Minggu, 24 April 2016

AHOK TAK LAYAK GUBERNUR: INTEGRITAS RENDAH DAN DIDUGA KORUPTOR DALAM BEBERAPA KASUS

Integritas adalah suatu konsep men unjuk konsistensi antara tindakan dengan nilai dan prinsip. Dalam etika, integritas diartikan sebagai kejujuran dan kebenaran dari tindakan seseorang. Seorang dikatakan “mempunyai integritas” apabila tindakannya sesuai dengan nilai, keyakinan, dan prinsip yang dipegangnya. Integritas menjadi karakter kunci bagi seorang Gubernur DKI Jakarta. Gubernur punya integritas akan mendapatkan kepercayaan (trust) dari bahawan atau pengikutnya. Gubernur berintegritas dipercaya karena apa menjadi ucapannya juga menjadi tindakannya. Sementara itu, interitas Gubernur “rendah” jika tindakan tak sesuai dengan nilai, keyakinan dan prinsip. Bahkan apa "diucapkan" ke publik tak esuai dengan "apa dilakukan" dalam realitas obyektif. Mengapa integritas Ahok selaku Gubernur dinilai rendah? Ini jawabnya. 1. Pengakuan Seorang Muslim DKI: Seorang muslim DKI mengaku lewat WAG, ia menentukam pilihan dalam Pilkada bukan karena etnisnya dan juga bukan karena agamanya. Kalaupun seandainya orang ini berkulit hitam atau berkulit sawo matang dan beragama Islam. saya tetap TIDAK AKAN MEMILIHNYA" Mengapa? " Menurutnya, karena orang ini: arogan, bicaranya kotor, sombong, angkuh, merasa paling benar, merasa paling pintar, merasa paling bersih, mulutnya comberan, suka menantang siapa saja, suka me-maki2 orang ysng belum tentu salah, memimpin birokrat seenak udelnya, salah dalam kebijakan anak buah yg disalahkan (lempar tanggung jawab), memusuhi RT/RW yg tdk sepaham dg dia, berkelahi dg BPK, berkelahi dg DPRD dan DPR, Menko Maritin tidak sepaham dan tidak sesuai kepentingannya, berkelahi dg Bamus Betawi, ngakunya bekerja untuk rajyat tetapi terlalu membela pemilik modal, dan lebih penting janji2nya bersama pasangannya sewaktu Pilkada 2012 banyak bohongnya. Masih ingat sewaktu kampanye Pilkada 2012 pasangan ini mengatakan bhw mengatasi persoalan2 Jakarta seperti kemacetan, banjir, kemiskinan, kekumuhan, pendidikan dll adalah persoalan MUDAH TINGGAL EKSEKUSI SAJA". Buktinya ? , Apa yang diharapkan dari pemimpin seperti ini ? 2. Mulut Kotor dan inkonsistensi: Sebagai pejabat negara Ahok suka berucap kotor dan kasar di publik.Inkonsistensi atau tidak konsekuen dapat dilihat dari kasus ia nenolak cuti pilkada ke Mahkamah Konstitusi padahal waktu Pilkada DKI lalu ia menuntut agar Gubernur Foke cuti. Lain hal, ia sesumbar dan menegatifkan Parpol, terutama PDIP, dengan uang mahar dan korup,lalu pilih lajur perorangan klaim kumpulkan 1 juta KTP. Apa hasil? Akhirnya bermohon mohon tanpa malu agar parpol usung dirinya Cagub Pilkada DKI 2017. 3.Kasus Korupsi Brberapa kasus diduga Ahok tindak pidana korupsi, khusus di DKI ada 8 kasus. Bahkan sebelum menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI, telah menunjukkan adanya dugaan tindak pidana korupsi di daerah asalnya, Kabupaten Belitung Timur. Ahok dituding sekelompok orang berdemo (Forum Ketahanan NKRI) di depan Kantor Kejaksaaan Agung, Jakarta, 1 Juli 2015, melakukan dugaan tindak korupsi pembangunan dermaga Manggar Belitung Timur saat dirinya masih menjabat sebagai Bupati di sana. Akibatnya negara dirugikan sebesar Rp. 22 miliar. Kasus ini bermula pada tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Belitung Timur dan Program Strategis Departemen Perhubungan tentang Pembangunan Pelabuhan di Indonesia yakni dermaga Manggar--Ketapang. Pembangunan ini sendiri menggunakan APBN untuk dermaga dan APBD untuk lahan seluas 20.000 meter persegi terletak di Desa Baru Kecamatan Manggar, ditandatangani Ahok sewaktu menjabat Bupati Belitung Timur pada 2006. Ahok turut diduga memalsukan dokumen negara terkait proyek ini. Kasus ini tertunda penanganannya karena situasi politik tahun 2012 yang masih dalam suasaan Pilgub DKI JAkarta (Harian Terbit, 2 Juli 2015). Kini dimata publik, Ahok diduga melakukan tindak pidana korupsi sehubungan dengan kasus pemberlian Tanah RS Sumber Waras, Jakarta Barat. Jakarta. Salah satunya, dilaporkan oleh Kompas.com , Ahok dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi oleh seorang warga bernama Amir Hamzah. Ahok dianggap telah menyalahgunakan wewenang dalam pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras (RSSW). Amir berharap, KPK memeriksa hasil audit BPK terhadap anggaran pendapatan dan belanja daerah DKI Jakarta tersebut. Menurut dia, hasil audit tersebut mengindikasikan adanya penggelembungan anggaran dan korupsi dalam kasus itu. Menurut Amir, ada beberapa faktor yang menimbulkan kecurigaan adanya korupsi. Salah satunya adalah penentuan harga tanah senilai Rp 755 miliar. Ia menganggap penentuan harga itu tidak melalui mekanisme penilaian wajar. Penentuan tersebut hanya berdasarkan pertemuan tertutup Ahok dengan direksi RS Sumber Waras. "Harusnya lewat proses sosialisasi dan lainnya memakan waktu tiga bulan. Tapi, ini langsung diputus sendiri sama Gubernur dan sehari jadi," kata Amir. Kasus Dugaan Korupsi pembeliaan tanah SUmber Waras ini bermula dari temuan BPK bahwa pembelian 3,64 Ha Tanah milik yayasan Kesehatan Kesehatan Sumber Waras terindikasi merugikan uang Negara. Lokasi tanah dimaksud berada di Jalan Tomang Utara, suatu kampong sempit yang selalu macet pada jam kerja. Berdasarkan sumber http://www.pkspiyungan.org (2015/07/12), Garuda Institute menemukan 12 fakta hasil kajian soal BPK versus Korupsi Ahok. Garuda Institute mengecam keras provokasi yang disampaikan Ahok melalui media terhadap pejabat BPK terkait audit laporan keuangan Pemprove DKI 2014, terutama menyangkut pembelian tanah 3,64 Ha milik Yayasan Kesehatan Smber Waras. Dua Belas Fakta hasil studi Garuda Institute: 1. Pemprov DKI membeli sebidang tanah di bagian belakang areal Rumah Sakit Sumber Waras, Grogol, seluas 3,64 Ha. Tanah ini tidak siap bangun karena di atasnya terdapat sejumlah bangunan milik RS Sumber Waras yang hingga kini masih difungsikan. Tanah tersebut juag dikenal sebagai langganan banjir. 2. Tanah 3,64 Ha itu berbatasan dengan rumah penduduk (Utara) Jalan Tomang Utara IV (Timur), Jalan Tomang Utara (Barat), dan RS Sumber Waras (Selatan). Jalan Tomang Utara adalah jalan kampung sempit yang selalu macet pada jam kerja. Saat ini tanah tersebut tiadk mempunyai akses jalan kecuali melalui tanah RS Sumber Waras. 3. Pemprove DKI membeli tanah tersebut sehanrga Rp. 20,75 juta per meter atau Rp. 744,69 miliar cash. Harga Rp. 20,75 juta per meter adalah NJOP tanah bagian depas areal RS Sumber Waras berbatasan dengan Jalan Kyai Tapa. Sementara NJOP tanah bagian belakang areal RS Sumber Waras berbatasan dengan Jalan Tomang Utara hanya Rp. 7,44 juta. 4. Pemilik tanah 3,64 Ha itu adalah Yayasan Kesehatan Sumber Waras yang yang pengurusnya dipimpin oleh Kartini Muljadi, perempuan terkaya di Indonesia. Yayasan itu didirikan orang-orang Cina bergabung dalam Perhimpunan Sosial Candra Naya yang sebelumnya bernama Perkumpulan Sin Ming Hui. 5. Tanah 3,64 Ha yang dibeli Pemprov DKI memiliki sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 2878 per 27 Mei 1998 dengan masa berlaku 20 tahun, alias habis 27 Mei 2018. Berdasarkan Pasal 36 Ayat (12) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, tanah dengan sertifikat HGB yang habis jangka waktunya otomatis menjadi tanah milik Negara. 6. Tanah 3,64 ha yang dibeli Pemprove DKI memiliki tunggakan utang pajak bumi dan bangunan (PBB) senilai total Rp. 6,62 miliar. Tunggakan pajak itu tiadk menjadi pengurangan harga beli sebabagaimana lazimnya praktik transasksi tanah. Posisi terakhir, Yayasan Kesehatan Sumber Waras baru membayar 50 % dari tunggakan tersebut. 7. Transaksi pembelian tanah antara Yayasan Kesehatan Sumber Waras dan Pemprove DKI dilakukan saat yayasan masih terikat dengan Akta Perjanjian Perikatan Jual Beli (APPJB) tanah yang sama dengan PT.Ciputra Karya Unggul. Yayasan seperti si ataur dalam APPJB itu, juga telah menerima uang muka Rp. 50 miliar dari PT Ciputra Karya Unggul. 8. Harga tanah dalam APPJB tersebut disepakati Rp. 15,50 juta per meter, ditambah syarat Yayasan Kesehatan Sumber Waras mengurus perubahan peruntukan tanah tersebut dari umum menjadi komersial. Sementara itu, Pemprov DKI membeli tanah tersebut seharga Rp. 20,75 juta per meter, tanpa syarat perubahan peruntukan. 9. Pengurus Yayasan Kesehatan Sumber Waras menawarkan tanah 3,64 Ha itu kepada Pemprov DKI dengan alamat Jalan Kyai Tapa, dengan harga NJOP pada 2014 sebesar Rp. 20,75 juta per meter (Rp. 755,69 miliar). Padahal, lokasi fisik tanahnya berada di Jalan Tomang Utara, dengan NJOP pada 2014 hanya Rp. 7,44 juta (Rp. 564,35 miliar). 10. Pemprov DKI membeli 3,64 Ha tanah itu Rp. 755,69 miliar tanpa menawar dan mengecek, sama dengan penawaran Yayasan Kesehatan Sumber Waras. Penawaran disampaikan 7 Juli 2014, dan direspons langsung oleh Gubernur DKI Jakarta pada 8 Juli2014 dengan mendisposisikannya ke Kepala Bappeda DKI untuk dianggarkan dalam APBD-P DKI 2014. 11. Pemprov DKI membeli tanah itu untuk dijadikan Rumah Sakit. Padahal, selain lokasinya tidak strategis, belum siap bangun, langganan banjir, dan tidak mudah diakses karena berada pada jalan kampong, Pemprove DKI juga amsih mempunyai banyak tanah yang strategis. Apalagi, kebutuhan minimal tanah untuk rumah sakit hanya 0,25 Ha (2.500 M2). 12. Sekalipun Gubernur DKI Ahok telah mengklaim akan membatalkan transaksi pembelian tanah itu, pada praktiknya pembatalan tersebut nyata bukan sepenuhnya berada dalam kekuasaan Pemprov DKI. Selama Yayasan Sumber Waras tidak mau membatalkannya, maka transaksi itu pun tidak bisa dibatalkan. Dugaan tindak pidana korupsi Ahok juga disuarakan pada 7 September 2015. DPD FPI DKI Jakarta bersama Tim Hukum FPI Jakarta dipimpin oleh Imam FPI DKI Jakarta, Hb.Muhsin b Zaid Alattas, didampingi oleh Ketua Syura FPI DKI Hb. Ali b Hasyim Alattas dan Ketua Tanfidzi FPI Jakarta KH Buya Abdul Majid Umar, secara resmi melaporkan Ahok ke Mapolda Metro Jaya atas dugaan KORUPSI berupa penyelewengan dana APBD / APBD-P 2014 Pemprop DKI Jakarta dengan INDIKASI KERUGIAN NEGARA mencapai Rp.1.891.310.956.699,- (Satu Trilyun Delapan Ratus Sembilan Puluh Satu Milyar Tiga Ratus Sepuluh Juta Sembilan Ratus Lima Puluh Enam Ribu Enam Ratus Sembilan Puluh Sembilan Rupiah), dengan rincian KASUS sebagai berikut : 1. Indikasi Kerugian Negara senilai Rp.1.691.393.636.322,- (Satu Trilyun Enam Ratus Sembilan Puluh Satu Milyar Tiga Ratus Sembilan Puluh Tiga Juta Enam Ratus Tiga Puluh Enam Ribu Tiga Ratus Dua Puluh Dua Rupiah) dalam proses Penetapan Nilai Penyertaan Modal dan Penyerahan Aset Pemprop DKI Jakarta kepada PT Trans Jakarta (BUMD) melalui INBRENG (Penyertaan Modal Pemerintah selain uang tunai) yang dilakukan lewat proses yang tidak sesuai ketentuan. 2. Indikasi Kerugian Negara senilai Rp.8.582.770.377,- (Delapan Milyar Lima Ratus Delapan Puluh Dua Juta Tujuh Ratus Tujuh Puluh Ribu Tiga Ratus Tujuh Puluh Tujuh Rupiah) dalam proses Penyerahan Aset INBRENG Pemprop DKI Jakarta berupa tanah seluas 234 meter persegi dan Tiga Blok Apartemen yang tidak diperhitungkan sebagai Penyertaan Modal Pemerintah pada BUMD. 3. Indikasi Kerugian Negara senilai Rp.191.334.550.000,- (Seratus Sembilan Puluh Satu Milyar Tiga Ratus Tiga Puluh Empat Juta Lima Ratus Lima Puluh Ribu Rupiah) dalam proses Pengadaan Tanah Rumah Sakit Sumber Waras dalam rangka pembangunan Rumah Sakit Khusus Jantung dan Kanker Pemprop DKI Jakarta. Memperhatikan LHPK – BPK, sebenarnya masih banyak kasus penyelewengan Keuangan Negara yang melibatkan AHOK yang nilai komulatifnya sangat fantastis mencapai Trilyunan rupiah. Hanya saja, tiga kasus tersebut di atas yang dilaporkan DPD FPI DKI Jakarta lebih fokus karena melibatkan AHOK secara langsung. Laporan DPD FPI: DPD FPI Jakarta dalam laporannya merincikan peraturan dan perundang-undangan yang secara jelas dan nyata dilanggar oleh AHOK, yaitu sebagai berikut : 1. Dalam KASUS PERTAMA terbukti bahwa AHOK telah melanggar : a. Peraturan Pemerintah No 6 Th 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara / Daerah pasal 39 ayat 1 dan 2. b. Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri No 17 Th 2007 tanggal 21 Maret 2007 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pengelolaan Barang Milik Daerah romawi XII.5 Penyertaan Modal Pemerintah Daerah pada huruf b dan huruf c. c. Peraturan Menteri Keuangan No 2/PMK.06/2008 tentang Penilaian Barang Milik Negara pasal 44 ayat 1. d. Peraturan Menteri Dalam Negeri no 17 Th 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah pasal 50 dan pasal 52 ayat 1 s/d 3. 2. Dalam KASUS KEDUA terbukti bahwa AHOK telah melanggar : a. Undang-Undang No 1 Th 2004 tentang Perbendaharaan Negara pasal 41 angka 5. b. Undang-Undang No 40 Th 2007 tentang Perseroan Terbatas pasal 34 ayat 2. c. Peraturan Pemerintah No 6 Th 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara / Daerah pasal 39 ayat 1 dan 2. d. Peraturan Menteri Dalam Negeri no 17 Th 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah pasal 45 ayat 1 dan 2. e. Peraturan Daerah DKI Jakarta No 5 Th 2004 tentang Perubahan Bentuk Badan Hukum Perusahaan Daerah WNJ Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Yayaysan WJR menjadi PT JT dan Penyertaan Modal Pemprop DKI Jakarta pada PT JT pasal 2 ayat 2 dan pasal 11 ayat 2, serta Penjelasan pasal 11 ayat 2. f. Peraturan Daerah DKI Jakarta No 12 Th 2004 tentang Penyertaan Modal Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta pada PT JP pasal 14 dan Penjelasan pasal 14. g. Perjanjian Kerjasama No 1568 Th 1992 tanggal 5 Oktober 1992. 3. Dalam perkembangannya, kasus dugaaan korupsi AHOk atas pembelian tanah Sumber Waras ini, yakni BPK telah menyerahkan hasil investagi kepada KPK pada 7 Desember 2015. Audit investigatif BKP dilakukan selama 80 hari ini atas permintaan KPK. Menurut Anggota III BPK RI, Eddy Mulyadi Supardi, BPK memukan Enam Penyimpangan Pembelian Lahan RS Sumber Waras. Yakni penyimpangan dalam tahap perencanaan, penganggaran, Tim, pengadaan pembelian lahan RS Sumber Waras, penentuan harga dan penyerahan hasil. Dengan diserahkannya audit investigasi ini, artinya BPK telah menyelesaikan audit investigasi dalam waktu empat bulan. Komite Tangkap dan Penjarakan (KTP) Ahok: Berbagai aktor dan kelompok masyarakat madani terus menuntut agar KPK mempercepat penyelesaian kasus dugaan korupsi Ahok ini. Salah satunya, Komite Tangkap dan Penjarakan (KTP) Ahok mendatangi Gedung BPK RI, Jl. Gatot Subroto, Jakarta, 7 Desember 2015. Mereka menuntut penyelesaian kasus dugaan korupsi Ahok. Kordinator Lapangan KTP, Fajrul Syam, menegaskan, dugaan penyalanhgunaan wewenang pada kasus diduga meugikana Rp. 191 miliar ini belum diusut tuntas. “Kami menilai, ada sebuah diskriminasi dan perbedaan sudut pandang dalam penanganan kasus ini. Seolah-olah Ahok tidak bisa tersentuh oleh hukum, apakah karena dekatr dengan sumber kekuasaan dan didukung pemilik modal”, tandas Fajrul. KTP Ahok adalah aliansi gerakan mahasiswa dan masyarakat Jakarta anti korupsi, mendesak tigak tuntutan untuk dipenuhi, antara lain: (1) Mendukung BPK agar segera menyampaikan audir investigasi ke KPK untuk mengungkjapkan dalang di balik kerugian negara yang melibatkan AHOK; (2).Tolak segala bentuk intervensi dari siapapun yang dapat melemahkan BPK. KTP Ahok kembali mendatangi KPK, 8/1/2015. Massa menuntut agar KPK segera jadikan Ahok sebagai tersangka terkait kasus pembelian lahan RS Sumber Waras. Dalam orasinya, Koordinator Lapangan (Korlap) Aksi KTP Ahok, Raden Hidayatullah mengatakan, KPK tidak boleh menutup mata dengan adanya laporan hasil audit investigatif BPK semestinya sudah menjadi dasar dalam menindaklanjuti penyelidikan dan pemeriksaan tanpa harus beretorika yang mengulur-ulur waktu. Bila KPK semakin berlarut-larut dalam pengusutan kasus pengadaan lahan merugikan negara hingga Rp191 miliar ini, kata Raden, KTP Ahok bakal mendesak Presiden Jokowi untuk segera mengganti komisioner KPK yang belum lama menjabat. "Karena mempenjarakan koruptor saja tidak mampu," cibirnya.‎ Kelompok kritis lain adalah gerakan "Lawan Ahok". Pada 7 Desember 2015 kelompok ini melakukan aksi di gedung KPK, Jakarta. Mereka menuntut KPK menindaklanjuti hasil audit investigasi BPK tersebut. Koordinator lapangan MHR Songge menegaskan, Ahok bersalah atas pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras. "KPK berani tangkap Ahok, hebat!" katanya, Menurut Songge, pembelian lahan tersebut merugikan warga dan merupakan bentuk korupsi Ahok, sapaan akrab Basuki. Ada empat tuntutan yang diajukan gerakan “Lawan Ahok”. Pertama, hasil audit investigasi BPK tentang pembelian lahan RS Sumber Waras disampaikan ke KPK harus sesuai dengan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK telah disampaikan dan dibacakan dalam sidang paripurna DPRD DKI, 6 Juli 2015. Kedua, KPK harus profesional dan bekerja untuk rakyat dan negara. Ketiga, KPK harus segera mengungkap dan mengusut secara tuntas dalang dibalik kerugian negara yang patut diduga melibatkan Gubernur DKI Ahok dan menyeret pelaku lainnya ke meja pengadilan. Keempat, Kami bersama warga Jakarta akan mengawal KPK serta institusi penegak hukum lainnya untuk mengusut kasus korupsi yang merugikan negara. Hari ini, BPK menyerahkan hasil audit investigasi lahan sumber waras kepada KPK. Audit tersebut diminta oleh KPK karena banyak lembaga swadaya masyarakat yang melaporkan Ahok karena dianggap bertanggung jawab dalam pembelian lahan tersebut. Laporan masyarakat didasari audit BPK atas laporan keuangan 2014. Kunjungan Fahmi Idris dkk: Aksi berikutnya, kunjungan ke KPK oleh kelompok pimpinan Fahmi Idris, Mantan Menteri dan Kader Senior Golkar. Fahmi Idris mendatangani KPK untuk mempertanyakan sejumlah kasus besar yang terkesan mangkrak, termasuk kasus dugaan korupsi Ahok. Fahmi meyakini para pimpinan KPK tidak mengabaikan kasus-kasus besar itu. Namun, Fahmi meminta KPK untuk mempercepat penanganan kasus-kasus tersebut. Hal ini agar kasus itu tidak berlarut-larut dan menimbulkan polemik di masyarakat Fahmi menyatakan, kedatangannya ini mewakili kelompok yang tergabung dalam Peduli Negara. Selain dirinya, kelompok ini terdiri dari sejumlah tokoh lainnya, di antaranya Lily Wahid, adik Presiden ke-4 Gus Dur. Kunjungan Para Anggota DPRD DKI: Pada 17 Februari 2016, sejumlah pimpinan dan puluhan anggota DPRD DKI Jakarta mengunjungi KPK untuk mempertanyakan kelanjutan dari kasus pembeliaan lahan RS Sumber Waras. Agenda kunjungan para legislator DKI Jakarta ini untuk mendesak agar komisi antirasuah itu dengan segera menindaklanjuti adanya dugaan kerugian pada belanja lahan Rumah Sakit Sumber Waras yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta. Selama kurang lebih satu setengah jam mereka bertemu dengan pimpinan KPK. Wakil Ketua DPRD DKI Abraham Lunggana (PPP) menegaskan, ingin segera membongkar kebohongan Ahok. Dia mengatakan, masyarakat harus tahu kebohongan Ahok. Sehingga, dia meminta KPK agar Ahok segera ditangkap. Dia berencana mendesak KPK dengan cara mendatangi KPK setiap satu bulan satu kali. Tugas pokok fungsi kami sebagai alat kontrol oleh karenanya kami datang kemari sebagai DPRD untuk mengontrol Sumber Waras. Ini kasus rakyat DKI, wajib pajak DKI sembari menegaskan, dia memiliki bukti baru terkait kasus Sumber Waras. Dia berharap status dari Sumber Waras ditingkatkan menjadi proses penyidikan. Di lain fihak, Wakil Ketua DPRD DKI M. Taufik (Gerindra) mengingatkan, audit investigasi BPK telah menyatakan, adanya penyimpangan dalam pembelian lahan di Jalan Kiai Tapa tersebut. Audit investigatif BPK ini seharusnya ditindaklanjuti oleh KPK. Dugaan Tindak Pidana Korupsi lain: Berbagai dugaan tindak pidana korupsi Ahok lain telah muncul di permukaan antara lain: Korupsi pengadaan Bus Trans Jakarta, Taman BMW, KJS/KJP, Proyek Reklamasi Pantai Jakarta, Pengutipan/pengumpulan dana CSR dari perusahan-perusahan properti melalui Yayasan Ahok, Korupsi UPS, KKN Proyek Tanah Abang. Dugaan-dugaan ini tidak dapat diabaikan begitu saja. Walau KPK – Polri – Kejaksaan terkesan mengabaikan tindak pidana korupsi Ahok tersebut, issu korupsi itu akan menjadi ancaman serius bagi Ahok dalam Pilkada Jakarta 2017. Ketua Bidang Hukum Gerakan Pribumi Indonesia (GEPRINDO ), Ali Hakim Lubis SH, meminta kepada KPK untuk segera memeriksa dan menetapkan Ahok sebagai Tersangka karena TERINDIKASI telah melakukan penyalahgunaan wewenang sebagai pejabat Negara yang telah menimbulkan kerugian keuangan negara dalam Kasus Pembelian Lahan RS Sumber Waras. Pada waktu itu Ahok selaku Gubernur mengeluarkan SK Gubernur No. 2136 Tahun 2014 Tentang Penetapan Lokasi untuk Pembangunan Rumah Sakit Khusus Kanker. Di dalam SK Gubernur itu jelas dikatakan pada Point 1 sebagai berikut: menetapkan lokasi untuk pembangunan Rumah Sakit Khusus Kanker seluas ± 36.753 m2 (lebih kurang tiga puluh enam ribu tujuh ratus lima puluh tiga meter persegi ), terletak di Jl. Kyai Tapa, Kelurahan Tomang, Kecamatan Grogol Petamburan, Kota Administrasi Jakarta Barat, sesuai Gambar Peta No. 812/B/PPSK/DTR/XII/2014 sebagaimana tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Gubernur ini. Bagi Ali Hakim Lubis, dalam proses pembelian Lahan RSSW tersebut Ahok banyak sekali melanggar aturan hukum atau Undang-Undang berlaku seperti UU No 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah. Sudah sangat jelas Ahok telah melanggar aturan Pengadaan Tanah khususnya Pasal 13, 14, dan 15 yang intinya dalam hal Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum harus melalui beberapa tahapan antara lain proses perencanaan, persiapan, pelaksanaan, dan penyerahan hasil. Semua tahapan ini sama sekali tidak dilaksanakan serta tidak ada 1 dokumen pun mengenai proses tahapan tersebut. Selanjutnya Ali Hakim Lubis menilai, Ahok juga melanggar beberapa Pasal dari Perpres No 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yaitu Pasal 5, 6, 7, 8 , 9 , 10, 11, 12, 13, 14, dan 15. Intinya, semua tahapan berada di dalam isi Pasal tersebut tidak di lakukan oleh Ahok dalam pembelian Lahan RSSW. Terutama termuat di dalam Pasal 9 ayat (1) yang berbunyi “ Tim Persiapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), beranggotakan Bupati/Walikota, satuan kerja perangkat daerah provinsi terkait, Instansi memerlukan tanah, dan Instansi terkait lainnya. Ahok juga melanggar Pasal 2, untuk kelancaran pelaksanaan tugas Tim Persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur membentuk sekretariat persiapan Pengadaan Tanah yang berkedudukan di sekretariat daerah provinsi. Serta melanggar Pasal 4 Permendagri No 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolahan Keuangan Negara “ Menurut Ali Hakim Lubis, kalau merujuk unsur-unsur yang terdapat didalam UU Tipikor Ahok sudah sangat jelas dan nyata telah melakukan penyalahgunaan wewenang sebagai Pejabat Negara yang menimbulkan kerugian keuangan Negara serta memperkaya orang lain atau diri sendiri. Lalu mengenai Kerugian Negara yang di timbulkan dalam Proses Pembelian Lahan RSSW sudah sangat jelas, dimana disini TERINDIKASI adanya Unsur kesengajaan dan niat yang jahat untuk menggunakan Uang Negara secara Tidak Wajar melalui mekanisme pembelian Lahan RSSW, padahal Lahan RSSW yang dibeli oleh AHOK Seharga ± Rp 755.689.550.000 dengan rincian Harga NJOP per meternya ± Rp 20.755.000 dimana sebelumnya harga NJOP tersebut sudah dinaikkan secara tidak wajar pada Tahun 2014 tanpa alasan dan Dasar Hukum yang jelas. Padahal lahan RSSW yang dibeli tersebut berada diatas Hak Guna Bangunan ( HGB ) dimana mempunyai masa pemakaian selama 25 Tahun dan berakhir pada Tahun 2018, artinya tanpa harus dibeli oleh AHOK Lahan RSSW tersebut akan secara otomatis akan menjadi milik Pemda DKI Jakarta. Gerakan aksi melawan Ahok antara lain Gerakan Tangkap Ahok (GTA), terdiri darai GPII, Himmah Alawaslyah, Solidaritas Anak Betawi, Forum Peduli Jakarta, Komando barisan Rakyat (Kobar), Brigade PII, Swara Jakarta, Kahmi Jakarta Utara, FPJ (Forum Peduli Jakarta), dll. Gerakan ini mengumpulkan koin 1000 sebagai symbol perlawanan rakyat DKI Jakarta terhadap Ahok. Gerakan berikutnya adalah Gerakan Selamatkan Jakarta dan Gerakan Masyarakat Jakarta (GMJ). Prijanto Tantang Taruhan Rp1 Miliar: Kejujuran Ahok dipertanyakan Prijanto, mantan Wakil Gubernur DKI. Ahok mengatakan kasus lahan Taman BMW (Jakarat Utara) tidak ada unsur korupsi. Bila tidak ada korupsi, mengapa belum juga dibangun stadion olah raga di atas Taman BMW. Itu pertanda ada masalah. Dalam kasus ini Prijanto menantang taruhan masing-masing Rp1 miliar kepada Ahok dan Trihatma, pemilik Perusahaan Podomoro. Menurut Prijanto, kasus Taman BMW sedang disidang di Pengadilan Negeri tetapi Pemerintah DKI ajukan sertifikasi. Hingga tulisan ini dibuat, Ahok tidak berani melayani tantangan Prijanto. Kesaksian di Pengadilan Tipikor: Dilaporkan TeropongSenayan, di Pengadilan Tipikor Ahok bersaksi untuk terdakwa kasus dugaan korupsi UPS, Alex Usman, (4/2/2016). Ahok semula membantah dirinya menandatangani Perda APBD Perubahan 2014 Nomor 19 Tahun 2014. ‎ Bahkan, ahok menuduh, yang membubuhkan tanda tangan pada Perda tersebut adalah pendahulunya, Jokowi saat menjabat Gubernur DKI. "Setahu saya, yang tanda tangan (Perda APBD Perubahan 2014) itu Pak Jokowi," kata Ahok Namun sesaat sebelum persidangan berakhir, Ahok mengklarifikasi pernyataannya usai 'kepergok' berbohong saat diminta maju ke depan oleh Hakim Ketua Sutardjo bersama tim kuasa hukum terdaksa Alex Usman.‎ Peristiwa memilukan itu terjadi setelah majelis hakim Tipikor meminta seluruh pihak, baik Ahok maupun jaksa penuntut umum (JPU) dan kuasa Alex, maju ke depan, melihat barang bukti yang sempat ditanyakan.‎ Melihat bukti dokumen yang disodorkan oleh kuasa hukum Alex, dimana jelas tertulis tanda tangannya sendiri, Ahok buru-buru meralatnya. "Saya koreksi, saya koreksi, sebagai Pelaksana tugas (Plt) Gubernur waktu itu, ia saya yang tanda tangan Perda APBD Perubahan 2014. Saya baru lihat catatannya," ujar Ahok. Sontak, kejadian langka tersebut sempat membuat pengunjung sidang tertawa. Setelahnya, Ahok mengakui, bahwasanya Perda tersebut ditandatanganinya. Sementara itu, berdasarkan data diperoleh ‎memang Ahok lah yang menanda tangani Perda APBD-P 2014 yang telah disahkan Kemendagri tertanggal 7 November 2014, saat itu Ahok bertindak selaku Plt gubernur DKI. Ahok baru dilantik sebagai gubernur pada 14 November. Sedangkan Jokowi, kala itu telah menjadi presiden, menyusul pelantikan pada 20 Oktober.(yn) Dalam hal ini H. Lulung (Kader PPP) juga menilai, Ahok tidak jujur. Ahok bohong kalau sama sekali tidak mengetahui soal pengadaan UPS. Sebab, Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) ditandatangani eksekutif. Ahok mengaku dirinya sebagai pimpinan eksekutif tak bisa mengontrol semua program yang mencapai 60 ribu mata anggaran (Metrotvnews.com, Jakarta). Kasus dugaan korupsi Ahok lain adalah pembelian tanah di Cengkareng untuk bangun Rusunawa. Ternyata tanah itu milik Pemprov DKI. Ahok sempat diperiksa petugas hukum. Lalu, kasud reklamadi pantai utara DKI, diduga Ahok terima uang ilegal dari pengembang. Satu lain kasus, Ahok terima dana CSR dari pengembang cino diduga telah lakukan tindak korupsi. Para pendukung buta Ahok acapkali klaim. Ahok tidak korupsi karen.a tidak diputuskan Hakim pengadilan. Sebuah kebenaran substabsial, kukah mereka, jika ada putusan pengadilan. Kilahan seperi ini boleh jadi obyektif jika berada di negara subgguh2 ditegakkan hukum. Fenomena korupsi sandera negara melanda pemerintahan menjadikan kilahan pendukung buta Ahok ini menjadi tidak obyektif. KPK tebang pilih sebuah fakta. Rakyat Indonedisi a, bahkan ada pengadilan takyat tentang Ahok di Kalijodo telah menyimpulkan Ahok koruptor. Karena itu, Ahok dapat dinilai punya integritas rendah tak layak Gubernur.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda