Sabtu, 05 Februari 2011

HILANGNYA PERAN IDEOLOGI PARPOL

Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP




Salah satu karakteristik fenomena politik kartel kepartaian di Indonesia adalah hilangnya peran ideologi (cita-cita) sebagai penentu perilaku politik Parpol dalam kehidupan sehari-hari baik dalam pemerintahan, masyarakat maupun dunia usaha. Ideologi Parpol hanya digunakan untuk memperoleh suara pemilih melalui kegiatan kampanye Pemilu anggota legislatif/parlemen (Nasional dan Daerah) atau eksekutif (Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota). Ideologi Parpol menjadi tidak relevan seusai (pasca) kegiatan kampanye Pemilu dimaksud atau perjuangan perebutan kekuasaan legislatif dan eksekutif. Hilangnya peran Ideologi (cita-cita) Parpol sebagai salah satu karakteristik fenomena politik kartel kepartaian di Indonesia dapat dilihat dari realitas obyektif kehidupan kepartaian dewasa ini, khususnya era reformasi.
Pada level nasional, terdapat koalisi Parpol saat dan setelah Pemilu (pemerintahan) tidak berdasarkan kesamaan, bahkan terdapat perbedaan ideologis. Pada level daerah (lokal), saat penyelenggaraan Pilkada acapkali terdapat koalisi/gabungan Parpol pendukung Pasangan Calon Gubernur/Bupati/Walikota dengan ideologi saling berbeda dan bahkan saling bertentangan satu sama lain. Kesamaan motip politik kekuasaan atau perolehan dana, bukan ideologis, lebih mewarnai Parpol pendukung Pasangan Calon tertentu dalam Pilkada.

Pengertian Ideologi: Perubahan atau Status Qou

Dalam dunia akademis, pada dasarnya pengertian ideologi mencakup dua sisi. Sisi pertama, ideologi bermakna sebagai keseluruhan pandangan, cita-cita, nilai dasar, keyakinan, atau asas dijadikan pedoman/acuan normatif kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam perspektif sisi pertama ini, ideologi dianggap mampu membangkitkan kesadaran, memberikan orientasi dan motivasi dalam perjuangan. Ideologi mengharuskan pelaku-pelaku politik berpikir dan berperilaku dalam kerangka perubahan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara lebih baik. Intinya, disebut sebagai ideologi berorientasi “perubahan lebih baik”
Sementara, pengertian ideologi sisi kedua, yakni ideologi merupakan pedoman/acuan normatif bagi pelaku-pelaku politik agar berpikir dan berperilaku dalam rangka "minimal mempertahankan kekuasaan politik dan ekonomi" telah diraih selama ini. Ideologi dalam perspektif tipe kedua ini berorientasi pada “status qou” kekuasaan.

Ideologi PArpol: Perubahaan Lebih Baik

Makna ideologi di dalam tulisan ini adalah ideologi sisi pertama, yakni keseluruhan pandangan, cita-cita, nilai dasar, keyakinan, dan asas dijadikan pedoman/acuan normatif untuk memperjuangkan perubahan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara lebih baik. Ideologi Parpol dimaksudkan ideologi berorientasi “perubahan lebih baik”. Ideologi Parpol dapat mencakup apa tercantum di dalam dokumen tertulis antara lain Peryantaan/deklarasi Pendirian Parpol, AD (Anggaran Dasar)/ART (Anggaran Rumah Tangga)atau Pedoman tertentu Parpol maupun apa tidak tercantum di dalam dokumen tertulis tersebut. Sebagai realitas subyektif (apa seharusnya), ideologi Parpol dapat pula dipahami dan berperan sebagai:
1. Sistem kepercayaan memberikan kesadaran dan pencerahan mengenai kehidupan.
2. Sangat strategis sebagai landasan legitimasi politik sekaligus memberi penuntun/acuan bagi seluruh kebijakan dan perilaku politik, serta sebagai tali pengikat kegiatan politik.
3. Penuntun/acuan kehidupan politik Parpol sehari-hari secara konsisten dan konsekuen.
4. Jiwa setiap kegiatan Parpol, baik berupa pernyataan, kritikan, program, maupun permasalahan pokok politik.
5. Perwujudan perjuangan nilai dalam Parpol untuk ikut memberikan warna terhadap bangunan imajiner sebuah bangsa memungkinkan terciptanya segala cita-cita bermasayarakat, berbangsa dan bernegara.
6. Pengikat sosial untuk mendapatkan dukungan besar dan luas.

Lazimnya ideologi Parpol tercantum dalam AD/ART Parpol bersangkutan, tejelma ke dalam kehidupan sehari-hari Parpol dan menjadi penuntun bagi perjuangan Parpol, termasuk dalam hubungan antar Parpol. Kalangan Politisi Parpol harus memahami Ideologi Parpol. Sistem nilai baik tertuang di dalam ketentuan-ketentuan formal dan kode etik Parpol harus menjadi landasan berpikir dan bertindak dalam memainkan peran masing-masing personil pengurus atau kader Parpol baik di masyarakat, dunia usaha maupun pemerintahan. Ideologi harus bisa dikomunikasikan kepada rakyat. Ketidakjelasan Ideologi membuat perjuangan Parpol tidak berpola dan tidak bermuara dan pada akhirnya memperlemah dukungan dan legitimasi politik. Parpol sangat memerlukan ideologi agar mampu menjembatani persepsi masing-masing individu, sehingga memunculkan persepsi tunggal merupakan basis perjuangan.
Melalui komunikasi ideologi, Parpol akan membantu masyarakat pemilih untuk menentukan pilihan di antara banyak pilihan. Parpol harus mampu menanamkan ideologi ke dalam alam pikiran dan ingatan pemilih dan sekaligus mungkin mengurangi situasi ketidakpastian di dalam pikiran pemilih.
Dalam perspektif kelembagaan, Parpol memiliki antara lain struktur organisasi, mekanisme kerja dan personil. Ideologi harus mewarnai struktur organisasi Parpol. Ideologi juga harus mewarnai mekanisme kerja Parpol berdasarkan konstitusi Parpol, yakni AD/ART serta pedoman-pedoman kebijakan Parpol. Ideologi juga harus mewarnai pola pikir dan perilaku politik personil dan kader dalam pengelolaan Parpol, terutama kelangan pengurus Parpol. Tidak boleh terjadi, penetapan AD/ART bertentangan dengan ideologi Papol, apalagi pemalsuan AD/ART hasil kesepakatan melalui forum tertinggi Parpol seperti Kongres, Muktamar atau Musyawarah Nasional (Munas).
Bagaimanapun, setiap Parpol melalui tertulis di AD/ART telah memiliki ideologi. Tidak ada Parpol tanpa memiliki Ideologi, setidak-tidaknya telah mencantumkan Pancasila sebagai asas Parpol. Namun, apakah ideologi Parpol dimaksud telah berperan di dalam pola pikir dan perilaku personil/pengurus sehari-hari dalam proses pengambilan keputusan, masih perlu dipertanyakan bahkan bagaikan sesuatu “utopis”.

Ideologi “Status Qou” di Indonesia

Di Indonesia, baik era Orde Baru maupun Era Reformasi, realitas obyektif (apa adanya) menunjukkan, fenomena ideologi tipe pertama (ideologi sebagai perubahan lebih baik) tidak menentukan perilaku politik Parpol baik dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, dunia usaha apalagi pemerintahan/negara). Kalangan personil/pengurus Parpol, terutama politisi Parpol di eksekutif dan legislatif, berperilaku lebih berorientasi pada pertahanan kekuasaan (statuqs quo), ketimbang perubahan kehidupan lebih baik. Ideologi tercantum di dalam dokumen tertulis AD/ART cenderung sekedar “penghias” administrasi kelembagaan. Fenomena ideologi “status qou” lebih mewarnai perilaku politik Parpol sehari-hari, terutama hubungan dengan kekuasaan pemerintahan/negara.
Sesungguhnya dalam sejarah negara Indonesia, tidak ada satu pun ideologi Parpol mampu menyelesaikan permasalahan politik ekonomi Indonesia. Karena itu dibutuhkan konsensus sesama Parpol untuk memperjelas kesamaan dan perbedaan ideologis. Adopsi idea atau gagasan Parpol lain menjadi suatu keharusan agar ideologi dianut bertambah kuat dan mampu menyesuaikan diri dari tuntutan masyarakat pemilih tanpa kehilangan fondasi/dasar ideologis semula. Tetapi, dalam kenyataannya, hal ini tidak terjadi, bahkan idea atau gagasan ideologis hanya dikomunikasikan dan dikampanyekan untuk keperluan perolehan suara pemilih dalam Pemilu Pilpres, Legislatif atau Pilkada. Begitu keperluan perolehan suara telah selesai, maka peran ideologi Parpol menjadi menghilang, berganti pada pertahanan atau penguatan kekuasaan dalam pemerintahan/negara khususnya. Sebagian pengamat politik menilai, telah terjadi "degradasi" ideologi Parpol.
Dalam keadaan menghilangnya peran ideologi, personil pengurus dan politisi Parpol lebih mengutamakan kebijakan “pencitraan” melalui media massa. Pengutamaan pencitraan ini tidak diperkuat dengan pengorganisasian konstituen berdasarkan ideologi, tetapi pertukaran “sumber daya ekonomi” semacam “politik uang”. Pemilih memberikan suara semata-mata karena mendapatkan hal-hal kebendaan atau “uang” dari pencari suara, terutama personil Parpol yang membutuhkan suara. Hal ini didukung oleh kondisi sosial ekonomi segmen pemilih kebanyakan tergolong miskin/duafa/marhaen. Segemen pemilih miskin ini menghendaki keputusan atau perilaku politik pragmatisme, bukan ideologis. Keadaan ini mempermudah elite Parpol bertindak kartel untuk menurunkan pentingnya ideologi atau menghilangkan peran ideologi dalam proses perolehan suara pemilih. Kendatipun terdapat anggota masyarakat tetap setia (tidak pernah mengalihkan suara) terhadap Parpol tertentu (misalnya, PDI dan PPP) berdasarkan ideologis, namun kebanyakan pemilih lebih cenderungan menentukan pilihan secara pragmatis (pertukaran kebendaan atau uang).
Perilaku politik Parpol berdasarkan pragmatisme atau bermotip kekuasaan belaka sesungguhnya merupakan kontiunitas/keberlanjutan dari kebiasaan lama Orde Baru. Perilaku personil atau politisi Parpol tidak jauh berbeda dari pola oligarki Orde Baru. Semakin tinggi tekanan persaingan politik membuat kaum politisi Parpol lebih berorientasi pada cara-cara untuk memenangkan Pemilu semata sebagai program jangka pendek. Padahal, alasan pendirian Parpol untuk perjuangan politik berdasarkan sistem nilai, norma, standar, kreteria atau pedoman tertentu telah dirumuskan dan harus ditegakkan sebelumnya. Bahkan, dalam jangka panjang, telah dirumuskan Parpol sebagai sarana kaderisasi dan pendidikan politik untuk melahirkan politisi-politisi berkualitas dan handal di masa mendatang.
Menghilangnya dan degradasi ideologi Parpol menggiring politik kepartaian ke depan lebih didasarkan pada kebendaan dan uang, bukan hal-hal seperti keyakinan atau sistem nilai/norma perjuangan. Kondisi ini membuat tidak ditemukan perbedaan berarti antara satu Parpol dengan Parpol lain. Pentingnya uang dalam politik antara lain didorong mahalnya biaya politik. Sebagai misal, dana pencalonan dan kampanye untuk memperoileh suara pemilih dibutuhkan oleh Pasangan Calon dalam Pilkada secara langsung sangatlah besar sehingga dinilai menjadi salah satu faktor fenomena korupsi Kepala Daerah dan juga politisi Parpol di Daerah. Mahalnya biaya politik ini juga diperkuat oleh politik lebih mementingkan pencitraan dan bukan rekam jejak sang tokoh/calon. Besarnya biaya politik ini telah membuat “persaingan” antar Parpol hanya terjadi saat penyelenggaraan Pemilu. Seusai Pemilu, “persaingan” juga berakhir dan muncul koalisi melebihi ukuran merangkum hampir semua Parpol dan mengabaikan seleksi berdasarkan ideologi. Kelompok Parpol bergerak bersamaan dan mengabaikan posisi ideologis, ditambah ketidakhadiran kekuatan oposisi. Hilangnya “persaingan” antar Parpol seusai Pemilu telah menghilangkan sejumlah kebajikan dalam “persaingan” seperti adanya kontrol Parpol-parpol kalah terhadap perilaku politik kekuasaan Parpol-parpol pemenang dalam Pilpres, Pemilu Legislatif atau Pilada.

Fakta dan Data Hilangnya Peran Ideologi

Untuk membuktikan hilangnya peran ideologi Parpol dapat menggunakan beragam fakta dan data. Hilangnya peran ideologi Parpol dapat dibuktikan dari hasil Jajak Pendapat Masyarakat, antara lain dari Litbang Kompas (17-19 Maret 2010) tentang ideologi 9 (sembilan) Parpol di DPR (Partai Demokrat, Partai Golkar, PDIP, PKS, PPP, PAN, PKB, Gerindra dan Hanura). Jajak pendapat ini mencakup 1.097 responden dari 33 Ibukota provinsi se Indonesia. Kepada masyarakat diajukan pertanyaan untuk memperoleh pengetahuan tentang persepsi masyarakat terkait ideologi Parpol. Hasil Jajak Pendapat menunjukkan bahwa parpol telah kehilangan ideologi. Parpol lebih mengedepankan kepentingan pragmatisme sehingga dianggap tidak konsisten dalam mempertahankan ideologi.
Dari seluruh Parpol diajukan, masyarakat menilai bahwa Partai Demokrat adalah paling konsisten mempertahankan ideologi (35%), mengalahkan Parpol-Parpol selama ini mengesankan diri sebagai « Parpol ideologis” seperti PDIP hanya mencapai 25 % dan PKS hanya meraih 17%. Secara umum masyarakat menilai, Parpol baik tergolong besar maupun kecil menganggap ideologi hanya formalitas belaka, tidak diimplementasikan untuk perubahan melalui proses pemikiran normatif. Adapun hasil Jajak Pendapat tersebut sebagai berikut: P.Demokrat (35 %), diikuti PDI-P (sekitar 25 %) dan PKS (sekitar 17 %), Golkar ( sekitar 12 %), Gerindra (sekitar 2 %), PAN (sekitar 1.5 %), PPP (sekitar 1 %), HANURA (0.6 %) dan PKB (sekitar 0.4 %). Tiga Parpol tertinggi tingkat konsistensi berturut-turut: Partai Demokrat, PDIP dan PKS. Dalam hitungan skala, masyarakat menilai Partai Demokrat paling konsisten (tertinggi) mencapai 40.7 %-29.6%, diikuti PDIP 23.5 %-27.4%, dan PKS 13.2%-25.2%. PAN mengaku Parpol reformis ternyata di mata masyarakat memiliki tingkat konsistensi sangat rendah, hanya 1.5%-0.9%, masih di bawah Parpol baru Gerindra, mencapai 2.8%-3.5%.
Di lain pihak, Jajak Pendapat Litbang Kompas tersebut juga menunjukkan bahwa kiprah Parpol di era reformasi ini di mata masyarakat baik strata pendidikan rendah menengah maupun pendidikan tinggi lebih dominan menunjukkan bahwa tingkat konsistensi Parpol mempertahankan ideologi (cita-cita) mereka sendiri adalah rendah. Hal ini memperkuat penilaian sebagian besar pengamat bahwa perilaku Parpol cenderung berdasarkan pragmatisme, kalau tidak boleh disebut “ultra-oportunisme”.

Kasus PDIP

Fakta di atas sesungguhnya tidak berbeda dari pengakuan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dalam sejumlah kesempatan . Menurut Megawati, 10 tahun terakhir pragmatisme memang telah menghilangkan roh PDIP, yaitu Pancasila 1 Juni 1945 hasil galian Soekarno, berwujud Marhaenisme diidentifikasi sebagai pembelaan kepada "wong cilik". Dalam evaluasi internal, PDIP menyadari bahwa pragmatisme menurunkan suara PDIP. Pada Pemilu 2009 PDIP secara mengejutkan telah berhasil meraih suara di urutan pertama, yakni 33,7 persen. Pemilu 2004 PDIP meraih suara menurun hanya 18,5 persen suara (menjadi urutan kedua), kalah dari perolehan suara Golkar (21,6 persen). Pada Pemilu 2009, perolehan suara PDIP semakin melorot tajam'. PDIP mendapat hanya 14 persen suara (menjadi urutan ketiga), mengalami kekalahan dari Partai Demokrat (20,4 persen) dan Golkar (14,5 persen).

Kasus Pilpres dan Pilkada

Fakta berikutnya, terlihat pada level nasional, yakni Koalisi Pendukung Pasangan SBY-Boediono dalam Pilpres 2009 tidak mendasarkan ideologi, haluan dan juga platform bersama (visi dan misi) Parpol Koalisi. Bahkan, terdapat ideologi sangat berbeda sesama Parpol Koalisi seperti antara PKS (Islam) dan Partai Demokrat (Nasionalis-Sekuler). SBY adalah Kader/Anggota Partai Demokrat, sementara Wakilnya bukan kader/anggota Partai Demokrat dan juga bukan kader/anggota Parpol Koalisi lain (PKS,PPP, PKB dan PAN). Adalah suatu fakta, perilaku politik empat Parpol secara formal berideologi atau berbasis Islam (PPP, PKB, PKS dan PAN) tidak menempatkan anggota/kader Parpol Islam sebagai Calon Presiden atau Calon Wakil Presiden. Sesunguhnya, Ideologi Islam tertera di dalam dokumen tertulis AD/ART Parpol-Parpol pendukung Pasangan SBY-Boediono dalam Pilpres 2009 tidak memainkan peran dalam penentuan/penempatan Pasangan Calon Presiden/Wakil Presiden.
Fakta-fakta selanjutnya dapat ditemukan dari perilaku Parpol di level daerah dalam pengelompokan dukungan terhadap Pasangan Calon Kepala Daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) dalam Pilkada secara langsung dalam era reformasi ini. Satu fakta paling terang menderang, yakni Kasus Pilkada DKI Jakarta 2007 sebagai pertama sekali penerapan pemilihan secara langsung. Hanya ada dua pasangan calon dalam Pilkada dimaksud yakni pasangan calon Adang Daradjatun-Dani Anwar dan pasangan calon Fauzi Bowo-Prijanto. Jumlah suara pemilih sah 3.645.066 suara. Tampil sebagai pemenang adalah pasangan Fauzi –Prijanto (66,89%. Sedangkan perolehan pasangan Adang-Dani hanya 33,11%. Hanya PKS pendukung Pasangan Adang-Dani, sementara semua Parpol lain mempunyai perwakilan di DPRD DKI Jakarta (berbeda ideologi) mendukung pasangan calon Fauzie-Prijanto. Artinya, Parpol-parpol pendukung Pasangan Calon Fauzie-Prijanto sesungguhnya memiliki ideologi sangat berbada satu sama lain. Dari kesamaan ideologi, seyogyanya PPP, PKB dan PAN tidak mendukung Fauzie-Prijanto, tetapi mendukung Pasangan Calon dari PKS, yakni Adang-Dani. Argumentasinya, PKS, PPP, PKB dan PAN memiliki kesamaan ideologi (Islam atau berbasis Islam). Pragmatisme perilaku Parpol mengambil tempat dalam mendukung Pasangan Fauzie-Prijanto sudah menjadi pengetahuan umum di kalangan aktivis Parpol di DKI Jakarta saat itu.
Mirip kasus Pilkada DKI Jakarta, fakta Pilkada berikutnya dapat ditemukan pada Pilkada Kota Medan tahun 2005 telah mengantarkan Abdillah sebagai Walikota bersama Wakilnya Ramli kemudian menjadi terhukum sebagai pelaku korupsi melalui Pengadilan Tipikor. Pilkada Kota Medan tahun 2005 merupakan Pemilu pertama dimana masyarakat Kota Medan memilih pemimpin secara langsung. Dua pasang calon Walikota dan Wakil Walikota Medan bertarung, yakni Pertama, pasangan H Maulana Pohan/Sigit Pramono Asri; kedua, Pasangan Abdillah-Ramli. Pasangan Maulana-Sigit hanya didukung oleh PKS. Sedangkan Pasangan Abdillah-Ramli didukung oleh seluruh Parpol diluar PKS. Abdillah, adalah Walikota Medan incumbent. Sedangkan, Maulana Pohan merupakan Wakil Walikota Medan. Sedangkan Ramli adalah Sekretaris Daerah Kota Medan dan Sigit Pramono Asri merupakan anggota DPRD Kota Medan. Pasangan Abdillah-Ramli keluar sebagai pemenang di Pilkada Kota Medan. Data KPU Sumut menunjukkan, pasangan Maulana-Sigit meraih 292.803 suara atau 37,4%, sementara Pasangan Abdillah-Ramli memperoleh 489.010 suara atau 62,5%. Terkesan Pasangan Abdillah-Ramli dukungan semua Parpol kecuali PKS meraih kemenangan mutlak. KPU Kota Medan kemudian menetapkan Abdillah-Ramli sebagai Walikota dan Wakil Walikota Medan terpilih periode 2005-2010.
Hilangnya peran ideologi sangat terlihat pada kelompok Parpol Islam bersama Parpol Nasionalis Sekuler dan Agama Non Islam. Mereka bersama-sama mendukung Pasangan Abdillah-Ramli. Bahkan, Abdillah dan Ramli bukanlah personil pengurus/kader salah satu Parpol pendukung. Abdillah seorang pengusaha menjadi "incumbent", sementara Ramli pegawai negeri karir dalam pemerintahan Sumatera Utara. Dari kesamaan ideologi, seyogyanya PPP, PKB dan PAN mendukung Pasangan Maulana-Sigit dukungan PKS, tetapi kenyataanya tidak. Apa motip PPP,PKB dan PAN mendukung Pasangan Abdillah-Ramli? Tentu bukan motip ideologis! Beragam fakta seperti kasus Pilkada DKI dan Medan ini dapat ditemukan di seluruh Provinsi di Indonesia dalam era reformasi dan Pilkada secara langsung dewasa ini.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda