Kamis, 17 November 2011

POLITIK ERA REFORMASI, KEBHINEKAAN DAN PERAN UMAT ISLAM

CATATAN: Tulisan ini bermula dari Makalah Muchtar Effendi Harahap disajikan pada Seminar tema “Meneguhkan Peran Umat Islam untuk Menjaga Kebhinekaan dalam Bingkai NKRI”, diselenggarakan Parmusi bekerjasama dengan Fraksi PPP MPR-RI, di Jakarta, 16 November 2011. Berdasarkan tema simenar, Tulisan ini menyajikan hal-ikhwal deskripsi situasi politik era reformasi (kemajuan dan tantangan), empat pilar utama (Pancasila, UUD 1945, Bineka Tunggal Ika, dan NKRI) dan, Peran Umat Islam. Khusus mengenai peran umat Islam, Makalah ini hanya mengajukan beberapa prinsip, namun lebih luas diserahkan pada forum seminar karena memang peserta seminar dominan pelaku praxis umat Islam dalam politik. Kami juga mengucapkan terima kasih banyak terhadap Tim Pelaksana telah memberikan kesempatan sebagai salah seorang Pembicara pada forum Seminar.


I.POLITIK ERA REFORMASI:KEMAJUAN DAN TANTANGAN

Proses demokratisasi di Indonesia semakin terlihat sejak terjadi gelombang reformasi sekitar 1997/1998, kelompok mahasiswa mencanangkan agenda reformasi, dan keruntuhan kekuasaan rezim Orde Baru Soeharto. Segera setelah itu, Indonesia memasuki politik era reformasi. Gelombang reformasi di Indonesia sesungguhnya memiliki cita-cita demokrasi antara lain:

1.Sistem demokrasi berlaku menunjukkan kekuasaan dibagi-bagi dengan sengaja melalui konstitusi dan peraturan perundang-undangan sehingga tidak terjadi pemusatan kekuasaan di satu tangan, dan terdapat “checks and balances”. Memasuki tahap Konsolidasi demokrasi, harus lebih menjamin terwujudnya esensi demokrasi yakni penghargaan atas nilai-nilai partisipasi, transparansi, akuntabilitas, kesamaan (quality) non diskriminatif atau penghargaan atas`kebebasan dan perbedaan, dll.
2.Sesuai Pembukaan dan Bantang Tubuh UUD 1945, penegakan prinsip kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat sebagai HAM harus dilaksanakan untuk mewujudkan kehidupan kebangsaan kuat dalam NKRI merdeka, bersatu, berdaulat, adil, demokratis, dan berdasarkan hukum. Setiap warganegara adalah pemegang kedaulatan atau pemilik seluruh harta bumi dan kekayaan alam Indonesia. Kedaulatan rakyat bermakna rakyat pemilik kekuasaan, bebas berkehendak, mutlak memiliki, klaim menguasai, menjaga dengan hak penuh.
3.Demokrasi menjadi sarana penciptaan iklim yang kondusif dan progam konkrit untuk mensejahterakan rakyat.

Terdapat berbagai penilaian kemajuan dan tantangan/kendala politik era reformasi. Untuk penilaian kemajuan , antara lain:
1.Amandemen UUD 1945
•Rumusan UUD jauh lebih kokoh menjadi hak konstitusional warga negara.
•Dari demokrasi perwakilan menjadi demokrasi langsung.
•Pasal 6A UUD 1945, yang mengatur sistem Pilpres tidak lagi melalui perwakilan MPR, tetapi pemilu langsung.
•Terdapat 10 pasal tentang HAM.
•Adanya Komisi Yudisial (KY), Mahkamah Konstitusi (MK), DPD
•Pergeseran kekuasaan membuat UU dari Pemerintah ke DPR

2.Penghapusan Dwi Fungsi ABRI
•Kebijakan reposisi TNI/Polri: pemisahan Polri dari TNI.
•Pemotongan institusi TNI dari keterlibatan dalam politik.
•Anggota DPRD.DPR dan DPD dipilih rakyat pada Pemilu 2004.
•Terbit UU Pertahanan, memperjelas fungsi TNI.

3.Otonomi Daerah
•UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, membuat desentralisasi pemerintahan tingkat Kabupaten/Kota.
•UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan, memuat distribusi dana tingkat Kabupaten/Kota.
•UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memuat Pilkada Propinsi dan Kabupaten/Kota secara langsung.

4.Penghapusan KKN
•TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN.
•Pembentukan KPK

5. Kepartaian
•Pemilu 1999: 44 peserta
•Pemilu 2004: 24 peserta
•Pemilu 2009: 38 Parpol (ditambah 6 Parpol lokal di Aceh)

6.PEMILU
•Lebih kompetitif (bersaing)
•Lebih Jurdil
•Lebih terbuka

7.Kebebasan Pers
•Pemerintah tidak boleh menyensor, membredel dan menghentikan siaran media.

8.Kebebasan Berserikat dan Mengeluarkan Pendapat
•Masyarakat madani tumbuh berkembang (Parpol, perhimpunan , Ornop/LSM, Ormas, OKP, Ombudsman, dll.)
•Ada ruang untuk aksi demo di jalanan.

Walaupun ditemukan kemajuan, kalangan pakar atau pengamat politik menunjukkan beragam juga tantangan/kendala politik era reformasi, antara lain:

1. Kembali ke UUD 1945

Masih terdapat kelompok-kelompok masyarakat perkotaan menolak amandemen dan menuntut agar kembali ke UUD 1945 saat Orde Baru berkuasa. Belum ada ketentuan referendum dalam UUD hasil Amandemen tentang kebijakan atau kelangsungan kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden hasil Pilpres secara langsung.

2. Reformasi Prosedural

Reformasi politik (pemerintahan) telah berjalan, namun masih penuh kendala sehingga terkesan tersendat-sendat. Transformasi kultural demokratis (kreatif dan inovatif) masih sangat lambat, bahkan masih terjadi transformasi kultural birokrasi feodal. Semakin terasa adanya fenomena konservatisme dan elitisme baik di tingkat legislatif maupun eksekutif dalam proses pengambilan keputusan. Kehidupan demokrasi Indonesia masih bergerak dalam bingkai procedural, sementara secara substansial masih bergerak menjauh dari pengabdian kepada kepentingan rakyat. Proses demokrasi semakin tidak efisien dan efektif, menghabiskan banyak waktu, tenaga dan biaya. Demokrasi tidak mensejahterakan rakyat, melahirkan politik uang, menghasilkan pemimpin politik korup dan tidak amanah. Demokrasi semata-mata menekankan pada procedural, bukan mengedapankan transformasi nilai.

3.Politik Oligarkis dan Kartel Kepartaian

Fenomena oligarkis dan bahkan “kartelis koruptif” dalam sistem kepartaian, yakni partai-partai semakin menjadi birokrasi dalam dirinya sendiri dan untuk dirinya sendiri sedangkan pejabat partai di luar dan di dalam parlemen semakin menjadi birokrat, secara terencana melepaskan diri dari konstituen yang diwakili (pemberi mandat). Kalangan aktor masyarakat madani memperjuangkan cita-cita demokrasi dan penegakan prinsip kedaulatan rakyat di Indonesia cenderung tidak mempercayai peran dan fungsi Parpol. Mereka menilai, tidak ada hubungan signifikan antara Parpol dan kelompok konstituen, juga peran Parpol di dalam pekerjaan demokrasi. Kepercayaan rakyat terhadap Parpol tergolong sangat rendah. Parpol tidak berfungsi sebagai alat rakyat untuk menyampaikan kedaulatan mereka.

4.Penentuan Calon dalam Pilkada Tidak Partisipatif dan Transparan

Masih belum atau sulit berlangsung demokratis (penegakan prinsip partisipatif dan transparansi khususnya) karena sebagian besar penentuan calon pada Pilkada secara substansial tidak ditentukan partai sesuai tingkat Pilkada tersebut (misalnya, DPD untuk Kabupaten/Kota dan DPW untuk Propinsi), melainkan oleh para elite pusat partai, level lebih tinggi daripada DPD atau DPW. Proses penentuan calon secara kelembagaan tidak melalui tingkat paling bawah (Kelurahan/Desa atau Kecamatan) dalam bentuk misalnya konvensi atau pemilihan Bakal Calon oleh anggota partai atau pimpinan level Desa/Kelurahan berdasarkan penegakan prinsip partisipasi dan transparansi.

5.Negara Terkorup di Dunia

Indonesia telah mengalami jenis korupsi super destruktif dan berskala negara, yaitu state capture corruption. Negara sendiri melakukan korupsi atau pemerintah yang sedang berkuasa menggadaikan pada kekuatan korporasi asing, misalnya melalui politik hukum, yakni pembuatan UU dan PP (Peraturan Pemerintah). Pemerintah Indonesia telah menjadi pelayanan kepentingan asing, yang diberi payung hukum dengan perundang-undangan dan berbagai keputusan politik. State capture corruption (korupsi sandera negara), yang paling berbahaya semakin menjulang. Sejauh ini Pemerintah tidak menunjukkan kemauan dan komitmen politik untuk memberantas korupsi sungguh-sungguh.

Pada April 2011 Political and Economic Risk Consultancy (PERC) di Hongkong melakukan survey setiap tahun dan menjadikan para pebisnis asing di setiap negara sebagai responden. Salah satu indikator adalah korupsi. Publikasi 14 negara terkorup di Asia di Singapura, Indonesia nomor satu. Sebagai pembanding Indonesia dapat dilihat urutan nama dan skor sebagai berikut: 1. Indonesia dengan skor 8,32 ; 2. Thailand, 7,63 ; 3.Kampuchea, 7,25; 4. India, 7,23; 5. Vietnam , 7,11; 6. Filipina, 7,0; 7.Malaysia , 6,7; 8. Taiwan, 6,47; 9. China, 6,16; 10. Macau,5,34; 11. Korea, 4,6; 12. Jepang , 3,99; 13.Hongkong, 1,89; dan, 14. Singapura, 1,07. Indonesia, dalam sejarah penyusunan peringkat daftar negara-negara terkorup, tidak pernah berada dalam kategori negara terbersih. Jika ada perbaikan, secara umum posisi Indonesia selalu masuk kategori terburuk.

Di lain fihak, pada 13 Juni 2011 di Washington DC, hasil proyek survei tahunan (World Justice Project) suatu organisasi non-profit dibiayai Neukom Family Foundation, Bill & Melinda Gates Foundation, dan LexisNexis menyimpulkan dari 65 negara, Indonesia berada di posisi bawah baik secara regional maupun global.

6.Kesejahteraan Rakyat

Politik era reformasi tidak mampu memecahkan permasalahan perekonomian. Juga, terdapat masih ada asumsi dasar, masyarakat Indonesia belum siap untuk demokrasi dinilai dari tingkat pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Keadaan semakin tidak bermartabat dapat dilihat dari indikator antara lain: kemiskinan & pengangguran, pendapatan perkapita, utang luar negeri; sumber daya alam, kehutanan & lingkungan hidup, industri & perdagangan (harga barang kebutuhan pokok), dan pertahanan. Indonesia semakin dalam menjadi subordinat dari jaringan korporatokrasi internasional, jelas-jelas menguras habis-habisan kekayaan Indonesia. Korporatokrasi adalah sebuah jaringan ekonomi, keuangan, politik, militer, intelektual dan media masa yang dibangun oleh kekuatan-kekuatan kapitalis dan demokrasi liberal Barat. Kedaulatan nasional kita justru tergadaikan ke berbagai korporasi asing.

II.EMPAT PILAR UTAMA

Dalam politik era reformasi, telah muncul pula prakarsa 4 pilar utama perekat politik bernegara, yakni (1) Pancasila; (2) UUD 1945; (3) Bhineka Tunggal Ika; dan (4) NKRI.

1.PANCASILA

Payung hukum Pancasila sebagai pilar utama politik era reformasi diperkuat dengan TAP MPR No. 18 Tahun 1998 tentang Pencabutan TAP MPR No. 2 Taun 1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara. TAP MPR ini menegaskan bahwa Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara dari NKRI harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara (Pasal 1 TAP MPR No. 8 Tahun 1990 jo TAP MPR No. 1 tahun 2003 jo Pasal 1 Aturan Tambahan UUD 1945). Karena itu, Pancasila merupakan cara pandang harus memiliki kemampuan mengakomodasikan keragaman, baik agama, suku, etnis, sosial, budaya, dll. sehingga terpelihara sikap nasionalisme dan cinta tanah air. Pancasila sebagai pilihan dasar negara telah mengalami dinamika sejarah politik. Pancasila mengalami berbagai penapsiran sepanjang era demokrasi parlementer, era Orde Lama , era Orde Baru, dan era Reformasi. Dalam konteks ini, Umat Islam melalui para tokoh politik Islam pernah menunjukkan sikap sangat toleran, yakni kesediaan untuk menghapuskan tujuh kata: “Dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya” dalam Piagam Jakarta. Hingga sekarang pun kebanyakan politisi Islam tetap menggunakan strategi ini dalam merumsukan hubungan antar Islam dan negara di dalam memperkokoh NKRI. Pada era Orde Lama, penafsiran Pancasila ditapsirkan dengan konsep nasional, agama dan komunisme (Nasakom). Umat Islam menentang konsep ini. Pada era Orde Baru, Pancasila ditempatkan sebagai pandangan alam (way of view) dan menjadikan azas tunggal bagi seluruh organisasi kemasyarakatan. Umat Islam bahkan kelompok agama lain menentang penempatan Pancasila tsb. Terjadi penafsiran tunggal Pancasila, terutama melalui BP7, tidak boleh ada penapsiran lain. Kini era reformasi, penapsiran Pancasila tidak lagi tunggal atau sempit, sudah menjadi ideologi terbuka,milik bersama, tidak ada lagi semacam dominasi suatu kelompok.

Tantangan/kendala masih dihadapi untuk pilar utama Pancasila ini antara lain, masih belum selesainya perbedaan dalam menentukan saat lahirnya dan pencipta/penggali Pancasila. Kalangan tertentu lebih menginginkan lahirnya Pancasila tanggal 1 Juni 1945 saat Sukarno menyampaikan Pidato. Sementara pihak lain, khususnya kelompok politik Islam, menginginkan hari lahirnya Pancasila pada 23 Juni 1945 sebagai titik kompromi karena 18 Agustus sebagai hari konstitusi.

2.UUD 1945

Rumusan Amandemen 1945 sesungguhnya jauh lebih kokoh menjadi hak konstitusional warganegara, jauh lebih menegakkan HAM dan juga demokrasi, namun masih ditemukan tantangan/kendala, antara lain: terjadinya tarik menarik kewenangan antara Kepresidenan dan DPR terkait sistem presidensial; DPD tidak memiliki kewenangan legislasi dan penganggaran. Tantangan/kendala lebih penting adalah semakin meningkatnya jumlah aktor politik kelas menengah dan atas perkotaan menuntut agar kembali ke UUD 1945 sebelum Amandemen (Orde Baru).
Ada tiga kelompok dalam menilai Amandemen UUD 1945. Pertama, kelompok pro (mendukung) Amandemen dalam beragam argumentasi, namun mempunyai kesepakatan tentang masih perlunya penyempurnaan di sana-sini. Kedua, kelompok kontra (menolak) Amandemen UUD 1945. Mereka pada umumnya menyetujui perubahan namun cukup ditampung melalui UU. Kelompok ini pada dasarnya menuntut “kembali ke UUD 1945”. Ketiga, kelompok tidak keduanya (tidak pro, tidak kontra), lebih menekankan proses pengambilan keputusan atas Amandemen itu sendiri. Menurut kelompok ketiga ini, perdebatan atau polemik tentang Amandemen ini riil (nyata) dan berpotensi melemahkan untuk menentukan pilihan secara langsung atas konstitusi mereka sendiri. Karena itu, perlu diadakan “referendum” menanyakan langsung kepada rakyat untuk memilih UUD 1945 versi mana, yang asli atau hasil Amandemen.

3. BHINEKA TUNGGAL IKA

Bhineka Tunggal Ika adalah konsep dari bahasa sangsekerta, produk kerajaan Majapahit, lahir dari pandangan Mpu Tantular dituliskan di dalam karyanya, Sutamosa. Masa Majapahit, pemeluk agama Hindu dan Budha memiliki hak sama dalam bernegara dan beribadah. Rakyat Majapahit beribadah tanpa hambatan dari negara. Bahkan, diriwayatkan bahwa Raja Majapahit, Rajasanegara, pemeluk agama Hindu, sementara Patihnya, Gajah Mada, pemeluk Budha. Bhineka Tunggal Ikan bermakna dapat merangkul dan memecahkan permasalahan keberagaman suku, etnis, agama, bahasa, sosial, budaya, dll. dalam suatu situasi kebersamaan: Indonesia. Konsep ini diharapkan dapat menjadi perekat kehidupan politik era reformasi, terutama politik masyarakat madani. Juga dapat mengendalikan konflik laten sehingga tidak menjadi konflik manifest etnis atau agama seperti di Ambon, Poso, dll. Sesungguhnya umat Islam dengan menghapuskan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, telah menunjukkan bentuk kesadaran perjuangan bahwa Indonesia haruslah menjadi rumah nyaman bagi siapun, tanpa melihat latar belakang agama, suku, ras dan budaya.

Tantangan/kendala dihadapi adalah pelbagai tindakan kekerasan dan konflik berlabel suku, agama, ras dan golongan merebak di mana-mana seperti konflik antaretnis dan antaragama di Pontianak, Ambon, Poso, Sampit, Kupang serta beberapa tempat lainnya. Kerusuhan bulan Mei 1998 berupa penjarahan, pembunuhan dan pemerkosaan etnis Cina menambah panjang sejarah gelap kebinhekaan di Indonesia. Secara retorika konsep Bhineka Tunggal Ika atau nasionalisme tetap bergema dari waktu ke watu, namun hanya sebatas pembicaraan, dan tidak dihayati maknanya serta tidak tampak pada perilaku.

4. NKRI

Pilar NKRI masih terus harus diupayakan sebagai perekat bangsa dan negara Indonesia (nation building). NKRI diharapkan dapat sebagai landasan bernegara dan berbangsa, mempersatukan rakyat seluruh Indonesia dan tidak melakukan pemberontakan untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia. Namun, realitas obyektif menunjukkan masih terdengar dan terlihat adanya prakarsa dan aksi-aksi kelompok politik daerah terus berjuang memisahkan diri dari negara Republik Indonesia dan mengancam ketuhan negara kesatuan (NKRI) seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Republik Rakyat Maluku (RMS) dan Operasi Papua Merdeka (OPM). Realitas obyektif ini seyogyanya menjadi bagian sentral ingatan kolektif bangsa Indonesia untuk direfleksikan bersama untuk menjaga kebhinekaan dalam bingkai NKRI.

III.PERAN UMAT ISLAM

Sesungguhnya makalah ini harus menyajikan peran atau kegiatan strategis apa saja bisa dilakukan oleh Umat Islam dalam rangka mengukuhkan Umat Islam lebih berperan dalam menangani tantangan/kendala dihadapi rakyat Indonesia dalam menegakkan pilar-pilar utama di atas, terutama Bineka Tunggal Ika, dalam situasi politik era reformasi syarat beragam kemajuan dan tantangan dihadapi. Secaar garis besar, sebagai “bahan” pembahasan kita dalam proses seminar ini, Kami mengajukan beberapa peran atau kegiatan strategis dimaksud yakni:

1.Memaknai pilar-pilar utama secara substansial, bukan procedural atau retorika semata. Memaknai pilar utama secara substantive yang dapat memberikan kontribusi bagi penegakan pilar utama dan pemenuhan kesejahteraan rakyat. Pilar utama harus diarahkan pada kemampuan mewujudkan kesejahteraan rakyat, bukan sebaliknya menjauhkan rakyat dari proses politik untuk mewujudkan kesejahteraan mereka.
2.Memberikan kontribusi bagi penegakan pilar-pilar utama dan kesejahteraan rakyat. Dalam hal kebhinekaan, sesungguhnya Islam membenarkan dan mendukung kebhinekaan seperti pernah dipraktekkan dalam sejarah politik pemerintahan Islam.
3.Umat Islam memiliki kepentingan atas`penegakan pilar-pilar utama dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat menikmati di samping kehidupan demokrasi politik substansial, juga kesejahteraan ekonomi.
4.Umat Islam harus selalu berpikir luas, besar, mendalam dan utuh. Hanya dengan berpikir seperti itu, konsep kebhinekaan akan terjaga.Bhineka dalam konteks Indonesia adalah konsep yang mewadahi seluruh komponen bangas ini yang disebut Indonesia. Hati, pikiran dan wawasan yang luas sebagai wadah menjadi sifat lebih toleran dan berhasil memahami orang lain apa adanya.
5.Parpol berideologi Islam atau berbasis umat Islam sesungguhnya memiliki tanggungjawab politik dan secara moral sebagai kekuatan politik terdepan menegakkan pilar-pilar utama tersebut. Perlu mengeluarkan segala kekuatan dalam rangka membela Islam “rahmah” untuk semua. Juga, perlu membuat lompatan berpikir strategis, memperluas pandangan lebih relevan dengan tuntutan zaman, semisal harus bersentuhan masyarakat lebih bhineka itu.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda