Rabu, 30 Mei 2012

KORUPSI POLITISI PARPOL DI DAERAH (BAGIAN KEDUA)

Fenomena korupsi anggota legislatif bukan saja di pusat tetapi juga di daerah. Berdasarkan data ICW (Seri-Korupsi, WWW.antikorupsi.org) pelaku korupsi legislatif pada tahun 2005 mencapai 45 orang (mantan, anggota DPR, DPRD dan MPR), tahun 2006 sebanyak 35 orang ((mantan, anggota DPR, DPRD dan MPR), tahun 2007 sebanyak 162 anggota DPRD, dan tahun 2008 mencapai 178 anggota DPRD. Di lain fihak, khusus Kepala Daerah, selama peridoe 2014-2012 sudah 173 Kepala Daerah diperiksa dengan status saksi, tersangka, dan terdakwa. Sebanyak 70 persen sudah divinis berkekuatan hukum tetap dan menjadi terpidana (Kompas, 25 April 2012). Menurut ICW, Fenomena korupsi di daerah sudah demikian rumit mulai dari pola dilakukan. Salah satu sebab adalah para pemain di daerah mempunyai kekuasaan penuh dan praktis tanpa ada pengawasan berarti. Pejabat benar-benar berkuasa di daerah adalah Bupati dan Walikota, Bahkan Gubernur sekalipun tidak sangup “mengatur”Kepala Daerah Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi tersebut. Penyimpangan telah merambah secara merata di pemerintahan daerah, acapkali dinilai telah memasuki era korupsi di daerah. Kerugian negara tidak hanya berumber dari APBN digegrogoti, termasuk juga APBD. Jenis penyimpangan sebagian besar mengindikasikan praktik KKN. Pada umumnya berujung pada timbulnya kerugian negara atau daerah (Harian Pelita, 16 Agustus 2010). Otonomisasi dan desentralisasi daerah terlalu memberikan keleluasaan kepada daerah. Ada indikasi justru terjadi beberapa gejala negatif di daerah, bertentangan dengan upaya pemberantasan KKN. Adanya DAU merupakan transfer dari Pemerintahan Pusat ke Pemerintahan Daerah, menyebabkan daerah berhak mengalokasikan DAU sesuai pertimbangan dan kebutuhan daerah. Hal ini merupakan salah satu pendorong korupsi di daerah. Adanya kecenderungan kebebasan kurang terkendali baik ekekutif maupun legislatif. Juga, adanya ketidakjelasan pengawasan penggunaan DAU sepenuhnya diserahkan kepada eksekutif dan legislatif. Kekuasaan Kepala Daerah baik Gubernur maupun Bupati/Walikota dalam penyelenggaraan pemerintaah daerah relatif begitu besar, kadangkala terdapat julukan munculnya “raja-raja kecil” di daerah. Proses demokratisasi, otonomisasi, dekonsentrasi dan desentralisasi daerah telah dipertegas dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini sesungguhnya tidak mengenal istilah “penguasa tunggal”, namun secara sosiologis dan psikologis posisi Kepala Daerah tetap sebagai orang nomor satu di daerah baik dalam kewenangan maupun protokoler. Secara yuridis, Kepala Daerah memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan kebijakan ditetapkan bersama DPRD, namun di pihak lain, Kepala Daerah bertugas mengkoordinasikan penyelenggaraan urusan Pemerintahan Pusat di daerah. Hal ini sesuai dengan UU No. 32 tahun 2004, penggunaan otonomi seluas-luasnya di mana daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan Pemerintahan kecuali urusan Pemerintah Pusat, yakni politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, moneter/fiskal, peradilan (yuridis) dan agama. UU No. 32 Tahun 2004 ditindaklanjuti dengan PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota. Sebagian pengamat politik mengusulkan, sebaiknya hubungan Kepala Daerah dengan DPRD tetap diposisikan sebagai “checks and balances” dan kedudukan Kepala Daerah sebagai kordinator dalam penyelenggaraan Pemerintahan di daerah perlu dibuat aturan jelas dan rinci. Perlu ketidakbergantungan instansi vertikal pada Pemda. Instansi Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan harus tidak memperoleh fasilitas anggaran dan APBD, tetapi secara global ditampung oleh APBN. Namun dalam kenyataannya, Kepala Daerah masih merupakan kordinator terhadap lembaga vertikal lain. Kendatipun tidak ada peraturan jelas, namun masih dihidupkan lembaga “Muspida” di Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Kepala Daerah adalah pemimpin ”Muspida” tersebut. Kepala Daerah melaksanakan koordinasi untuk menjalankan tugas-tugas tertentu dengan Unsur Muspida lain seperti Pangdam, Kajati, Ketua Pengadilan Tinggi, Ketua DPRD Propinsi dan instansi lain untuk Propinsi. Sedangkan Dandim, Kapolres, Ketua Pengadilan Negeri, Ketua DPRD adalah untuk Kabupaten/Kota. Lebih dari mengkordinasikan, para Kepala Daerah juga “memfasilitasi” unsur Muspida lain baik melalui APBD (boleh resmi tetapi ilegal) dan ada juga bersifat pribadi. Untuk dukungan pelaksanaan tugas instansi vertikal atau unsur Muspida, sering dialokasikan anggaran dalam APBD, walaupun sebenarnya instansi vertikal lain itu memiliki anggaran tersediri dari instansi induk di pusat. Tidak jarang karena “kedekatan hubungan” antar Kepala Daerah dengan pejabat Muspida, diciptakan pos anggaran sedemikian rupa dengan alasan koordinasi, kendati dasar hukum tidak ada, tetapi mungkin terjadi persengkongkolan dan juga korupsi. Dalam hal ini berlakulah konsep bahwa hukum dipergunakan sebagai alat kejahatan (law as tool of crime). Korupsi adalah solusi cepat bagi Kepala Daerah untuk melarikan diri dari pembayaran utang akumulasi akibat pembiayaan kampanye politik biaya tinggi dan mahal. Mochammad Jasin (Anggota KPK) mengakui bahwa kasus korupsi banyak terjadi di tingkat daerah didorong oleh utang untuk mendanai kampanye politik selama Pilkada. Masalah utama dalam sistem politik Daerah kita adalah bahwa Pilkada secara langsung rawan terhadap praktik-praktik politik uang. Calon Kepala Daerah dilaporkan ekstra dalam menggali ke dalam kantong mereka dalam rangka memenangkan pemilihan. Pendapatan/penghasilan Kepala Daerah ini adalah sekitar Rp. 6 juta sebulan. Bagaimana mereka bisa membayar utang mereka untuk kampanye politik? Kampanye utang terbukti menjadi beban besar pada politisi. Sebagai contoh kasus korban Pilkada, pada 4 Juni Sutoto Agus Pratomo, suami Dasih Ardianti kalah pada Pilkada 2010 Wakil Walikota di Semarang, Jawa Tengah, menggantungkan diri (bunuh diri) di kantornya. Fakta dan data korupsi di daerah dapat diperoleh dari KPK . Antara kurun waktu 2004 dan 2010, KPK telah menyelesaikan 193 kasus korupsi, termasuk di tingkat Daerah. Kebanyakan pelanggaran telah diungkapkan terkait dengan pegadaan barang/jasa Pemerintah dan prosedur pelayanan dengan 86 kasus dan suap pada 56 kasus. Terdapat 40,93 % dari total jumlah kasus, terjadi di daerah 79 kasus. Dari angka ini, pelanggaran paling banyak terjadi di Provinsi Jawa Barat 17 kasus, diikuti oleh Kalimantan Timur 11 kasus, Jakarta 10 kasus dan Riau dan Kepulauan Riau kombinasi 10 kasus. KPK melalui Pengadilan Tipikor telah berhasil menjatuhi hukuman delapan Gubernur dan 20 Walikota atau Bupati antara 2004 dan awal 2010, dari jumlah total 242 para pejabat korup. Menurut Jasin, metode paling berulang korupsi di tingkat Daerah adalah mark up dari pengadaan barang/jasa Pemerintah, menambahkan bahwa banyak pejabat Pemda membuat pengeluaran fiktif dan proyek-proyek untuk keuntungan diri mereka sendiri. Ini dilakukan oleh Gubernur, Bupati, Walikota dan wakil-wakil mereka, termasuk pejabat mereka. Bentuk korupsi lain termasuk manipulasi prosedur pengadaan dan menggelapkan dana daerah dengan praktik paling umum menggunakan dana negara untuk urusan peribadi seperti liburan keluarga. Modus korupsi lain Kepala Daerah di Indonesia adalah manipulasi perizinan konsesi kehutanan, pertambangan, atau sumberdaya alam lain. Modus ini dapat ditemukan terutama di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Menyangkut manipulasi perizinan konsesi pertambangan, acap kali juga terkait dengan politik lokal, yakni suksesi dan akhir masa jabatan Kepala Daerah atau pelaksanaan Pilkada. Sebagaimana dilaporkan Kompas (22 Februari), di Propinsi Jambi misalnya, lebih dari 600 izin dengan skala keluasan 198 hektar ke bawah terbit dalam empat tahun terakhir. Praktek pemberian izin tersebut bersamaan dengan momentum akhir masa jabatan dan suksesi Kepala Daerah ( dari 2009 s/d 2011). Yakni selama rentang waktu Pilkada lima Kabupaten terkait: Kabupaten Sarolangun, Tebo, Bungo, Batanghari dan Muaro Jambi. Proses pemberian izin tambang batubara pada skala keluasan di bawah 198 hektar bahkan lebih mudah. Pemohon tidak perlu menyertakan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), cukup dokumen UKL (Upaya Pengelolaan Lingkungan) dan UPL (Upaya Pemantauan Lingkungan). Proses perizinan juga nyaris tidak terpantau Pemerintah Provinsi karena tidak mendapatkan laporan sama sekali mengenai izin yang diberikan di daerah. Kemudahan proses inilah yang mendorong Bupati-Bupati lama dan para calon petahana menerbitkan iizin memperkuat dukungan dan pendanaan. Gubernur Jambi Hasan Basri Agus, Mantan Bupati Sarolangun, mengakui, banyak izin tambang batubara di Kabupaten Sarolangon selama dirinya menjabat Bupati setempat. Namun, izin tersebut tidak terkait suksesi pemilihan Gubernur Jambi tahun 2010. Penerbitan izin itu semata bertujuan menarik investor. Namun, berdasarkan catatan Kompas, lebih dari 70 izin tambang di Sasrolangun terbit dua tahun menjelang pemilihan Gubernur Jambi. Selain di Sorolanun, Kompas juga menunjukkan pemberian izin juga marak di Kabupaten Tebo, beberapa bulan menjelang pemilihan Gubernur Jambi tahun 2010. Pada saat itu, Bupati Tebo Madjid Muaz juag mencalonkan diri sebagai Gubernur. Mengutip pernyataan Pariyanto, aktivis Community Alliance for Pulp and Paper Advocacy”, dalam rentang dua bulan, Maret dan April 2010, Bupati menerbitkan hingga 40 izin tambang. Penerbitan ini marak menjelang Pemilihan Gubernur. Padahal, setahun sebelumnya, Bupati sama sekali tidak mengeluarkan izin (Kompas, Kecuali kasus di Propinsi Jambi, Kompas (22 Februari 2012) juga melaporkan kasus di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Di Kalimantan Timur, pada 2011 luas izin usaha pertambangan meningkat 18 % dibandingkan tahun 2009. Masifnya aktivitas pertambangan, banyak dikeluarkan setelah Pilkada atau menjelang Pilkada karena uang tunai paling cepat didapat dengan mengobral izin usaha. Di Kalimantan Selatan, iizin 13 perusahaan tambang batubara akhirinay dicabut. Izin tersebut dikeluarkan Bupati yang maju paad Pemilihan Gubernur Kalimantan Selatan sebelum ada dokumen Amdal. Di Kalimantan Tengah, banyak Bupati yang mengeluarkan izin pertambangan demi mempertahankan jabatan. Ada indikasi izin tersebut dipakai untuk mencari dana kampanye. Terakhir, Propinsi NTB, izin Bupati Bima untuk pertambangan emas di sekitar sumber mata air menimbulkan penolakan publik. Diduga, izin tersebut dikeluarkan sebagai balas jasa terakit dukungan dalam Pilkada. Kaitan Pilkada dengan lingkungan juga ditegaskan oleh Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Pemuad Katolik, Natalis Situmorang, di dalam Pembukaan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) di Jakarta, 14 Maret 2012. Situmorang menegaskan, akibat kepala daerah berutang budi kepada pihak lain saat mengikuti Pilkada, lingkungan dikorbankan. Kerusakan lingkungan di daerah pin kini semakin parah terjadi. Pembiayaan mengikuti Pilkada dari seorang Kepala Daerah, yang ditanggung pihak lain, dibalas jasa dengan pemberian konsesi pertambangan secaar luas. Kekayaan alam di daerah digadaikan elite dalam Pilkada kepada pihak pemilik modal. Tidak menutup mata atas maraknya politik uang yang diterima seperti kewajaran oleh masyarakat kecil (Kompas, 15 Maret 2012). Fakta dan data lain dapat diperoleh dari hasil penelitian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) tentang Bengkulu pada 2009-2010, saat Pemilu dan Pilkada Propinsi Bengkulu digelar. Yakni diterbitkan izin usaha pertambanagn dan perkebunan bagi 42 perusahaan. Izin-izin itu mengakibatkan perusahaan menguasai lahan 75.703 hektar. Pilkada dan Pemilu berkontribusi terhadap kerusakan hutan di Bengkulu. Ruang kelola pemodal melalui kuasa pertambanagn dan perkebunan di Bengkulu mencapai 463.964 hektar atau 25 persen dari luas wilayah Bengkulu. Itu terbagi dalam pertambangan pasir (O156.112 hektar), batubara (99.305 hektar), dan perkebunan (208.546 hektar). Saat itu, “Kepala daerah cenderung memberikan izin tambang dan perkebunan kepada investor guna mendapatkan dana segar untuk biaya politik selama Pilkada dan Pemilu,” kata Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Walhi Bengkulu (Kompas, 18 April 2012). Kasus serupa juga terjadi di Propinsi Riau. Menjelang Pilkada, surat-menyurat, terutama bukti diri berupa kartu tanda penduduk (KTP), surat keterangan tanah (SKT) akan lebih mudah diterbitkan. Namun, imbalannya, perambah diminta memilih calon tertentu. Dengan memiliki KTP dan SKT, keberadaan perambah semakin kuat. Dari ribuan keluarag perambah di 14 desa yang menduduki 28.500 hektar di Taman Nasional Tesso Nilo, Kabupaten Palalawan, Riau, hampir semua memiliki KTP. Mereka terdapatar sebagai penduduk yang memiliki hak pilih saat pilkada beberapa waktu lalu. Saat kampanye calon kepala daerah berjanji, jika terpilih, dia akan memperjuangkan lahan yang disengketakan dilepas dari kawasan hutan negara (Kompas, 18 April 2012). Fakta dan data lain menunjukkan, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, Indonesia sudah melahirkan 205 daerah baru, terdiri dari 7 provinsi, 164 Kabupaten dan 34 kota. Sejak itu pula, perilaku korupsi di daerah semakin meluas dan meningkat. Berdasarkan catatan ICW hingga satu semester 2010, setidaknya ada 1.800 kasus korupsi terungkap dan sudah masuk pengadilan. Dari data ini, sepanjang 2004-2009 tercatat setidaknya 1.243 anggota DPRD terlibat korupsi. Di lain fihak, catatan ICW menunjukkan, sampai 2004 sudah ada seratus perkara korupsi melibatkan anggota DPRD di seluruh Indonesia. Sebanyak 1.500-an orang telah diproses secara hukum. Sebagian dalam tahap penyelidikan, sebagian sudah disidik dan sisanya menjalani hukuman. Mereka umumnya didakwa telah melanggar PP No. 110 tahun 2000, sebuah peraturan agar dalam menyusun APBD, para anggota DPRD dan pejabat Pemerintah daerah memperhatikan asas kepatutan antara anggaran publik dan anggaran kesejahteraan anggota. Asas kepatutan itu antara lain termasuk kejelasan penggunaan dari setiap rupiah dana APBD. PP No. 110 tahun 2000 ini dimaksudkan sebagai pagar dari pelaksanaan otonomi daerah. Sementara itu, baik tahun 2009 maupun tahun 2010, keuangan daerah, terutama dalam APBD, tetap sebagai sektor paling rawan dan rentan dikorupsi. Keuangan daerah juga menyumbang potensi kerugian negara terbesar, yaitu sekitar Rp. 596,232 mliyar dengan 38 kasus. Catatan ICW berikutnya (4 Agustus 2010) menunjukkan, kecenderungan korupsi Semester I, dari Januari hingga 30 Juni 2010, berdasarkan tahap penyidikan oleh penegak hukum (Kejaksaaan, Kepolisian dan KPK), sebanyak 176 kasus. Terdapat 441 orang ditetapkan sebagai tersangka dan kerugian negara akibat korupsi sekitar Rp. 2,1 triliyun. Pada periode sama tahun 2009, hanya ada 86 kasus korupsi disidik, 217 tersangka, dan kerugian negara sekitar Rp. 1,17 triliyun. Peningkatan jumlah kasus korupsi ini terungkap karena jumlah korupsi diindikasikan meningkat, terutama terjadi di daerah. Fakta dan data korupsi ICW ini hampir sama dengan data Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM). Pukat UGM melaporkan kepada KPK, terdapat 1.891 kasus korupsi di daerah hasil pemekaran. Korupsi terbanyak terjadi di Provinsi Banten 593 kasus, Kepulauan Riau 463 kasus, Maluku Utara 184 kasus, Kepulauan Bangka Belitung 173 kasus, Sulawesi Barat 168 kasus, Gorontalo 155 kasus, dan Papua Barat 147 kasus. Sisanya di daerah lain. Bagi Pukat, melonjaknya kasus korupsi di daerah lantaran dipicu oleh tingginya anggaran negara digelontorkan ke daerah. Hal tersebut menyebabkan gagalnya proses pembangunan di daerah baru hasil pemekaran. 80 % daerah baru hasil pemekaran gagal meningkatkan kesejahteraan masyarakat (LiraNews, Jakarta, 30 Oktober 2010). Dalam kurun waktu 2004-2010, ICW mencatat ada 1.243 anggota DPRD terjaring kasus korupsi. Tetapi saat divonis, hampir separuhnya dibebaskan oleh pengadilan. Kejaksanaan telah berupaya keras membawa banyak kasus korupsi melibatkan anggota legislatif daerah, namun dalam kenyataan obyektif setelah diajukan ke pengadilan terbebas dari hukuman. Fakta dan data berikutnya adalah hasil hasil investigasi ICW, yakni APBD menjadi sektor paling diminati para koruptor. Terbukti, kini keuangan daerah menyumbang potensi kerugian negara terbesar yakni Rp. 596, 232 miliyar. Temuan ICW baik tahun 2009 maupun tahun 2010, keuangan daerah tetap sebagai pintu masuk utama terjadinya korupsi. Keuangan daerah penyumbang potensi kerugian negara terbesar yakni Rp. 596.232 mliyar dengan 38 kasus. Tiga sektor lain menyumbangkan potensi kerugian negara yakni perizinan Rp. 420 miliyar (1 kasus), pertambangan Rp. 365,2 miliyar (2 kasus), dan energy/listrik Rp. 140,8 miliyar (5 kasus). Sebagai perbandingan, pada semester I tahun 2009, kasus korupsi meraup keuangan daerah sebesar Rp. 410.857 miliyar dengan 23 kasus. Adapun modus paling banyak digunakan para pelaku korupsi untuk mengeruk uang negara yakni penggelapan (62 kasus), diikuti modus mark up (52 kasus), proyek fiktif (20 kasus), penyelahgunaan anggaran (18 kasus) dan suap (7 kasus). Sementara modus tertinggi semester I tahun 2009, yakni modus penyelahgunaan anggaran dengan 32 kasus. Ini terkait dengan kondisi politik terjadi, yakni tahun 2008-2009, tahun persiapan menjelang Pilkada secara langsung. Modus penggelapan umumnya terkait dengan penyimpangan dana langsung berhubungan dengan kepentingan masyarakat seperti dana bantuan sosial (Banson) marak terjadi pada tahun 2008-2009 (Potret Indonesia, 17 Oktober 2010). Dalam laporan yang diserahkan kepada DPR awal Oktober 2009 dan DPD 22 November 2009, BPK memaparkan berbagai penyimpangan uang negara. Tidak saja di Pemerintah pusat, penyimpangan juga merambah secara merata di Pemda. Hasil pemeriksaan atas 237 Pemda meliputi Propinsi dan Kabupaten/Kota, BPK menemukan penyimpangan sebesar Rp. 91,03 miliyar. BPK membagi penyimpangan tersebut dalam lima jenis temuan, yaitu : 1.Penggunaan anggaran tidak sesuai dengan ketentuan sebesar Rp. 45,8 miliyar (37%). 2.Tidak didukung bukti yang lengkap Rp. 32,05 miliyar (38%). 3.Terlambat menyampaikan laporan Rp. 8, 2 miliyar (6%). 4.Penggunaan anggaran tidak tepat sasaran Rp. 4,4 milyar (9%). 5.Belum dipungut pajak/denda Rp. 466 juta. Dalam buku Ikhtiar hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2007 tersebut, BPK melaporkan banyak praktik pengadaan barang dan jasa dengan nilai ratusan juta hingga miliyaran rupiah tidak menaati aturan. Selain itu, dijumpai pemberian berbagai fasilitas kepada Kepala Daerah dan anggota DPRD menyimpang dari aturan. Nilainya juga bervariasi dari puluhan juta hingga miliyaran rupiah, Kedua temuan tersebut merupakan contoh dari penggunaan anggaran tidak sesuai dengan ketentuan. Di lihat dari frekuensi, jenis penyimpangan banyak terjadi adalah penggunaan uang tidak didukung bukti pertanggunjawaban lengkap dan sah. Hampir seluruh Pemda terdapat temuan seperti ini. Sebagai contoh, di Pemerintah Provinsi Riau, BPK menemukan belanja administrasi umum aparatur sebesar Rp. 2 miliyar. Tanpa bukti pertanggungjawaban lengkap dan sah. BPK tidak yakin atas kewajaran hal itu. Demikian pula, di Kota Prabumulih Provinsi Sumatera Selatan, BPK menemukan belanja tenaga kerja non pegawai sebenar Rp. 300 juta belum didukung dengan bukti lengkap dan sah. Di kabupaten Kediri ditemukan pemberian bantuan dan kepada sejumlah instansi vertikal, seperti Polres, Polsek, Kejaksaan, Kodim, Koramil, Pengadilan Negeri, dll senilai Rp. 950 juta. Temuan seperti ini dijumpai hampir di setiap Pemda. Selain pemberian bantuan tersebut tidak dibenarkan oleh aturan, ternyata bukti pertanggungjawaban sering tidak jelas. Melihat fakta seperti itu, perlu diwaspadai Pemda akan menyelenggarakan Pilkada. Bukan tidak mungkin pengeluaran dana APBD tidak jelas pertanggungjawaban, sesungguhnya dipakai untuk membiayai kepentingan politik pimpinan daerah dalam Pilkada. Dana tersebut untuk membayai lobby-lobby politik. Biasanya kepada kalangan DPRD, LSM dan kelompok-kelompok masyarakat diharapkan memberikan dukungan pencalonan. Penyimpangan lain ditemukan BPK adalah penggunaan anggaran tidak tepat sasaran. Bukan cerita baru, banyak Pemda saat mengajukan rancangan APBD tidak didahului dengan perencanaan baik. Sering dijumpai rencana proyek pembangnan dan pelayanan publik diajukan hanya sekedar formalitas anggaran. Akibatnya, pada saat proyek selesai dilaksanakan, ternyata tidak dapat dimanfaatkan oleh masyarakat karena tidak sesuai dengan kebutuhan. Contoh menarik dapat dibaca pada temuan pengadaan kapal keruk senilai Rp. 4 miliyar di Kabupaten Cirebon. Pada waktu diperiksa oleh BPK, kondisi kapal tersebut menganggur karena tidak ada biaya untuk mengoperasikan. Hal ini merupakan kecerobohan pejabat terkait dalam membuat rencana pengadaan tidak sesuai dengan kebutuhan. (Majalah Pemeriksa, Edisi 114, 27 Januari 2009). Fakta dan data selanjutnya berasal dari Hadi Poernomo, Ketua BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Pada 12 Oktober 2010, BPK melapor kepada DPR dari ikhtiar pemeriksaan semester I tahun 2010, total temuan mencapai 10.113 kasus dengan potensi kerugian negara Rp. 26,12 triliyun secara nasional. Khusus untuk potensi kerugian daerah mencapai Rp. 2 triliyun. Dari sekian banyak itu, ternyata ada beberapa oknum memang sengaja melakukan hal-hal berpotensi merugikan negara dan daerah. Khusus untuk daerah, BPK mencatat ada 348 laporan keuangan pemda (LKPD) menunjukkan adanya 1.246 kasus dengan nilai kerugian Rp. 306,63 miliyar. Kerugian di daerah dimaksud adalah berkurangnya kekayaan daerah berupa uang, surat berharga, dan barang, nyata dan pasti jumlah sebagai akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai. Kerugian ini timbul karena kasus-kasus meliputi belanja atau pengadaan barang dan jasa fiktif, rekanan pengadaan barang dan jasa tidak menyelesaikan pekerjaan, kekurangan volume pekerjaan, kelebihan pembayaran selain kekurangan volume pekerjaan dan termasuk proses pemahalan harga (mark up). Sementara itu, Kementerian Keuangan menyatakan hingga kini belum memiliki langkah jitu untuk mengantispasi manipulasi dan korupsi para pegawai daerah dalam proses pengadaan barang/jasa Pemerintah atau kegiatan lain. Diretur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan, Harry Purnomo, mengakui kelemahan Pemerintah dalam melacak dan menelusuri berbagai kasus tersebut (Potret Indonesia, 17 Oktober 2010). Sumber resmi Pemerintah dapat diambil melalui pernyataan Menteri Dalam Negeri Ganawan Fauzi. Menurutnya, sejak tahun 2005 Bupati menjadi tersangka sebanyak 150 orang. Jumlah tersangka dari total jumlah Kepala Daerah 524 orang itu sangat memprihatinkan (Potret Indonesia, 17 Oktober 2010). Fakta dan data ini tidak jauh berbeda dengan pernyataan Gamawan Fauzie seusai menyampaikan orasi ilmiah berjudul “Quo Vadis Pemilukada” di Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang (15 Juni 2011). Gamawan Fauzi menyatakan, hingga saat ini tercatat 158 Kepala Daerah di Indonesia, terdiri dari Gubernur, Bupati, dan Walikota, menjadi tersangka dugaan tindak pidana korupsi. Data Kementerian Dalam Negeri ini merupakan rangkuman catatan kasus pada 2004-2011. Hal ini, bagi Gamawan, menyusul tingginya biaya dikeluarkan seorang calon Kepala Daerah untuk berkompetisi dalam Pilkada (Kompas, 16 Juni 2011). Di lahin fihak, berdasarkan hasil investigasi ICW kecenderungan korupsi 2010 semester I, korupsi di semester awal tahun ini sudah terjadi di 27 Provinsi. Provinsi menempati jumlah kasus paling banyak adalah Sumut (Sumatera Utara) dengan 26 kasus, empat besar di bawahnya yakni Jabar (16 kasus), DKI Jakarta dan kasus terjadi pada Pemerintahan pusat 18 kasus, Nangroe Aceh Darussalam (NAD) 14 kasus, Jateng 14 kasus. Meski demikian, potensi kerugian negara dengan jumlah paling besar terjadi pada kasus-kasus di DKI Jakarta, sebesar Rp. 709,514 miliyar dengan 12 kasus, diikuti Lampung sebesar Rp. 408,382 miliyar (7 kasus), NAD sebesar Rp. 275,1 miliyar (14 kasus), Maluku sebenar Rp. 118,875 miliyar (6 kasus) dan Riau potensi kerugian negara mencapai Rp. 117, 75 miliyar (3 kasus). Beberapa kasus APBD dengan potensi kerugian negara sangat besar selama tahun 2010, di antara kasus pembobolan kas daerah Aceh Utara (Rp. 220 miliyar), kasus korupsi APBD di Indragiri Hulu (Rp. 116 miliyar), kasus korupsi kas daerah di Pasuruan Jawa Timur (Rp. 74 miliyar) dan kasus dana otonomi daerah Kabupaten Boven Digoel Rp. 49 miliyar. Presiden SBY sendiri menyatakan keprihatinann atas korupsi masih saja terjadi di daerah. (Potret Indonesia, 17 Oktober 2010). Fakta dan angka telah diungkapkan di atas sesungguhnya sejalan dengan hasil studi berbagai lembaga sudi tentang perilaku korupsi di pemerintahan daerah. Salah satu lembaga studi adalah Public Sector Integrity Survey. Lembaga ini melakukan studi tahun 2010 menunjukkan bahwa indeks integritas nasional Indonesia turun sampai 5,42 tahun ini (2010) dari 6,5 tahun lalu (2009). Lembaga ini telah mengevaluasi dan memberi skor lembaga-lembaga tingkat daerah mencakup administrasi 22 kota. Skor rata-rata hasil evaluasi 22 kota ini adalah 5,07, suatu skor masih tergolong semakin rendah (The Jakarta Post, 10/11/2010). Beberapa titik rawan korupsi Kepala Daerah adalah pengadaan barang dan jasa, penyimpangan angggaran, serta gratifikasi. Titik-tik itu menjadi sasaran empuk untuk mengembalkan ongkos olitik yang tinggi sepanjang Pilkada. Catatan Kementerian Dalam Negeri mengenai Kepala Daerah yang diperiksa sebagai saksi, tersangka atau terdakwa tidak jauh berbeda. Sekitar 36 persen Kepala Daerah bermasalah dengan hukum akibat penyimpangan pengadaan barang dan jasa, 44 persen terlibat penyalahgunaan anggaran, serat selebihnya terkait suap, pungutan dan penyalahgunaan pemberian izin. Sejumlah kasus pengadaan barang/jasa dan penyuapan yang melibatkan Kepala Daerah (Kompas, 18 April 2012) yakni: 1.Ismeth Abdullah (mantan Gubernur Kepulauan Riau): Korupsi proyek mobil pemadan kebakaran senilai Rp. 5,4 milliar. Vonis 2 tahun penjara (23/8/2010). 2.Ismet Mile (Mantan Bupati Bone Bolango, Gorontalo): Proyek pengendalian banjir tahun 2008 senilai Rp. 5,1 milliar. Vonis 3,5 tahun penjara (29/9/2011). 3.Agus Riyanto (Mantan Bupati Tegal, Jawa Tengah): Korupsi pembangunan jalan lingkar Kota Slawi senilai Rp. 3,95 milliar. Vonis 5,5 tahun penjara (24/11/2011). 4.Fahuwusa Lala (Mantan Bupati Nias Selatan, Sumatera Utara): Mencoba menyuap anggota KPU sebesar Rp. 99,9 juta: Vonis 2,5 tahun penjara (17/1/2012). 5.Soemarno HS(Walikota Semarang, Jawa Tengah): Penyuapan terhadap anggota DPRD tekait penyusunan APBD 2012 yang diperkirakan sebesar Rp. 5,2 milliar: Ditahan KPK (30/3/2012). ALIRAN DANA DARI PUSAT KE DAERAH Berbagai hal bisa kita kaitkan dengan fenomena korupsi di daerah ini. Salah satunya berkaitan dengan aliran dana dari Pusat ke Daerah. Bambang Widjojanto, misalnya, (Kompas, 20 Agustus 2009) percaya, ada kontradiksi antara peningkatan jumlah aliran dana ke daerah dan akuntabilitas penggunaan keuangan daerah dinilai terus merosot. APBN Perubahan 2009 menetapkan, jumlah dana APBN Rp. 1.0005,7 triliyun dan ada sekitar 60 % diserahkan ke daerah. Di sini lain, laporan keuangan Pemda mendapat opini dengan penilaian tidak wajar meningkat tajam dari 10 daerah (2004) menjadi 59 daerah (2007). Sementara hasil pemeriksaan BPK Semester II tahun 2008 menyebutkan, ada 93.481 rekomendasi senilai Rp. 764 triliyun yang perlu ditindaklanjuti. Dari jumlah itu, 38.010 rekomendasi senilai Rp. 205 triliyun belum ditindaklanjuti. Menteri Keuangan dengan merujuk laporan BPK mengemukan kian merosotnya akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah. Penjelasan Menteri dan laporan itu menyatakan, pertama, ada 21 daerah mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian tahun 2004 dan merosot menjadi hanya 8 daerah tahun 2008. Kedua, ada 249 daerah mendapatkan opini wajar dengan pengecualian tahun 2004 merosot menjadi 137 daerah (2008). Ketiga, ada 7 daerah tahun 2004 diberikan opini tidak memberikan pendapat menjadi 120 daerah (2008). Uraian tersebut menjelaskan beberapa hal. Pertama, ada kecenderungan kian merosotnya kinerja daerah dalam mengelola keuangan. Kedua, ada 157 daerah pengelolaan dinilai membahayakan dan 249 daerah potensial membahayakan karena dapat merugikan keuangan negara. Ketiga, ketidakmampuan mengelola keuangan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kewenangan dapat dikualifikasi sebagai korupsi. Keempat, potensi kerugian negara cenderung meningkat sesuai dengan kian memburuknya kualitas pengelolaan keuangan negara. Laporan BPK juga menyatakan, pada 2008 ada 31 laporan hasil pemeriksaan (LHP) meliputi 40 kasus senilai Rp. 3,67 triliyun dan 26,37 juta dolar AS mengandung unsur tindak pidana dan telah dilaporkan kepada fihak berwenang. Dari jumlah itu, ada 24 LHP terdiri 37 kasus senilai Rp. 3,59 triliyun dan 26,37 juta dolar AS diserahkan kepada KPK; sisanya diserahkan kepada Kepolisian satu LHP dan Kejaksanaan enam LHP terdiri dari tiga kasus senilai Rp. 84,42 miliyar. Laporan itu melengkapi laporan lain BPK menyatakan, tahun 2003-2008 ada 90 LHP terdiri dari 120 kasus senilai Rp. 30, 18 triliyun dan 470, 31 juta dollar AS. Ada dugaan potensi penyimpangan pengelolaan keuangan negara akan meningkat seiring diadakan Pilkada di lebih 240 daerah tahun 2010 (Kompas, 20 Agustus 2009). Asumsinya pejabat di daerah akan lebih memberikan perhatian pada Pilkada, kontrol pengelolaan keuangan daerah akan berkurang, serta sebagian pejabat potensial tergoda untuk menggunakan kewenangan dan keuangan daerah bagi kepentingan sendiri dalam Pilkada (MUCHTAR EFFENDI HARAHAP).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda