Kamis, 03 Januari 2013

KEGAGALAN REZIM SBY-BOEDIONO: ENERGI

Rezim SBY-Boediono berjanji dalam kampanye Pilpres 2009 akan membuat penambahan energi daya listrik secara nasional. Kecukupan BBM dan pengembangan energi terbarukan. Realitas obyektif menunjukkan, masyarakat kebanyakan masih mengalami keterbatasan untuk memasuki akses terhadap energi. Acap kali terjadi kelangkaan di daerah, tidak mendapatkan pasokan energi secara cukup. Dari intensitas energi Indonesia sebanyak 470 toe per juta US$ PDB, masyarakat Indonesia hanya mendapat 0,467 toe per kapita. Jika dibandingkan dengan Jepang, intensitas energi negara itu hanya 93 toe per juta PDB namun bisa mengkonsumsi energi sebanyak 4,14 toe per kapita. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan, Indonesia merupakan negara boros di dunia. Rasio elektrifikasi Indonesia baru mencapai sekitar 73%. Artinya, masih ada sekitar 27% belum terpenuhi kebutuhan listrik. Konsumsi enerji di Indonesia sangat banyak untuk industri, diikuti transportasi, rumah tangga dan komersial; sebagaimana dperlihatkan sebagai berikut: porsi industri 5 0 %; transportasi 34 %; rumah tangga 12 %; dan, komersial 4 %. Masalah energi di Indonesia sepertinya tidak pernah usai. Selain konsumsi semakin meningkat dan tidak diimbangi dengan bahan baku semakin menipis, kondisi juga diperparah dengan minimnya pemanfaatan energi baru terbarukan sebagai solusi alternatif. Pertumbuhan konsumsi energi primer di Indonesia sangat tinggi. Sedangkan di tahun 2025 diperkirakan akan meledak hingga 4.300 juta setara barrel. Di tahun 2011 kebutuhan elektrifikasi di Indonesia mencapai 36.000 Mega watt atau 36 Giga watt. Nanti, di 2050, diperkirakan akan naik menjadi 450 Giga watt hingga 550 Giga watt. Pemikiran berkembang di masyarakat, Indonesia masih menjadi salah satu negara penghasil minyak terbesar merupakan pemikiran harus segera diganti. Realitas obyektif menunjukkan, Indonesia sudah bukan merupakan penghasil minyak terbesar. Produksi minyak semakin hari semakin sedikit. Indonesia dikatakan menghadapi situasi energi sudah berubah, dari produsen menjadi konsumen energi. Era minyak sudah berakhir. Indonesia tidak berdaulat di bidang energi. Harga energy selalu diarahkan pada harga keekonomian. Ini artinya, sama dengan mekanisme pasar. Rezim SBY-Boediono hanya sebagai kuasa pertambangan dan regulator sehingga tidak boleh melakukan usaha investasi hulu dan hilir. Di samping itu, terdapat penyerahan pada mekanisme pasar bebas, sesungguhnya bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945. Di bawah Rezim SBY-Boediono Indonesia kian tidak berdaulat dalam bidang energi. Sebagian besar sumber energi Indonesia masih dikelola oleh pihak asing. Persentase penguasaan energi oleh nasional hanya di bawah 20 persen. Ketahanan energi merupakan masalah amat bagi ketahanan nasional. Sedikit saja goncangan terjadi pada harga energi, bisa menimbulkan konflik sosial. Selama ini, Rezim SBY-Boediono terkesan tidak memiliki komitmen untuk membangun ketahanan energi. Alasannya, negara belum memiliki cukup modal untuk mengelola energi secara mandiri. Ketergantungan energi pada pihak asing ini sungguh ironis karena Indonesia memiliki cadangan energi sangat besar. Dengan kekayaan tersebut, seharusnya Indonesia mampu menjadi negara kuat dan berdaulat penuh dalam bidang energi. Ekonom Ikhsan Nurdin Nursi menunjukkan, 95 persen sektor migas Indonesia dikuasai korporasi asing. PT Chevron asal AS menjadi salah satu penguasa terbesar migas di Indonesia mengambil porsi 44 persen. Selain Chevron, terdapat perusahaan asing ikut menikmati kekayaan alam Indonesia. Antara lain, Total E&P (10 persen), Conoco Phillips (8 persen), Medco Energy (6 persen), China National Offshore Oil Corporation (5 persen), China National Petroleum Corporations (2 persen), British Petroleum, Vico Indonesia, dan Kodeco Energy masing-masing satu persen. Sedangkan Pertamina, perusahaan BUMN hanya mendapatkan porsi 16 persen. Di lain fihak, pengamat ekonomi dari Econit Advisory Group Hendri Saparini menilai, ada kesalahan paradigma pengelolaan energi di Indonesia. Energi di Indonesia dijadikan komoditas komersial semata, bukan komoditas strategis. Bila sektor energi menjadi komoditas komersial, itu berarti semua orang boleh menguasainya. Selanjutnya, pengamat energi Kurtubi menilai, pengelolaan migas di Tanah Air adalah terburuk di Asia dan Oceania. Hasil survei teknologi global menunjukkan dari 143 negara di Asia, pengelolaan migas di Indonesia ada di posisi 113 di Asia. Di Oceania, pengelolaan migas Indonesia bahkan lebih buruk di bawah Timor Leste. Sementara Dien Samsudin menilai, di bidang energi Indonesia sesungguhnya belum berdaulat. Dalam bidang perminyakan 89 persen minyak dan gas bumi Indonesia dikuasai oleh perusahaan asing. Juga, dominasi asing berada di atas 50 persen atas energi minyak gas dan batubara, Juga Dirjen Migas Evita Legowo mengakui (situs Ditjen Migas, 11 Mei 2012) mengakui, sebanyak 74% kegiatan usaha hulu atau pengeboran minyak dan gas (migas) di Indonesia masih dikuasai perusahaan asing. Perusahaan nasional cuma menguasai 22% dan sisanya konsorsium asing dan lokal. Rezim SBY-Boediono menargetkan pada 2025 mendatang, pelaksanaan kegiatan usaha hulu 50% dikuasai oleh perusahaan nasional. Padahal pada tahun 2025 Rezim SBY-Boediono tidak lagi bekuasa, bahkan mungkin telah wafat. Dominasi asing tidak terkontrol akan membuat kita kehilangan kedaulatan. Penjajahan modern tidak lagi dilakukan secara fisik, tetapi lebih berwawasan ekonomi. Di sisi opini publik, hasil survei JSI (jaringan Suara Indonesia) pada 10-15 Oktober 2011 dengan 1.200 responden menunjukkan hanya 47,5 % responden menilai Rezim SBY-Bodiono telah melakukan penambahan Energi daya listrik secara nasional. Menjelang berakhirnya kekuasaan Rezim SBY-Boediono, juga telah muncul beragam penilaian atas kegagalan Rezim ini dalam hal-ikhwal energi. Dua penilaian di antaranya datang dari Iwa Gunawan (Pengamat Energi Univesitas Indonesia) dan Direktur Eksekutif Indonesia Resources Study (IRESS) Marwan Batubara(Liputan6.com, 18 Oktober 2014). Iwa Gunawan menilai, Pemerintahan SBY tidak memiliki keberhasilan dalam sector energy. Hal tersebut dapat dilihat dengan terus membengkaknya subsidi untuk energi, khususnya untuk listrik. Secara keseluruhan subsidi listrik meningkat berkali lipat. Dalam 10 tahun ini kenaikannya dari Rp. 3 triliun menjadi Rp. 101 triliun itu baru untuk listrik. Belum lagi subsidi untuk bahan bakar minyak (BBM). Di lain fihak, rencana pengurangan BBM melalui program BBM ke bahan bakan gas (BBG) dan meningkatkan kandungan bahan bakar nabati (BBN) tidak berjalan optimal, sehingga tidak ada hasil memuaskan di akhir masa jabatannya. Selanjutnya, Pengamat Energi Marwan Batubara juga menilai Rezim SBY-Boediono banyak tidak berhasil di sector energi. Ia menyebutkan, salah satu bukti kegagalan itu yakni pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, dengan target bauran energi sebesar 25 persen pada 2025. Namun, sampai saat kini bauran energy Indonesia masih diangka 6 (enam). Menurutnya, Indonesia akan kesulitas mencapai target tersebut, jika sampai 8 (delapan) tahun kebijakan tersebut ditertibkan tidak ada peningkatkan berarti.(MUCHTAR EFFENDI HARAHAP).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda