Syahwat Kekuasaan VC Penderitaan Rakyat
(Telah dimuat di Surat Kabar Nasional “MONITOR NUSANTARA” , edisi: 63/Tahun V/ 25 Agustus s/d 8 September 2005, dalam Rubrik Monitor Pemilu.)
SYAHWAT KEKUASAAN VC PENDERITAAN RAKYAT
Muchtar Effendi Harahap adalah pakar politik alumni UGM, sejak mahasiswa dikenal aktivis. Sekarang aktif sebagai Ketua Network for South East Asian Studies (NSEAS) Jakarta yang banyak mengamati masalah sosial politik. Berikut ini hasil wawancara dengan Redaktur Monitor Nusantara, terkait dengan partai banyak dan apa keuntungannya bagi rakyat.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Banyak parpol apakah menguntungkan rakyat?
BERDASARKAN Undang-undang No. 10 Tahun 2008, ada pasal terkait “parlementary threshold”. Jika partai tidak mencapai dua setengah persen suara sah nasional dia tidak boleh mendapatkan kuris di DPR. Dari 44 partai yang sekarang ini untuk mencapai 2,5% paling banyak hanya 8 partai saja. Kalau kita gunakan data Pemilu tahun 2004 misalnya, PDI-P, Golkar, PPP, PKB, PAN, PKS, Demokrat dan PBB. Jadi peluang secara sosiologis yang mencapai 2,5 % hanya 2 partai saja, yaitu PDIP dan Hanura.
Kalu Hanura yang tampil dia akan mengambil suara Golkar. Artinya Golkar tidak terganggu dan Hanura masuk. Ekstrimnya yang lama ini bisa bertahan, tidak menurun. Jadi nanti partai yang masuk, yaitu Partai Demokrasi Pembangunan dan Hanura berikut 9 partai. Atau paling tinggi jumlahnya hanya 10 partai dari 44 partai yang akan mengurus negara ini. Selebihnya ”bullshit” semua.
Siapa yang syahwat berkuasanya paling tinggi
Dari 10 partai itu nanti terjadi pengelompokan anggota DPR berdasarkan ideologi aliran politik. Golkar nanti akan bersatu dengan Hanura, PDIP dengan PDP, nah... yang syahwatnya tinggi untuk berkuasa, adalah kelompok marhaen dan kelompok nasional kekaryaan. Dari partai yang banyak itu, partai yang Islam itu hanya 2 saja, PMB dan PKNU. Dan partai yang paling banyak anak pinaknya adalah partai Golkar, lebih dari 10 partai.
Perpecahan berdasarkan syahwat kekuasaan itu tinggi sekali di kalangan Golkar. Golkarlah yang paling banyak ngotot membebaskan 16 parpol, kemudian ngotot membuat “parlementary threshold”. Golkar memberi ruang orang membuat partai, tetapi nanti dia beli juga yang akhirnya toh akan mengurangi suaranya sendiri. Jadi yang rusak dan hancur suaranya nanti itu adalah Golkar. Ini bisa dilihat dari indikasi berlangsungnya Pilkada, Golkar kalah.
Konkretnya?
Wiranto, kan orang partai Golkar. Prabowo Subianto, Gerindra, orang Golkar akan merebut suara Golkar juga. Basis kekaryaan ada 16 partai, kalau diambil sedikit-sedikit tentu berkuranglah suara Golkar. Ingat, begitu tidak bisa mencapai 2,5 % semua itu akan hangus. Kalau tadinya partai-partai yang berbasis Islam itu kecewa, tetapi setelah kita hitung-hitung malah mereka yang untung. Karena partai baru Islam cuma PMB dan PKNU. Kalu Pilpres itu mengurusi figur, yang namanya legislatif bisa dibayangkan, untuk anggota DPR RI jumlahnya minimal per partai 700 orang. Jadi jumlahnya nanti ad 200.000 orang yang akan bertarung di pemilihan legislatif.
Bagaimana sebenarnya bisa mendapat kursi di parlemen
Sejumlah 44 partai yang bertarung di Pemilu 2009 direkaplah suaranya ke nasional, lalu dihitung total suara sah di luar golput. Dari 100 % suara itu diambillah suara nasional salah satu partai, lalu dibagi berapa persen total tadi. Jika suara yang sah tadi tidak mencapai 2,5 % berarti partai itu tidak punya hak mendapat kursi di DPR RI. Namun, dia tetap punya hak di DPRD Propinsi/Kabupaten/Kota. Misalnya, saya kalau mau menang di Medan, kampanyenya begini, jangan pilih partai kecil mendingan suara itu kasih saya. Sebab partai saya pasti masuk di DPR RI. Berdasarkan kajian akademik 2004, cuma 8 partai yang bisa mencapai 2,5 %.
Pandangan masyarakat terhadap Pemilu?
Begini ya...partai banyak bukan berarti menguntungkan bagi rakyat. Karena orang bikin partai sekarang ini semata-mata didorong syahwat (nafsu) kekuasaan, walaupun sebenarnya tidak rasional. Sementara rakyat sendiri tidak peduli dengan jumlah partai yang banyak. Gambarannya begini, 70 % masyarakat Indonesia yang berada di kelas bawah, penghasilannya rendah, tidak tamat SD, SMP dan SMA. Mereka itu tidak berpolitik. Sehari-harian mereka hanya memikirkan kehidupannya saja. Disebabkan pendapatannya yang rendah, otomatis sekolahnya rendah, pengetahuannya rendah, askes informasinya rendah dan semuanya rendah, persepsinya juga rendah.
Bagi mereka 44 partai yang berada di kelas menengah atas hanya merepotkan mereka saja, buat apa dipikirin, begitu...Apapun yang terjadi di kelas menengah atas 10 tahun terakhir ini tidak membawa pengaruh bagi masyarakat yang 70 % itu. Jadi yang cekcok ya cekcoklah di kelas menengah atas dan bermain di 44 partai. Saat disuruh mencoblos, ya coblos saja... Tidak ada urusan bagi masyarakat kelas bawah, karena mereka ogah berpolitik.
Kondisi yang tersirat dari kelas menengah atas?
Kelompok menengah ke atas ini juga sesungguhnyta tidak otonom, karena sebagian besar mereka sarjana persepsinya ingin jadi pegawai, ingin pekerja dan mendapat penghasilan. Berbeda dengan di Eropa, kelas menengah ke atas itu wiraswasta, sehingga sikap politiknya tidak tergantung ke atas. Di Indonesia ketergantuingan kepada partai dan figur cukup kuat. Sebab memang mereka itu bisa jadi anggota DPR dan bisa kaya setelah mendompleng aktivitas politiknya Amin Rais, Megawati, Gus Dur dan tokoh-tokoh lain.
Orang-orang seperti ini menganggap sukses kariernya karena memang dekat dengan tokoh-tokoh tertentu, sehingga senantiasa ketakutan sehingga berada di bawah bayang-bayang orang lain. Pemilu dijadikan momentum untuk mendapatkan keuntungan di partai. Tidak segan-segan pergi ke Amin Rais, Wiranto, Prabowo, Gus Dur dan siapa saja untuk minta tanda tangan. Orang-orang yang tidak otonom dari segi ekonomi, penghasilannya didapat dari bentuk-bentuk tipu sana sini setelah menjadi anggota DPR. Tiba-tiba saja hidupnya menjadi mewah dan kaya raya, menikah dengan artis dangdut yang glamour, dan senantiasa takut jatuh lagi ke bawah.
Kalau ditangkap KPK?
Sekarang rakyat bisa melihat itu, elit politik yang memperkaya diri dengan menerima gratifikasi ditangkapi. Diseret ke pengadilan, dapat dibuktikan secar hukum oleh KPK sudah selesai, kasusnya jalan terus dan dia pun langsung jatuh miskin karena dipecat dan diputus jaringan partai. Sesudah tinggal celana kolor akhirnya istri pun minta cerai. Masyarkat akan lebih awas terhadap orang-orang seperti ini dan akan melakukan resistensi.
Siapa yang paling berjasa meloloskan mereka berkuasa
Problemnya adalah, KPU itu masih bisa dibeli. Sekiranya KPU sama sekali tidak bisa dibeli, terhukumlah orang-orang yang tidak memperdulikan rakyat. Tetapi nyatanya peluang untuk orang-orang membeli suara tetap terbuka. Misalnya ada 44 saksi partai dalam dokumen pengumpulan suara di TPS, tidak semua tanda tangan no problem. Cukup beberapa orang saja yang menandatangani, lalu dibawa ke kecamatan. Mau teriak hanya diberi waktu 2 minggu saja, bagaimana mau menuntut. Esensinya tetap masih ada ruang untuk jual beli suara. Bagaimana tidak, anggota KPU cuma diberi gaji Rp. 800.000 sebulan bahkan ada yang tidak bergaji. Jadi KPU itu sebenarnya orang miskin.
Apalagi KPU itu ditentukan oleh orang DPRD yang punya kepentiungan. Jadi tidak mungkin orang yang idealis dan punya prinsip bisa menjadi Ketua KPU Kabupaten. Malah ketika KPU Kabupaten tidak setuju tidak masalah, asal ada anggota KPU lain yang setuju dokumen pemilihan dibawa ke provinsi, sampai ke tingkat nasional. Pasal yang membenarkan hal semacam itu masih ada di UU NO. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, tidak diubah. Seharusnya pasal itu berbunyi, ”Jika separuh saksi partai-partai tidak tanda tangan dokumen itu tidak bisa diteruskan.”
Berapa kira-kira dana dibutuhkan untuk membeli suara.
Dengan begini kondisinya, kalau ada dan Rp. 1 miliyar sudah bisa menjadi anggota DPR dengan membeli suara. Misalnya bayar ketua-ketua partai supaya suara partai ke saya. Orang Golkar saya suruh beli juga, PDI-P saya suruh beli dan berkolusi, yang penting saya dapat.
Modus operandinya?
Bahasa politiknya, partai-partai miskin memang disengaja Golkar untuk itu. Meraka mau beli suara dari partai-partai miskin. Misalnya saya beli suara di wilayah Medan Barat, saya tidak beli suara Golkar, tidak beli sauara partai besar. Saya beli partai-partai yang tidak bertuan. Dipindahkanlah suara tadi oleh petugas KPU kepada saya. Sekiranya kota Medan jumlahnya penduduknya 2 juta jiwa dibagi 400 orang, artinya ada 500 TPS yang masing-masing 2 saksi berarti 1.000 saksi. Siapa yang akan membayar biaya Rp. 200.000 untuk 500 TPS kalau masing-masing saksi Rp. 100.000 saja? Partailah yang bayar. Kalau partai miskin dia tidak kirim orang. Di Jakarta selama ini terjadi seperti itu. Menurut saya kalau Partai Golkar mau jujur, saya yakin 10 % suara pun tidak dapat.
Partai-partai miskin di daerah sangat rentan dengan pembelian suara, karena anggotanya memang tidak punya uang. Akan berbeda apabila anggota partai banyak yang pengusaha dan wiraswasta. Pemilu 5 tahunan akan tetap dijadikan proyek mendapatkan uang oleh orang-orang ngotot dengan syahwat kekuasan bekerjasmaa dengan petugas-petugas yang sesungguhnya miskin.
Kesimpulan anda?
Rakyat kelas bawah sekarang ini lebih membutuhkan pembangunan pabrik, pasar, perternakan, dan unit usaha kecil untuk menyerap tenaga kerja. Karena cara tersebut dapat memperbaiki ekonomi rakyat yang sedang terjepit beban ekonomi. Jadi bukan membentuk banyak partai yang tidak jelas manfaatnya. Hampir bisa dipastikan visi dan misi partai akan sama saja. Intinya mengumbar janji mau mensejahterakan rakyat. Walaupun hasil yang sebenarnya nanti semua akan jauh dari kemakmuran rakyat, damai dan sentosa. Sebaliknya akan menyengsarakan rakyat lagi.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda