama 1 tahun merupakan ketentuan delik yang menurut hemat kami aneh bin ajaib. Sejatinya rumusan norma pidana perlu merumuskan perbuatan yang dilarang sedangkan ketentuan yang termaktud didalamnya tidak menyangkut perbuatan apa yang dilarang. Sedangkan ketentuan tersebut memberikan ancaman pidana bagi seseorang yang menjadi anggota ormas yang dianggap terlarang. Terlepas berbagai kekonyolan pengaturan yang diatur yang diharapkan sebagai jalan pintas, bagi saya Perppu tersebut merupakan solusi yang tidak pantas. Seharusnya pemerintah fokus dalam merealisasikan pengesahan KUHP dan KUHAP yang baru dan modern. Fokus bernegara yang menisbikan penegakkan hukum yang adil jelas akan membawa malapetaka, apabila tidak segera direnungkan | red-03 | IV. TEMPO.CO Potensi Bahaya Perpu Ormas JUM'AT, 14 JULI 2017 | 00:13 WIB PEMERINTAH telah melakukan langkah keliru dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat. Alasan kegentingan yang melatari penerbitan perpu tersebut patut dipertanyakan, selain kehadirannya yang berpotensi mengekang demokrasi dan hak asasi warga negara. Perpu yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 10 Juli lalu itu memuat perubahan signifikan atas Undang-Undang Ormas. Secara hukum, penerbitan perpu ini tak salah karena diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Namun, dari segi obyektivitas dan substansi, banyak persoalan di dalamnya. Faktor "kegentingan yang memaksa", yang menjadi prasyarat penerbitan perpu tersebut, bisa dipersoalkan. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menilai kegentingan itu sudah terpenuhi. Sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 139/PUU-VII/2009, perpu bisa diterbitkan bila undang-undang yang ada tak lagi memadai dan pembuatan aturan baru memakan waktu lama. Namun klaim itu lemah. Pemerintah bahkan bisa dianggap hanya mencari jalan pintas. Situasi saat ini tak mencerminkan kegentingan. Tidak ada ormas di Indonesia yang secara nyata dan jelas melakukan gerakan yang mengancam kedaulatan negara. Kekosongan hukum juga tak tecermin di masyarakat. UU Ormas sudah memberi ruang bagi pemerintah untuk melakukan penertiban, termasuk pembubaran organisasi masyarakat lewat pengadilan. Karena itu, sepantasnya Dewan Perwakilan Rakyat mencabut perpu ini saat membahasnya dalam masa persidangan berikutnya, sekitar September mendatang. Salah satu pasal krusial dalam perpu ini mengatur penyederhanaan mekanisme proses pembubaran ormas. Peringatan tertulis untuk organisasi melanggar, yang semula ditetapkan tiga kali, dalam perpu dipangkas jadi sekali. Aturan baru ini juga memberi kewenangan kepada pemerintah untuk langsung membubarkan ormas tanpa meminta pertimbangan Mahkamah Agung dan menunggu putusan pengadilan, seperti diatur dalam undang-undang lama. Prosedur baru ini memberi kewenangan tanpa batas kepada pemerintah. Hal itu rawan disalahgunakan untuk membungkam dan membubarkan ormas yang kritis terhadap pemerintah. Pemerintah tak secara spesifik menyebutkan ormas yang jadi sasaran perpu ini. Tapi hal itu tak sulit ditebak. Pada Mei lalu pemerintah menyatakan akan membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang dianggap mengancam ideologi negara lantaran mengumandangkan tegaknya kepemimpinan Islam sejagat (khilafah), yang bertentangan dengan Pancasila. Tak mengherankan bila begitu perpu terbit, kuasa hukum HTI, Yusril Ihza Mahendra, langsung menyatakan akan mengajukan judicial review. Langkah menempuh jalur hukum itu pantas didukung. Hal tersebut bisa menjadi solusi terbaik sebelum DPR mencabut perpu itu. https://m.tempo.co/read/opiniKT/2017/07/14/14078/potensi-bahaya-perpu-ormas V.Menguji Ketepatan Asas Contrarius Actus dalam Perppu Ormas: Tanpa harus menegaskan asas contrarius actus, setiap pejabat yang menerbitkan keputusan dapat secara langsung membatalkan keputusan yang telah dikeluarkan. Rofiq Hidayat Polemik terhadap penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2017  tentang Perubahan UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) terus menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Menariknya, ada penggunaan asas contrarius actus yang dijadikan dasar pijakan pemerintah dalam menerbitkan Perppu Ormas ini.   Dalam hukum administrasi negara asas contrarius actus adalah ketika suatu badan atau pejabat tata usaha Negara menerbitkan keputusan tata usaha negara dengan sendirinya juga (otomatis), badan/pejabat tata usaha yang bersangkutan yang berwenang membatalkannya. Hal ini sebagaimana termuat dalam Pasal 61 Perppu Ormas. Baca Juga: Perppu Ormas Dinilai Tidak Penuhi Syarat Kegentingan yang Memaksa   Anggota Koalisi Kebebasan Berserikat (KBB) Ronald Rofiandri mengatakan ketiadaan asas contrarius actus dalam UU Ormas menjadikan landasan pemerintah menerbitkan Perppu. Sebab, ketidaan asas contrarius actus dalam UU Ormas dipandang pemerintah menjadi tidak efektif dalam menerapkan sanksi terhadap Ormas yang menganut, mengembangkan, dan mengajarkan paham yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.   Dengan adanya asas contrarius actus dalam Perppu Ormas ini, pihak Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) memiliki kewenangan tak terbatas dalam memberi izin dan mencabut status badan hukum ormas. “Kewenangan tersebut justru berbahaya dan tidak dibenarkan secara hukum. Sebab, pemberian status badan hukum tidak sekedar berhubungan dengan keabsahan administratif, tetapi juga membentuk subyek hukum baru,” ujar Ronald melalui keterangan tertulis di Jakarta.   Sejatinya, kata dia, mekanisme pencabutan hak dan kewajiban melekat pada subjek hukum mesti dilakukan melalui putusan pengadilan. Dia mencontohkan pencabutan hak dan kewajiban badan hukum lain yang melibatkan lembaga peradilan, seperti pernyataan pailit suatu perseroan terbatas (PT) mesti diajukan ke pengadilan niaga atau pembubaran partai politik melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK).   Menurut Ronald, konsekuensi perubahan status badan hukum tersebut berimplikasi ormas tidak diizinkan melakukan kegiatan apapun secara sepihak. Sebab, pengambilan keputusan penghentian segala aktivitas kegiatan ormas dilakukan tidak secara objektif dan diimbangin dengan otoritas lembaga yudikatif. Hal tersebut berdampak potensi diskresi yang sewenang-wenang dalam melakukan penghentian kegiatan ormas.   Ronald yang juga menjabat Direktur Monitoring, Evaluasi dan Penguatan Jaringan Pusat Studi Kebijakan Hukum Indonesia (PSHK) itu melanjutkan Pasal 62 ayat (3) Perppu Ormas meniadakan prosedur hukum pencabutan status badan hukum suatu ormas melalui pengadilan. Hal tersebut sebagai konsekuensi penggunaan asas contrarius actus.   “Hal ini juga akan memunculkan konflik norma dengan UU Yayasan, yang mengatur pencabutan status badan hukum yayasan melalui putusan pengadilan,” ujarnya.   Mantan anggota Pansus RUU Ormas, Indra berpandangan alasan pemerintah yang menilai ketiadaan asas contrarius actus dalam UU Ormas tidaklah tepat, bahkan tidak berdasar. Menurutnya tidak ada keharusan secara hukum lembaga yang memberikan pengesahan secara otomatis memiliki kewenangan mencabut atau membatalkan status badan hukum Ormas yang bersangkutan.   Baginya, sudah sedemikian banyak lembaga, institusi dan badan hukum yang tidak dapat dibubarkan oleh lembaga atau institusi yang mengesahkannya. Justru mekanisme pembubaran atau pencabutan status badan hukum umumnya mesti melalui mekanisme pengadilan. “Kesemuanya itu sangat tergantung pada regulasi mengaturnya dan sekali lagi bukan sebuah keharusan,” ujarnya.   Terpisah, peneliti Asosiasi Sarjana Hukum Tata Negara (ASHTN) Indonesia, Sudiyatmiko Aribowo menerangkan asas contrarius actus merupakan asas yang memiliki arti formalitas atau prosedur yang diikuti dalam proses pembentukan suatu keputusan dan diikuti proses pencabutan atau pembatalan. Namun, dia mengingatkan suatu asas sejatinya bukanlah peraturan perundangan yang sifatnya mengikat secara mutlak.   “Dan tentunya dapat disimpangi,” ujarnya, Jumat (14/7). Baca Juga: Perppu Ormas Ancam Hak Kebebasan Berserikat   Ia berpendapat pencabutan maupun pembatalan suatu keputusan Menteri (beschikking)  pun masih dapat diuji melalui jalur pengadilan di tata usaha negara (PTUN). Tanpa penegasan asas contrarius actus pun setiap pejabat tata usaha negara -menteri- ketika mengetahui keputusan yang diterbitkan bermasalah pun dapat diperbaiki atau dibatalkan secara langsung tanpa harus menunggu pihak lain keberatan atau mengajukan gugatan.   Menurutnya, langkah perbaikan atau pembatalan tersebut dalam hukum administratif disebut sebagai pembatalan spontan (spontane vernietiging). Dengan begitu, tanpa harus menegaskan asas contrarius actus, setiap pejabat yang menerbitkan keputusan dapat secara langsung membatalkan keputusan yang telah dikeluarkan. VI. *KOMNAS HAM TEGAS MENOLAK PERPU NO.2/2017: Di hadapan massa alumni 212 dan umat Islam, Komnas HAM dengan tegas menyatakan sikapnya terkait Perppu Ormas No 2 Tahun 2017. “Sikap Komnas HAM itu jelas, kami sangat menolak. Mengapa kami sangat menolak Perppu? Ada beberapa perinsip yang ditabrak oleh negara,” tegas Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai, Jum’at (14/7/2017) di Kantor Komnas HAM, Jakarta. Mendengar pernyataan tersebut, spontan massa pun berteriak Allahu Akbar berkali-kali. Perppu itu boleh hadir pada saat negara dalam keadaan darurat, lanjut Pigai, yang langsung diteriaki “Betuuul!” oleh massa. Dan “keadaan darurat” itu harus melalui state in emergency, sebuah pernyataan oleh pemimpin negara. “Jadi Presiden yang berpidato bahwa kita dalam keadaan darurat. Setelah pidato selesai, pernyataan politik resmi selesai, baru berikutnya mengeluarkan Perppu,” beber Natalius. Ini tanpa pernyataan state in emergency oleh kepala negara, mengeluarkan Perppu. “Sekarang pertanyaannya adalah apakah eksistensi Ormas di Indonesia itu sangat mengancam integrasi sosial?” tanya Natalius. “Tidaak…” jawab massa serentak. “Kan saya Katolik ini, saudara-saudara Muslim. Kita musuhan enggak?” “Tidaaak…” Itu satu sisi ya. Yang kedua integrasi relasi secara vertikal, hubungan antara negara dengan rakyat. “Hubungan antara negara dengan rakyat sekarang itu goncang tidak?” Natalius bertanya lagi. Massa kembali menjawab tidak, yang lain menjawab, “ada sedikit.” “Perbedaan pandangan ada, tapi kan tidak goncang. Goncang itu bila ada gerakan sosial yang bergerak di lapangan mobilisasi sosial misalnya: orang tutup jalan raya, akses publik (ditutup, red). Nah itu (baru disebut goncang, red),” Natalius memberikan batasan indikasi goncang. Jadi menurut Komnas HAM, pemerintah saat ini tidak memiliki alasan yang mendasar dan kuat untuk mengeluarkan Perppu. “Yang berbahaya bagi Komnas HAM adalah dengan adanya Perppu itu dijadikan sebagai alat pemukul pemerintah, membungkam kebebasan organisasi, kebebasan berpendapat, fikiran, maupun juga perasaan. Itu berbahaya dan bertentangan dengan berbagai konfensi HAM,” pungkas Natalius. Massa yang longmarch dari Masjid Sunda Kelapa usai shalat Jum’at itu pun membubarkan diri.[] (Joko Prasetyo/Media Umat 14/7/2017) VII. PERPU NO. 2 TAHUN 2017 LEBIH LEBIH KEJAM DARI PENJAJAH BELANDA, ORLA DAN ORBA: Oleh Yusril Ihza Mahendra Masih banyak warga masyarakat dan bahkan pimpinan Ormas Islam yang gembira dengan terbitnya Perpu No 2 Tahun 2017. Mereka mengira Perpu ini adalah Perpu tentang Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia. Padahal Perpu No. 2 Tahun 2017 ini adalah Perpu tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang isinya norma atau aturan tentang berbagai hal tentang organisasi kemasyarakatan. Perpu ini berlaku umum terhadap ormas apun juga di negara kita ini. Perpu No. 2 Tahun 2017 ini memberikan peluang seluas-luasnya kepada Pemerintah, khususnya Mendagri dan Menkumham untuk menilai apakah suatu ormas itu antara lain "menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila" sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (4) huruf c Perpu ini. Terhadap ormas yang melanggar pasal di atas dijatuhi sanksi administratif dan/atau sanksi pidana. Jadi bisa dikenakan salah satu atau kedua-duanya. Sanksi administratif bagi ormas berbadan hukum yang terdaftar di Kemenhumkam sebagaimana diatur dalam Pasal 61 ayat (1) Perpu ini adalah "pencabutan status badan hukum" oleh Menkumham. Pencabutan status badan hukum tersebut, menurut Pasal 80A Perpu ini sekaligus disertai dengan pernyataan pembubaran ormas tersebut. Semua proses di atas berlangsung cukup dilakukan oleh Menkumham, baik sendiri ataupun meninta pendapat pihak lain. Tetapi proses pembubaran ormas tersebut dilakukan Menkumham tanpa proses pengadilan. Inilah esensi perbedaan isi Perpu ini dengan UU No. 17 Tahun 2013, yang mewajibkan Menkumham untuk lebih dulu meminta persetujuan pengadilan jika ingin membubarkan ormas. Ormas yang akan dibubarkan itu berhak untuk membela diri di pengadilan. Dengan Perpu yang baru ini, Menhumkam dapat membubarkan ormas semaunya sendiri. Ini adalah ciri pemerintahan otoriter. Dalam praktiknya nanti, Presiden bisa secara diam-diam memerintahkan Menkumham untuk membubarkan ormas, tanpa Menkumham bisa menolak kemauan Presiden. Selain sanksi administratif seperti di atas, diberi sanksi pidana dapat dikenakan kepada "setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung menganut faham yang bertentangan dengan Pancasila dan melanggar ketentuan Pasal 59 ayat (4) tadi dapat "dipidana seumur hidup atau pidana penjara penjara paling singkat 5 (lima tahun) dan paling lama 20 (dua puluh) tahun" dan dapat pula dikenai dengan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini diatur dalam Pasal 82A ayat (2) dan ayat (3). Ketentuan seperti ini sebelumnya tidak ada dalam UU No. 17 Tahun 2014 tentang Ormas. Jadi kalau ormas itu punya anggota 1 juta orang, maka karena organisasinya dianggap bertentangan dengan Pancasila dan melanggar ketentuan Pasal 59 ayat (4) Perpu ini, maka 1 juta orang itu semuanya bisa dipenjara seumur hidup atau paling minimal penjara 5 tahun dan maksimal 20 tahun. Ketentuan seperti ini sepanjang sejarah hukum di negeri kita sejak zaman penjajahan Belanda sampai zaman Orla, Orba dan Reformasi belum pernah ada, kecuali di zaman Presiden Jokowi ini. Terhadap parpol yang dibubarkan di zaman Orla seperti Masyumi dan PSI, atau PKI yang dibubarkan di awal zaman Orba, ketentuan untuk memenjarakan semua anggota parpol yang bertentangan dengan dasar negara Pancasila itu, tidak pernah ada. Kalau kepada partai yang dibubarkan saja, anggota-anggotanya tidak otomatis dipidana, apalagi terhadap anggota ormas yang dibubarkan di zaman Orla dan Orba. Karena itulah saya mengingatkan ormas-ormas Islam yang sangat antusias dengan lahirnya Perpu ini, karena mengira Perpu ini adalah Perpu pembubaran HTI atau ormas-ormas Islam "radikal" agar hati-hati dalam mengambil sikap. Sebab, dengan Perpu ini, ormas manapun yang dibidik, bisa saja diciptakan opini negatif, lantas kemudian diberi stigma sebagai ormas "anti Pancasila" untuk kemudian secara sepihak dibubarkan oleh Pemerintah. Ormas-ormas Islam dan juga ormas-ormas lain, termasuk yayasan dan LSM, justru harus bersatu melawan kehadiran Perpu yang bersifat otoriter ini, tentu dengan tetap menggunakan cara-cara yang sah dan konstitusional. Kepada partai-partai politik yang punya wakil di DPR, saya berharap mereka akan bersikap kritis terhadap Perpu ini. Telaah dengan mendalam isi beserta implikasi-implikasinya jika Perpu ini disahkan DPR menjadi undang-undang. Belitung, 14 Juli 2017. VIII.PERNYATAAN SIKAP YLBHI, BERSAMA 15 KANTOR LBH SE INDONESIA: *Terkait “Penerbitan PERPPU No 2/2017 Tentang Perubahan Atas UU No 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan”* Pada tanggal 10 Juli 2017, Pemerintah telah mengundangkan PERPPU No 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan atas UU No 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Kami YLBHI dan 15 LBH Kantor se Indonesia telah mengikuti secara seksama dinamika penerbitan PERPPU sebagaimana dimaksud. Sepintas penerbitan PERPPU tersebut didasarkan pada suatu niat yang baik dimana Pemerintah akan memberikan perlindungan Hak Asasi Manusia bagi warga negara. Hal tersebut dapat dilihat dari uraian beberapa pasal yang termaktub dalam perpu tersebut. 1. Seolah akan melindungi warga negara dari tindakan-tindakan diskriminasi atas dasar Suku, Agama dan Ras sehingga Pemerintah dinilai telah memberikan perlindungan terhadap hak warga negara. 2. Negara seolah-olah hendak memberikan perlindungan terhadap hak warga negara dengan cara menjamin Rasa Aman, karena akan menindak Ormas-Ormas yangmelakukan tindakan-tindakan kekerasan dan dipandang mengganggu ketertiban umum. 3. Negara seolah-olah hendak memberikan perlindungan terhadap hak warga negara dengan cera menindak ormas-ormas yang mengambil alih tugas dan wewenang penegak hukum, seperti melakukan sweeping, pembubaran acara atau tindakan-tindakan main hakim sendiri (eigenrechting), bahkan persekusi. 4. Negara seolah-olah hendak memberikan perlindungan terhadap hak warga negara untuk beragama dengan menindak ormas yang dianggap melakukan penyalahgunaan, penistaan atau penodaan terahadap agama yang dianut di Indonesia. 5. Negara seolah-olah akan melindungi kedaulatan bangsa ini dengan cara menindak ormas-ormas yang melakukan kegiatan separatis. 6. Negara seolah-olah melindungi Dasar Negara Pancasila dengan menindak ormas-ormas yang menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan pancasila. Namun mengamati pasal-pasal yang terdapat didalamnya kami menemukan setidaknya 6 kesalahan PERPPU 2/2017: 1. Secara Prosedural penerbitan PERPPU tersebut tidak memenuhi 3 syarat sebagaimana dinyatakan dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam putusan No 38/PUU-VII/2009 yaitu adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang, Adanya kekosongan hukum karena UU yang dibutuhkan belum ada atau tidak memadai, dan kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan prosedur normal pembutan UU. Terakhir syarat tersebut tidak terpenuhi karena tidak ada situasi kekosongan hukum terkait prosedur penjatuhan sanksi terhadap ormas. 2. Kebebasan berserikat merupakan hak yang ada dalam Konstitusi dan berbagai UU yang harus dijamin dan dilindungi oleh Pemerintah. Perpu tersebut mengandung muatan pembatasan kebebasan untuk berserikat yang tidak legitimate. Pembatasan kebebasan berserikat hanya bisa dibatasi apabila diperlukan dalam masyarakat demokratis untuk kepentingan keamanan nasional dan keselamatan publik, ketertiban umum, perlindungan kesehatan dan moral umum, atau perlindungan atas hak dan kebebasan dari orang lain. “Keamanan nasional” misalnya untuk melindungi keberadaan suatu bangsa atau keutuhan teritorialnya atau kemerdekaan politik melawan kekerasan atau ancaman kekerasan. Keamanan nasional misalnya tidak bisa diberlakukan dalam hal : • Sebagai alasan untuk memberlakukan pembatasan untuk mencegah ancaman yang bersifat lokal atau relatif terisolasi kepada hukum dan ketertiban. • Sebagai dalih untuk memberlakukan pembatasan yang kabur atau sewenang-wenang dan hanya bisa diberlakukan ketika terdapat perlindungan yang memadai dan pemulihan efektif untuk pelanggaran. 3. PERPPU sebagai mana dimaksud juga menegaskan arogansi negara karena mengabaikan serta meniadakan proses hukum dalam pembekuan kegiatan ormas. 4. PERPPU ini menambah ketentuan pidana yaitu “penistaan agama”. Istilah yang sebelumnya tidak dikenal baik dalam pasal 156a KUHP maupun UU 1/PNPS/1965 yang menjadi asal usul penodaan agama dalam pasal 156a KUHP 5. PERPPU ini melanggengkan pasal karet warisan zaman revolusi yaitu penyalahgunaan, penodaan terhadap agama yang telah memakan banyak sekali korban dengan tindakan yang berbeda-beda karena memang ketentuan ini tidak jelas definisinya. Padahal pasal penyalahgunaan dan penodaan agama selama ini sering digunakan oleh orang/kelompok intoleran atau radikal untuk menyeragamkan praktek keagamaan atau keyakinan. 6. PERPPU ini menambah berat pemidanaan penyalahgunaan dan penodaan agama dari maksimal 5 tahun menjadi seumur hidup atau paling sedikit 5 tahun dan paling lama 20 tahun. Bahwa upaya negara menjaga kedaulatan Bangsa dan Falsafah Negara ini, harus dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan prinsip negara hukum sebagaimana mandat Konstitusi. Cara-cara represif dalam sejarahnya telah menunjukkan tidak pernah berhasil mengubah keyakinan seseorang malah sebaliknya dapat membuat seseorang semakin keras meyakini sesuatu. Kami juga meyakini pelanggaran suatu hak akan menimbulkan pelanggaran hak lainnya karena Hak Asasi Manusia memiliki keterkaitan antara hak yang satu dengan hak yang lain. Atas Dasar itu, YLBHI dan 15 LBH Kantor se Indonesia *menyatakan protes yang sangat keras* atas diundangkannya Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang No 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Jakarta 12 Juli 2017 CP : *Asfinawati* (Ketua Umum Badan Pengurus YBHI) – 0812 821 8930 *Arip Yogiawan* (Ketua YLBHI Bidang Jaringan dan Kampanye) – 0812 1419 4445 Mustiqal Putra (Direktur LBH Banda Aceh) Surya Adinata (Direktur LBH Medan) Era Purnamasari (Direktur LBH Padang) Aditya B Santoso (Direktur LBH Pekanbaru) April Firdaus (Direktur LBH Palembang) Alian (Direktur LBH Bandar Lampung) Alghifari Aqsa (Direktur LBH Jakarta) Willy Hanafi (Direktur LBH Bandung) Hamzal Wahyudin (Direktur LBH Yogyakarta) Zainal Arifin (Direktur LBH Semarang) M Faiq Assiddiqi (Direktur LBH Surabaya) Dewa Adnyana (Direktur LBH Bali) Haswandi Andi Mas (Direktur LBH Makassar) Hendra Baramuli (Direktur LBH Manado) Simon Pattiradjawane (Direktur LBH Papua) IX.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda