Selasa, 19 September 2017

KEBIJAKAN PERHUTANAN SOSIAL: AKAN BERDAMPAK PADA HUTAN DI JAWA ?

KEBIJAKAN PERHUTANAN SOSIAL: AKAN BERDAMPAK PADA HUTAN DI JAWA ? Oleh YAMINUDIN (Peneliti Senior Community Development NSEAS) Kritik masyarakat penggugat Permen LHK No. P.39 Tahun 2017 menunjukkan semakin meluas dan melebar yang bisa jadi tidak ada kaitannya atau kontroversial dengan apa maksud dan tujuan penerbitan Permen ini. Ada kelompok Pengkritik menilai, Permen LHK No. P.39 Tahun 2017 dalam implementasinya akan menyebabkan kuantitas dan kualitas hutan di pulau Jawa menurun. Bagi Pengkritik, bukannya kesejahteraan masyarakat desa hutan meningkat, tetapi justru semakin menurunnya kuantitas dan kualitas hutan di Pulau Jawa. Penilaian Pengkritik ini sesungguhnya memiliki mispersepsi tentang kebijakan perhutanan sosial berupa Permen LHK No. P. 39 Tahun 2017. Kebijakan perhutanan sosial di Pulau Jawa ini justru meningkatkan kuantitas dan kualitas hutan melalui pola tanam ditentukan. Kebijakan perhutanan sosial di Pulau Jawa berangkat dari issu al. antara lain krisis ekonologi dengan luasnya lahan hutan tidak bertutupan alias gundul, diperkirakan mencapai lebih 300 ribu Hektar dengan zona adaptif 800 ribu Hektar. Pemerintah membuat kebijakan perhutanan sosial di hutan negara di Pulau Jawa, khusus di wilayah kerja Perum Perhutani. Kebijakan ini disamping memperhatikan kesejahteraan dan kebutuhan lahan produksi petani, juga memperhatikan peningkatan kuantitas dan kualitas hutan. Secara kuantitas masyarakat penerima Izin Pengelolaan akan menambah luas hutan, sementara kualitas hutan juga akan meningkat. Akan terhindar praktek jual beli lahan garapan di kawasan hutan, pungli hasil pertanian petani di hutan, konflik kawasan hutan, yang menyebabkan krisis ekologi karena tidak mampu memulihkan tutupan lahan. Perhutanan sosial ini adalah wujud negara hadir. Negara akan memberikan pendampingan dan perlindungan kepada masyarakat petani hutan. Karena itu, negara akan terlibat langsung untuk bersama masyarakat pemegang izin pengelolaan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas hutan. Bagaimanapun, usaha pengelolaan hutan oleh masyarakat akan meningkatkan kuantitas dan kualitas hutan. Jika Para Pengritik membaca sungguh-sungguh Permen LHK No. P. 39 Tahun 2017, mereka akan menemukan adanya jaminan masyarakat pemegang izin harus menggunakan pola tanam telah ditentukan sehingga kuantitas dan kualitas hutan meningkat, bukan menurun. Perhutanan sosial dapat diberikan pada wilayah kerja dengan “tutupan“ dari atau sama dengan 10 % secara terus menerus dan kurun waktu 5 tahun atau lebih. Di lahan tutupan 10 % ini IPHPS dalam Hutan Produksi dengan pola tanam budidaya tanaman pokok hutan 50 %; tanaman multi guna 30 %; dan, tanaman semusim 20 %. Untuk hutan lindung, pola tanam tanaman kayu non fast growing species untuk perlindungan tanah dan air 20 %; tanaman multi guna 80 %; tanaman di bawah tegakan berupa tanaman selain jenis umbi-umbian dan/atau tanaman lainnya yang menyebabkan kerusakan hutan. Ketentuan pola tanam dalam Permen LHK No. P.39 Tahun 2017 ini sangat tidak memungkinkan terjadi penurunan kuantitas dan kualitas hutan, justru akan terdapat kondisi peningkatan. Penilaian Pengkritik juga dapat dipatahkan dengan hasil berbagai riset pengelolaan hutan baik di Indonesia maupun di Eropa. Hal ini bukan wacana baru di kalangan Pegiat atau Pemerhati kehutanan, termasuk di Pulau Jawa. Hutan yang dikelola masyarakat jauh lebih menguntungkan secara ekonomi, ekologi dan sosial.Permen LHK No. P.39 Tahun 2017 ini bisa dinilai sebagai upaya reformasi pengelolaan hutan, mempunyai keberpihakan terhadap rakyat, dan meningkatkan kuantitas dan kualitas hutan di Pulau Jawa. Adalah salah dan tidak terbukti secara emperis penilaian bahwa masyarakat pemegang izin pengelolaan hutan di Pulau Jawa akan membuat kuantitas dan kualitas hutan menurun.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda