CATATAN:
Pada Kamis, 26 Juli 2019 lalu, Indonesian Resources Studies (IRESS)
Pimpinan Marwan Batubara bekerjasama
dengan Fraksi PAN DPR-RI menyelenggarakan Diskusi Nasional “Menggugat
Kerjasama Pengelolaan Freeport”, di Komplek DPR/MPR Senayan. Diskusi
Nasional ini mengangkat issu nasional terkait
dengan kerjasama pengelolaan Freeport, terutama issu divestasi 51% saham perusahaan kepada Indonesia.
Divestasi bermakna penjualan dari bisnis dimiliki oleh PT. Freeport Indonesia kepada Pemerintah Indonesia. Beberapa Pengamat Enerji dan Sumber Daya Alam
(SDA) tampil sebagai Pembicara Utama, termasuk Dr. Marwan Batubara dan Dr. Fuad Bawazier,dll. Bertindak
sebagai Moderator Chandra Tirta Wijaya,
Aktivis/Kader PAN tingkat Nasional. Keynote
Speaker Diskusi Nasional Ini adalah Prof.
Dr. M.Amien Rais, Mantan Ketua MPR-RI.
Pada intinya, M.Amien Rais
secara tegas menuntut agar tambang Freeport-MCMoran ditutup saja. Berikut ini
kandungan/isi Keynote Speak M.Amien Rais
dimaksud (MUCHTAR EFFENDI HARAHAP/NSEAS).
SETELAH Indonesia dibodohi oleh Frreport-McMoran Inc. sejak 1967,
dengan penjarahan emas, perak, tembaga dan berbagai mineral ikutan lainnya,
bulan Juli ini kita digemparkan oleh sebuah narasi versi Pemerintah bahwa
Freeport “telah kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi”. Lewat Head of Agreement
Indonesia-Freeport. Points of
HoA itu adalah :
1. PT.Freeport
Indonesia’s (PTFI) legal foundation will be in the form of Special Mining
Permit (IUPK) and not Working Contract (KK).
2. The
Investment of 51 % of PTFI shares is for the Indonesian national ownership.
3. Freeport is
to build smelters in Indonesia.
4. State
revenue ini aggregates will be higher than the ongoing state revenue with KK
scheme.
5. Operational
extension of 2 X 10 years will be given if PTFI fulfills its IUPK obligation.
PTFI will receive an operational extension until 2041.
Kata-kata indak “Freeport telah
kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi” menjadi buyar setelah pihak Freeport (Richard Adkerson)
maupun Indonesia (Jonan) mengakui HoA itu tidak mengikat. Artinya, kapan saja
bisa dibatalkan. Meminjam penrnyataan Jonan: “… tapi ini framework buat
transaksi. Ini sebenarnya secara hukum HoA itu tidak pernah mengikat”.
Para pengamat ekonomi &
pertambangan yang jujur, seperti Dradjad Wibowo dan Marwan Batubara telah
menyebut bahwa HoA itu masih memerlukan negosiasi panjang, selain operasional
tetap di tangan Freeport, juga tidak satu pun Bank Pemerintah yang bersedia
mengutangi Inalum Indonesia untuk memperoleh uang sebesart US$ 3,85 miliar atau
sekitar Rp. 55 triliun. Utang itu harus dari Bank Asing sepenuhnya. Di samping
itu, ada berbagai masalah technicalities yang tidak mudah.
Sesuai Working atau Kontral Karya
1967, di mana Indonesia hanya mendapat royalty sekitar 1 % dan pajak yang sepenuhnya
sesuai kemauan Freeport, WC/KK itu berakhir pada 2021, walapun ada pasal yang
meneyebutkan dapat diperpanjang sampai 2041. Saya berpendapat KK (Kontrak Karya) dengan Freeport sebaiknya ditutup. Sekali untuk
selamanya. Titik. No
extension, full stop. Mengapa?
PT. Freeport-McMoran Indonesia
telah melakukan 4 (empat) macam kejahatan. Pertama, kejahatan lingkungan. Sejak
50 tahun lalu, rata-rata llimbah atau tailing yang dibuang ke berbagai sungai
(Aghawagun, Otomona, Ajkwa, Minajerwi dan Aimue) dan tanah subur di sekitar
sungai mencapai jumlah 700.000 ton per hari. Diperkirakan beberapa tahun lagi
jumlah limbah bakal menyundul angka 6 (enam) sampai 7 (tujuh) miliar ton.
DI tahun 2005 New York Times menulis limbah/tailing Freepport lebih besar dari
tanah yang dikeruk untuk Terusan Panama. Sementara Jatam menghitung, bila limbah
itu dibuang ke Jakarta yang luasnya 660 Km2, tanah permukaan DKI bertambah
tinggi sekitar 5 meter. Bayangkan, begitu dahsyatnya ecocide (pembunuhan lingkungan
hidup) oleh Freeport di Papua Barat.
Sebuah Dana Pension di di Norwegia
menarik sahamnya di Freeport sebesar 280 juta dolar, karena tidak tega dan
tidak mau ikut melakukan ecocide di Papua Barat. Anehnya,
kita sendiri cenderung menganggap enteng soal kehancuran lingkungan itu. Bahwa
HoA tidak menyentuh sedikit pun tentang ecocide ini, membuktikan betapa kita
abai dengan kelestarian alam di Papua.
BPK menghitung kerugian yang
diderita Indonesia, gara-gara destruksi ekologi oleh Freeport sebesar US$ 12,95
miliar. Temuan BPK ini dianggap angin lalu oleh sebagian pemimpin bangsa, yang
telah pekok dan tuli karena sudah tertutupi dengan kepentingan ekonomi yang
penuh sekandal.
Kejahatan kedua adalah pengemplangan
pajak oleh Freeport. Ketika saya, akhir 1996 menginap di Tembaga Pura,
kota yang sangat mewah dan serba ada,
saya berkesempatan melihat langsung lokasi pertambangan Freeport. Saya
diberitahu oleh para Insinyur muda dari UI, UGM dan ITB bahwa Freeport
memasukkan alat-alat berat pertambangan sampai kebutuhan Freeport yang berupa
AC, washing
machine dll secara bebas pajak, karena Freeport merasa seperti Negara kecil
di atas Negara Indonesia.
Setelah saya menulis di kolom
resonansi (Harian Republika) pada 1997
bahwa Freeport pasti mengemplang pajak karena pajak yang diterima Indonesia
dari Freeport jauh lebih kecil dari yang dibayar Djarum dan Gudang Garam, maka
tahun berikutnya Freeport menjadi pembayar pajak terbesar. Kata Joseph
Stiglitz, Freeport sesungguhnya sadar sedang menjarah SDA Indonesia. Karena
itu, bila boroknya dituding langsung mereka akan segera memperbaiki diri.
Masalahnya, untuk menuding borok-borok Freeport, dan berbagai koporasi lainnya,
kita tidak pernah berani.
Kejahatan ketiga adalah kejahatan
kemanusiaan terhadap masyarakat Papua yang sering berdemo minta supaya Freeport
ditutup. Juga cukup banyak korban tembak mati terhadap orang-orang yang
berusaha mengais satu atau dua gram emas di lembah buangan limbah Freeport.
Berbagai Gereja di Papua Barat memiliki data mengenai pelanggaran HAM yang dilakukan
oleh otoritas Freeport, dan tidak jarang menggunakan sebagian tentara dan
polisi yang sempat “didekati” dan dikooptasi oleh Freeport.
Kejahatan keempat Freeport adalah menjadikan
Indonesia sebagai corporate state. Sehingga setiap korupsi berskala mega di
Indonesia hakekatnya telah menjadi state capture corruption. Negara
relah membiarkan aparat keamanan, pertahanan, hukum dan birokrasinya tunduk
sepenuhnya di bawah keputusan korporasi internasional yang berada di luar
jangkauan Negara. Negara tidak mampu mengatur dan meletakkan kepentingan
korporasi di bawah kepentingan nasional bangsa Indonesia.
Inilah saat yang kita nantikan
telah tiba. Saat untuk benar-benar mengembalikan tambang emas, perak, tembaga
yang selama ini dikelola oleh Freeport-McMoran Inc. dan Rio Tinto ke pangkuan
Ibu Pertiwi. Caranya, Kontrak Karya dengan Freeport tidak perlu diperpanjang. Tetapi
sebelum ditutup, Indonesia harus menghitung berapa dollar/rupiah yang harus
dibayar Freeport untuk mengganti kehancuran lingkungan yang telah
ditimbulkannya selama 50 tahun terakhir. Berbagai bentuk pajak yang dikemplang
harus dihitung secara cermat dan harus segera dibayar. Pelanggaran HAM yang
dilakukan Freeport harus dibuka tuntas, jangan sampai saudara-saudara kita di
papua Barat berkesimpulan Pemerintah Jakarta bersengkongkol dengan Freeport
dalam menggarong dan melanggar HAM masyarakat Papua.
Sebelaas tahun lalu (2007), Joseph
Stiglitz berceramah di Jakarta, di sebuah forum yang diselenggarakan oleh Majalah Tempo. Isi ceramahnya
mengejutkan, Indonesia dianjurkan supaya melakukan negosiasi ulang pada semua
kontrak pertambangan yang merugikan Indonesia. Bahkan, dia mengatakan, kalau
perlu melakukan nasionalisasi korporasi asing seperti dilakukan oleh Bolivia.
Penduduk Bolivia yang hanya 8,5 juta, sekarang 10 juta, sejak 2006 di bawah
Presiden Evo Morales, berkat negoisasai ulang, kocek nasionalnnya belipat 300 %
dari sekitar 3 miliar dolar Amerika menjadi 9 miliar dolar. Morales dipilih
untuk ke empat kalinya, dan begitu Donald Trump terpilih sebagai Presiden
Amerika, Morales mengirimkan pesan ke Trump: “We want respect, not submission
or blackmail”. Sampai sekarang kita belum punya Presiden seberani
Morales, yang hanya lulusan STM dan Mantan Ketua Serikat Buruh Bolivia.
Saya gagal memahami, ada sebagian
pemimpin dan “ahli hukum” yang menyatakan bahwa Indonesia sudah kalah “janji”
dan kita tidak bisa mengubah Working Contract dengan Freeport,
kecuali kalau kita mau dijadikan Iraq kedua, dan segala dalih lain yang
menggelikan. Dalam perjanjian perdata antar Negara, kita kenal dua doktrin.
Pertama, “pacta sun servanda”, semua perjanjian harus dilaksanakan.
Doktrin kedua, sama kuatnya, berbunyi “rebus sic stanibus” yang berarti
sesuai perkembangan keadaan. Doktrin kedua ini, berarti bila ternyata di
belakang hari terjadi situasi yang berbeda dan salah atu pihak merasa
dirugikan, maka pihak itu dapat melakukan negoisasi ulang. Sesunggunnya
kehancuran ekologi Papua Barat yang demikian dahsyat di sekitar lokasi
penambangan Freeport, sudah lebih dari cukup untuk bukan saja tidak perlu
melakukan negoisasi ulang, tetapi tidak perlu lagi memperpanjang kontrak. IUPK
dan semacamnya sesungguhnya tidak kita perlukan lagi.
S&P 500, Standard and Poors dari MCGraw-Hill sudah
menetapkan Freeport-McMoran sebagai the worst performer karena telah
menghancurkan ekologi sekitar pertambangan secara sangat ganas. Jadi kita
tunggu apa lagi? Kapan kita berhenti sebagai bangsa yang seolah-olah masih
dihinggapi mental inlander, yang seakan masih menderita penyakit kompleks-inferioritas.
CATATAN:
Saya tidak tahu persis tentang ketakutan
kita, bila ada perselisihan Indonesia dengan Freeport, maka dispute itu harus dibawa ke arbitrase
internasional. Sementara Cina tidak pernah membawa dispute dalam bentuk
apapun kecuali ke arbitrase Cina
sendiri.
III. ALTERNATIVE DSIPUTE RESOLUTION IN THE PRC
Among the various ways of setting
disputes between Chineses and foreign parties, arbitration remains in the most
popular. Notably, the China International Economic and Trade Arbitration
Commission (“CIETAC”) has emerged in recent years as a wolrd heavyweight in
terms of numbers of caes heard each year. (Chicago Journal of International Law, Vol.7/Number 1 Summer 1997).
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda