Senin, 07 Januari 2013

KEGAGALAN REZIM SBY-BOEDIONO: INFRASTRUKTUR

Rezim SBY-Boediono berjanji dalam kampanye Pilpres 2009 akan membuat pembangunan infrastruktur di seluruh wilayah Indonesia. Mulai dari perhubungan, pekerjaan umum, air bersih, TI (Teknologi Informasi) maupun pertanian. Janji tentang infrastruktur ini sesungguhnya masih jauh dari kenyataan. Hal ini terlihat dari politik anggaran sektor infrastruktur. Rezim SBY-Boediono hanya menganggarkan Rp 20 triliun atau sebesar 4,7 persen APBN. Sebagai pembanding, Vietnam relatif negara lemah dalam perekonomian dan baru bangkit dari peperangan, politik anggaran infrastruktur jauh lebih besar ketimbang Indonesia. Rasio anggaran infrastruktur terhadap PDB Indonesia hanya 2,1 %, sementara Vietnam mencapai 10 %. Bahkan dengan Filipina saja, Indonesia masih di bawahnya sebagaimana ditunjukkan sebagai berikut: Vietnam 10 %; China 9 %; India 8 %; Filipina 3 %; dan, Indonesia 2,1 %. Direktur Utama SMI Emma Sri Martini menilai, banyaknya proyek infrastruktur macet disebabkan oleh belum jelasnya komitmen pemerintah (TEMPO.CO,12 September 2012). Ada sejumlah faktor menentukan dalam menilai peringkat daya saing dikeluarkan World Econimc Forum (WEF). Salah satunya, sering menjadi perhatian dalam peningkatan daya saing, yakni masalah ketersediaan infrastruktur memadai. Dalam daftar The Global Competitiveness Report 2012-2013, indikator infrastruktur Indonesia berada di peringkat 78 dengan skor 3,75. Menurut WEF, tidak ada perkembangan infrastruktur berarti di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Padahal, perluasan dan efisiensi infrastruktur sangat penting untuk menjamin efektivitas perekonomian. Infrastruktur diyakini dapat menentukan lokasi kegiatan ekonomi dan jenis kegiatan atau sektor dapat berkembang. Disamping itu, pengembangan infrastruktur akan mengurangi dampak jarak antar daerah dan mengintegrasikan pasar nasional. Di Indonesia, angkutan darat hanya intensif terjadi di Jawa dan Sumatera. Indonesia International Infrastructure Conference and Exhibition 2012, berlangsung di Jakarta, dihadiri oleh 1.000 peserta baik dari kalangan dunia usaha, serta 32 Gubernur di Indonesia. Kajian Yayasan Organisasi Nirlaba atau Global World Economic Forum (WEF) telah menempatkan infrastruktur sebagai permasalahan daya saing Indonesia ketiga, setelah korupsi dan inefisiensi birokrasi pemerintah. Sebagai salah satu penentu peringkat daya saing, kondisi infrastruktur Indonesia menempati peringkat 76 dari 142 negara, jauh di bawah Malaysia di peringkat 26 dan Thailand di peringkat 42. Mengingat infrastruktur telah menjadi momok bagi perekonomian Indonesia, seharusnya pemimpin Indonesia benar-benar menyadari bahwa permasalahan infrastruktur di Indonesia adalah persoalan mutlak harus segera diatasi dan tidak bisa ditunggu-tunggu lagi. Adanya perbaikan dalam infrastruktur, bukan saja memperlancar distribusi pengadaan di daerah, namun juga akan menurunkan tingkat inflasi terjadi akibat tersendatnya distribusi. Anggaran untuk infrastruktur memang harus disediakan sebesar mungkin dan begitu pula dalam pelaksanaannya juga harus direalisasikan secara komprehensif, bersama-sama, dan terperinci. Untuk mengejar ketertinggalan infrastruktur dengan negara lain, anggaran untuk infrastruktur di Indonesia harus dapat sebesar 20 persen Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara itu, satu sumber lain menunjukkan, alokasi anggaran untuk infrastruktur di Indonesia masih sangat rendah bila dibandingkan dengan alokasi anggaran di sejumlah negara lain seperti Malaysia dan China. Alokasi anggaran untuk infrastruktur di Malaysia sebesar 14 persen dari PDB negara tersebut, atau tujuh kali lipat dari alokasi anggaran infrastruktur di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Keuangan dan BPS, rasio belanja infrastruktur terhadap PDB meningkat dari 1,19 persen pada 2005 menjadi 2,21 persen pada 2012. Meski periode 2005-2012 terjadi peningkatan belanja infrastruktur sebesar 28,2 persen per tahun, tetapi rasio belanja infrastruktur terhadap PDB masih jauh dari level ideal, yaitu 5%. Salah satu solusi ditawarkan adalah penerapan "captive budget" atau alokasi penetapan anggaran di dalam APBN guna mengatasi persoalan minim pendanaan infrastruktur. Contoh dari "captive budget" adalah alokasi setidaknya 20 persen yang seharusnya disediakan Rezim SBY-Boediono untuk bidang pendidikan, dan alokasi setidaknya 5 persen untuk kesehatan. Ia menuturkan, penerapan "captive budget" untuk infrastruktur dapat digunakan dengan ditetapkannya 80 persen dari seluruh anggaran infrastruktur dalam APBN agar dialokasikan untuk luar Jawa. Sebagai misal, ada dana APBN sebesar 400 triliun untuk pembangunan infrastruktur, maka 80 persen untuk luar Jawa. Alokasi sedemikian besar itu antara lain karena kondisi infrastruktur di luar Jawa masih banyak tertinggal. Sementara itu, Ketua Komisi XI DPR RI, Harry Azhar Azis menganggap, penanganan terhadap masalah infrastruktur di Indonesia memerlukan semacam kontrak politik elit akan memimpin Indonesia untuk meningkatkan atau lebih besar alokasi dana pembangunan infrastruktur dalam APBN. Hal seperti kontrak politik penting karena selama ini Rezim SBY-Boediono seakan-akan tidak memiliki keinginan untuk memperbesar alokasi anggaran untuk pembangunan infrastruktur di APBN. Indikasinya dapat dilihat dari selalu lebih rendahnya alokasi anggaran untuk infrastruktur di APBN dibandingkan dengan anggaran belanja untuk pegawai dan barang, terlebih alokasi subsidi. Selain itu, ia juga menyayangkan penyerapan anggaran di sejumlah kementerian terkait infrastruktur seperti Kementerian PU dan Kementerian Perhubungan masih kurang optimal. Selanjutnya, Deputi Bidang Pendanaan Pembangunan Kementerian PPN/Bappenas Wismana Adi Suryabrata mengatakan, pembangunan infrastruktur nasional perlu disertai harmonisasi peraturan antara Rezim SBY-Boediono dan Pemda. Rezim SBY-Boediono tentunya memiliki wewenang dengan berbagai UU untuk pembangunan infrastruktur, tetapi terkadang Pemda juga punya kewenangan dengan aturan di daerah. Kalau ada (aturan) berbenturan, perlu disinkronkan. Dalam RAPBN tahun 2013, komitmen membenahi kualitas infrastruktur direfleksikan melalui alokasi belanja modal yang mencapai Rp.193.8 triliun atau 11,76% dari anggaran belanja negara sebesar Rp.1.657,9 triliun. Angka ini meningkat 14,9% dari alokasi belanja modal dalam APBN-P tahun 2012. Alokasi belanja infrastruktur sebesar Rp. 188,4 triliun. Alokasi ini belum memperhitungkan Rp. 24 triliun dari SAL (Saldo Anggaran Lebih) tahun 2012, dan rencana target Rp.12 triliun dari pengalihan subsidi listrik untuk belanja modal. Besaran alokasi belanja negara ini ekuivalen dengan 13,8 % (Rp.229,8 triliun) dari total anggaran belanja negara 2013. Sementara itu, Bappenas memproyeksikan adanya tambahan anggaran berasal dari alokasi anggaran transfer ke daerah untuk infrastruktur sebesar Rp. 96 triliun (18% dari total transfer ke daerah sebesar Rp. 518 triliun), kontribusi BUMN sebesar Rp. 77 triliun dan peran swasta diharapkan dapat mencapai minimal Rp. 60 triliun. Dengan demikian besaran alokasi pembangunan infrastruktur secara agregat dapat mencapai Rp.457,4 triliun atau sebesar 4,9% (hampir 5%) dari target PDB 2013 sebesar Rp. 9.300 triliun (1 triliun dollar AS). Masih minimnya proyek infrastruktur yang digarap dikarenakan banyak para Kementerian/Lembaga khawatir akan diberantas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sehingga penyerapan APBN dan APBD masih rendah. Indeks daya saing global menurut Word Economic Forum (WEF) dalam laporannya yang dirilis beberapa waktu lalu, telah menempatkan persoalan ketidakefisienan birokrasi, wabah korupsi dan buruknya infrastruktur sebagai tiga masalah utama yang membuat daya saing Indonesia terpuruk. Dalam laporan daya saing global tersebut, peringkat daya saing Indonesia turun empat peringkat dari tahun lalu dari posisi 46 ke urutan 50 tahun ini. Inefisiensi birokrasi telah memberatkan kegiatan usaha dan membuat belanja negara menjadi tidak efektif atau boros. Sementara korupsi juga telah menggerogoti kualitas pembangunan karena kualitasnya yang buruk. Kualitas infrastruktur juga dikenal buruk dan minim sehingga menyebabkan kegiatan bisnis menjadi lebih mahal. Pembangunan sektor infrastruktur merupakan sektor prioritas yang harus memperoleh perhatian dalam rangka mengatasi kemiskinan. Bagi para investor atau pelaku pasar termasuk para arsitek pembangunan, core value daya saing suatu negara dalam menarik investasi diukur dari daya tarik dan kinerja infrastruktur, baik infrastruktur dasar, sains, maupun infrastruktur teknologi. Miskin dan rentannya infrastruktur suatu negara berdampak terhadap kehidupan suatu masyarakat. Hal ini dapat dipahami karena kebijakan infrastruktur memberikan dampak positif terhadap percepatan pertumbuhan. Selanjutnya strategi investasi infrastruktur dapat memacu pertumbuhan sosial ekonomi dan mengentaskan kemiskinan. Sejumlah riset ilmiah mengenai infrastruktur di negara-negara miskin menunjukkan bahwa negara-negara miskin memerlukan penggunaan sekitar 9 (Sembilan) persen dari PDB untuk dapat mengoperasikan, memelihara, atau merawat dan membangun infrastruktur jika negara miskin tersebut hendak meraih level millennium development goals (MDGs) (Antonio Estache, 2006). Indonesia meski bukan kategori negara miskin, kondisi infrastrukturnya juga masih memprihatinkan. Ketersediaan dan kualitas infrastruktur, fisik dan nonfisik kurang memadai. Padahal kondisi ekonomi yang tengah berkembang seperti Indonesia mutlak memerlukan pengembangan infrastruktur di berbagai sektor. Rezim SBY-Boediono memang gencar melakukan pembangunan infrastruktur di Indonesia seperti tertuang dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia atau MP3EI. Keseluruhan proyek pembangunan infrastruktur akan membutuhkan dana Rp1.923,7 triliun. Rezim SBY-Boediono hanya mampu menyediakan pembiayaan sebesar Rp559,54 triliun melalui dana alokasi khusus (DAK). Sisanya akan dibiayai oleh Pemda melalui APBD sebesar Rp355,07 triliun, BUMN Rp 340,85 triliun, dan pihak swasta melalui program Kemitraan Pemerintah Swasta (KPS) sebesar Rp344,67 triliun. Realisasi pembangunan infrastruktur melalui mekanisme public private partnership (PPP) masih menghadapi permasalahan. Akibatnya, proyek-proyek PPP yang dipersiapkan tidak berjalan sebagaimana diharapkan karena adanya hambatan-hambatan belum bisa diatasi. Paling tidak, terdapat 5 (lima) masalah membuat proyek infrastruktur kerja sama pemerintah dan swasta berjalan lamban. Kendala itu terkait dengan : (1) Garansi risiko politik; (2) Dukungan pemerintah; (3) Masalah lahan; (4) Persiapan proyek; dan, (5) Minimnya kemampuan kerja sama proyek. Buruknya infrastruktur selama ini ternyata berbanding lurus dengan ketidakefisienan pemerintah menangani masalah ini. Anggaran yang dialokasikan untuk infrastruktur senilai Rp168,2 triliun tidak semata untuk pembangunan infrastruktur baru, tetapi juga untuk biaya perawatan. Di samping penyerapan anggaran untuk sektor infrastruktur juga rendah. Selama tahun 2005-2010 penyerapan anggaran untuk infrastrukur hanya sekitar 80% dan sebagian juga untuk biaya perawatan, bukan membangun infrastruktur baru. Setidaknya ada empat kendala pembangunan infrastruktur yakni minimnya belanja publik untuk pembangunan infrastruktur, rumitnya pembebasan lahan, implementasi regulasi yang masih lamban akibat daya dukung birokrasi yang lemah dan kesadaran masyarakat yang rendah dalam merawat dan menggunakan infrastruktur publik yang dinilai masih rendah. Alokasi anggaran untuk infrastruktur terbilang minim dibanding dengan sektor lainnya bahkan anggaran negara terlalu berat ke biaya pegawai dan biaya subsidi. Dalam APBN 2012, belanja pegawai mencapai Rp215,73 triliun atau 22,36% dari total belanja pemerintah pusat Rp965 triliun, dan subsidi energi Rp168,5 triliun (17,47%). Adapun belanja barang Rp142,2 triliun (14,74%) dan belanja modal Rp168,2 triliun (17,44%). Pemerintah mengalokasikan dana Rp168,2 triliun dalam belanja modal di APBN 2012 ketika sebagian besar akan digunakan untuk menunjang pembangunan infrastruktur. Alokasi tersebut, naik sekitar Rp27,2 triliun atau sebesar 19,3% dibandingkan alokasi dalam APBN-P 2011. Sedangkan dari sisi komposisi anggaran, nilai tersebut sama dengan 11.85% dari total pagu anggaran belanja negara yang nilainya mencapai Rp1.418,5 triliun. Berdasarkan prioritas belanja, anggaran itu selain akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur dasar, anggaran tersebut juga akan digunakan untuk pembangunan dan pengembangan infrastruktur lainnya seperti infrastruktur energi, ketahanan pangan, dan komunikasi. Subsidi energi yang besar membuat alokasi anggaran infrastruktur menjadi terbatas. Pemerataan pembangunan infrastruktur juga menjadi issue harus mendapatkan perhatian serius dari Rezim SBY-Boediono. Wilayah Indonesia begitu luas, tetapi anggaran pembangunan infrastruktur pemerintah terbatas, sehingga tentunya akan menjadi permasalahan besar. Selain itu, dukungan sektor perbankan untuk pembangunan infrastruktur juga masih kurang. Perbankan lebih banyak mengucurkan kreditnya untuk sektor pertambangan ketimbang infrastruktur juga memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Misalnya, kredit investasi untuk proyek air dan irigasi hanya cair 12,5%, sementara sektor pertambangan cair 100%. Berbagai penilaian tentang kondisi infrastruktur di Indonesia juga datang dari institusi. Sebagai misal, Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum), menunjukkan bahwa untuk kualitas infrastruktur jalan, Indonesia meraih peringkat 105 pada tahun 2008, peringkat 95 pada tahun 2009, peringkat 84 pada tahun 2010 dan peringkat 83 pada 2011. Selain itu, pembangunan infrastruktur masih merupakan tantangan besar harus diatasi Indonesia. Di Indonesia, JSI (jaringan Suara Indonesia) pada 10-15 Oktober 2011 melakukan survey dengan 1.200 responden. Hasilnya menunjukkan, terdapat 53 % responden menilai Rezim SBY-Boediono telah memenuhi janji mereka tentang infrastruktur, sementara 40 % lainnya tidak terpenuhi dan sisanya tidak menjawab (Muchtar Effendi Harahap).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda