Minggu, 08 November 2009

Sikap GD Aktivis 77/78 ttg Korupsi Bank Century

OLEH
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP

Kebijakan pemerintah tentang aliran dana publik lebih dari Rp. 6 trilyun ke Bank Century yang dikeluarkan tanpa persetujuan dan mendapat penolakan dari DPR menunjukkan indikasi adanya state capture corruption (kejahatan negara terhadap warga negara). Kebijakan pemerintah dan negara kemudian lebih mengutamakan kepentingan pemilik modal Bank Century (termasuk orang asing) dan korporat-korporat yang memiliki dana di bank tersebut. Di lain pihak kepentingan kebanyakan nasabah diabaikan. Kebijakan-kebijakan ini sangat jelas telah merugikan keuangan warga negara.

Nasabah Bank Century mengajukan tuntutan publik agar dana mereka dikembalikan. Hingga kini mereka terus berjuang, baik melalui jalur hukum maupun politik. Namun baik Pemerintah maupun Bank Century (kini Bank Mutiara) belum memenuhi tuntutan para nasabahnya, meskipun secara hukum mereka telah memenangkan perkara. Dalam hal ini pihak Bank Century telah diputus pengadilan sebagai pihak bersalah (Pengadilan DI Yogyakarya).

Dengan latar-belakang tersebut, sekaligus untuk memperingati hari Sumpah Pemuda, Group Diskusi (GD) Aktivis 77/78 menyelenggarakan diskusi publik di Jakarta pada 28 Oktober 2009. Beberapa butir pemikiran yang dikemukakan dalam diskusi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Dalam menangani kasus Bank Century seharusnya pihak pemerintah dan Bank Indonesia, berdasarkan data PPATK, membuka ke mana saja aliran dana Bank Century. Aliran dana ini meliputi aliran dana Bank Century, baik sebelum maupun setelah mendapat suntikan dari Bank Indonesia atau LPS (Lembaga Penjamin Simpanan). Ketertutupan tentang aliran dana ini telah menimbulkan spekulasi bahwa dana sebesar 6,8 triliun rupiah telah diselewengkan untuk tujuan politik dan kekuasaan.

2. Kerugian negara akibat dari kasus Bank Century menyisakan tanda tanya besar. BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) kini memeriksa seberapa besar dana yang telah dikucurkan ke Bank Century dan untuk apa saja dialokasikan. Semula pada 14 Nopember 2008 untuk menyelamatkan Bank Century hanya dibutuhkan dana 689,39 miliar rupiah yang diambil dari fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP). Tetapi karena rasio kecukupan modal (CAR) Bank Century di bawah 8% (sejak 31 Oktober 2008 CAR Bank Century sudah minus 3,53%), maka untuk memenuhi CAR dibutuhkan dana sebesar 4,9 triliun rupiah. Sementara Perppu yang sudah berlaku selama 3 bulan ditolak oleh DPR, KSSK malahan mengucurkan lagi dana 1,7 triliun rupiah. Bahkan pada akhirnya dana yang dikucurkan mencapai angka 6,8 triliun rupiah.

3. Kepercayaan publik terhadap sistem perbankan kini merosot karena minimnya peran BI dalam masalah pengawasan bank. Kalau persoalan sebuah bank bisa dideteksi sejak dini, maka dana-dana talangan yang dikucurkan LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) tidak akan sebesar sekarang ini. Bila BI dalam hal ini tegas memberikan sanksi kepada manajemen Bank Century, sejak diketahui menjual produk reksadana bodong pada 2003-2005, kerugian nasabah juga tidak akan sebesar sekarang. BI juga gagal melakukan rekruitmen agar bank dikelola oleh orang-orang yang bisa dipercaya (kredibel) dan cakap (capable) serta tidak memiliki conflict of interest. Kalau rekruitmen dilakukan dengan baik, Bank Century tidak akan mengalami kalah kliring dan minusnya rasio kecukupan modal bank tersebut.
Penyakit kronis yang diderita Bank Century telah dibiarkan berlarut-larut sampai akhir 2008, sehingga menghancurkan sistem perbankan nasional yang selama ini dibangun dengan susah payah. Semua ini harus bisa dijelaskan kepada publik, karena menyangkut dana-dana yang berasal dari publik. Sebagian dana talangan tersebut juga berasal dari pemerintah (setoran modal) yang berarti juga dana masyarakat banyak.

4. Sebelumnya dalam menghadapi skandal Bank Bali yang merugikan negara 1 triliun rupiah pemerintah tidak melakukan suntikan dana yang besar. Sebaliknya untuk bank kecil sekelas Bank Century, kini harus dikucurkan dana 6,8 triliun rupiah. Kenyataan ini sangat mengerikan, bahkan hal ini sudah merupakan satu perampokan, menurut mantan wakil presiden Yusuf Kalla.
Kalau alasan penyelamatan oleh Bank Indonesia (BI) dan Departemen Keuangan (Depkeu) karena akan terjadi resiko sistemik sebagaimana direkomendasikan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK), maka hal tersebut tidak masuk akal. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) hanya memiliki cadangan uang 18 triliun rupiah, tetapi 30 persen sudah dikuras untuk penyelamatan Bank Century. Artinya LPS hanya dapat digunakan untuk tiga bank. Sementara ada ratusan bank di republik ini yang harus dijamin dana deposannya.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) harus melakukan audit di balik penyebab bengkaknya bailout (dana talangan) Bank Century akibat sejumlah deposan kakap pemegang reksa dana Antaboga secara diam-diam beralih ke deposito. Tujuan mereka jelas, agar mendapat penjaminan dari LPS pada saat bank mengalami kesulitan likuiditas. Membengkaknya dana suntikan hingga 6,8 triliun rupiah menandakan bahwa LPS gagal menyehatkan Bank Century. Padahal proposal FPJP untuk proses penyelamatan bank itu semula hanya sebesar Rp 1,3 triliun. Hal ini disebabkan karena deposan kelas kakap di Bank Century telah mendapat bunga simpanan tak wajar lebih tinggi daripada suku bunga standar LPS.

5. Deposan kakap di Bank Century, yang berinvestasi di Antaboga Delta Sekuritas, diduga adalah beberapa keluarga konglomerat. Walaupun mereka membantah, nama deposan perorangan kelas kakap di Bank Century yang sering disebut-sebut adalah Boedi Sampoerna, Arifin Panigoro, serta Murdaya Poo (Hartati Murdaya). Para deposan kakap ini juga ikut campur dalam penyelamatan Bank Century.
Para deposan kakap memperoleh bunga lebih besar daripada nasabah lain. Deposan-deposan kakap itu juga menjadi donatur dari salah satu partai pemenang pemilu. Satu-satunya deposan kakap Bank Century yang belum membantah adalah Budi Sampoerna. Pemilik perusahaan rokok PT HM Sampoerna itu menyimpan dana sebesar 2 triliun rupiah di Bank Century.
Skandal Bank Century masih akan panjang dan belum memasuki aspek kriminalitas dan dugaan dana bailout untuk menyelamatkan dana deposan kakap dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang menyetorkan sejumlah dana politik. Juga perlu diselidiki adanya informasi bahwa deposan-deposan kakap tersebut ikut memengaruhi pengambilan keputusan penyelamatan Bank Century. Sebagian deposan itu merupakan donatur dari partai politik tertentu. Mereka sering disebut sebagai elit yang jumlahnya sekitar 10 orang yang menguasai 50 persen dari total dana simpanan di Bank Century.

Berdasarkan butir-butir pemikiran tersebut, maka GROUP DISKUSI Aktivis 1977-1978 (GD Aktivis 77/78) menyatakan sikap sebagai berikut:

1. Kasus Bank Century sudah menjurus sebagai kejahatan negara kepada warga negara (state capture corruption) yang mengakibatkan hilangnya kepercayaan warga negara terhadap dunia perbankan nasional. Oleh karena itu Penyelenggara Negara harus bertanggung-jawab untuk segera menyelesaikan kasus tersebut secara transparan dan akuntabel dengan jalan:
a. Penyelesaian pengembalian dana para nasabah Bank Century secepatnya tanpa diskriminasi, sebagai wujud perlindungan negara terhadap warga negara.
b. Menuntut pertanggung-jawaban manajemen Bank Century secara hukum.
c. Menuntut pertanggung-jawaban Bank Indonesia dalam fungsi pengawasan terhadap perbankan nasional, khususnya Bank Century.
d. Menuntut pertanggung-jawaban pemerintah secara transparan dalam mengeluarkan kebijakan terhadap Bank Century.

2. Untuk menghindari semua prasangka buruk para pihak tersebut di atas, solusinya adalah Pemerintah harus membuka secara transparan aliran dana Bank Century kepada publik.

3. Menuntut KPK agar segera mengusut kasus Bank Century, sebagai kasus pidana luar biasa yang memiliki implikasi publik yang sangat mendalam secara sosial, politik, dan ekonomi.

Jakarta, 30 Oktober 2009
Group Diskusi Aktivis 77/78 :

Abdulrachim
Agus Suroto
Ahmad Gani
Alben Sidahuruk
Alwis Dahlan
Awad Bahasoan
Biner Tobing
Cahyono Eko Sugiarto
Darwis Darlis
Dwi Soebawanto
Elong Suchlan
Erfanto Sanaf
Indro Tjahyono
Krisnan Muljono
M. Hatta Taliwang (Koordinator)
M. Singgih
Mahmud Madjid
Maruli Gultom
Muchtar Effendi Harahap
Muslich Asikin
Nizar Dahlan
Policarpus da Lopez
Roel Sanre
Samuel Koto
Setiadarma
Sismulyanda Barnas
Solo Simanjuntak
Suluh Tjiptadi
Sutopo
T.M Aryadi
Tashudi
Teuku Iskandar
Umar Marrasabessy

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda