TRILOGI PRIBUMI: PRIBUMI PENDIRI,
PEMILIK DAN PENGUASA NKRI
Etnis Cina Indonesia (ECI) Sama
Sekali Bukan Pribumi
Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP
(NSEAS)
Dr. M.D. La Ode adalah seorang Ilmuwan Politik,
Alumnus Program S3 Fisip UI (Universitas
Indonesia). Ia selama ini menekuni studi prilaku politik Etnis Cina Indonesia
(ECI), dan studi kasus di bebeberapa daerah, al. Kota
Medan (Sumut), Pontianak dan Singkawang (Kalbar). Hasil
studi dan pengembangan kerangka teoritis telah menelorkan suatu “teori” sangat
mendasar tentang keberadaan ECI seharusnya dalam kehidupan bernegara di
Indonesia. Teori dimaksud adalah “Trilogi Pribumisme”, dapat menjadi resolusi konflik Pribumi dengan
Non Pribumi di Indonesia, juga di berbagai belahan dunia.
Hasil studi dan pengembangan
kerangka teoritis La Ode, telah
dituangkan di dalam Buku berjudul: Trilogi
Pribumisme Resolusi Konflik Pribumi dengan Non Pribumi di Berbagai Belahan
Dunia (Jakarta:Komunitas Ilmu Pertahanan Indonesia (KIPI): 2018, 492
Halaman). Buku ini merujuk pada beberapa
teori: (1) Asal usul mula terjadinya negara; (2) Negara; (3)
Politik; (4) Kedaulatan; (5) Politik Etnisitas; (6) Partisipasi Politik; (7) Otonomi Demokrasi; dan, (8) Multikultural.
Metode digunakan grounded theory atau grounded research (kualitatif).
Teori Trilogi Pribumisme
berisikan: (1) Pribumi Pendiri Negara;
(2) Pribumi Pemilik Negara; (3) Pribumi Penguasa Negara. Dalam
kasus NKRI, teori ini menjadi: (1)
Pribumi Pendiri NKRI; (2) Pribumi Pemilik NKRI; (3) Pribumi Peguasa
NKRI.
Secara keseluruhan Buku ini
terdiri dari 7 (tujuh) BAB: Bab I
Pendahuluan; Bab II Istilah Tiongkok, Tionghoa, Cina, dan Tinjauan Sejarah
Ekonomi Politik ECI di Indonesia; Bab III. Darwinisme Sosial dalam Kekuatan
Politik ECI; Bab IV. Tinjauan Strategi Politik ECI untuk Menganeksasi NKRI; Bab
V. Dampak Kekuasaan Ekonomi dan Kekuasaan Politik ECI terhadap Pribumi; Bab VI. Resolusi
Konflik Pribumi-ECI Akibat Dominasi Ekonomi dan Politik terhadap Pribumi; BAB
VII. Trilogi Pribumisme Titik Temu NKRI Harga Mati.
La Ode mendeskripsikan
jumlah ECI (Etnis Cina Indonesia) hanya
1,2 % (Juli 2016) atau 3.099.792 jiwa
dari keseluruhan rakyat Indonesia 258.316.051 jiwa. ECI ini pasti keturunan imigran di Indonesia.
Mereka telah berhasil menguasai ekonomi nasional, dan bahkan mulai melakukan
ekspansi menguasai politik nasional. Ada kesenjangan sangat tajam antara Pribumi
dan ECI. Warga ECI tidak dapat disangkal bukanlah bangsa Indonesia. Mereka hanya sebagai WNI dalam perspektif
politik entitas. ECI telah mendominasi ekonomi nasional dan menyusul akan
mendominasi politik nasional. Indikator dominasi kekuatan ECI dalam politik
tampak dari kasus diangkatnya ECI dalam politik seperti Ahok menjadi Gubernur
DKI dan menjadi Presiden RI
Sangat tidak adil Pribumi lemah
berdagang dan miskin ekonomi dibiarkan dan bahkan diperintahkan penguasa bersaing di bidang ekonomi
dengan ECI. Padahal, ECI sudah kuat, mendominasi 80 % ekonomi
nasional dan menguasai 78 % lahan pertanian dan kehutanan nasional. ECI kuat
karena hidup berdampingan dengan Pemerintah. Pribumi lemah, tidak mendapat
perhatian dari Pemerintah.
Dosen
Universitas Pertahanan, Jakarta, ini
kemudian mengupas masalah kerusuhan massa dan berbagai kasus 1946,
Malari 1974, Mei 1998. Mengapa ECI
(Etnis Cina Indonesia) menjadi sasaran
kekecewaan masyarakat? Pertama, wacana ECI adalah pendatang, bukan bagian etnis
yang ada di Indonesia, dan binatang
ekonomi. Kedua, wacana ECI cenderung
menutup diri dan bergaya ekslusif. Sifat eksklusifisme ECI ini masih ada. Studi
Kasus Kalbar menunjukkan, sangat sulit terjadi hubungan ECI-Melayu-Dayak, mulai
dari permukiman sesama ECI, di sekolah
mayoritas sesama ECI, di luar pelajaran mereka menggunakan bahasa Cina. Interaksi
hanya terjadi saat jual beli barang dagangan di toko atau pasar. ECI merasa
diri superior,
Pribumi inferior. Tidak terdapat tekanan budaya bagi ECI untuk berbaur
dengan Pribumi. Mereka dapat memenuhi sendiri semua keperluan budaya
Ketiga, wacana ECI bidang ekonomi, berada dalam lapisan
atas dalam struktur ekonomi karena kedekatan dengan kekuasaan dan menguasai
perdagangan di Indonesia. Berkembang citra, kekayaan negeri ini berada ditangan
ECI, menyebabkan kesenjangan sosial ekonomi kian melebar.
La Ode juga membahas tujuan
politik ECI, yakni menguasai
pemerintahan dalam rangka mengamankan aset ECI. Jika selama ini ECI “mengeluarkan biaya khusus” dihitung
dalam biaya produksi kemudian ditanggung konsumen melalui pembelian produk
warga ECI untuk para aparatus pemerintahan.
Sejak awal reformasi “biaya khusus” itu diganti dengan ECI menjadi aparatus pemerintahan. Penjajahan
berlangsung kembali semula dijajah Belanda, Jepang, kini ECI dan Cina Komunis
sebagai Penjajah Baru.
Di dalam BAB V, La Ode
membahas: (1) Hubungan ekonomi
Eci-Pribumi dalam politik nasional; (2) Indikator ECI sukses bidang politik dan
ekonomi; dan, (3) Motivasi ECI masuk dunia politik. Apa motivasi ECI (Etnis Cina Indonesia) masuk
dunia politik? Menurut La Ode: (1) Kesetaraan sesama warganagera Indonesia; (2) Perbedaan dan Kerusuhan Mei 1998; (3) Berpolitik
untuk keadilan; (4) Berpolitik untuk demokratisasi; (5) ECI
ingin menghapus diskriminasi; (6) Pola Pendekatan ECI kepada Pribumi.
Di dalam Bab VI. La Ode baru
membahas “Trilogi Pribumisme” sebagai
metode resolusi konflik. Prinsip
pertama, Pribumi Pendiri NKRI. Asumsi
dasar, ECI sama sekali bukan Pribumi. ECI di Indonesia al. Tio Ciu, Khek,
Hokkien,
Hok
Cia, Kanton, dan Hainan sebagai keturunan imigran
dari Cina Daratan. Eci bukan Pribumi karena garis sejarah nenek moyang mereka
di Cina Daratan. Sedang nenek moyang Pribumi semuanya di Nusantara. Bagi La Ode, status sosial politik
etnisitas ECI di Indonesia dewasa ini terbagi tiga bagian utama. Yakni (1) ECI
total hidupnya eksklusivisme serta penampaknnya superioritas atas Pribumi; (2) ECI guyub dengan lingku-ngan penghunian Pribumi;
(3) ECI peranakan Indonesia karena telah
melalui proses kawin dengan pria atau
wanita Pribumi.
Prinsip kedua, Pribumi Pemilik
NKRI. Prinsip ini dikokohkuatkan dgn Sumpah Palapa 1334 M dan Sumpah Pemuda 28
Oktober 1928 M. Secara de jure mendapat pengakuan 192
negara di dunia menjadi anggota resmi PBB. Status sosial ECI tetap sebagai WNI Keturunan Imigran Cina Komunis. Tidak ada sama sekali
kaitan sosial politik etnisitas antara Pribumi dan ECI. La Ode lalu menegaskan,
ECI berniat mengambil alih kepemilikan dan kekuasaan NKRI dari Pribumi.
Prinsip ketiga, Pribumi
Penguasa NKRI. Prinsip ini bagian logika kausalitas, dimulai karena “Pribumi
Pendiri NKRI” mengakibatkan “Pribumi Pemilik NKRI”. Karena NKRI dididirikan
Pribumi, maka NKRI milik Pribumi. Pribumi sebagai Penguasa NKRI menjadi hak
dasar pribumi sebagai pemegang kedaulatan NKRI. Tidak boleh dicabut dan
dibagikan kepada bangsa lain. Trilogi
Pribumisme menjadi tuntutan terbaru Pribumi dan Non Pribumi.
Buku ini sungguh memuat
banyak hal, hampir 500 halaman. Bagi Peneliti dan Mahasiswa berkepentingan
tentu tidak masalah. Tetapi, bagi bukan Peneliti dan Mahasiswa, sudah tentu
sulit untuk membaca keseluruhan. Kami mengusulkan, mengingat cita2 Penulis di
balik buku ini, maka perlu dibuat dua buku tersendiri dan lebih tipis, maksimal
125 halaman per buku. Pertama, buku memuat khusus menjelaskan wacana atau persepsi
negatif masyarakat pribumi terhadap ECI. Kedua, buku memuat khusus menjelaskan
secara fokus Teori Triologi Pribumisme sebagai metode resolusi konflik manifes
(kerusuhan sosial) terhadap ECI. Tiga prinsip dasar (Pribumi Pendiri, Pemilik
dan Penguasa NKRI) diuraikan lebih sistematis, detail dan mendalam. Perlu juga
dimasukkan, saran atau usulan tentang “kebijakan politik” apa harus diambil
Pemerintah RI untuk
menggunakan teori Trilogi Pribumisme ini.
Penulis menggunakan konsep
ECI (Etnis Cina Indonesia) untuk menjelaskan
etnis Cina.
Namun, di beberapa Bab bermuncul konsep “Etnis Tionghoa”. Perlu dikoreksi ulang
agar ada keseragaman konsep yakni ECI untuk Etnis Tionghoa. Tidak lagi
menggunakan konsep Etnis Tionghoa. Ini tentu tugas “Korektor”!!!
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda