Rabu, 08 April 2015

ALASAN PEMBATALAN BUDI GUNAWAN SEBAGAI KAPOLRI, TIDAK OBYEKTIF

I. PENCALONAN BG SEBAGAI KAPOLRI: Semester pertama Indonesia dibawah Rezim Kekuasaan Jokowi-JK (Jusuf Kala), salah satu issue politik nasional cukup mengundang polemik dan perdebatan publik adalah “pencalonan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kapolri”. Issue ini bermula dari keputusan Presiden Jokowi (10 Januari 2015) memilih Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri menggantikan Jenderal Sutarman yang sebelumya menjabat Kapolri. Jokowi mengajukan Calon Kapolri itu kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan melalui uji kelayakan dan kepatutan oleh Komisi III. Segera setelah keputusan Jokowi diumumkan (13 Januari 2015), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tiba-tiba menetapkan Budi Gunawan sebagai “Tersangka Korupsi”. Pengumuman penetapan itu disampaikan langsung oleh Ketua KPK Abraham Samad kepada wartawan di Kantor KPK, Jakarta. Budi Gunawan disangka telah melanggar pasal 12 huruf a atau b, pasal 5 ayat 2, pasal 11 atau pasal 12 B UU 31 tahun 99 tentang tipikor juncto 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Ketua KPK Abraham Samad berkilah, tidak ada nuansa politis dalam penetapan Budi Gunawan sebagai Tersangka. “Kejadian ini hanya kebetulan. Ini juga terjadi saat KPK menetapkan HP (Hadi Purnomo) sebagai tersangka persis di saat momentom akhir masa jabatannya. Jadi tidak ada yang luar biasa,” kilahnya lebih lanjut. Sementara itu, Anggota KPK Bambang Widjojanto juga menyatakan setelah mengumumkan penetapan tersangka Budi Gunawan, KPK akan mencari waktu untuk memberitahukan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) kepada Presiden Joko Widodo. “Kami kedepankan hukum dan hari ini atas nama hukum, hasil ekspos kami umumkan,” tandasnya. Walaupun KPK telah menetapkan Budi Gunawan sebagai Tersangka, Komisi III tetap mengadakan uji kelayakan dan kepatutan terhadap Budi Gunawan. Hasilnya, Budi Gunawan dinyatakan lulus uji kelayakan dan kepatutan. Jalan Budi Gunawan untuk menjadi Kapolri tinggal selangkah lagi. Setelah ini, DPR akan segera melakukan rapat konsultasi dengan Presiden RI. Semua keputusan akan berada di tangan Presiden. Selanjutnya, Rapat Paripurna DPR (15 Januari 2015) menyetujui Budi Gunawan menggantikan Sutarman. Keputusan didukung oleh delapan fraksi yaitu PDI-P, Golkar, Gerindra, PKS, PKB, Nasdem, Hanura, dan PPP. Sementara Fraksi Demokrat dan PAN meminta DPR menunda persetujuan dengan sejumlah pertimbangan, antara lain adanya penetapan tersangka Budi Gunawan oleh KPK. II. PRA PRADILAN: Budi Gunawan sesungguhnya menolak penetapan KPK tentang dirinya sebagai Tersangka Korupsi. Pada 19 Januari 2015 melalui kuasa hukumnya Budi Gunawan mendaftarkan gugatan pra peradilan terkait penetapan tersangka atas dirinya oleh KPK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam persidangan dipimpin oleh Hakim Tunggal Sarpin Rizaldi, permohonan pra peradilan Budi Gunawan dikabulkan sebagian oleh Hakim. Salah satu amarnya, “Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan lebih lanjut yang dikeluarkan oleh Termohon yang berkaitan dengan penetapan Tersangka oleh Termohon”. Adapun isi putusan hakim Sarpin sebagai berikut: 1. Menyatakan sprindik penetapan tersangka atas Bambang Gunawan tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hokum; 2.Menyatakan penyidikan KPK atas kasus bambang Gunawan tidak berdasar hukum dan tidak memiliki kekuatan hokum; 3.Menyatakan penetapan tersangka atas Bambang Gunawan yang dilakukan KPK tidak sah; 4.Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh KPK yang berkaitan dengan penetapan tersangka terhadap Budi Gunawan. Melalui amar putusan Hakim, maka secara hukum status Budi Gunawan yang asalnya “Tersangka” menjadi “bebas”. Hal ini telah sesuai dengan Pasal 82 ayat 3 KUHAP. III. PEMBENTUKAN TIM 9: Issue politik nasional ini kian meningkat sejak Presiden Jokowi membentuk Tim 9. Mereka adalah Pakar hukum ketatanegaraan yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshidiqie, mantan Wakapolri Komjen (Purn) Oegroseno, mantan Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean, mantan Wakil Ketua KPK Erry Ryana Hardjapamekas, pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar, dan ahli hukum Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana, Cendekiawan Muslim Buya Syafii Maarif, Sosialog Imam Prasodjo dan mantan Kepala Kepolisian RI Jenderal (purn) Sutanto. Tim 9 ini diketuai oleh Syafii Maarif. Pada 28 Januari 2015 Tim 9 mengeluarkan sejumlah rekomendasi terbuka untuk Presiden Jokowi. Pertama, membatalkan pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri. Kedua, meminta Budi Gunawan untuk mengundurkan diri pencalonan Kapolri. Ketiga, meminta Jokowi segera memproses calon baru Kapolri. Keempat, mengharapkan Jokowi turun tangan dalam menangani masalah yang tengah menimpa KPK sebab pimpinan KPK Abraham Samad dan Bambang Widjojanto telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri dan sejumlah penyidik dan pegawainya ditersangkakan atau terancam ditersangkakan. Kelima, merasa perlu memberikan masukan kepada Presiden karena adanya persepsi negatif atas penetapan tersangka Samad dan Bambang serta penyidik KPK oleh Kepolisian. Keenam, Jokowi perlu memastikan KPK menjalankan fungsi secara efektif sesuai Undang-Undang KPK. Dari semua rekomendasi Tim 9 tersebut, yang menjadi sangat penting dalam issue politik nasional ini adalah butir pertama, yakni membatalkan pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri karena Budi sudah ditetapkan KPK sebagai Tersangka dalam kasus dugaan korupsi. IV. PEMBATALAN PELANTIKAN BUDI GUNAWAN: Secara procedural sesungguhnya Jokowi harus melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri karena sudah disetujui oleh DPR melalui Rapat Paripurna. Namun, Jokowi tidak melaksanakan pelantikan, malah memutuskan untuk mengajukan Calon Kapolri baru, yakni Wakil Kapolri Badrodin Haiti. Keputusan itu diumumkan oleh Jokowi pada 19 Maret 2015. Pembatalan pelantikan Budi Gunawan ini menjadi satu masalah bagi DPR. Jokowi mengajukan nama baru sebagai calon Kapolri sekaligus membatalkan pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri. Jokowi mengatakan pencalonan Budi Gunawan telah menimbulkan perbedaan di masyarakat. Karena itu dia menyatakan menunjuk Komisaris Jenderal Badrodin Haiti sebagai calon Kapolri Baru. Pada 6 April 2015 diadakan Rapat Konsultasi di Gedung DPR antara Presiden Jokowi dan pimpinan DPR. Dalam suatu meja bundar, duduk bersama Jokowi, Ketua DPR Setya Novanto, Wakil Ketua DPR Agus Hermanto, Taufik Kurniawan, Fadli Zon, Fahri Hamzah, Menko Perekonomian Sofyan Djalil, Menko PMK Puan Maharani, dan Menko Polhukam Tedjo Edhy. V. ALASAN PEMBATALAN TIDAK DAPAT DIPERTANJUNGJAWABKAN: Baik melalui media massa sebelumnya dan pada Rapat Konsultasi, Jokowi memberi alasan pembatalan pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri yakni: Pertama, Budi Gunawan sempat menjadi “Tersangka” kasus rekening mencurigakan dan mendapatkan “penolakan dari publik”. Kedua, alasan yuridis dan alasan sosiologis, namun tidak menjelaskan lebih lanjut apa alasan yuridis dan sosiologis itu. Ketiga, demi menciptakan ketenangan masyarakat karena pencalonan Budi Gunawan menimbulkan perdebatan di masyarakat. Walaupun para anggota DPR RI ingin mengetahui apa sesungguhnya alasan Jokowi membatalkan pelantikan Budi Gunawan yang bertentangan dengan Keputusan rapat paripurna DPR, namun Jokowi memberi alasan sangat tidak jelas. Hanya ada dua alasan yakni alasan sosiologis dan alasan yuridis. Apa yang dimaksud alasan sosiologis dan yuridis dimaksud tidak dijelaskan lebih seksama dan terinci. Kalangan pimpinan DPR juga tidak mempertanyakan lebih seksama alasan tersebut. Apakah dimaksud alasan sosiologis adalah penolakan dari public atau perdebatan di masyarakat?. Kalaupun memang alasan penolakan dari publik, publik yang mana? Sungguh Jokowi mengajukan alasan sosiologis dimaksud tidak dapat dipertanjungjawabkan secara obyektif karena memang alasan sosiologis tersebut tidak dilengkapi dengan fakta dan data seberapa besar publik menolak pelantikan Budi Gunawan melalui penelitian atau riset. Kalaupun ada penelitian, itupun sekedar survey opini publik dilakukan oleh Indo Barometer pada 15-25 Maret 2015 untuk 1 .200 responden. Hasil survey adalah: Pertama. 50,1 % pilihan terhadap Badrodin Haiti akan membawa Polri lebih baik. Kedua, 66,4 % responden menilai, pembatalan Budi Gunawan merupakan keputusan yang tepat. Hasil survey ini masih dapat dipertanyakan keobyektivannya berdasarkan maksud dan tujuan, pembiayaan, pilihan metode penentuan responden serta metode pengumpulan data. Kecuali itu, memang ada rekomendasi Tim 9 yang mengaitkan rekomendasi untuk tidak melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri dengan kemauan publik yang sesungguhnya bukan berdasarkan penelitian dan riset juga. Menurut pengamatan Penulis, Rekomendasi Tim 9 terkait penolakan pelantikan Budi Gunawan lebih diwarnai oleh kehendak atau kemauan sejumlah aktivis pendukung KPK, yang sesungguhnya tidak dapat diklaim sebagai mewakili opini publik. Para aktivis pendukung KPK saat itu sesungguhnya hanyalah individu-individu tidak memiliki konstituen dibandingkan dengan para anggota DPR yang menginginkan Budi Gunawan dilantik. Kasus pembatalan Budi Gunawan sebagai kapolri ini menunjukkan, satu keputusan Presiden Jokowi untuk memecahkan masalah politik nasional tidak dapat dipertambungjawabkan secara obyektif, seksama dan, terinci. MUCHTAR EFFENDI HARAHAP

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda