Selasa, 19 September 2017

KRITIK DAN KECAMAN ATAS PERMEN LHK P.39 TAHUN 2017 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL DI WILAYAH KERJA PERUM PERHUTANI

KRITIK DAN KECAMAN ATAS PERMEN LHK P.39 TAHUN 2017 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL DI WILAYAH KERJA PERUM PERHUTANI Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS) Lahirnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan P.39/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017 tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani telah menimbulkan kritik dan kecaman dari berbagai pihak. Kritik dan kecaman muncul dari tasfir atas peraturan tersebut serta analisis berbagai kemungkinan yang akan terjadi dalam implementasinya. Berikut ini beberapa kritikan dan kecaman dimaksud, yakni Permen LHK No. P39 itu: 1. Untuk bagi-bagi lahan hutan tanpa kontrol. 2 Bertentangan dgn Pasal 48 PP No. 6/ 2007 ttg Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. menyatakan, pejabat pemerintah dilarang menerbitkan izin pemanfaatan hutan di area kerja badan usaha milik negara bidang kehutanan pengelola hutan. 3. Memberi kesempatan kepada para pemegang ijin pemanfaatan hutan perhutanan sosial (IPHPS) membabat kayu di dalam hutan lindung. 3. Ribuan pemegang IPHPS tidak cakap menjadikan kondisi hutan Indonesia rusak dan bencana alam. 5. Kondisi rawan konflik horisontal karena di areal Perum Perhutani tertentu sudah ada "ijin pemanfaatan hutan" bagi masyarakat. 6. Kuantitas dan kualitas hutan di pulau Jawa menurun. 7. Kepentingan politik dan bisnis dimiliki pemerintah.Diduga ada potensi pengusaha ikut mengelola kawasan perhutani dan mengubah peruntukan lahan. 8.Tanpa melibatkan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH), Kelompok Tani Hutan (KTH) dan stakeholder lainya. Beragam kritik dan kecaman ini kemudian bermuara ke suatu aksi bersama pd awal September 2017 ini .Yaitu mengajukan uji materil Permen LHK P.39 tsb kepada Mahkamah Agung (MA). Target para Penggugat atau Pengaju Uji Materil adalah dibatalkan atau dicabutnya Permen LHK tsb. sehingga tidak diimplementasikan. Tentu saja para Penggugat ini memiliki kepentingan termasuk ekonomi atas aksi bersama menggugat Permen LHK P.39 ini. Kritik dan kecaman terkait khusus butir 1, "bagi2 lahan tanpa kontrol", sungguh memanipulasi kandungan Permen LHK P.39. Secara normatif dan substansial tidak ada "bagi2 lahan". Lahan Perum Perhutani terlantar lebih 5 tahun hingga 15 tahun akan dimanfaatkan oleh rakyat sekitar lahan tsb pada prinsipnya rakyat hanya memiliki hak akses ke lahan dalam bentuk penerimaan Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial, disebut IPHPS. IPHPS adalah usaha dalam bentuk pemanfaatan kawasan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu dlm hutan tanaman, pemanfaatan air, enerji air, jasa wisata alam, sarana wisata alam, penyerapan dan penyimpanan karbon dan penyimpanan di hutan produksi dan lindung. IPHPS di berikan kepada masyarakat untuk memanfaatkan kawasan hutan di wilayah kerja Perum Perhutani. Tujuannya, guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. IPHPS ini diberikan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi. Siapakah sebagai Penerbit IPHPS? Bukan Dirut Perum Perhutani sebagai korporasi negara, bukan juga Pemda, tetapi Pemerintah (Pusat) dlm hal ini Direktur Jenderal atas nama Menteri LHK. Intinya, IPHPS ini bukan bagi2 lahan Perum Perhutani, tetapi pemanfaatan oleh rakyat sekitar lahan yang terlantar lebih 5 tahun hingga 15 tahun. Diberi jangka waktu IPHPS 35 tahun, dievaluasi paling sedikit 1 kali 5 tahun. Diperpanjang atau tidak IPHPS ini tergantung hasil evaluasi 5 tahun ini. Jadi, rakyat tidak memiliki lahan dimaksud, tetap milik negara yang bisa diambil kembali karena rakyat bersangkutan tidak melaksanakan kewajiban. Apa kewajiban pemegang IPHPS? 1. Menjaga arealnya dari perusakan dan pencemaran lingkungan; 2. Memberi tanda batas areal kerjanya; 3. Menyusun rencana pemanfaatan jangka panjang 10 thn dan pendek 1 thn; 4. Melakukan penanaman dan pemeliharaan hutan di areal kerjanya; 5. Melaksanakan tata usaha hasil hutan; dan, 6. Melaksanakan fungsi perlindungan. Kecuali ada kewajiban pemegang IPHPS, juga memiliki hak. 1. Melakukan kegiatan pd areal IPHPS;2. Mendapat perlindungan dari gangguan perusakan dan pencemaran lingkungan atau pengambilalihan sepihak oleh pihak lain; 3. Mengelola dan memanfaatkan kawasan hutan sesuai fungsinya; 4. Mendapatkan pendampingan, termasuk teknologi, akses pembiayaan dan pemasaran; 5. Mendapatkan hasil usaha; 6. Bermitra dgn BUMN dan BUMS. Kritik dan kecaman butir 1 di aitas juga mengklaim " tanpa kontrol". Kritik ini apriori tanpa memahami Permen LHK P39, terutama Bab V Pendampingan, Bab VII. Monitoring dan Evaluasi, Bab VIII Pembinaan dan Fasilitasi dan Bab IX Sanksi. Bab2 ini secara detail mengatur pemegang IPHPS sebagai komponen strategis kontrol atas pemegang IPHPS. Adalah keliru dan apriori penilaian pengkritik Permen LHK P39 bahwa pemegang IPHPS tanpa kontrol. Jika ditelaah secara seksama, justru kebijakan perhutanan sosial ini sangat menekankan aspek kontrol terhadap pemegang IPHPS.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda