Sabtu, 23 April 2016

AHOK TAK LAYAK GEBERNUR: SUKA KONFLIK SESAMA PENYELENGGARA NEGARA

Pada 2015 dan 2016. Gubernur Ahok tercatat sudah sering berkonflik dengan sesama penyelengagar negara. Tidak cuma individu, Ahok juga beberapa berkonflik dengan sejumlah lembaga. Lembaga-lembaga dimaksud yakni DPRD DKI Jakarta, DPRD Kota Bekasi, Kemendagri, BPK, IBDN, DPR, Wapres, bahkan anak buah sendiri. 1.KONFLIK dgn DPRD DKI Jakarta: Salah satu issue politik di DKI Jakarta di bawah Gubernur Ahok adalah konflik terbuka antara Ahok dan DPRD DKI Jakarta. Ahok Secara Terbuka Bersikap Konflik dengan DPRD. Gubernur Ahok dan DPRD DKI Jakarta sebagai perwakilan rakyat seharusnya dapat terbangun dalam pelaksana tugas dan wewenang masing-masing dengan dasar kemitraan, hubungan kerjasa sama harmonis dan sinerjik untuk menjamin penyelenggaraan urusan pemerintahan efektif dan demokratis (UU No. 23/2014 tentang Pemerintah Daerah). Namun, Ahok secara terbuka bersikap konflik, memiliki visi berbeda dan bertentangan dengan DPRD. Ahok juga sering mengeluarkan kata-kata kotor dan kasar ke publik. Konflik Ahok dan DPRD DKI Jakarta terjadi pada awal 2015. Konflik berawal saat Ahok menuding para anggota Dewan telah memasukan "anggaran siluman" pada rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah (RAPBD) DKI 2015. Ahok menyebut jumlahnya mencapai Rp 12,1 triliun. Tindakan Ahok dinilai DPRD telah menyalahi peraturan perundang-undangan. Sebab, kata mereka, RAPBD 2015 yang Ahok sebut memuat anggaran siluman adalah anggaran yang telah disepakti antara eksekutif dan legislatif. DPRD kemudian mengajukan hak angket. Selain menyelidiki dugaaan pelanggaran yang dilakukan Ahok dalam penyusunan anggaran, etika Ahok selama memimpin juga menjadi sorotan DPRD. Konflik ini telah memasuki tahap penggunaan Hak Angket oleh DPRD dan para anggota DPRD mendengungkan upaya “pemakzulan” Ahok. Setelah bekerja lebih sebulan, Tim Angket DPRD akhirnya berhasil menarik kesimpulan bahwa Ahok telah melanggar peraturan perundang-undangan dan juga melanggar etika dan norma. Konflik Ahok terhadap DPRD DKI Jakarta memunculkan prakarsa penggunaan hak angket. Sembilan fraksi di DPRD sepakat untuk melakukan hak angket terkait APBD DKI 2015. Dua pihak yang berseberangan itu saling melemparkan bola panas. Konflik semakin mencuat setelah Pemprov DKI Jakarta mengajukan Rancangan (draft) APBD ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Terkait pengajuan itu, Ahok dinilai DPRD telah melanggar kesepakatan kedua belah pihak, pasalnya draf yang dikirimkan Ahok ke Menteri Tjahjo Kumolo bukanlah draf APBD yang telah disetujui bersama dalam paripurna DPRD. Ketika dikonfirmasi soal hal itu, Ahok mengakui bahwa dirinya memang tidak mengirimkan draf APBD yang telah disepakati tersebut. Pasalnya, mantan Bupati Belitung Timur itu menilai, ada dana "siluman" sebesar Rp12,1 triliun yang tiba-tiba muncul di draf tersebut. Implikasi Negatif Sikap Ahok terhadap DPRD. Sikap Ahok secara terbuka konflik dan mengabaikan prinsip hubungan kemitraan, kerjasama harmonis dan sinerjik dengan DPRD telah menimbulkan implikasi negatif terhadap rakyat DKI sebagai penyumbang terbesar terhadap APBD. Implikasi negatif dimaksud sebagai berikut: 1. Terhambatnya penggunaan anggaran pendidikan dan kesehatan yang pada gilirannya meganggu pelayanan publik. 2. Terganggunya pelayanan publik bisa menimbulkan konflik dan masalah antara rakyat dan birokrasi. 3. Proyek nasional di DKI terancam tertunda-tunda waktu pelaksanaan karena APBD DKI belum disahkan. 4. Ketiga, kinerja Pemerintah DKI tidak maksimal dan penyerapan anggaran akan semakin rendah dibandingkan tahun sebelumnya. 5. Rendahnya kualitas pelayanan publik. Hubungan kelembagan Gubernur Ahok dan DPRD sesungguhnya telah diatur di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Mengacu pada UU ini, Pemerintah Daerah (Pemda) adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemda dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, dan prinsip Negara kesatuan. Gubernur dan DPRD sebagai perwakilan rakyat seharusnya dapat terbangun dalam pelaksana tugas dan wewenang masing-masing dengan dasar “kemitraan” untuk menjamin penyelenggaraan urusan pemerintahan yang efektif dan demokratis. Dalam kedudukan memimpin pemerintahan daerah, Gubernur mempunyai tugas dan wewenang dan berhubungan dengan DPRD, juga sebagai penyelenggaraan pemerintahan daerah, yakni: a. Memimpin penyelengaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan ditetapkan bersama DPRD. b. Mengajukan rancangan Perda. c. Menetapkan Perda telah mendapat persetujuan DPRD. d. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD untuk dibahas bersama DPRD. Sessuai dengan susunan fungsi dan wewenang, Gubernur mewajiban untuk bekerjasama dengan DPRD, baik karena penyelenggaraan pemerintahan daerah harus didasarkan pada kebijakan yang ditetapkan bersama, maupun karena implementasi kebijakan tersebut berkonsultasi dengan DPRD. Di lain fihak, DPRD mempunyai kedudukan sebagai wakil rakyat dan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Kedudukan ini acapkali menjadi dilematis karena keharusan bagi DPRD untuk menyelaraskan kepentingan rakyat diwakili dengan kebijakan Gubernur, karena dapat terjadi kebijakan Gubernur tidak selalu sejajar dengan kehendak rakyat. Tugas dan wewenang DPRD berhubungan dengan Gubernur antara lain: a. Membentuk Perda dibahas dengan Gubernur untuk mendapatkan persetujuan bersama. b. Membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD besama dengan Gubernur. c. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan lainnya, Peraturan Gubernur, APBD, kebijakan Gubernur dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerja sama internasional di daerah. d. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Gubernur terhadap rencana perjanjian internasional di daerah. e. Memberikan persetujuan terhadap kerjasama internasional dilakukan Gubernur. III. Hubungan Gubernur dan DPRD harus harmonis dan sinerjik. Sebagai unsur pemerintahan daerah, Gubernur dan DPRD adalah institusi bekerja atas dasar “kemitraan” dan “bukan subordinasi”. Meskipun pada tahap implementasi kebijakan, Gubernur dan DPRD menjalan peran berbeda, Gubernur melaksanakan (execution) kebijakan daerah yang telah ditetapkan bersama DPRD, dan DPRD melaksanakan pengawasan (control) atas pelaksanaan kebijakan daerah, seharusnya dipahami bahwa efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah menjadi tanggungjawab bersama Gubernur dan DPRD. Tujuan utama kebijakan desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, dari dimensi politik sebagai proses demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan, dan dari dimensi teknis untuk tujuan kesejahteraan. Dimensi politik memposisikan pemerintahan daerah sebagai medium pendidikan atau pembelajaran politik bagi masyarakat lokal karena proses dan implementasi dari Gubernur dan DPRD akan membentuk pengetahuan, nilai-nilai dan sikap-sikap politik warga masyarakat daerah. Dimensi kesejahteraan memposisikan Gubernur dan DPRD sebagai unit pemerintah pada tingkat lokal berfungsi menyediakan pelayanan publik berkualitas, efektif, efisien dan ekonomis agar masyarakat dapat terbangun secara baik dan memberi peluang bagi pemberdayaan masyarakat. Pada dimensi demokratisasi dan kesejahteraan, ada kebutuhan untuk membangun hubungan kemitraan harmonis dan sinerjik terbangun atas kesadaran bersama bahwa pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah tanggungjawab bersama Gubernur dan DPRD. Beragam bentuk hubungan Gubernur dan DPRD, namun di dalam tulisan ini dicoba menyajikan tiga bentuk hubungan, yakni hubungan positif, hubungan negatif dan hubungan konflik. Pertama, Hubungan Positif, yakni Gubernur dan DPRD memiliki visi yang sama dan komitmen kuat menjalankan pemerintahan daerah untuk kesejahteraan masyarakat daerah dan untuk menciptakan pemerintahan yang baik (good governance) dengan berusaha mendorong pemerintahan yang transparan, akuntabel, efisien dan bertanggungjawab. Kedua, Hubungan Negatif, yakni Gubernur dan DPRD berkolaborasi dengan kecenderungan menyimpang (KKN). Praktek semacam ini terjadi jika kedua pihak secara bersama-sama menyembunyikan kepentingan mereka atas nama kepentingan publik, dan secara bersama-sama melakukan penyimpangan (a buse of power). Ketiga, Hubungan Konflik, yakni Gubernur dan DPRD cenderung memiliki visi berbeda atau saling bertentangan. Interaksi cenderung konflik, terutama jika kepentingan-kepentingan kedua pihak berbeda dan tidak disatukan oleh nilai-nilai mengutamakan kepentingan masyarakat. Hubungan konflik berwujud pertentangan akan mengakibatkan munculnya tindakan-tindakan tidak produktif dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pencapaian tugas-tugas daerah. Pembahasan rancangan Perda, misalnya, menjadi terbengkalai karena salah satu pihak tidak mau membahas karena pertentangan terjadi. Penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan Gubernur dan DPRD bekerja atas dasar komitmen dalam hubungan setara, tidak subordinasi satu dengan lain. Dalam menyusun dan merumuskan kebijakan daerah kedua institusi bekerja atas dasar semangat kemitraan. Agar hubungan Gubernur dan DPRD harmonis dan sinerjik, maka hubungan dimaksud harus berdasarkan prinsip “check and balance”; Negara hukum; kesetaraan; dan kemitraan. Prinsip check and balance harus ditegakkan sebagai suatu kebutuhan dalam menciptakan pemerintahan efektif, efisien, transparan, partisipatif dan akuntabel. Cakupan tugas dan wewenang DPRD cukup luas dan beragam mengharuskan terbangunannya hubungan harmonis dan tetap pada prinsip “chek and balance. Prinsip Negara hukum harus ditegakkan, dan kedudukan, hak, dan kewajiban Gubernur dan DPRD harus secara jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan dan masing-masing pihak harus bertindak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan berlaku. Prinsip kesetaraan harus ditegakkan dan menempatkan kedua institusi memiliki kedudukan setara. Gubernur dan DPRD tidak dapat saling menjatuhkan satu sama lain. Prinsip kemitraan harus ditegakkan dan kedua institusi harus dapat bekerjasama dan bermitra dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat, dan membangun pemerintahan daerah yang efektif. Susunan fungsi dan wewenang Gubernur mewajibkan Gubernur dengan bekerjasama dengan DPRD, baik karena penyelenggaraan pemerintahan daerah harus didasarkan pada kebijakan ditetapkan bersama, maupun karena implementasi kebijakan tersebut berkonsultasi dengan DPRD. Realitas obyektif menunjukkan bahwa hubungan Gubernur dan DPRD ditandai dengan tidak ditegakkannya prinsip-prinsip diatas. Masing-masing pihak sering mengembangkan penapsiran tentang peraturan perundang-undangan sesuai kepentingan sendiri, sehingga ketegangan dan konflik antara Gubernur dan DPRD kerap terjadi. Arena sering menjadi sumber konflik antara lain penyusunan Perda, pembuatan APBD dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam penyusunan Perda dan penyusunan APBD, masalah muncul ketika salah satu pihak tidak bersedia membahas usulan pihak lain. Anggota DPRD sering menjadikan APBD sebagai arena Untuk memperjuangkan kepentingan pengusaha klien untuk memperoleh kontrak proyek dari pemerintah daerah. Akibatnya, daerah mengalami keterlambatan dalam pengesahan APBD sehingga menganggu kelancaran penyelenggaraan pemerintahan daerah. Beberapa daerah bahkan gagal mengesahkan APBD sehingga terpaksa menggunakan APBD tahun sebelumnya, seperti kasus penyusunan APBD 2015 DKI. Dalam bidang pengawasan, ketegangan dan konflik antara Gubernur dan DPRD acap kali terjadi karena perbedaan pemahaman antara anggota DPRD dengan pengelola SKPD (Satuan kerja Pemerintah Daerah) dalam mencermati indikator kinerja keberhasilan program dan proyek pembangunan di daerah. Rendahnya kualitas perencanaan program dan proyek membuat proses pengawasan program dan proyek menjadi semakin sulit, sebab indikator kinerja dan pencapaian kemajuan program dan proyek tidak didefinisikan dengan jelas. Akibatnya, sering terjadi perbedaan pendapat dan penilaian antara Gubernur dan DPRD dalam menilai kinerja program dan proyek di daerah. Hubungan Ahok dan DPRD menunjukkan konflik, tidak harmonis dan tidak sinerjik.Ahok dan DPRD DKI cenderung memiliki visi berbeda atau saling bertentangan. Arena menjadi sumber konflik adalah penyusunan APBD Tahun 2015. Hubungan konflik bermula pada 27 januari 2015, Rancangan APBD disahkan dalam sidang paripurna DPRD dengan nilai Rp. 73,08 triliun. Pada 2 Februari 2015, Pemerintah DKI Jakarta mengirimkan dokumen RAPBD 2015 kepada Kemendagri. Pada 7 Februari 2015 Kemendagri mengembalikan RAPBD tersebut dengan alasan rincian anggaran kurang lengkap karena tidak ada tanda tangan dari Ketua Badan Anggaran DPRD. Pada 9 Februari 2015 DPRD mengirim dokumen RAPBD 2015 ke Kemendagri. Menurut DPRD, RAPBD ini hasil pembahasan bersama Pemerintah DKI. Lalu, 26 Februari DPRD menggunakan hak angket dalam sidang paripurna. Sembilan fraksi mendukung penggunaan hak angket, yakni PDIP,PPP, Gerindra, PKS, PAN-Demokrat, Golkar, NasDem, Hanura dan PKB. Namun, setelah Ahok 28 Februari 2015 mengadukan kasus RAPBD ke KPK (Komisi Pemberanatasan Korupsi), PKB dan NasDem mencabut dukungan atas hak angket tersebut (2 Maret 2015). ? 2.KONFLIK dgn DPRD KOTA BEKASI: Selain DPRD DKI, Ahok juga pernah berkonflik dengan lembaga legislatif dari daerah lain, yakni DPRD Kota Bekasi. Konflik Ahok dan DPRD Bekasi terkait pengelolaan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang. Konflik berawal saat sejumlah unit truk sampah milik Dinas Kebersihan DKI tertangkap melanggar jam operasional dan rute pengangkutan sampah. Menindaklanjuti hal itu, Ketua Komisi A DPRD Kota Bekasi Ariyanto Hendrata mengatakan pihaknya berencana ingin memanggil Ahok. Mengetahui dirinya ingin dipanggil lembaga legislatif dari daerah lain, Ahok pun berang. Ia kemudian menuding ada angggota DPRD Kota Bekasi yang rutin menerima uang dari pengelola TPST Bantargebang, yakni PT Godang Tua Jaya. Di sisi lain, Ahok mengatakan Pemprov DKI berencana ingin memutus kontrak PT Godang Tua Jaya. Konflik Ahok secara terbuka juga terjadi dengan lembaga negara DPRD Kota Bekasi. Konflik Ahok dengan DPRD Kota Bekasi berawal dari pengelolaan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPSP) Bantar Gebang. Anggota DPRD Bekasi menahan truk sampah yang diketahui melanggar jalur pembuangan sampah ke Bantar Gebang. Selain itu Jakarta disebut melanggar kapasitas pembuangan sampah hingga lebih 5.000 ton. Atas dasar tersebut Ketua Komisi A DPRD Bekasi Aryanto hendak manggil mantan Bupati Belitung Timur tersebut. Ahok secara sepihak menuding ada suap dilakukan PT Godang Tua Jaya selaku pengelola TPST Bantar Gebang kepada anggota DPRD Kota Bekasi. Hal ini dianggap sebagai fitnah yang sangat menyakitkan. DPRD Kota Bekasi pun akan melaporkan Ahok ke pihak kepolisian. Ketua Komisi A DPRD Kota Bekasi Ariyanto Hendrata mengatakan, tudingan adanya suap yang dilakukan PT Godang Tua jaya kepada anggota DPRD Kota Bekasi yang dilontarkan Ahok di media massa beberapa hari lalu merupakan ucapan yang tidak mendasar dan merupakan fitnah yang sangat keji. "Tolong buktikan kalau ada anggota DPRD Kota Bekasi menerima suap dari PT Godang Tua Jaya. Kalau ucapan tanpa bukti itu sama saja memfitnah," ucap Arianto Hendrata kepada Liputan6.com di Bekasi, Jawa Barat (2/11/2015). Arianto menjelasan, ucapan dan tudingan yang dilontarkan Ahok kepada DPRD Kota Bekasi merupakan tindakan pelecehan yang sangat serius. "Karena itu pihak Komisi A sudah merekomendasikan kepada pimpinan DPRD Kota Bekasi untuk melakukan langkah-langkah hukum tentang tudingan itu," tukas Arianto. Menurut dia, yang dilakukan DPRD Kota Bekasi selama ini merupakan bentuk pengawasan perjanjian antara Pemkot Bekasi dan Pemerintah Provinsi DKI tentang pengelolaan TPST Bantar Gebang yang selama ini selalu dilanggar pemerintah Jakarta. Sudah banyak kecaman dan kritik muncul terhadap Ahok dengan tutur kata-katanya yang dinilai tidak mendidik bagi kaum muda dan pelajar. mengingat tutur kata Ahok dipublisir melalui media massa cetak, audiovisual dan media sosial. Satu contoh kritik/kecaman pernah muncul dari anggota DPRD Kota Bekasi terkait dengan tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST) di Bantargebang, Bekasi. Harian Koran Tempo, 3 November 2015, memberitakan, Ketua Komisi A DPRD Kota Bekasi, Ariyanto Hendrata mengatakan lembaganya berencana mengsomasi Ahok yang menyebut anggoat Dewan menerima duit dari PT. Godang Tua Jaya, pengelola TPST Bantargebang. Menurutnya, Ahok telah mencemarkan nama dan menghina lembaga perwakilan rakyat Kota Bekasi. Ada enam bentuk penghinaan Ahok terhadap DPRD Kota Bekasi, diantaranya menyebut anggoat Dewan sombong, kekanakkanakan, melarang warga Bekasi bekerja di Jakarta, dan mengejek "mulut Dewan bau sampah". Tindakan Ahok pelanggar HAM dapat juga dibuktikan dengan penggusuran perumahan tempat tinggal warga di Kalijodoh. Di lain fihak, Ketua Dewan Pakar Wahana Lingkungan Hidup Jakarta Bagong Suyoto menilai konflik Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantargebang Bekasi tidak perlu terjadi bila Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merealisasikan "Intermediate Treatment Facility" (ITF) (WARTA KOTA, BEKASI, 14/11/2015). "ITF itu berfungsi layaknya kantong sampah di DKI agar mereka tidak terlalu bergantung pada Bantargebang," kata Bagong Suyoto. Dalam perjanjian kerja sama antara pengelola TPST Bantargebang yakni PT Godang Tua Jaya dan Pemprov DKI pada 2007 disepakati pembuatan empat titik ITF. "Namun sampai saat ini ITF itu tidak ada yang terwujud, sehingga sampah menumpuk seluruhnya di Bantargebang," ujar Bagong Suyoto. Bagong mengatakan, sampah warga DKI yang sampai di TPST Bantargebang saat ini sudah mencapai 6 ribu ton lebih per hari.Kondisi itu, kata dia, telah melampaui volume sampah yang disepakati dalam perjanjian tersebut, yakni 3 ribu ton sampah pada 2015 dan 2 ribu ton sampah pada 2016. Pengurangan tonase sampah itu dihitung berdasarkan prediksi daya tampung ITF bilamana fasilitas itu terwujud di empat titik kawasan DKI. 3. KONFLIK DGN KEMENDAGRI: Seperti halnya DPRD DKI, konflik Ahok dengan Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri) banyak berkutat pada masalah anggaran. Ahok keberatan dengan keputusan Kemendagri yang memutuskan besaran anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) 2015 yang disahkan menggunakan peraturan gubernur hanya Rp 69,28. Padahal, besaran yang diajukan Pemprov DKI pada awalnya mencapai Rp 72,9 triliun. Direktur Jenderal Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Reydonnyzar Moenek menjelaskan, angka tersebut didapatkan dari pagu belanja daerah APBD Perubahan DKI 2014 sebesar Rp 63,65 triliun dan pengeluaran pembiayaan untuk penyertaan modal pemerintah (PMP) dua BUMD DKI sebesar Rp 5,63 triliun. Tidak hanya itu, konflik Ahok dengan Kemendagri terjadi saat Ahok menuding Kemendagri sengaja menghambat pengesahan APBD Perubahan DKI 2015. Ahok menganggap Provinsi DKI Jakarta telah diperlakukan tidak sama dengan provinsi lain mengenai anggaran ini. 4. KINFLIK dgn BPK: Konflik terbuka Ahok dengan lembaga negara lain yakni Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Konflik Ahok terkait temuan BPK tentang adanya indikasi kerugian daerah sebesar Rp 191 milyar terkait pembelian lahan milik Rumah Sakit Sumber Waras oleh Pemerintah Provinsi DKI pada akhir 2014. Temuan tersebut tercantum dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) DKI 2014. Adapun harga lahan yang dibayarkan Pemprov DKI ke RS Sumber Waras mencapai Rp 755 miliyar. Temuan ditindaklanjuti dengan dilakukannnya audit investigatif. Namun, Ahok menilai audit investigatif pembelian lahan RS Sumber Waras yang dilakukan oleh BPK perwakilan DKI Jakarta bersifat tendensius. Selain itu, dari hasil pemeriksaan, BPK menemukan penunjukan lokasi pengadaan tanah oleh Ahok, saat masih menjabat Plt Gubernur DKI, tidak sesuai ketentuan. Pada dugaan lain, dokumen untuk proses pengadaan tanah ditandatangani pada Juli 2014 dinilai sekadar formalitas, termasuk penentuan lokasi tanah diarahkan oleh Ahok. Ahok ditengarai melanggar Pasal 13 dan Perpres Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. "Dalam pasal disebutkan bahwa pengadaan tanah diselenggarakan melalui tahapan perencanaan, persiapan, pelaksanaan, dan penyerahan hasil," katanya (23/11/2016). Dari hasil penelusuran, BPK menyatakan penentuan lokasi tanah untuk RS Sumber Waras tidak sesuai UU Nomor 19 Tahun 2012 dan Perpres Nomor 71 Tahun 2012. Dari hasil pemeriksaaan BPK diketahui bahwa proses penawaran dan penunjukan lokasi tanah sudah dilakukan pada Juni dan Juli 2014. Dalam proses tersebut, tidak ditemukan adanya dokumen perencanaan, hasil studi kelayakan, dan pembentukan tim persiapan pengadaan tanah, konsultasi publik, hingga berita acara kesepakatan lokasi yang ditandatangani sejumlah pihak. Penetapan lokasi tanah hanya ditetapkan Plt Gubernur DKI Jakarta (Ahok) pada 13 Desember 2014 melalui SK Gubernur Nomor 2136 Tahun 2014. Dari hasil temuan, BPK menilai penunjukan lokasi tanah dilakukan tanpa prosedur. Selain itu, dalam LHP BPK, Ahok dinyatakan memerintahkan Kepala Bappeda DKI untuk menganggarkan dana pengadaan tanah pada APBD Perubahan 2014. Penunjukan dilakukan lima bulan setelah penunjukan lokasi dan perintah penganggaran pembelian tanah pada 8 Juli 2014. Guna mengurai persoalan, BPK melakukan pemeriksaan terhadap Ahok oleh 12 investigator. Pemeriksaan Ahok hanya satu kali, sedangkan audit investigasi pembelian lahan milik RS Sumber Waras oleh Pemprov DKI Jakarta sudah selesai dan dikembalikan ke KPK karena mereka yang minta investigasi ini. 5. KONFLIK dgn IPDN: Prilaku konflik Ahok terhadap lembaga negara lain adalah Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Konflik bermula saat Ahok mengaku telah mengusulkan ke Presiden Joko Widodo agar sekolah kedinasan milik Kementerian Dalam Negeri itu dibubarkan. Menurut dia, keberadaan IPDN tidak diatur dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN). Menurut Ahok, untuk menghasilkan pegawai negeri sipil (PNS) yang baik dan potensial, pemerintah tidak harus menggembleng ala militer di IPDN. Bahkan, dia melanjutkan, perusahaan swasta dan TNI/Polri mampu menyediakan PNS yang baik. Guna mengklarifikasi pernyataan Ahok, Dewan Pengurus Nasional Ikatan Keluarga Alumni Pendidikan Tinggi Kepamongprajaan (DPNIKAPTK) kemudian mendatanginya ke Balai Kota pada 14/9/2015. 6. KONFLIK dgn DPR-RI: Ahok ajak konflik dengan DPR-RI. Penyataan Ahok berkaitan dengan panggilan Komisi III DPR RI menyangkut permasalahan pembelian rumah sakit sumber waras dan Kalijodo. DPR RI sebagai lembaga tempat mengadu Rakyat kepada wakilnya ketika berhadapan dengan permasalahan yang timbul dari penyalah gunaan kewenangan penguasa DKI Jakarta, seperti yang terjadi dalam penggusuran dibeberapa tempat dijakarta dan kalijodo. Dimana masyarakat yang menjadi korban penggusuran diposisikan sebagai pekerja pronsitusi yang harus digusur. Menanggapi panggilan Komisi III dengan pernyataan hadapan media sebagai berikut : "Mereka yang berkuasa gitu lho, yang terhormat. Lama-lama gue berantem juga nih. Komisi III mau panggil saya, saya suruh buktiin harta terbalik. Harta mereka dulu, pakai mobil apa dan bayar pajak berapa. Baru ngomong sama saya," ujar Ahok (8/3/2016). "Saya kan pernah di DPR RI. Yang baru jadi anggota DPR jangan belagulah. Gue juga mantan dari lu juga. Gue tahu kok prosedur kamu seperti apa. Jadi enggak usah menyalahgunakan kekuasaan gitulah," kata Ahok. Pernyataan seperti yang kami kutip diatas menunjukkan alangkah arogannya Ahok dalam menjalankan kewenangan sebagai Gubernur DKI Jakarta. Apalagi sampai melecehkan lembaga negara. Hal ini melanggar etika dan kepatutan sebagai kepala daerah yang menjadi barometer daerah-daerah lain di negeri ini. Berbagai penilaian kritis muncul terhadap sikap Ahok ini. Salah satunya, Pengurus Badan Relawan Nusantara Provinsi DKI Jakarta, mendesak agar Ahok menghadiri panggilan Komisi III DPR RI dan meminta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia, Atas pernyataannya yang melecehkan lembaga Negara yang didalamnya ada wakil rakyat Indonesia. 7. KONFLIK dgn WAPRES JUSUF KALLA: Wapres Jusuf Kalla (JK) suatu saat menyarankan agar proses reklamasi di Pantai Utara Jakarta dan pembangunannya, dihentikan untuk sementara. JK meminta, proses reklamasi di Jakarta harus mengacu pada aturan yang berlaku. Di tengah-tengah tumpang tindih aturan yang ada, yang harus diacu adalah aturan tertinggi, yakni Undang-undang. "Semua itu berdasarkaan hukum, ada Undang-Undang untuk itu," kata JK. Bagi JK, UU yang mengatur reklamasi adalah UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Ahok tetap bertahan dan masih berat untuk menghentikan reklamasi. "Kalau Pak JK minta dihentikan, saya bilang banyak juga yang minta dihentikan, (tapi) dasar hukumnya mana?" ujar Ahok . Ahok mengatakan, jika JK mengiriminya surat imbauan resmi, dia mengaku akan mempelajari isi surat itu terlebih dahulu. "Kalau Pak Jusuf Kalla minta dihentikan, dasar hukumnya apa?, tantang Ahok.o Bahkan, Ahok malah mempertanyakan dasar hukum yang tepat untuk menghentikan kebijakannya itu. 8. KONFLIK dgn MENKO MARITIM: Ahok menentang keputusan Menko Maritim Rizal Ramli tentang pembatalan reklamasi pulau G. Terjadi polemik di publik. Padahal secara struktural Ahok di bawah Rizal Ramli, dan fihak Pemprov DKI ikut bersama MenKLH dan Hut, dan MenDKP memutuskan pembatalan reklamasi tsb. Ahok tidak patuh pd keputusan Pusat, padahal dia pembantu Pusat di DKI. 9. KONFLIK dgn ANAK BUAH: Ahok suka konflik juga terhadap anak buah dan juga kambinghitamkan anak buah atas kegagalan diri sendiri. Sbg ncobtoh, kasus mundurnya Rustam Effendi dari jabatan Walikota Jakarta Utara. Akibatnya, terbentuk aksi anti Ahok oleh masyarakat Jakarta Utara dlm AMJU. KESIMPULAN: Atas data dan fakta Ahok konflik dgn penyelenggara negara di atas, dapat disimpulkan, Ahok tidak bisa bersikap sinerji sesama penyelenggara negara. Bahkan, dia tidak patuh atas keputusan Pemerintah Pusat. Disharmoni hubungan kelembagaan menjadi berlaku sehingga dia sungguh tak layak jadi Gubernur DKI.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda