Kamis, 10 Februari 2011

PARPOL MENGUTAMAKAN KOALISI, MENGABAIKAN OPOSISI

Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP




Salah satu fenomena politik kepartaian dalam era reformasi yakni lebih mengutamakan koalisi dan mengabaikan oposisi. Fenomena ini telah menjadi masalah utama bagi proses percepatan demokratisasi di Indonesia. Padahal secara konstitusional UUD 1945 telah menjamin keberadaan dan peranan oposisi dalam kehidupan politik pemerintahan di Indonesia. Sebagai misal Pasal 20A, mengatur fungsi dan tugas-tugas`DPR, antara lain memiliki ”hak interpelasi”, ”hak angket” dan ”hak menyatakan pendapat”.
Pasal 20A berbunyi: Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Pasal 20A ini bahkan mempertegas bahwa setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta ”hak imunitas”. Khusus hak imunitas berarti setiap angota DPR memiliki kekebalan hukum dimana setiap anggota DPR tidak dapat dituntut di hadapan dan diluar pengadilan karena pernyataan, pertanyaan/pendapat yang dikemukakan secara lisan ataupun tertulis dalam rapat-rapat DPR, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib dan Kode Etik.
Pentingnya kehadiran oposisi di DPR juga untuk mengamankan dan mewujudkan hak-hak rakyat sesuai Pasal 23, Pasal 27, Pasal 31, Pasal 33 dan Pasal 34 UUD 1945. Pasal 23 UUD 1945 berbunyi, Anggaran pendapatan dan belanja ditetapkan tiap-tiap tahun dengan undang-undang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan pemerintah, maka pemerintah menjalankan anggaran tahun yang lalu (ayat 1). Pasal 31 berbunyi, Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran (ayat 1); Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang (ayat 2). Pasal 33 berbunyi, Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan (ayat 1); Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara (ayat 2); Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (ayat 3). Selanjutnya, Pasal 34 berbunyi, Fakir miskin dan anak-anakyang terlantar dipelihara oleh negara.
Pengalaman Indonesia

Sesungguhnya pengalaman Indonesia telah menunjukkan kehadiran oposisi sebagai kekuatan penggerak perubahan sejarah. Sejak awal, Indonesia mengenal oposisi, baik di lingkungan politik, birokrasi dan masyarakat. Pada dasawarsa 50-an tatkala Indonesia menganut sistem pemerintahan parlementer, posisi kelompok oposisi atau penyeimbang dinilai sangatlah penting. Sebagai contoh, Masyumi, PNI, NU maupun PKI pernah mengalami dua fungsi yang berbeda. Tatakala satu Parpol diberi mandat membentuk Kabinet/Pemerintah, Parpol tersebut berfungsi sebagai kekuatan yang memerintah. Sebaliknya, tatakala Parpol tertentu tidak dilibatkan dalam membentuk Kabinet/Pemerintah, Parpol dimaksud menjadi kekuatan oposisi atau penyeimbang, melakukan fungsi ”checks and balances”. Bahkan, peristiwa G30S/PKI dapat digolongkan sebagai gerakan oposisi.

Kehadiran Parpol oposisional ini menjadi sirna 100 % dalam kancah perpolitikan Indonesia sejak tampilnya kekuasaan rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Setelah Pemilu 1955 disebut sebagai Pemilu paling demokratis, Indonesia baru menyelenggarakan Pemilu tahun 1971 (awal berkuasanya Rezim Orde Baru Soeharto). Pemilu berikutnya (dari tahun 1977 sampai dengan 1997) terjadi pengurangan jumlah Parpol menjadi hanya tiga, yakni PDI (Pardai Demokrasi Indonesia), PPP (Partai Persatuan Pembangunan) dan Golkar (Golongan Karya). Selama Pemilu diselenggarakan oleh Rezim Orde Baru, selalu saja Golkar (Parpol Rezim) pemenang mutlak dan Parpol kalah tidak pernah menjadi oposisi. Kalaupun Parpol kalah (PDI dan PPP) tidak menempatkan kader/anggota dalam jabatan Kabinet/Menteri, hal itu bukan karena tidak mau, tapi memang tidak diberi kesempatan oleh Rezim Orde Baru. Selalu hanya Golkar yang menjadi kekuatan memerintah dan dua kekuatan politik lain (PPP dan PDI) tidak diberi kesempatan untuk ikut memerintah.

Pada masa Orde Baru ini, Pemerintah dan legislatif merupakan kekuatan politik konspiratif saling mendukung. Konspirasi (persekongkolan) itu ternyata belum menghilang di era reformasi ini. Pemerintah dan legislatif saling mendukung tanpa adanya kekritisan (penolakan, perlawanan atau penentangan) dalam konteks fungsi pengawasan.

Untuk menjustifikasi realitas obyektif ini, para petinggi Orde Baru dan juga sebagian petinggi era reformasi menegaskan bahwa budaya politik Indonesia tidak mengenal oposisi, yang bermakna tidak mengenal Parpol oposisional. Mereka juga menyimpulkan, sistem presidensial Indonesia tidak mengenal pelembagaan oposisi. Kalangan intelektual tahun 70-80an mengimplementasikan ajaran masyarakat integralistik di dalam ruang perpolitikan Indonesia. Persatuan dan kesatuan bangsa dan simbol negara kesatuan merupakan tiga kualitas dasar berharga mati ajaran itu. Yang menimbang dan menafsirkan ketiga kualitas dasar itu adalah pemangku kekuasaan negara. Setiap perbedaan dengan timbangan dan tafsiran itu dianggap musuh persatuan dan kesatuan bangsa dan musuh negara kesatuan. Penolakan, perlawanan dan penentangan terhadap kekuasaan identik dengan penghinaan jabatan anugerah Tuhan. Karena itu, perilaku oposisi bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45. Di era reformasi ini, kita juga masih dapat menemukan kalangan intelektual dan politisi memberikan ajaran-ajaran anti oposisi

Makna dan Peran Oposisi

Oposisi, beroposisi, oponen, oposisional merupakan konsep bentukan dari kata kerja “oppose”, bermakna menolak, melawan dan menentang. Secara umum oposisi dapat dimaknai sebagai kelompok kekuatan menolak, melawan dan menentang serta berperan sebagai pengontrol dan penyeimbang pelaksanaan pemerintahan sehingga tidak terjerumus dalam penyalahgunaan kekuasaan.
Salah satu komponen negara demokrasi membedakan dengan negara bukan demokrasi adalah keberadaan dan peran oposisi. Oposisi adalah salah satu elemen penting untuk membangun negara demokrasi kuat. Peran oposisi tetap harus hadir agar demokrasi tetap dalam lajur benar, yakni demokrasi mengabdi kepada kesejahteraan rakyat, bangsa dan negara. Peran oposisi tetap harus mengambil tempat bukan saja sebagai oposisi terhadap pemerintah tapi juga terhadap entitas politik di legislaif. Tanpa adanya peran oposisi, pemerintah menjadi tidak terkontrol dan dapat melakukan apapun dikehendaki tanpa hambatan berarti. Dalam konteks ini, mempertahankan peran oposisi sejatinya sama dengan mempertahankan demokrasi.

Kekuasaan mempunyai kecenderungan bukan saja untuk memperbesar dan memperkuat tetapi juga memusatkan dirinya. Karena itu, pemikiran demokratis tentang kekuasaan selalu menekankan pembagian kekuasaan dan keseimbangan kekuasaan. Oposisi dibutuhkan pertama-tama sebagai kritik kepada kekuasaan dan pengawasan terhadap Pemerintah agar tidak semena-mena atau sewenang-wenang. Oposisi tidak saja bertugas memperingatkan pemerintah terhadap kemungkingan salah kebijakan atau salah tindakan tetapi juga menunjukkan apa harus dilakukan dan apa tidak harus dilakukan. Adalah kewajiban oposisi untuk melakukan kualifikasi apakah sesuai harus atau tidak harus dilakukan. Oposisi diperlukan juga karena apa yang baik dan benar dalam politik haruslah diperjuangkan melalui kontes politik dan diuji dalam wacana politik terbuka dan publik. Adalah naif, masih percaya bahwa pemerintah bersama semua pembantu dan penasehat merumuskan sendiri apa yang perlu dan tepat untuk segera dilakukan dalam politik, ekonomi, hukum, pendidikan dan kebudayaan.

Oposisi berkewajiban mengemukan titik-titik lemah dari suatu kebijakan Pemerintah sehingga apabila kebijakan itu diterapkan, segala sesuatu yang dapat merupakan efek samping merugikan sudah lebih dahulu ditekan/dikelola seminimal mungkin. Kehadiran oposisi membuat pemerintah harus selalu menerangkan dan mempertanggungjawabkan mengapa suatu kebijakan diambil, apa dasar, apa pula tujuan dan urgensi dan dengan cara bagaimana kebijakan itu akan diterapkan.

Mengutamakan Politik Koalisi
Istilah “koalisi” sesungguhnya berasal dari bahasa latin kemudian menjadi bahasa Inggris. Mulai digunakan pada awal abad ke-17. Sejalan dengan perkembangan (kehidupan dan ilmu) politik semakin modern, kata “koalisi” kemudian banyak digunakan sejak akhir abad ke-18. Umumnya kamus ilmu politik mengartikan ”koalisi” secara netral sebagai ”penyatuan sementara sejumlah partai memiliki kepentingan serupa untuk memperkuat pemerintahan”. Kamus Bahasa Indonesia juga memaknai sama: ”kerja sama antara beberapa partai untuk memperoleh kelebihan suara di parlemen”.
Di Indonesia, dalam kenyataannya, istilah “koalisi” mengalami “pembiasan makna” atau “degradasi kata”. Koalisi cenderung dimaknai sebagai upaya elite dan Parpol untuk menyatukan kepentingan sempit, sepihak, dan tidak berurusan dengan hajat hidup dan kesejahteraan orang banyak. Hal ini dapat dibuktikan dengan fenomena politik kepartaian terutama semasa kekuasaan rezim kartelis SBY era reformasi.
Salah satu karakteristik kepartaian era reformasi, yakni sikap Parpol lebih mengutamakan politik “koalisi” ketimbang politik “oposisi”. Sekalipun dalam perebutan kekuasaan melalui Pemilu, Pilpres atau Pilkada, Parpol-parpol mengalami kekalahan (Parpol kalah) dalam perolehan suara pemilih cenderung mendukung dan berkoalisi dengan Parpol mengalami kemenangan (Parpol pemenang) dalam hal ini pemegang kekuasaan pemerintahan, Parpol kalah tidak mengambil peran “oposisi”, mekainkan “koalisi”. Sekalipun, secara vocal politisi Parpol acapkali menyatakan dan mengungkapkan symbol-simbol demokrasi, tetapi dalam realitas obyektif mereka cenderung “anti oposisi”.

Dinamika politik kepartaian tidak menunjukkan perilaku kompetitif dan oposisional. Parpol-parpol peserta Pemilu jika tidak berhasil memperoleh mayoritas anggota legislatif atau kekuasaan eksekutif, lebih mengutamakan koalisi. Prilaku oposisi menjadi tidak populer dan acapkali dianggap “merugikaan” karena tidak memperoleh kesempatan atau kekuasaan sebagai sumber dana bagi kepentingan Parpol. Perilaku koalisi pada dasarnya berdasarkan perspektif “sharing kekuasaan” dalam jabatan-jabatan politik di legislatif (misalnya, Ketua/Wakil Ketua Komisi) dan eksekutif (misalnya, jabatan Menteri).

Salah satu contoh lebih mengutamakan koalisi dapat ditemukan pengalaman politik kepartaian pasca Pilpres 2009. Pada Pilpres 2009, Parpol pengusung dan pendukung Pasangan SBY-Boediono adalah Partai Demokrat, PKS, PAN, PPP, dan PKB. Parpol pengusung dan pendukung Pasangan JK(Jusuf Kala)-Wiranto adalah partai Golkar dan Hanura (Hati Nurani Rakyat). Parpol pengusung dan pendukung Pasangan Megawati-Prabowo adalah PDIP dan Partai Gerindra. Pasangan Calon berhasil memenangkan perolehan suara pemilih dalam Pilpres 2009 adalah SBY-Boediono. Dengan perkataan lain, Parpol-parpol pemenang adalah Partai Demokrat, PKS, PAN, PPP dan PKB. Sementara, Partai Golkar, Partai Hanura, PDIP dan Partai Gerindra tergolong sebagai Parpol kalah.

Perilaku Politik Kepartaian Menjelang Pilpres

Ada dua fenomena lebih mengutamakan koalisi ketimbang oposisi. Pertama, saat pengelompokan dukungan Parpol terhadap Pasangan Calon. Kedua, saat penyelenggaraan Pilpres selesai dan saat pembentukan dan bekerjanya Kabinet pemerintahaan.

Dari sisi ideologis, jelas Parpol-Parpol Islam atau berbasis Islam tidak memiliki ideologi sama dengan Partai Demokrat sebagai Parpol SBY. Partai Demokrat memiliki ideologi bukan Islam, melainkan ”sekuler”. Parpol-parpol Islam justru mengusung dan mendukung pencalonan SBY, bahkan wakilnya Boediono juga bukan kader/anggota Parpol-parpol Islam tersebut.

Karakteristik politik kartel di mana elite Parpol mengutamakan koalisi, bukan oposisi, sekalipun tergolong kalah dalam pertarungan perolehan suara dalam Pemilu legislatif, dapat dicontohkan pengalaman PAN saat penentuan dukungan terhadap calon Presiden RI dalam Pilpres 2009. Amien Rais adalah seorang aktor sangat menentukan keputusan DPP PAN terutama politik kekuasaan seperti penentuan rekruitmen politik anggota PAN di eksekutif dan juga legislatif. Jabatan formal Amin Rais di PAN saat itu adalah Ketua MPP (Majelis Penasehat Partai) DPP PAN, bukan sebagai Ketua Umum DPP PAN.

Menjelang Pemilu 2009, Amien Rais mengarang buku berjudul, Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia! (Yogyakarta, PPSK Press, 2008). Di dalam buku ini, Amien menilai:

a.Indonesia dewasa ini telah semakin dalam menjadi subordinat dari jaringan korporatokrasi internasional, yang jelas-jelas menguras habis-habisan kekayaan Indonesia. Korporatokrasi adalah sebuah jaringan ekonomi, keuangan, politik, militer, intelektual dan media massa yang dibangun oleh kekuatan-kekuatan kapitalis dan demokrasi liberal Barat. Kedaulatan nasional kita justru tergadaikan ke berbagai korporasi asing.

b.Pemerintah Indonesia telah menjadi pelayan kepentingan asing, yang diberi payung hukum dengan perundang-undangan dan berbagai keputusan politik. State capture corruption (korupsi sandera negara), yang paling berbahaya semakin menjulang. Sejauh ini Pemerintah SBY tidak menunjukkan kemauan dan komitmen politik untuk memberantas korupsi sungguh-sungguh.

c.Pemerintah SBY pada dasarnya telah menjadi “broken gevernment’, pemerintahan yang kucar kacir, pecah koordinasi dan kepentingan rakyat banyak tidak dilayani, misalnya antrian minyak tanah, makan nasi aking dan raskin, listrik mati di Jawa dan luar Jawa, kenaikan harga BBM sampai lebih dari 100%, kondisi infrastruktur jalan parah penuh berlubang besar.

Berdasarkan beberapa penilaian di atas antara lain, Amien lalu mengajak pembaca untuk tidak lagi memberi kesempatan kepada SBY memimpin Indonesia. Dikatakannya, bila kepemimpinan SBY, atau model kepemimpinan SBY diberi kesempatan memimpin Indonesia 5 tahun lagi sesudah 2009, penjajahan ekonomi asing semakin luas dan mendalam sehingga negeri ini agaknya tidak punya harapan untuk bangkit kembali dan kondisi multi-dimensional semakin terpuruk. Jenis “korupsi sandera negara” menjadi semakin sistematik, melembaga, mengakar makin mendalam dan desktruktif.

Buku Amien Rais ini menjadi populer di kalangan kader PAN dan telah dibedah di bebebapa kota yang dihadiri dominan kader PAN. Karena itu, apa yang terkandung di dalam buku ini menjadi acuan bagi para politisi PAN untuk membangun opini positif terhadap PAN baik menjelang maupun saat kampanye Pemilu legislatif tahun 2009 berlangsung. Namun, kandungan buku ini tidak konsisten dipertahankan segera setelah Pemilu legislatif tahun 2009 usai.

Amien mendahului Keputusan DPP PAN dipimpin Ketua Umum Soetrisno Bachir, menyampaikan sepihak pernyataan mendukung SBY menjadi Calon Presiden. Dikesankan, pernyataan ini sebagai keputusan pertemuan silahturahim MPP DPP PAN di Rumahnya sendiri, Yogyakarta. Pernyataan dukungan tidak dihadiri oleh beberapa petinggi DPP PAN, termasuk Ketua Umum DPP PAN Soetrisno Bachir. Intinya, dukungan terhadap SBY bukanlah bermula dari prakarsa atau gagasan DPP PAN, melainkan Amien Rais peribadi dikesankan sebagai hasil keputusan MPP DPP PAN.

Setelah Ketua MPP DPP PAN menyatakan dukungan politik itu, terjadilah rekayasa politik internal untuk mengadakan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) sepihak di Yogyakarta untuk menjustifikasi/memperkuat pernyataan. Keputusan Rakernas tidak ditandatangani oleh Ketua Umum DPP PAN Soetrisno Bachir. Konflik antara kedua tokoh PAN ini (Amien dan Soetrisno) sempat mencuat. Bahkan Soetrisno sempat menyatakan hendak mundur. Proses pengambilan keputusan harus domain DPP PAN telah diambialih oleh Amien sang Ketua MPP DPP PAN.

Alasan yang disampaikan Amien kepada publik mendukung SBY yakni Partai Demokrat telah menjadi Parpol pemenang Pemilu dan SBY masih berpeluang besar untuk menang. Itu setidaknya menjamin pemerintahan ke depan akan lebih kuat dan stabil. “Berkoalisi dengan the losing side, bukan the winning side, itu sebuah kemubaziran,” kilah Amin. Padahal sebelumnya, Amien dikenal publik sebagai pengkritik tajam model kepemimpinan SBY yang pro korporasi asing.

Kritikan terhadap perilaku politik Amien mendukung SBY datang dari kalangan kader PAN maupun luar PAN. Pendukung Soetrisno menganggap Amien tidak melaksanakan kesepakatan dengan Ketua Umum Sutrisno Bachir. Sesuai dengan kesepakatan, nama tokoh dan arah koalisi belum ditetapkan dan akan dibahas kembali dalam rapat kerja nasional di Jakarta. Selanjutnya, kelompok mengatasnamakan Komunitas Muda Pencinta Buku Amien Rais (Kompibar) akhir April 2009 mendatangani Rumah PAN di Jl. Warung Buncit Jakarta. Mereka sangat kecewa, kesal dan marah atas tindakan Amien yang meminta kader PAN mendukung SBY. Menurut Kompibar, tindak tanduk Amien sangat bertentangan dengan prinsip anti neoliberalisme yang digembor-gemborkannya selama ini. Inilah salah satu sebab mungkin, mengapa masyarakat menilai, tingkat konsistensi PAN mempertahankan ideologi (cita-cita) sangat rendah.

Perilaku Politik Kepartaian Pasca Pilpres

Sembilan Parpol pemilik kursi di DPR, sekalipun berbeda ideologi dengan Partai Demokrat (Parpol SBY), berkoalisi dengan motip perolehan kekuasaan di Kabinet (Jabatan Menteri). Mereka yang berkoalisi dengan SBY (Partai Demokrat) adalah Golkar, PPP, PAN, PKB, dan PKS. Padahal, ideologi PPP, PAN, PKB dan PKS (Islam) sesungguhnya berbeda dengan ideologi Partai Demokrat (sekuler).

Golkar semula tidak mendukung Pasangan SBY-Boediono dalam Pilpres 2009. Golkar mendukung Pasangan Jusuf Kalla-Wiranto, saat Jusuf Kala sebagai Ketua Umum Golkar. Namun, kekalahan Pasangan Jusuf Kalla-Wiiranto dalam Pilpres tidak menyebabkan Golkar juga kehilangan kekuasaan di eksekutif. Golkar berubah sikap menjadi mendukung kekuasaan SBY-Boediono sehingga mendapatkan beberapa jabatan Menteri dalam Kabinet hasil Pilpres 2009. Maksudnya, sekalipun mengalami kekalahan dan lawan politik meraih kemenangan, namun Golkar tetap saja berupaya memproleh kekuasaan melalui keanggotaan Koalisi pendukung SBY-Boediono. Posisi Golkar tidak menjadi kekuatan oposisional, melainkan kekuatan koalisi. Dua jabatan Kabinet diperolah Golkar yakni Menteri Kordiantor Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) R. Agung Laksono (Mantan Ketua DPR-RI) dan Mentri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad (Mantan Gubernur Provinsi Gorontalo). Kedua Menteri ini tergolong anggota pimpinan nasional Golkar.

Koalisi sejumlah Parpol mendukung SBY ini telah secara terang-terangan membentuk suatu wadah/institusi dengan nama Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi Parpol Pendukung Pemerintah. Wadah ini dibentuk di kediaman SBY (Cikeyas, Bogor) dipimpin langsung Presiden SBY (Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat), sementara Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie sebagai Ketua Harian dan Syarif Hasan (elite Partai Demokrat dan Menteri Koperasi & UKM) sebagai Sekretaris. Ketika Setgab Koalisi pro SBY-JK ini telah berlangsung setahun, publik menunjukkan ketidakpuasan terhadap keberadaan Setgab Partai Koalisi Pendukung Pemerintah ini. Sebagai contoh, hasil Jajak Pendapat „Kompas“ 5-7 Januari 2011, dari 721 responden berusia minimal 17 tahun, separuh responden (51,9%) menilai keberadaan Setgab saat ini tidak berjalan efektif. Responden dari pemilih Parpol menengah tergabung dalam Setgab cenderung menilai tidak perlu lagi ada Setgab (Kompas, 10 Januari 2011).

Keputusan PDIP sebagai Parpol Oposisi
Sejak Indonesia dipimpin oleh SBY tahun 2004 (Presiden RI), PDIP memutuskan diri menjadi Parpol oposisi terhadap Pemerintah. Secara resmi sikap oposisi PDIP muncul pertama sekali melalui keputusan Kongres Nasional PDIP II, Maret 2005 di Pulau Bali. Bahkan, PDIP tidak mengundang pejabat Parpol dan Eksekutif termasuk Presiden SBY dan Wapres Jusuf Kalla. Pada kongres PDIP tahun 2005 ini terjadi perbedaan tajam dalam penentuan metode demokratis yang berlaku di PDIP. Sekelompok orang mengambil pandangan bahwa walaupun PDIP adalah Parpol modern namun masih menggunakan metode lama otoriter, seperti memberikan hak istimewa mutlak kepada Ketua Parpol dan hanya memiliki satu kandidat untuk posisi-posisi senior. Kelompok ini kemudian mendirikan Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) tahun 2005, mengambil sistem kepemimpinan kolektif dengan 35 orang dalam pimpinan kolektif nasional. Tetapi, dalam perjalanannya, PDP terpecah menjadi 2 (dua) kubu. Keduanya mengaku sebagai pimpinan Parpol yang sah. Masing-masing kubu juga memiliki Kantor dan situs web resmi sendiri.
Sikap oposisi PDIP ini sesungguhnya sangat ditentukan oleh sikap Megawati sebagai Ketua PDIP. Di berbagai kesempatan baik sebelum Kongres 2010 maupun sesudahnya, Megawati acapkali menegaskan kembali sikap PDIP tetap menjadi oposisi. ”Sikap PDIP saya kira sudah sangat jelas. Kami melakukan prosesnya (oposisi) juga tidak dengan asal-asalan saja”, tandas Megawati dalam keterangan pers usai membuka Konferensi Daerah III PDP PDIP NTB (Nusata Tengagara Barat) di Kota Mataram, Februari 2009. Baginya, sikap oposisi PDIP hanya akan bisa diubaj melalui Kongres Nasional PDIP.

Pada 6-9 April 2010 PDIP mengadakan Kongres Nasional III di Bali. Saat itu PDIP juga tidak mengundang Presiden SBY untuk hadir dalam Pembukaan Kongres. Salah satu agendanya adalah apakah tetap beroposisi atau berkoalisi. Sikap ini muncul seiring memudarnya sikap beberapa Parpol seperti Golkar, PPP dan PKS yang selama berkoalisi dengan Pemerintah (SBY) tetapi saat voting Anggota DPR dalam kasus Bank Century, mereka justru berseberangan dengan Partai Demokrat, Parpol berkuasa (SBY). Sesuai kehendak Megawati, PDIP akhirnya memutuskan sebagai Parpol ideologi dan oposisi yang berfungsi untuk melakukan kontrol dan penyeimbang lima tahun kedepan. Sebagai Parpol ideologi, Megawati menegaskan Kongres Nasional III telah berhasil mengembalikan PDIP sebagai alat perjuangan segala bentuk aspirasi rakyat (Agustus 2010). Megawati menghimbau PDIP harus bisa melahirkan dan menjadikan kader-kader ideologis. Di lain fihak, sebagai Parpol oposisi, sikap politik PDIP tetap berada di luar pemerintahan. PDIP mempunyai kewajiban untuk tetap kritis dan menolak kebijakan manakala dianggap tidak berpihak kepada rakyat atau tidak sesuai dengan ideologi PDIP. Bagi sebagian elite PDIP, oposisi tidak dimaknai sekedar asal beda, tetapi lebih memaknai kebijakan dari platform yang cara pandangnya ideologi 1 Juni 1945.

Keputusan PDIP sebagai oposisi sesungguhnya masih dipertanyakan oleh para pengamat politik. Pertanyaan utama: apakah sikap oposisi PDIP hanya terhadap kebijakan Pemerintah SBY? Dengan perkataan lain, sikap oposisi hanya terbatas pada penempatan kader PDIP pada jabatan Menteri atau Kabinet semata? Bagaimana sikap politik PDIP terkait dengan dukungan terhadap Pasangan Calon Kepala Daerah? Apakah PDIP tetap tidak mau berkoalisi dengan Parpol koalisi SBY (Demokrat, Golkar, PKS, PAN, PPP, PKB) mendukung Pasangan Calon dalam Pilkada? Pertanyaan-pertanyaan ini, jika dijawab secara akademis, mungkin akan menghasilkan kesimpulan bahwa sikap oposisi PDIP terlihat ”ragu-ragu”, tidak total di luar pemerintahan. Karena itu, kontribusi PDIP sebagai Parpol oposisi terhadap perkembangan demokrasi masih perlu dipertanyakan. Bahkan, sikap oposisi semacam ini sulit dijadikan justifikasi pandangan bahwa keputusan PDIP sebagai Parpol oposisi akan memperkuat jatidiri untuk menumbuhkan kepercayaan rakyat pada Pemilu 2014. Oposisi dicanangkan PDIP bisa jadi hanya semacam ”pencitraan” untuk masa depan perolehan suara pemilih, bukan masa depan demokrasi dan kehidupan kebanyakan ”wong cilik”.

Perilaku Politik Kepartaian di DPR

Dalam kenyataannya, kebanyakan Parpol berhasil menempatkan anggota di DPR cenderung menghindari perilaku oposisional terhadap Pemerintah atau kekuasaan eksekutif. Hampir seluruh kekuatan politik di DPR diserap oleh Pemerintah, yakni Partai Demokrat, Partai Golkar, PKS, PAN, PPP dan PKB. Semua Parpol besar dan menengah menempatkan wakil di jajaran Kabinet (Menteri), kecuali PDIP, Partai Hanura dan Partai Gerindra. Parpol terjebak pragmatisme, tidak memerlukan pemikiran matang dan ideologi kokoh. Pragmatisme hanya memperhitungkan keuntungan praktis. Uang dan kursi kekuasaan sering kali menjadi tawaran menarik bagi kaum pragmatis. Hal ini diperkuat lagi proses rekruitmen/penempatan anggota Parpol belum memadai, di samping kualitas pengetahuan sumber daya manusia (SDM) masih rendah dalam politik atau ”miskin” pengalaman politik, dan juga keterbatasan memahami fungsi dan tugas-tugas DPR. Di samping itu, tingkat loyalitas anggota DPR lebih tinggi terhadap kepentingan Parpol ketimbang kepada konstituen/rakyat. Parpol masih memegang kendali kuat atas anggota-anggota Parpol tersebut di DPR.

Ketidakhadiran oposisi politik di DPR akan membawa konsekuensi negatif terhadap proses demokratisasi, yakni watak rezim kekuasaan eksekutif masih mengarah otoriterianisme. Segala kebijakan Pemerintah akan mudah diterima sekalipun kebijakan berpotensi merugikan kepentingan rakyat. Mengacu pada sebagian pengamat politik di Indonesia, ketidakhadiran oposisi terlembaga bermakna rezim kekuasaan tidak demokratis, diktatorial atau tetap oligarkis, yaitu kekuasaan dipegang oleh beberapa orang. Karena itu, Parpol tidak dapat ikutserta melakukan upaya percepatan proses demokratisasi dan pada gilirannya tidak juga dapat sungguh-sungguh ikutserta melakukan upaya percepatan proses pembebasan rakyat Indonesia dari ”kemiskinan” dan ”keterbelakangan” dalam kebutuhan pokok makanan, perumahan, kesehatan, pendidikan, dll.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda