Kamis, 03 Januari 2013

KEGAGALAN REZIM SBY-BOEDIONO: ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI (IPTEK)

Suatu peradaban bangsa dapat dilihat dari cara bangsa tersebut memecahkan masalah-masalah dihadapi. Semakin tinggi peradaban suatu bangsa, bermakna semakin tinggi bangsa tersebut menggunakan metode ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) dalam memecahkan masalah atau tantangan baik sosial, politik, budaya, ekonomi, hukum, lingkungan dll. dihadapi bangsa bersangkutan. Adalah tepat sekali kalau di dalam konstitusi UUD 1945 bangsa Indonesia menegaskan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari Iptek,s eni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan kesejahteraan umat manusia (Pasal 28 C Ayat (1), UUD 1945). Bahkan , Pasal 31 (ayat 5) UUD 1945 mengamanatkan setiap Rezim, termasuk Rezim SBY-Boediono, memajukan Iptek dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk memajukan peradaban serta kesejahteraan umat manusia Pasal 31 (Ayat 5). Di bawah Rezim SBY-Boediono, Bab IV RPJMN 2010-2014 tentang Iptek, dinyatakan bahwa kebijakan Iptek diarahkan kepada: a. Meningkatkan kapasitas dan kapabilitas kelembagaan Litbang dan lembaga pendukung untuk mendukung proses transfer dari ide menjadi prototip laboratorium, kemudian menuju prototip industri sampai menghasilkan produk komersial (penguatan sistem inovasi nasional). b. Meningkatkan kapasitas dan kapabilitas sumber daya Iptek untuk menghasilkan produktivitas Litbang yang berdayaguna bagi sektor produksi dan meningkatkan budaya inovasi serta kreativitas nasional. c. Mengembangkan dan memperkuat jejaring kelembagaan baik peneliti di lingkup nasional maupun internasional untuk mendukung peningkatan produktivitas Litbang dan peningkatan pendayagunaan Litbang nasional. d. Meningkatkan kreativitas dan produktivitas Litbang untuk ketersediaan teknologi yang dibutuhkan oleh industri dan masyarakat serta menumbuhkan budaya kreativitas masyarakat. e. Meningkatkan pendayagunaan Iptek dalam sektor produksi untuk peningkatan perekonomian nasional dan penghargaan terhadap iptek dalam negeri. Pertanyaan pokok di dalam tulisan ini: apa realitas obyektif telah diciptakan oleh Rezim SBY-Boediono tentang Iptek ? Jawabannya adalah Rezim SBY-Boediono sama sekali tidak menunjukkan bukti nyata untuk benar-benar membangun Iptek di Indonesia. Beberapa indikator untuk membuktikan realitas obyektif ini sebagai berikut: 1. Anggaran Pembangunan Iptek: Salah satu indikator keberhasilan Rezim SBY-Boediono adalah anggaran dikeluarkan negara untuk pembangunan Iptek dari tahun ke tahun. Realitas obyektif menunjukkan anggaran pembangunan Iptek dari tahun ke tahun tergolong sangat rendah. Hal ini terlihat dari jumlah (persentase) anggaran dibandingkan terhadap APBN. Berdasarkan suatu sumber, anggaran Iptek hanya pada tahun 1983 dan 1985 rasio anggaran Iptek terhadap APBN tergolong tinggi, yakni masing-masing 1,32 % dan 1,10 %. Namun, sejak itu rasio anggaran Iptek dimaksud terus menurun sejak 1973 (0,59 %); 1989 (0,40 %); 1991 (0,57 %); 1993 (0,74%); 1995 (0,54 %); 1997 (0,60 %); 1999 (0,30 %); 2001 (0,37%); 2003 (0,38%); 2005 (0,35 %); 2007 (0,38 %); 2009 (0,21 %). Rasio anggaran Iptek mencapai tertinggi hanya pada era Rezim Orde Baru (1983 dan 1985 tatkala BJ Habibie menjadi Menristek). Pada era reformasi, anggaran Iptek terus menurun dari 0,60 % menurun ke 0,30 %, 0,37 %, 0,38 %, 0,35 %. 0,38 %, 0,21 %, dan terus menurun di era rezim SBY-Boediono. Sedangkan menurut rekomendasi UNESCO, rasio anggaran Iptek mamadai adalah sebesar 2 %. Dapat disimpulkan, Rezim SBY-Boediono tidak menunjukkan kemauan politik untuk membangun Iptek di Indonesia. Dari sisi nominal, menurut Menristek, anggaran pembangunan Iptek pada dikelola Kemenristek pada 2011 hanya sekitar Rp. 95 miliar dan pada 2012 masih berkisar sejumlah itu. Sebagai pembanding, di negara-negara Asia lain seperti Jepang dan Korea, anggaran dialokasikan untuk belanja Litbang mencapai 3 %, sementara China 1,5 %, Singapura 2 %, dan Malaysia 0,5% dari PDB, sehingga wajar bila kemampuan Iptek Indonesia masih lemah. Sejumlah negara industri baru seperti Korea Selatan, Taiwan, China, Thailand, Singapura, dan Malaysia secara konsisten menginvestasikan sejumlah besar dana untuk memajukan Iptek di negaranya. Di negara-negara maju, perkembangan perekonomian sangat dipengaruhi oleh tingkat penguasaan Iptek. Melalui proses inovasi Iptek suatu bangsa akan dapat meningkatkan daya saingnya. Dari rasio anggaran Iptek terhadap PDB juga menunjukkan kecenderungan sama. Anggaran Rezim SBY-Boediono untuk Riset Iptek sangat kecil dibandingkan negara-negara lain di ASEAN sekalipun. Rasio anggaran Iptek nasional terhadap PDB terus menurun dari tahun ke tahun. Nila rata-rata anggaran atau investasi Iptek dari Pemerintah saat ini (2009) hanya berkisar 0,21 % dari APBN atau hanya 0,09 % dari PDB. Pada 2004 dan 2006 total belanja Litbang sebagai persentase dari PDB Indonesia sebesar 0,05 % . Angka ini lebih rendah daripada Filipina, Vietnam, Thailand, Malaysia dan Singapura. Artinya terendah se ASEAN. Angaran Litbang Vietnam saja hampir 4 kali lipat dari anggaran Litbang Indonesia Sumber pembiayaan belanja Litbang Indonesia sebagian besar (>70%) masih berasal dari anggaran Pemerintah dan pelaksana Litbang pun hampir seluruhnya merupakan institusi Pemerintah. Ini berbeda dengan negara-negara maju pada umumnya, di mana belanja Litbang sebagian besar dari dunia usaha/industri dan pelaksana Litbang juga banyak dari dunia usaha. Aktivitas bidang Litbang di Indonesia masih didominasi oleh Pemerintah. Akibatnya, belum mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap pembangunan perekonomian nasional. Berikut rasio anggaran Litbang terhadap APBN TAHUN 2010 sebagai berikut: Singapura ranking 3 dan 37.293 terhadap GDP per Kapita (US $); Malaysia ranking 26 dan 6.897 terhadap GDP per Kapita (US $); Thailand ranking 38 dan 3.940 terhadap GDP per Kapita (US $); Indonesia ranking 44 dan 2.329 terhadap GDP per Kapita (US $); Vietnam ranking 59 dan 1.060 terhadap GDP per Kapita (US $); Filipina ranking 85 dan 1.746 terhadap GDP per Kapita (US $). Berdasarkan sangat rendahnya anggaran pembangunan Iptek ini, para pengamat Iptek di Indonesia sepakat untuk menilai bahwa kebijakan Rezim SBY-Boediono masih kurang mendukung pengembangan Iptek. Rezim SBY-Boediono telah meningkatkan dana pendidikan, tetapi pemanfaatan dana tersebut belum mencukupi, khususnya dana untuk pengembangan riset dan teknologi. Kurangnya pengembangan Iptek mengakibatkan Iptek sulit untuk mengatasi permasalahan di Indonesia seperti krisis pangan, energi, dan air yang kini semakin memburuk. Hal ini disebabkan karena peran Iptek tidak mendapatkan tempat layak sebagai cara pemecahan alternatif bagi permasalahan krisis pangan, energi, dan air misalnya. Rezim SBY-Boediono belum memikirkan strategi pengembangan Iptek dan riset terarah, meskipun sebenarnya riset dan penelitian tersebut cukup menjanjikan. Hasil-hasil riset dan penelitian sebenarnya mampu menjawab permasalahan Indonesia bahkan sampai pada tingkat global. 2. Sumber Daya Manusia (SDM) Pembangunan Iptek: Secara umum pembangunan sumber daya Iptek Indonesia saat ini masih relatif rendah. Jumlah SDM Iptek sangat sedikit dibandingkan negara-negara maju, tetapi masih lebih besar dibanding beberapa negara ASEAN seperti Thailand dan Malaysia. World Bank menunjukkan, SDM Iptek mayoritas berada di lembaga pemerintah sebesar (85%), sedangkan SDM Iptek di industri hanya 15 %. SDM Iptek di pemerintah sebagian besar berada di lembaga Litbang LPNK (Lembaga Penelitian Non Kementerian). Masih terbatasnya sumber daya Iptek menyebabkan rendahnya kualitas SDM dan kesenjangan pendidikan di bidang Iptek. Rasio tenaga peneliti Indonesia per 10.000 penduduk masih sangat kecil. Jumlah personil Litbang Indonesia baru mencapai 1 personil per 10.000 penduduk. Angka ini jauh di bawah Malaysia dan Thailand mencapai sekitar 6 personil per 10.000 penduduk, sementara Singapura sudah mencapai hampir 70 personil per 10.000 penduduk. 3. Indeks Daya Saing: Indek daya saing Indonesia masih rendah sebagaimana dibandingkan dengan sejumlah negara ASEAN. Peran Iptek atas daya saing produksi, di mana dalam The Global Competiveness Report diterbitkan oleh Wolrd Econmic Forum (WEF) menunjukkan bahwa daya saing Indonesia pada 2010 menempati peringkat 44 dari 134 negara. Namun, pada 2011 peringkat daya saing Indonesia anjlok pada urutan 47 atau turun tiga tingkat. Menurut WEF tahun 2010, daya inovasi Indonesia terkendala oleh kapasitas nasional masih rendah (menempati peringkat ke 53); kolaborasi antara universitas, Litbang dan industri masih perlu dibangun (peringkat ke 54), dan penggunaan paten sebagai alat perlindungan hak cipta penemu dan sekaligus alat untuk diseminasi teknologi perlu dibangun lebih baik (peringkat ke 84). Kendala lain penting adalah dukungan Pemerintah dalam bentuk pembelian teknologi canggih hasil litbang dalam negeri (government procurement if advanced technology product) masih rendah, yaitu hanya menempati peringkat ke 87. Pada 2012 WEF menunjukkan, terjadi penurunan peringkat daya saing Indonesia dari ke-44 tahun 2011 menjadi ke-46 tahun 2012. Indonesia tertinggal dibandingkan negara tetangga di kawasan ASEAN seperti Singapura (peringkat ke-2), Malaysia (peringkat ke-21), Thailand ( peringkat ke- 39) dan Brunei (peringkat ke-28). Rezim SBy-Boediono acapkali mendengung-dengungkan keberhasilan mencapai pertumbuhan ekonomi sekitar 6 %. Capaian pertumbuhan ekonomi tersebut sesungguhnya “semu” dan tidak faktual. Salah satu alasannya adalah realitas obyektif menunjukkan bahwa pembangunan dan perkembangan Iptek baik dari sisi anggaran, SDM maupun daya saing tidak menunjukkan kemajuan berarti, bahkan boleh dibilang terus mengalami penurunan. Karena itu, capaian pertumbuhan ekonomi sekitar 6 % tidak didukung dengan capaian perkembangan dan kemajuan Iptek. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah bangsa Indonesia dapat menjadi kekuatan ekonomi berarti bahkan di lingkungan ASEAN saja jika dari tahun ke tahun dan bahkan akan terus lima tahun ke depan, Iptek tidak menunjukkan kemajuan berarti. Apalagi kalau Iptek dilihat dari perspektif inovasi teknologi, semakin mustahil! (Muchtar Effendi Harahap).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda