Sabtu, 23 April 2016

AHOK TAK LAYAK LANJUT JADI GUBERNUR DKI JAKARTA

Pada tahun 2017 rakyat DKI Jakarta akan menyelenggarakan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) Gubernur dan Waakil Gubernur. Berbegai figure politik mulai memunculkan diri dan menyatakan berminat sebagai peserta Pilkada DKI Jakarta. Ahok sesumbar akan maju dari “jalur perseorangan” atau bukan jalur Parpol. Ahok berkilah, lebih memilih jalur perseorangan ketimbang jalur Parpol. Namun, dalam realitas obyektif, belum ada satupun Parpol menyatakan bersedia mengusung Ahok sebagai Calon Gubernur DKI. Partai Nasdem memang sudah dipastikan mendukung Ahok sejak dari awal, tetapi suara dan kursi Nasdem di DPRD DKI Jakarta hasil pemilu 2014 tidak cukup memenuhi syarat minimal untuk mengusung Ahok sebagai cagub. Nasdem hanya memilik 5 (lima) kursi dari 106 kursi DPRD DKI 2014-2019, kurang dari syarat minimal 20% kursi DPRD DKI Jakarta atau 21 kursi untuk dapat mengusung pasangan cagub-cawagub DKI Jakarta pada Pilkada 2017. Belakangan muncul dukungan dari Partai Hanura, namun masih belum dapat mencapai persyaratan minimal jumlah kursi 20 % dimaksud. Berbeda dengan Pilkada DKI Jakarta tahun 2012, Jokowi – Ahok diusung PDIP dan Partai Gerindra. Pada Pilkada 2017 mendatang, Ahok belum mendapat kepastian dari kedua partai itu untuk mengusungnya kembali sebagai Calon Gubernur. PDIP mengajukan alasan sendiri belum memberi dukungan kepada Ahok. Megawati Soekarnopoetri selaku Ketua Umum PDIP mensyaratkatkan Ahok harus terlebih dahulu meninggalkan ‘teman-teman Ahok’ sebelum PDIP mempertimbangkan kemungkinan mengusung Ahok sebagai cagub. Syarat dari PDIP ini dibalas Ahok secara emosional dengan mengatakan pihaknya tidak memerlukan dukungan partai untuk bertarung di Pilkada 2017. Pernyataan Ahok ini dimuat berbagai media dan ditindaklanjuti Ahok dengan membentuk Tim Sukses “Teman Ahok” untuk mengumpulkan KTP dan surat dukungan rakyat pemilih Jakarta. Berbagai Posko pengumpulan KTP didirikan. Sikap emosional Ahok terhadap PDIP kemudian dikembangkan dengan mengerahkan media massa untuk membentuk opini publik negatif terhadap Parpol. Opini ini dimaksudkan untuk menekan partai-partai agar mau mendukung Ahok. Karena meski di depan publik Ahok selalu mengatakan tidak butuh Parpol, namun di belakang dan tanpa sepengetahuan publik, Ahok dan Timnya gerilya mati-matian untuk meraih dukungan Parpol. Bahkan berani mengklaim, PKB dan PAN telah bersedia memberikan dukungan dalam pencalonan dirinya. Ahok meradang dengan syarat diajukan PDIP agar ia meninggalkan ‘teman-temannya’. Bagi Ahok hal itu adalah mustahil karena ‘teman-teman Ahok’ inilah sebenarnya merupakan sponsor utama, pelindung dan donatur Ahok selama ini. Sulit bagi Ahok memenuhi permintaan Megawati agar Ahok meninggalkan ‘teman-temannya’ sebagai syarat agar PDIP dapat mempertimbangkan mengusung Ahok sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta. Informasi berkembang di kalangan elit politik Jakarta, Ahok sudah menyiapkan strategi jitu untuk meraih dukungan Parpol sesuai syarat pencalonan pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Pertama Ahok menaikan tawaran ‘mahar’ kepada PDIP. Disebut-sebut jumlahnya fantastis yaitu Rp. 250 miliar atau lebih dua kali lipat dibanding mahar Jokowi-Ahok pada Pilkada 2012 sebesar Rp100 miliar. Jumlah mahar itu tidak berarti bagi Ahok yang didukung puluhan konglomerat Cina. Di samping menawarkan mahar ratusan miliar rupiah, Ahok melobi Parpol lain untuk mendukungnya. Tetapi, hingga buku ini disusun, belum Ahok masih menggunakan jalur perorangan. Belum ada Parpol atau gabungan Parpol secara resmi menyatakan akan mengusung Ahok sebagai Calon Gubernur DKI tahun 2017 ini. Pertarungan Pilkada Jakarta 2017 dipastikan semakin keras dan seru karena menjadi Ahok pasti mati-matian dan habis-habisan berusaha memenangkan pertarungan dengan segala cara. Kegagalan memenangkan peraturan dapat membawa bencana bagi Ahok yang sedang diincar berbagai kasus korupsi. Kemenangan Ahok di Pilkada 2017 akan membuka jalan baginya untuk terus memberi konsesi luar biasa kepada para pengusaha dan konglomerat Cina yang telah setia membantunya selama ini. Bahkan, kemenangan Ahok di Pilkada 2017 membuka jalan bagi Ahok untuk maju sebagai Cawapres pada Pilpres 2019 atau bahkan mungkin sebagai Capres. Sesungguhnya peluang Ahok untuk memenangkan pertarungan dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 menghadapi jalan terjal. Secara sosiologi dukungan Ahok tergolong minoritas, baik berdasarkan primordial agama, etnis maupun strata sosial. Jika dalam pelaksanan Pilkada 2017 Ahok tetap meraih suara terbanyak, hal itu sangat penting untuk dipertanyaakan: mengapa pendukung minoritas bisa mencapai suara mayoritas di masyarakat pemilih DKI Jakarta? Tentu saja, jawabannya, telah terjadi “politik uang”, yakni para konglomerat Cina atau koorporet Cina telah menggunakan dana milik mereka untuk melakukan politik uang demi perolehan suara Ahok. Hal ini berakibat, proses demokratisasi di rakyat DKI menjadi menyimpang dan “dikotori” oleh kelompok konglomerat atau koorporet Cina. Demokrasi menjadi menghamba kepada kepentingan konglomerat dan koorporet Cina, bukan kepada rakyat. Kedaulatan rakyat dikhianati menjadi kedaulatan konglomerat dan koorporet Cina. Tetapi masih cahaya terang untuk proses demokratisasi rakyat DKI Jakarta. Ahok bukan Jokowi dan rakyat pemilih Jakarta sudah mengetahui karakter dan kinerja Ahok selama menjabat Wagub dan Gubernur Jakarta. Berdasarkan pengalaman kerja sebagai Gubernur DKI Jakarta, Ahok sesungguhnya tidak layak untuk lanjut dipilih jadi Gubernur DKI lagi. Mengapa? Antara lain karena Ahok: 1) Suka konfliks sesama penyelenggara negara; 2). Suka gusur paksa rakyat dan langgar Ham; 3). Suka Langgar Hukum; 4). Integritas Rendah; 5). Tutur kata kotor dan kasar; 6). Mengkangbinghitamkan fihak lain; 7) Kinerja Buruk; dan, 8). Kondisi rakyat DKI merosot. I.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda