Minggu, 07 September 2008

Partai Banyak, Rakyat Muak

(Telah dimuat di Surat Kabar Nasional “MONITOR NUSANTARA” , edisi: 63/Tahun V/ 25 Agustus s/d 8 September 2005, hal. 1.)


PARTAI BANYAK, RAKYAT MUAK

Begitu syahwat kekuasaan elit politik terpenuhi, gaya hidupnya berubah total. Beli rumah mewah, tukar-tukar mobil, nongkrong di hotel dan bergumul dengan perempuan-perempuan cantik, mempertontonkan moral yang rendah.

Jakarta-MONITOR: Ketua KPU Abdul Hafiz Ansyari tidak lama setelah mengumumkan 34 parpol menjadi peserta Pemlu 2009 yang lolos verifikasi, langsung menemui Ketua KPK Antasari Azhar. Tujuan utamanya agar KPK serius mengawasi KPU yang selama ini diketahui masyarakat sangat rentan dengan jual beli suara. Paling tidak Hafiz Ansyari ingin mengembalikan kepervayaan rakyat kepada KPU. Tetapi pakar politik Muchtar Effendi Harahap mengatakan, KPU tetap saja masih bisa dibeli. Kalau sama sekali tidak bisa dibeli oleh orang-orang yang memiliki syahwat berkuasa, terhukumlah mereka karena selama ini tidak memperdulikan rakyat.

Artinya, jelas Muchtar beberapa waktu lalu di kantor Network For South East Asian Studies (NSEAS) Gedung Sarana Jaya Lt. II No. 205 Jl. Tebet Barat IV, Jakarta Selatan, negara ini dipenuhi pengumbar syahwat berkuasa. Orang-orang berduit yang mengumbar syahwat berkuasa tetap terbuka untuk dapat membeli suara. Sehingga Pemilu yang digelar 9 April 2009 akan tetap gonjang ganjing. Membuat rakyat semakin muak, benci, apatis dan akhirnya memilih golput.

Masyarakat tahu siapa pengkhianat-pengkhianat politik itu, kemudian melakukan resistensi (perlawanan). Bentuk resistensi yang dilakukan rakyat dengan diam dan tidak peduli Pemilu. Inilah sebenarnya fenomena mengapa Gubernur banyak dimenangkan oleh orang-orang sederhana di Pilkada. Sebab rakyat sudah tidak percaya pada orang-orang parpol yang jumlahnya 30 % berada di kelas menengah atas. Sementara 70% rakyat kelas bawah merasakan 10 tahun terakhir mengenal elit politik ”tukang” pembohong dan membuat gap dengan masyarakat.

Di panca indra masyarakat para figur kelas menengah atas itu memamerkan kekuasaan dan kekayaannya. Begitu syahwat kekuasaannya terpenuhi gaya hidupnya berubah total. Mereka beli rumah mewah, tukar-tukar mobil, nongkrong di hotel dan bergumul dengan perempuan-perempuan cantik, mempertontonkan moral yang rendah dengan uang yang berlimpah. Anggota DPR RI Al Amin itu salah satu contohnya, pola hidupnya menjadi konsumtif dengan gaji Rp. 40 juta setiap bulan.

Mendorong Golput
Al Amin Nasution menikah dengan artis yang pola hidupnya glamour dan mewah. Orang-orang partai yang berada dalam kelas hidup begini, pada dasarnya tidak mau jatuh ke bawah lagi. Dengan licik berusaha menjual apa saja yang bisa mendatangkan uang. Banyak partai dengan cara menjual calon presiden, menjual calon legislatif dan seterusnya. Hukum sosial pun berlaku. Ketika orang-orang partai yang berhasil berkuasa tidak lagi memikirkan kepentingan rakyat, semakin jauh dari rakyat kebanyakan, akan tetap ditinggalkan. Ketika dia ingin mendapatkan suara itu lagi dari rakyat, tidak akan mendapatkannya. Rakyat sudah sangat benci dan marah dengan elit politik yang tidak lagi memikirkan nasib rakyat.

Pendapat Direktur NSEAS itu diamini pengamat politik Andrinof Chaniago, makin banyak parpol membuat masyarakat semakin bingung. Masyarakat banyak yang apatis, dengan tingkat partisipasi rendah, tak lain dipicu oleh buruknya citra parpol. Banyak politisi yang tersangkut kasus korupsi atau suap, mendorong banyak masyarakat memilih jadi Golput. Melalui partai yang banyak, bukan atas kecerdasan seorang caleg yang direkruit, melainkan siapa yang berani setor lebih banyak akan memiliki kans nomor kecil di urutan caleg. KPU pun ikut punya andil dalam meluruskan syahwat kekuasaan para elit politik yang sesudah berhasil langsung meninggalkan kepentingan rakyat (Baca Juga Rubrik Monitor Pemilu)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda