Jumat, 25 Februari 2011

SEKITAR PERMASALAHAN TRANSPORTASI DARAT DI DKI JAKARTA

Oleh
Moh. Soetopo dan Muchtar Effendi Harahap




Dari Istana Bogor ( 21 Februari 2011), saat membuka Rapat Kerja Pemerintah, Presiden SBY sempat melontarkan teguran bagi Pemerintah DKI Jakarta. "Banyak yang berkomitmen membangun transportasi di Jakarta, luar biasa banyaknya sepuluh tahun ini, semuanya pepesan kosong," ujarnya SBY. Ia menyatakan sudah kenyang mendengar banyaknya rencana tak terlaksana seperti itu. Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo memasang wajah tanpa ekspresi meski disindir SBY. Fauzi kerap disapa Foke itu hanya tampak menunduk, memandang meja bertaplak putih di hadapannya.

Dalam kesempatan itu, SBY mendesak permasalahan transportasi di DKI Jakarta sudah teratasi sebelum 2020. "Perbaikan signifikan dirasakan sebelum 2014. Tidak berarti Pak Fauzi Bowo harus tunggu sampai 2020, paling tidak masyarakat Jakarta bisa rasakan transportasi lebih baik," tandas SBY Kemacetan Jakarta, menurut SBY, tak mungkin diatasi oleh Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo sendirian. Dia berharap pemerintah provinsi, pemerintah pusat, dan semua pihak terkait bersatu untuk mengatasi masalah ini. "Kalau tidak yang tinggal di Jakarta, keluar dari garasi nanti masuk ke jalan sudah macet. Jadi betul-betul mulai sekarang mari kita cegah itu terjadi."
Menanggapi pernyataan kecewa SBY, Fauzi Bowo mengakui memang ada proyek transportasi lambat, tapi itu akibat komitmen di masa sebelum ia menjabat. Semisal, monorel terkendala karena swasta menyatakan tak sanggup memenuhi kewajiban. Adapun MRT alias Mass Rapid Transportation diklaimnya berjalan sesuai dengan jadwal. Fauzi bahkan mengklaim semua proyek di masa jabatannya berjalan lancar. "Belum ada proyek saya rintis apalagi saya tanda tangani MOU (nota kesepahaman) berhenti di tengah jalan," kilah Fauzie dalam jumpa pers di Istana Bogor.

Sesungguhnya kekecewaan SBY sangat terkait dengan kondisi riil di lapangan, yakni kemacetan lalu lintas di DKI Jakarta. Kemacetan ini sudah sejak beberapa decade menjadi satu issue utama dihadapi DKI Jakarta, namun hingga kini masih belum terpecahkan. Kemacetan lalu lintas sesungguhnya tidak terlepas dari permasalahan transportasi darat. Tulisan ini akan mendeskripsikan sekitar permasalahan transportasi darat di DKI Jakarta.

Jakarta yang Nyaman dan Sejahtera untuk Semua

Pembangunan Kota Jakarta yang sangat pesat dan pertumbuhan ekonomi di wilayah ini telah mendorong laju urbanisasi, yang merupakan faktor penting yang mempengaruhi tingkat kemacetan lalulintas. Kebutuhan transportasi dan energi meningkat seiring dengan bertambahnya penduduk, perkembangan kota, dan berubahnya gaya hidup karena meningkatnya pendapatan.

Provinsi DKI Jakarta yang berperan ganda sebagai pemerintahan daerah dan sebagai Ibukota Negara, memiliki kompleksitas permasalahan dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Dalam hal ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) DKI Jakarta 2008 – 2013 merumuskannya dalam visi “Jakarta yang nyaman dan sejahtera untuk semua”. Penjabaran dari visi tersebut diwujudkan melalui beberapa misi dan strategi, diantaranya: a) membangun sarana dan prasarana kota yang menjamin keamanan dan memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan; b) meningkatkan kualitas lingkungan hidup; c) konsistensi implementasi Perda tentang Rencana Tata Ruang Wilayah, penegakan hukum terhadap pelanggaran baku mutu lingkungan, mengembalikan keadaan udara bersih, laut biru dan air tanah yang tidak tercemar. Strategi dan rencana aksipun telah disusun yang bertujuan untuk mengembangkan persepsi, visi, dan strategi bersama antar instansi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pemangku kepentingan lainnya.

Manusia (Penduduk)

Tinjauan faktor manusia (penduduk) dalam konteks kemacetan lalulintas Jakarta mengarah pada fenomena urbanisasi. Jumlah penduduk di Provinsi DKI Jakarta diproyeksikan akan bertambah dari 8.361.000 jiwa pada tahun 2000 menjadi 9.260.000 jiwa pada tahun 2025 [Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Badan Pusat Statistik (BPS), United Nations Population Fund (UNFPA), 2005]. Laju urbanisasi dari pedesaan ke perkotaan semakin meningkat terutama disebabkan keinginan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, yang pada akhirnya urbanisasi akan menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan transportasi (dan perumahan), sehingga berdampak pada peningkatan kepadatan lalulintas. Pertumbuhan dan peningkatan aktivitas penduduk membuat mobilitasnya semakin tinggi, dan mempengaruhi sektor transportasi terutama pertumbuhan kepemilikan kendaraan bermotor. Pertumbuhan penduduk dan urbanisasi telah mendorong pengembangan wilayah perkotaan yang semakin melebar ke daerah pinggiran kota/daerah penyangga di Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek). Jika digabungkan, pertumbuhan rata-rata penduduk DKI Jakarta dan Bodetabek (Jabodetabek) antara kurun waktu tahun 1990 – 2000 adalah 2,1% per tahun. Bandingkan dengan pertumbuhan penduduk DKI Jakarta 0,15% (1990 – 2000) dan 1,11% (2000 – 2007) per tahun. Hal ini menyebabkan peningkatan kebutuhan sarana dan prasarana transportasi, serta jarak tempuh yang semakin jauh dari tempat tinggal ke tempat kerja di pusat-pusat kota.
Berdasarkan The Study on Integrated Transport Master Plan for Jabodetabek (SITRAMP) oleh Japan International Cooperation Agency (JICA) tahun 2004, diperoleh indikasi bahwa terjadi pergerakan lebih dari 1,3 juta kendaraan per hari dari wilayah Bodetabek ke DKI Jakarta dan sebaliknya. Kini pada 2011 jumlah itu telah meningkat tajam. Berdasarkan data Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya (Januari 2011), keberadaan kendaraan bermotor di Jabodetabek terdapat 12 juta unit, dengan rincian 8 juta roda kendaraan roda dua dan 4 juta roda empat. Ia menambahkan berdasarkan survei yang dilakukan dari 2002 sampai 2010, penggunakan sepeda motor terus meningkat dari 21,2 persen menjadi 48,7 persen. Sedangkan untuk, mobil pribadi dari 11,6 persen menjadi 13,5 persen.
Faktor tingkat kesadaran para pengguna jalan juga punya andil dalam timbulnya kemacetan lalulintas. Misalnya, kesadaran pengemudi kendaraan umum maupun pribadi untuk berlalulintas dengan baik dan benar masih kurang, sehingga mengakibatkan gangguan dan hambatan terhadap kelancaran arus lalulintas, khususnya di pusat-pusat kota sebagai pusat kegiatan. Pada gilirannya hal tersebut dapat berdampak pada peningkatan kepadatan dan kemacetan lalulintas.

Tata Ruang

Tinjauan faktor tata ruang dalam konteks kemacetan lalulintas Jakarta mengarah pada keseimbangan ruang. Pembangunan kantor-kantor pemerintah, apartemen mahal, pusat perkantoran dan bisnis hingga saat ini terkonsentrasi di tengah-tengah kota, akibatnya harga tanah di pusat kota meningkat tajam. Bersamaan dengan laju urbanisasi yang sangat cepat, kebutuhan perumahan yang layak dengan harga yang tak terlalu mahal meningkat. Namun penyediaan perumahan layak dan tak mahal tersebut terbatas, bahkan tidak ada sama sekali di pusat kota. Hanya kota-kota penyangga yang masih mampu menyediakan perumahan dengan kondisi tersebut, mengingat harga tanah di daerah penyangga masih relatif lebih rendah dibandingkan dengan pusat kota. Dengan demikian, pembangunan perumahan belakangan ini lebih diarahkan pada kota-kota penyangga tersebut.
Kondisi ini tentunya menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan transportasi dan jarak tempuh dari rumah ke tempat kerja di pusat kota maupun di kawasan industri. Sebagai contoh, banyak orang yang tinggal di wilayah Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (BODETABEK) harus pulang pergi setiap hari ke Jakarta. Jumlah pergerakan kendaraan ini ditambah dengan kendaraan dari penduduk Jakarta sendiri, menimbulkan kemacetan di hampir semua ruas jalan, terutama pada saat jam puncak di pagi dan sore hari.
Pembangunan permukiman di wilayah Bodetabek umumnya tidak diikuti dengan pembangunan sistem transportasi, sehingga kendaraan bermotor pribadi menjadi pilihan moda transportasi yang utama bagi mereka yang tinggal di Bodetabek dan bekerja di DKI Jakarta. Tataguna lahan yang tidak seimbang dan ditambah dengan tidak adanya integrasi pengembangan sistem transportasi dengan tataguna lahan menjadikan parahnya kemacetan lalu lintas di perkotaan.

Pertumbuhan Ekonomi

Tinjauan faktor pertumbuhan ekonomi dalam konteks kemacetan lalulintas Jakarta mengarah pada perubahan perilaku masyarakat yaitu pola konsumsi dan gaya hidup. Pertumbuhan ekonomi perkotaan ternyata tidak hanya memberikan manfaat, namun juga menimbulkan dampak negatif. Salah satunya adalah peningkatan kepadatan lalulintas karena meningkatnya jumlah kendaraan bermotor baik untuk kegiatan pribadi dan rumah tangga, industri, maupun untuk pengangkutan orang dan barang
Selain itu meskipun bukan menjadi faktor utama, meningkatnya pendapatan dan berbagai kemudahan yang diperoleh dari sektor perbankan telah menyebabkan banyak masyarakat perkotaan seakan berlomba membeli mobil dan sepeda motor, yang pada akhirnya menyebabkan peningkatan kepadatan lalulintas dan kemacetan.
Sarana dan Prasarana Transportasi
Tinjauan faktor sarana dan prasarana transportasi dalam konteks kemacetan lalulintas Jakarta, untuk faktor sarana transportasi mengarah jumlah dan pola pergerakan kendaraan bermotor, sedangkan faktor prasarana transportasi mengarah pada perencanaan pola tata ruang dan ketersediaan anggaran. Perencanaan sistem transportasi akan sangat mempengaruhi penyebaran arus lalulintas kendaraan bermotor sebagai sumber kemacetan, yaitu mengikuti jalur-jalur transportasi yang direncanakan. Adapun faktor penting yang menyebabkan dominannya pengaruh sarana dan prasarana transportasi terhadap kemacetan, antara lain:

1.Perkembangan jumlah kendaraan yang cepat (eksponensial);
2.Tidak seimbangnya prasarana transportasi dengan jumlah kendaraan yang ada;
3.Pola lalu lintas perkotaan yang ber-orientasi memusat, akibat terpusatnya kegiatan-kegiatan perekonomian dan perkantoran di pusat kota;
4.Masalah turunan akibat pelaksanaan kebijakan pengembangan kota yang ada, misalnya daerah pemukiman penduduk yang semakin menjauhi pusat kota;
5.Kesamaan waktu aliran lalu lintas;
6.kondisi kerusakan permukaan jalan dan faktor gesekan samping jalan;

Mencari Solusi Kemacetan Lalulintas

Menurut dr. Awi Muliadi Wijaya, MKM (dalam Faktor-faktor Penyebab Kemacetan Lalu Lintas di Jakarta dan Alternatif Pemecahan Masalahnya), solusi dari permasalahan kemacetan lalu lintas di Jakarta, tidak dapat dicapai dengan cara-cara yang 'biasa', harus dilakukan upaya-upaya (intervensi) terobosan yang 'tidak biasa' dan mungkin (maaf) 'sedikit gila.' Agar tingkat kemacetan di Jakarta dapat direduksi, maka upaya-upaya terobosan ini harus dilakukan secara sungguh-sungguh (serius, menyeluruh, tidak setengah-setengah), tidak pilih bulu, tegas dan berani walau berisiko mendapat banyak tantangan dan pertentangan. Upaya-upaya terobosan yang disusun berdasarkan faktor-faktor penyebab kemacetan di atas sebagian besar akan berkonsekwensi/memerlukan adanya perubahan kebijakan (perda) tentang transportasi (Lalu Lintas dan Angkutan Jalan). Upaya-upaya itu adalah:

1. Perbaikan faktor jalan raya

Prinsip upaya perbaikan faktor jalan raya adalah semua upaya (intervensi) dengan target kepada jalan raya yang bertujuan untuk memperluas lebar jalan dan memperoleh atau 'merebut' kembali pemanfaatan jalan raya yang selama ini disalahgunakan atau dimanfaatkan secara keliru. Upaya-upaya yang dapat ditempuh antara lain:

a.Memperbaiki jalan-jalan yang rusak/berlubang.
b.Memperlebar ruang jalan di ruas-ruas jalan yang masih memungkinkan untuk dilebarkan.
c.Melarang penggunaan jalan dan atau trotoar untuk berbisnis/usaha, misal: bongkar muat barang di tepi jalan, praktek dagang di trotoar, dan praktek ojek motor. Trotoar hanya diperuntukkan bagi pejalan kaki.
d.Melarang penggunaan jalan untuk kegiatan pasar. Salah satu contoh kegiatan pasar yang mengganggu arus lalulintas adalah praktek Pasar Koneng di daerah Daan Mogot Pesing, Jakarta Barat, yang sangat mengganggu arus lalulintas pada pagi, sore dan malam hari.
e.Menertibkan/melarang penggunaan jalan raya untuk area parkir dan tempat mangkal angkutan umum dan ojek sepeda motor. Salah satu contoh penggunaan jalan raya untuk tempat mangkal angkutan umum dan ojek sepeda motor adalah jalan di depan Mal Slipi Jaya dan Pasar Slipi di bawah jalan layang yang sepanjang hari dimanfaatkan sebagai terminal mikrolet, tempat mangkal bajay dan ojek sepeda motor sehingga jalan menyempit yang diperparah dengan banyaknya sepeda motor yang berjalan melawan arus.
f.Menertibkan pengemis, pedagang asongan dan anak jalanan beroperasi di persimpangan jalan.
g.Melarang angkutan umum ngetem (mangkal atau berlama-lama berhenti) di pinggir jalan, melarang adanya "terminal bayangan." Salah satu contoh jalan yang sangat semrawut adalah jalan Casablanca di depan terminal kampung melayu di bawah jalan layang, kemacetan di sini terutama pada sore hari disebabkan adanya terminal bayangan bagi bus dan mikrolet, banyak pedagang menggelar dagangan di badan jalan dan trotoar, dan pangkalan ojek sepeda motor.
h.Memindahkan pengoperasian Bus Trans Jakarta dari jalur yang sekarang digunakan (bus way) ke jalur/jalan tol dalam kota.
i.Sejalan dengan poin di atas, menghentikan pengoperasian jalan tol dalam kota dan mengalihfungsikan untuk jalur bus Trans Jakarta (bus way).
j.Memisahkan jalur sepeda motor dengan jalur mobil di ruas-ruas jalan tertentu pada hari kerja.
k.Menerapkan sistem "Tarif Jalur Padat" yang mengharuskan pengemudi membayar jika melalui ruas jalan raya tertentu pada saat lalu lintas padat.
l.Membuka jalan-jalan tembus yang baru.
m.Mempercepat pembangunan Mass Rapid Transit (MRT) berbasis jaringan kereta api yang sudah lama direncanakan. Namun perlu diperbandingkan dan hitung ulang untung rugi pembangunan MRT antara MRT berbasis Underground Tunnel Construction (subway atau underpass) dan MRT berbasis fly over, antara lain dari sisi pembiayaan, keamanan, biaya pemeliharaan, dan daya tahan dengan memperhitungkan faktor kerentanan lapisan bawah tanah Jakarta serta mengingat Jakarta masih rentan terhadap banjir dan keberhasilan pengendalian banjir. Penulis lebih condong memilih MRT berbasis flyover (jalan layang) dengan pertimbangan untuk puluhan tahun kedepan pengelola tidak perlu mengkhawatirkan jalan underpass-nya sudah tidak kedap terhadap banjir, juga dari aspek kemudahan pemeliharaan dibandingkan MRT berbasis subway.
n.'Membersihkan' jalan raya tiga kali sehari (bahkan setiap saat pada hari kerja) dari kendaraan yang diparkir di pinggir jalan tertentu, misalnya dengan upaya sanksi denda, menderek atau merantai kendaraan yang diparkir seenaknya.

2. Perbaikan faktor kendaraan

Prinsip upaya perbaikan faktor kendaraan adalah semua upaya dengan target kepada kendaraan yang ditujukan untuk membatasi volume kendaraan yang melintasi jalan raya, memperbesar daya muat orang (penumpang) dan atau barang yang dapat diangkut, dan menurunkan tingkat emisi gas buang kendaraan bermotor, karena tujuan dari adanya jalan raya adalah untuk memindahkan orang dan barang, bukan kendaraan. Kendaraan hanya sekedar menjadi alat pengangkut.
Menurut hasil jajak pendapat pada infodokterku.com yang dilakukan sejak bulan September 2010 dengan pertanyaan "Menurut pendapat Anda, jenis kendaraan apa yang punya kontribusi paling besar dalam menimbulkan kemacetan di jalan-jalan Ibukota (Jakarta)?" Hasilnya per tanggal 10 November 2010, berturut-turut sebesar 64,58% responden menjawab mobil, 18,75% menjawab angkutan umum dan 16,67% menjawab sepeda motor punya kontribusi paling besar dalam menimbulkan kemacetan lalu lintas di Jakarta.
Berdasarkan hasil jajak pendapat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa mobil dan angkutan umum merupakan kontributor terbesar yang menimbulkan kemacetan lalu lintas di Jakarta. Dapat dimengerti karena mobil (mobil pribadi), disebabkan oleh ukuran 'body'-nya dan jumlah populasinya yang besar di Jakarta, sangat banyak mengambil/menyita lahan jalan raya. Oleh karena itu upaya untuk membatasi jumlah dan volume kendaraan, memperbesar daya muat orang dan/atau barang hendaknya lebih dikonsentrasikan pada intervensi ditujukan kepada kendaraan jenis mobil dan angkutan umum. Sedangkan intervensi pada pengendara sepeda motor, berupa penerapan peraturan yang lebih ketat, siapapun yang melanggar harus ditindak tegas, hal ini akan mengurangi Angka Kecelakaan Lalulintas.

Upaya-upaya pada faktor kendaraan yang dapat ditempuh antara lain:

a.Membatasi jumlah mobil pribadi yang boleh dimiliki.
b.Membatasi jumlah maksimum armada angkutan umum per trayek yang boleh beroperasi.
c.Membatasi penggunaan mobil pribadi. Cara pembatasannya bisa bermacam-macam, misalnya: pembatasan usia mobil yang boleh berlalu-lalang berdasarkan tahun keluaran mobil, pengaturan nomor genap dan ganjil dari plat nomor kendaraan yang boleh beroperasi secara bergantian setiap hari, menerapkan "Zona Bebas Mobil" pada ruas jalan dan hari-hari tertentu sekaligus sebagai upaya untuk mengurangi pencemaran udara, menggalakkan pariwisata, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakatMelarang beroperasinya mobil pribadi 'berbadan lebar' pada hari kerja (senin sampai jumat).
d.Memaksimalkan jumlah penumpang yang dapat diangkut pada mobil pribadi di ruas jalan tertentu pada hari-hari dan jam tertentu, misal: penerapan five in one (bukan three in one seperti sebelumnya).
e.Sejalan dengan penerapan poin di atas, memperluas area penerapan five in one bagi mobil pribadi.
f.Menerapkan kebijakan yang mengatur tingkat emisi gas buang kendaraan bermotor, termasuk melarang beroperasinya kendaraan jenis: bajaj dan sepeda motor bermesin 2 tak.
g.Mulai merintis penggunaan Bahan Bakar Gas (BBG) bagi kendaraan. Banyak keuntungan dari penggunaan BBG, antara lain akan sangat mengurangi polusi udara, mengurangi tingkat kecepatan kendaraan sehingga mengurangi pula tingkat kecelakaan lalulintas, menghemat devisa walaupun investasi awal tinggi tetapi keuntungan yang tinggi menanti dimasa depan. Untuk pembelajaran dalam penerapaan BBG, kita dapat mencontoh negara Cina.

3. Perbaikan faktor manusia (pengguna jalan)

Prinsip upaya perbaikan faktor manusia adalah semua intervensi dengan target kepada pengguna jalan (termasuk pengemudi, tukang ojek, tukang parkir, pedagang kaki lima, pejalan kaki dan pemakai jalan lainnya) dengan tujuan utama mengubah sikap, kebiasaan dan perilaku (habits and behaviors) yang selama ini secara keliru diterapkan, misal: sikap mementingkan diri sendiri, saling serobot, tidak mau mengalah, congkak, arogan, menganggap pengguna jalan lain sebagai musuh, membuang sampah di jalan raya, dan bila melanggar aturan lalu lintas dianggap sebagai perilaku yang benar dan tidak memalukan.
Untuk mengubah sikap, perilaku dan kebiasaan masyarakat tidak semudah membalik telapak tangan tetapi memerlukan waktu panjang dan berkesinambungan. Upaya ini dapat dilakukan antara lain melalui promosi di media elektronik, surat kabar dan memberi contoh yang baik. Masyarakat tidak akan mudah berubah tanpa adanya intervensi langsung dari petugas, oleh karena itu yang terpenting Petugas/Polisi Lalu lintas sebagai penegak keadilan di jalan raya harus mampu menegakkan keadilan di jalan tanpa pandang bulu (pilih kasih), menindak tegas para pelanggar yang termasuk:

a.Penyerobot lampu merah.
b.Pengendara sepeda motor yang melawan arus, tidak memakai helm dan melanggar rambu/aturan lalu lintas.
c.Pengendara yang berhenti di tempat yang dilarang.
d.Pengendara yang parkir di tempat yang tidak diperbolehkan.
e.Pejalan kaki yang menyeberang di tempat yang tidak diperbolehkan untuk menyeberang.
f.Pedagang asongan, pengemis, anak jalanan.
g.Pelanggar rambu lalulintas lainnya.
h.Menerapkan peraturan secara konsekwen dan tidak 'pilih kasih,' misal: penerapan sanksi secara konsekwen dan ketat kepada pengendara mobil, angkutan umum dan sepeda motor tanpa pilih kasih, penerapan 'denda' yang tinggi kepada semua pelanggar undang-undang lalu lintas (termasuk pembuang sampah ke jalan) tanpa pilih kasih.

4. Perbaikan faktor lainnya

Perbaikan faktor lainnya adalah intervensi lain yang dapat dilakukan selain ketiga jenis intervensi di atas. Upaya yang dapat dilakukan antara lain:
1.Menerapkan undang-undang lalu lintas angkutan jalan secara konsekwen.
2.Menambah jumlah personel pengatur dan polisi lalulintas terutama pada jam-jam pergi dan pulang kantor.
3.Mengatasi banjir yang menjadi masalah besar bagi Jakarta.
4.Memindahkan Ibukota Indonesia dari Jakarta ke kota lain di luar pulau Jawa.
5.Mengeluarkan kebijakan yang melibatkan sektor lain, misal: penerapan waktu pulang dan pergi kerja dan sekolah tidak berbarengan tetapi diatur berdasarkan kebutuhan dan situasi kepadatan lalu lintas di suatu kawasan dimana waktu pergi dan pulang dapat diatur secara bergilir.
6.Menerapkan tiga atau empat hari kerja dalam seminggu yang harinya diatur secara bergantian dalam setiap kawasan, dengan berpedoman pada prinsip untuk mengurangi kemacetan lalu lintas.
7.Menerapkan kerja jarak jauh dan pendidikan jarak jauh melalui pemanfaatan teknologi komunikasi/internet.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda