Kamis, 12 November 2009

Menelaah Skandal Korupsi Bank Century

MENELAAH SKANDAL KORUPSI BANK CENTURY
Oleh
Muchtar Effendi Harahap




Indonesia terus tercatat sebagai “juara” di antara negara-negara yang tingkat korupsinya tinggi di dunia. Bahkan, fenomena “state capture corruption”, korupsi sandera negara, telah mengambil tempat semakin meluas, terutama di bawah era reformasi ini. Jenis korupsi yang “paling berbahaya” ini sedang melumpuhkan kemampuan bangsa Indonesia mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Kekuasaan negara seperti Pemerintah (eksekutif), DPR (legislatif) dan Mahkamah Agung (yudikatif) secara sadar atau tidak telah membuat keputusan-keputusan yang merugikan negara dan publik (korupsi) dalam rangka menghamba pada kepentingan korporasi lokal maupun asing (korporatokrasi internasional).

Dengan kata lain, sebuah korporasi atau gabungan korporasi asing (korporatokrasi internasional) lewat pemerintah yang sedang berkuasa mampu membeli peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah, mendiktekan kontrak harga di bidang-bidang seperti perbankan, pertambangan, pertanian, kehutanan, pendidikan, pertahanan, dll. Akibatnya pemerintah sendiri hanya sekedar kepanjangan tangan korporasi-korporasi besar dan asing.

Menelaah secara cermat skandal korupsi aliran dana publik dari dari LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) ke Bank Century, selanjutnya disebut sebagai “skandal korupsi Bank Century “ dapat menyimpulkan bahwa skandal ini tergolong “state capture corruption”, korupsi sandera negara, terjadi dalam era pemerintahan SBY (tahun 2004-2009). Sebagai tergolong korupsi raksasa, bagaimanapun, telah melibatkan sejumlah ‘aktor”, termasuk aktor-aktor tertentu dalam pemerintahan (Eksekutif, legislatif dan yudikatif), disamping korporasi lokal dan asing. Kasus Bank Century ini sesungguhnya mencakup dua masalah utama, yakni:

Pertama, aksi PT. Antaboga Deltasekuritas menjual produk investasi sejak 2002-2008. Pemilik Antaboga juga pemilik Bank Century, Robert Tantular, menggunakan tenaga pemasaran dan kepala cabang Bank Century untuk “membujuk” nasabah Century memindahkan dananya ke Antaboga, tetapi pada 17 November 2008 gagal bayar. Polisi menyatakan adanya penggelapan uang nasabah. Akibatnya, sekitar Rp. 1,5 triliyun dana nasabah—sebagian besar nasabah Bank Century—menguap. Manajemen Bank Century telah melakukan penipuan terhadap nasabah. Hingga kini, kalangan nasabah yang dirugikan terus berjuang baik melalui jalur hukum maupun politik. Mereka melalui jalur hukum telah berhasil memenangkan perkara melalui keputusan Pengadilan, namun manajemen Bank Century dan Pemerintah SBY tidak menindak lanjuti keputusan itu dalam bentuk pengembalian dana nasabah.

Kedua, Kebijakan pemerintah tentang aliran dana publik dari LPS ke Bank Century sebesar Rp. 6,7 triliyun tanpa persetujuan DPR-RI dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Sekandal korupsi Bank Century ini cukup mendapat sorotan publik, yang telah berimplikasi terhadap konflik terbuka Polri-KPK dalam kasus penahanan Ketua KPK Bibit dan Chandra oleh Polri. Masalah ini, disamping trkait dana Rp. 6,7 triliyun, menurunkan masalah lain yakni tindak pidana korupsi dalam proses pelaksanaan kebijakan. Diduga, dana tersbut mengalir kepada fihak-fihak yang sesungguhnya tidak berhak untuk menerima. Bahkan dalam sorotan publik diduga sebagian dana “talangan” itu telah digunakan untuk keperluan kampanye pasangan SBY-JK dalam Pemilu Pilpres 2009.

Berbagai penilaian publik telah muncul bahwa kebijakan aliran dana publik ke bank Century melanggar peraturan perundang-undangan, antara lain:

1. UU No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Pasal 26-29 dan Pasal 50A.
2. UU No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Pasal 5 Butir (a) Ayat 1 dan Butir (g) dan (i).
3. UU No. 23 Tahun 1999 sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 2 Tahun 2008 tentang Bank Indonesia, Pasal 11 dan Pasal 34.
4. UU No. 24 Tahun 2004 yang telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2008 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Pasal 11 Ayat 1.
5. UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 35 Ayat 3 dan 4.
6. Keputuan Presiden No.95 Tahun 2004 terkait Balanket Guarantee.
7. UUD Tahun 1945, khususnya Pasal 22 Ayat 1,2 dan 3.

Di lain fihak, sejumlah anggota DPR-RI menilai kebijakan ini sebagai tidak memiliki dasar hukum. Pemerintah pernah mengajukan PERPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) tentang Jaring Pengamanan Sistem Keuangan sebagai dasar hukum pemberian dana dimaksud, namun DPR menolaknya. Bahkan ada anggota DPR menilai kebijakaan “bailout Bank Century” ini tergolong ilegal, kriminal dan masuk tindak pidana.

Laporan Kemajuan Pemeriksaan Investigasi BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) atas kasus bank Century juga menyebutkan, terdapat indikasi praktik-praktik operasi perbankan di Bank Century yang tidak sehat yang merugikan bank dan berpotensi membebani keuangan negara, yaitu:

1. Penggelapan hasil penjualan surat-surat berharga Bank Century oleh pihak terkait senilai USD 7 juta;
2. Hasil penjualan surat-surat berharga sebesar USD 30.28 juta dijadikan jaminan pengambilan kredit oleh fihak terkait (FGAH) dan karena kreditnya macet, maka dana hasil penjualan surat-surat berharga milik Bank Century tersebut di-set off oleh Bank;
3. Pemberian kredit fiktif senilai Rp. 397,97 miliyar kepada pihak terkait dan pemberian LC Fiktif sebesar USD 75,5 juta;
4. Surat-surat berharga milik Bank Century senilai USD 45 juta yang telah jatuh tempo tidak diterima hasilnya oleh BC karena surat berharga tersebut masih dikuasai oleh salah satu pemegang saham;
5. Manajemen Bank Century diduga melakukan pengeluaran biaya-biaya fiktif senilai Rp. 209,80 miliyar dan USD 4,72 juta sejak tahun 2004 s/d Oktober 2008.

Skandal ini juga mencakup pelarian asset Bank Century Rp. 11,6 triliyun ke luar negeri sebagaaimana telah diduga oleh Kejaksaan Agung. Institusi penegak hukum uni telah menetapkan dua orang tersangka dalam kasus pelarian ini, yakni Komisaris Bank Century Hesyam Al Waraq dan pemegang saham pengendali Bank Century Rafat Ali Rivai. Keduanya menguasai Bank Century melalui korporasi asing First Gulf Asia Holdings Limited. Kejaksaan Agung menargetkan kasus ini sudah bisa maju ke pengadilan pada akhir Januari 2010 Pengadilan akan digelar secara in absentia karena dua tersangka saat ini berstatus buron.

Skandal korupsi Bank Century ini sudah menjurus sebagai kejahatan negara kepada warga negara yang mengakibatkan hilangnya kepercayaan warga negara terhadap dunia perbankan nasional. Karena itu, Grup Diskusi (GD) Aktivis 77/78 menuntut:

1. Penyelenggara Negara harus bertanggungjawab untuk segera menyelesaikan skandal korupsi ini secara transparan dan akuntabel.
2. Penyelesaian pengembalian dana para nasabah Bank Century secepatnya tanpa diskriminasi, sebagai wujud perlindungan negara terhadap warga negara.
3. Pertanggungjawaban manajemen Bank Century secara hukum.
4. Pertanggungjawaban Bank Indonesia dalam fungsi pengawasan terhadap perbankan nasional, khususnya Bank Century.
5. Pertanggungjawaban pemerintah secara transparan dalam mengeluarkan kebijakan terhadap Bank Century.
6. Pemerintah harus membuka secara transparan aliran dana Bank Century kepada publik.
7. KPK agar segera mengusut kasus Bank Century sebagai kasus “pidana luar biasa” yang memiliki implikasi publik yang sangat mendalam secara sosial, politik dan ekonomi.

Setidaknya ada 6 (enam) komponen strategis yang telah dan sedang melakukan kegiatan sehubungan pemecahan masalah skandal ini, yakni:

Pertama, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), semakin menguat desakan masyarakat atau publik baik di Pusat maupun daerah ditujukan kepada KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) agar mengusut tuntas skandal ini. Terdapat keyakinan, KPK bisa menggunakan “bukti rekaman telepon” (telah dibuka di Mahkamah Konstitusi) untuk menguatkan proses penyidikan terhadap berbagai pihak yang diduga terlibat skandal yang menyedot uang publik hingga Rp. 6,7 triliyun.

Kedua, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), berbagai kelompok masyarakat juga mendesak BPK agar segera menyelesaikan audit investigasi Bank Century sehingga skandal ini bisa segera ditangani KPK. Sementara ini, BPK telah mengeluarkan “Laporan Kemajuan Pemeriksanaan Investigasi atas Kasus Bank Century”. Laporan awal ini mengungkapkan penemuana adanya indikasi pelanggaran pidana. Ada sekitar 100 rekening yang telah mendapatkan pengaliran dana publik yang diberikan ke Bank Century. Melalui laporan ini, BPK telah berjanji, akan melanjutkan pemeriksanaan sesuai dengan Standar Pemeriksanaan Keuangan Negara agar BPK memiliki dasar yang memadai untuk mengambil kesimpulan atas bank Century sesuai permintaan DPR.

Ketiga, PPATK (Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan), merupakan komponen strategis untuk menunjang pekerjaan BPK dan KPK. Kedua lembaga ini membutuhkan bantuan PPATK, dan masih menunggu hasil penelusuran aliran dana. Hasil pekerjaan PPATK dapat membantu BPK untuk menentukan apakah ada indikasi pelanggaran hukum atau tidak dan pada gilirannya KPK akan jalan terus melanjutkan penyelidikan atau tidak.

Keempat, DPR-RI, telah muncul prakarsa tentang “Hak Angket”. Bermula dari fraksi PDI-P, Hanura dan Gerindra, terus menggulirkan prakarsa hak angket atas skandal korupsi Bank Century. Hingga acuan ini dibuat, prakarsa ini masih tahap usulan, dan lembar dukungan hak angket telah ditandatangani lebih 70 anggota DPR-RI. Draft Hak Angket segera diajukan ke Badan Musyawarah (Bamus), kemudian baru di bawa ke rapat paripurna untuk menda persetujuan. Namun, terutama fraksi pendukung Pemerintah berkilah, menunggu hasil audit akhir BPK. Ada fraksi pendukung menekankan, jika BPK menyatakan ada pelanggaran pidana, mereka juga akan ikut mensponsori hak angket. Hingga kini prakarsa hak angket ini belum juga bergulir di Sidang Paripurna. Melalui penggunaan hak angket ini, diharapkan juga DPR dapat menekan Pemerintah untuk memedulikan nasib sekitar 1.000 nasabah Bank Century yang kini nasibnya terkatung-katung.

Kelima, kelompok nasabah yang dirugikan, telah berjuang melalui jalur hukum dan politik. Khusus jalur hukum, mereka telah memenangkan perkara di pengadilan, yang memutuskan bahwa manajemen bank Century bersalah. Perjuangan hukum ini berlangsung di Yogyakarta dan Jakarta. Saat itu terdakwa Robert Tantular, pemegang saham sekaligus komisaris Bank Century, diancam dengan UU Perbakan dan divonis empat tahun penjara. Namun, Pemeirntah dan Bank Century tetap saja tidak mengembalikan dana milik nasabah yang dirugikan ini. Kelompok nasabah ini juga berjuang bersama sejumlah lawyer (advokat), TPK (Tim Pengacara Rakyat) melalui class action (gugatan perwakilan kelompok warga). Mereka menggugat tentang perbuatan melawan hukum oleh Pemerintah RI Cq. Menteri Keuangan RI, Gubernur BI dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Presiden RI. Namun, dalam sidang ketiga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, gugatan ini ditolak hakim tanpa alasan jelas. Ini penolakan negara yang kesekian yang dialami nasabah.

Keenam, kekuatan masyarakat madani lainnya, telah bertindak sebagai komponen strategis antara lain: Grup Diskusi Aktivis 77/78, ICW, FUI (Forum Umat Islam), Kelompok Kerja Organisasi Kemasyarakatan Islam, Masyarakat Profesional, Komunitas Mahasiswa Raya, Serikat Rakyat Miskin Indonesia, HMI, PMKRI, Ikatan Mahasiswa Muhamadyah, Gerakan Masyarakat Jawa Timur untuk Supremasi Hukum, Komite Indonesia Bangkit, sejumlah BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa), aktor individual (Syafii Maarif, Dien Samsyudin, Gus Dur, Hasyim Muzadi), dan juga partai politik (PDIP, Gerindra dan Hanura).

Bagaimanapun juga, skandal korupsi Bank Century ini sebagai masalah nasional dalam sorotan publik belum terpecahkan. Uang kalangan nasabah belum dikembalikan, dana Rp. 6,7 triliyun milik publik belum dapat dikembalikan/ditarik, pelaku tindak pidana korupsi atas penggunaan dana Rp. 6,7 triliyun itu belum teridentifikasi, apalagi diajukan ke pengadilan. Karena itu, segenap komponen masyarakat madani masih perlu membangun persepsi yang sama dan bersinerji untuk mencari solusi ( cara pemecahan masalah) dan tindak lanjut untuk dilaksanakan sesuai dengan pilihan dan kemampuan masing-masing. Diharapkan tercapainya solusi skandal korupsi Bank Century ini akan mendorong dan meningkatkan upaya masyarakat madani untuk memberantas fenomena “state capture corruption” (korupsi sandera negara) yang telah mengambil tempat semakain luas di Indonesia, khususnya dalam era reformasi ini. Fenomena ini harus diberantas karena membawa dampak negatif sangat besar terhadap proses demokratisasi politik dan ekonomi sebagai syarat utama untuk peningkatan kesejahteraan dan taraf hidup rakyat.

Kegiatan strategis yang bisa diambil komponen masyarakat madani seperti partai politik, ormas, mahasiswa, LSM, tokoh-tokoh nasional, kalangan jurnalis, dan juga kelompok nasabah yang dirugikan, terfokus pada “penekanan” (pressure) terhadap komponen-komponen strategis (KPK, BPK, PPATK, dan DPR). Bentuk kegiatan penekanan ini tentu saja tergantung “pilihan” dan “kemampuan” komponen masyarakat madani itu sendiri. Setelah itu, komponen masyarakat madani memuarakan kiatan penekanan dan penguatan KPK.

Intitusi penegak hukum ini (KPK) harus didorong untuk bisa langsung mencapai satu sasaran strategis, yakni memenjarakan dan mengajukan ke pengadilan para pelaku tindak pidana korupsi terutama dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan “bailout” Bank Century. Sasaran strategis lainnya adalah Bank Mutiara (nama baru Bank Century) segera mengembalikan dana publik (LPS) yang diterimanya (Rp. 6,7 triliyun) dan juga dana milik sekitar 1.000 nasabah (sekitar Rp. 1,5 triliyun).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda