Rabu, 11 Mei 2011

DR. RIZAL RAMLI: MENGAPA HARUS DILAKUKAN PERUBAHAN SEKARANG JUGA ?

Rabu, 4 Mei 2011, di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Dr. Rizal Ramli telah menyampaikan Pidato Kebudayaan dengan Judul: „Perubahan adalah Jawaban Perubahan Sekarang Juga!“

Acara Pidato Kebudayaan ini dimulai jam 11.00 hingga jam 13.30 WIB. Acara pembacaan puisi, „nyanyi’nyanyi“ mengantarkan acara ini ke tahap pembacaan pidato kebudayaan Rizal Ramli. Sekitar 300 orang menghadiri acara ini dari berbagai kelompok masyarakat madani, termasuk mantan aktivis mahasiswa 77/78 dan 97/98 yang dominan pro demokrasi dan oposisi terhadap Presiden SBY-Boediono dan juga kalangan pers/media massa. Rizal Ramli adalah Mantan Aktivis Mahasiswa 77/78 (ITB) dan juga Mantan Menko Ekuin semasa pemerintahan Gus Dur-Mega (Orde Reformasi).
Rizal Ramli bermula dari asumsi dasar bahwa perubahan politik harus segera dilakukan untuk menghentikan demokrasi kriminal dan membuat demokrasi betul-betul bekerja untuk kepentingan rakyat. Sendi-sendi kehidupan bernegara di bawah pemerintahan SBY-Boediono semakin lama semakin lemah dan keropos. Mafia hukum semakin merajalela. Tokoh-tokoh mafia hukum ternyata adalah para pejabat di kejaksanaan, kepolisian dan lembaga peradilan. Akibatnya, pisau hukum hanya tajam terhadap rakyat biasa, menjadi sangat tumpul terhadap kalangan elit memiliki kekuasaan dan uang. Dari sisi ekonomi, Rizal menunjukkan, sekitar kurang dari 20% penduduk paling atas memang hidup lumayan, bisa menikmati arti kemerdekaan. Namun, sambung Rizal, 80 % sisanya belum pernah menikmati kemerdekaan.

Rizal kemudian mencatat, standar kemiskinan menurut pemerintah SBY-Boedino adalah Rp. 211.726,00/bulan atau Rp. 7057,00/hari (US$ 0,78/hari), atau hanya cukup untuk satu bungkus nasi dengan lauk sederhana. Tidak cukup untuk kehidupan manusiawi, apalagi jika diperhitungkan biaya perumahan, kesehatan dan pendidikan. Dengan standar sangat tidak manusiawi tersebut, jumlah orang miskin mencapai 31 juta orang (2010). Jika, lanjut Rizal, digunakan standar kemiskinan internasional, yang US$2/hari (Rp. 18.000,00/hari), maka jumlah penduduk miskin di negara Indonesia akan naik tiga kali lipat angka kemiskinan versi pemerintah SBY-Boediono.

Perubahan juga diperlukan untuk mengubah kepemimpinan nasional yang lemah dan bermasalah (maksudnya SBY-Boediono, red.) dengan kepemimpinan nasional yang efektif dan sungguh-sungguh menegakkan konstitusi, baik dalam bidang politik, hukum, ekonomi maupun sosial. Bagi Rizal, kepemimpinan efektif dan transformatif dalam konteks negara demokratis bukanlah kepemimpinan kuat dalam konteks otoriter. Kepemimpinan efektif dan transformatif mencakup kepemimpinan visi dan operasional.

Mengapa harus dilakukan „perubahan“ sekarang juga? Menurut Rizal, saat ini menunjukkan bahwa secara obyektif, kondisi Indonesia sudah matang untuk perubahan. Kondisi dimaksud adalah:

Pertama, mayoritas kalangan intelektual tidak lagi bersedia membela pemerintahan SBY-Boediono secara terbuka, kecuali intelektual yang sudah dikontrak Istana. Rizal tidak menunjukkan secara belak-blakan siapa-siapa intelektual dikontrak Istana, namun maknanya adalah kalangan akademisi yang menjadi staf ahli, penasehat atau staf khusus Presiden SBY dan Wakil Presiden Boediono. Mereka sebelumnya ikut menjadi aktor-aktor pro reformasi dan demokrasi menuntut Soeharto turun dari jabatan Presiden sekitar tahun 1997/98. Padahal, bagi Rizal, di negara demokratis, kalangan intelektual sangat menentukan legitimasi kekuasaan. KKN harus diberantas sesuai amanat utama reformasi 1998, justru semakin menggurita pada masa pemerintahan SBY-Boedino ini. Bahkan, dalam soal nepotisme, pemerintahan sekarang dengan cepat menggalahkan „prestasi“ yang pernah dilakukan rezim Soeharto.

Kedua, media, terutama media berjaring internet dan media elektronik (TV dan Radio) sangat kritis dan juga skeptis terhadap ketulusan dan kinerja pemerintahan SBY-Boediono. Partisipasi publik dalam bidang sosial dan politik semakin tinggi seiring dengan meluasnya penggunaan jejaring sosial (facebook, twitter) radio dan RV, yang bisa dikendalikan dari perangkat komunikasi genggam yang mobil dan makin canggih.

Ketiga, para aktivis pro-demokrasi, pemuda dan mahasiswa di seluruh Indonesia telah sepakat menilai bahwa pemerintahan SBY-Boedino „gagal“ karena tidak berpihak kepada kepentingan mayoritas rakyat, dan hanya patuh pada kepentingan global dan pemodal besar/asing. Selama satu tahun terakhir setiap kunjungan SBY-Boediono ke seluruh wilayah Indonesia selalu diikuti dengan demonstrasi mahasiswa dan pemuda dengan yang mentang kehadiran mereka.

Keempat, banyak tokoh politik senior Indonesia, juga para pejuang kemerdekaan dan jenderal purnawirawan TNI mengangap penggantian SBY-Boediono harus segera. Lebih cepat lebih baik, demi kepentingan nasional terutama karena alasan kepemimpinan dan karakter yang sangat lemah.

Kelima, para tokoh agama terkemuka menyatakan bahwa pemerintahan SBY-Boediono telah melakukan banyak kebohongan dan mengingkari konstitusi. Ketika rakyat membutuhkan terutama dalam hal kenyamanan beragama dan kesejahteraan, pemerintahan SBY-Boediono sering absen, tidak hadir. Rakyat dibiarkan mengatasi berbagai persoalannya sendiri.

Para tokoh terkemuka dimaksud adalah A. Syafi’i Ma’arif (Muhammadiyah), KH Salahudin Wahid (NU), Djohan Effendi (Intelektual Muslim), Pendeta Andreas A Yewangoe (Ketua Persatuan Gereja Indonesia-Protestan), Din Syamsudin (Ketum PP Muhammadyah), Mgr Martinus D Situmorang, Romo Magnis Suseno, Romo Benny Susetyo (Konfederasi Wali Gereja Indonesia-Katolik) dan Bhikkhu Sri Pannyavaro Mahathera serta sejumlah tokoh agama lainnya. Rizal Ramli kemudian mengajak kita untuk membaca tulisan A.Syafi‘i Ma’arif. „Main Api Terbakar“, Kompas, 7 Februari 2011, hal. 6, yang mempertanyakan siapa dalang berada di belakang kriminalisasi pimpinan KPK (Antasari, Bibit dan Chandra), Susno Duadji dan mafia pajak ala Gayus Tambunan. Jika dilihat secara kronologis, dari berbagai kasus tersebut, pemerintahan SBY-Boediono telah „cacat“ sejak lahir. Berbagai kebohongan itulah yang harus ditutup dengan gunungan kebohongan lainnya. Dari skala kebohongan dan kesalahan, skandal Watergate yang memaksa Presiden AS Richard Nixon mengundurkan diri, sangat kecil artinya dibandingkan dengan air bah skandal dan kebohongan yang terjadi di negara kita, bagaikan air bah gunung Merapi („Super gate of Flood of Scandals Lies). Untuk memperkuat fakta dan data, Rizal Ramli mengajak kita pula membaca „Kasus Manipulasi DPT Pemilihan Gubernur Jawa Timur (http://www.suara pembaharuan.co.cc/ News/200/03/24/ Nusantara/nus01.htm.http://politik.vivanews.com/news/ read/36634_lima_indikasi_manipulasi_dpt_di jawa-timur). Juga Rizal mengajak kita membaca pers release:“Pemilu 2009: Terpuruk dengan Biaya termahal“ . Melalui Menlu Hasan Wirayuda, Pemerintahan SBY menolak menerima Pengawas Pemilu Internasional dari European Union dan Carter Centre. (Dialog Rizal Ramli dengan pejabat European Union, 12 Mei 2009). Padahal, bagi Rizal, Pemilu 1999 dan 2004 dihadiri oleh ratusan Pengawas Pemilu Internasional dari Negara-negara Eropa dan Carter Centre.

Keenam, kehidupan mayoritas rakyat Indonesia berpendapatan sangat rendah dan banyak menganggur, semakin sulit karena kenaikan harga pangan dan kebutuhan pokok tidak terkendali. Selain karena sifat rezim otoriter, perubahan politik di Indonesia (1966 dan 1998), Tunisia dan Mesir (2011) terjadi terutama karena pengangguran sangat tinggi dan kesulitan pangan dihadapi mayoritas rakyat. Soal pengangguran ini, Rizal Ramli menekankan, sejak pemerintahan SBY, survei pengangguran selalu dilakukan pada saat puncak masa panen sehingga mayoritas penduduk di pedesaan bisa bekerja minimum satu jam per minggu pada saat survei. Patut dicatat, dengan bekerja satu jam per minggu pendapatan rakyat di pedesaan sama sekali tidak memadai. Di luar musim panen, kebanyakan penduduk di pedesaan kembali menganggur. Seperti halnya standar kemiskinan yang rendah, standar jam kerja (satu jam) digunakan BPS termasuk terendah di dunia. Telah terjadi rekayasa metodologi dalam survei-survei kemiskinan di Indonesia.

Ketujuh, selain gangguan terhadap kenyamanan kehidupan beragama, ada juga gangguan terhadap hak-hak historis sebagaimana dirasakan masyarakat di Yogyakarta sehingga memicu ketidakpuasan, dan menunjukkan ketidakmampuan pemerintahan SBY-Boediono meneruskan cita-cita para „founding fathers „dan melaksanakan amanat konstitusi. Menjadi pertanyaan besar, ujar Rizal, mengapa pemerintah SBY-Boediono mau mengambil resiko mempersoalkan hak-hak historis Yogyakarta? Ada pendapat yang menyatakan karena SBY ingin membangun dinasti, maka monarki dan „kekuatan spiritual“ Jogjakarta harus terlebih dahulu dilumpuhkan. „Orang bisa menafsirkan Cikeas ingin mengambil sumber spritual-kultural DIJ demi kepentingan Cikeas. Padahal langkah Cikeas itu sangat tidak pantas sebab kesultanan DIJ berkontribusi besar dalam sejarah lahirnya NKRI dan proses perjuangan bangsa ini,“ungkap Suparwan Zahary Gabat, seorang seniman, pengamat kebudayaan, sekaligus advokat dan mantan aktivis UGM yang dipenjara Orba. Untuk itu, Rizal mengajak membaca http://rimanews.com/read/20110214/16626.

Kedelapan, liberalisasi di bidang pendidikan nyaris identik dengan kenaikan biaya pendidikan yang resmi maupun tidak resmi, baik di lembaga pendidikan swasta maupun milik negara. Akses terhadap pendidikan untuk rakyat miskin semakin terbatas, dan tingkat putus sekolah di berbagai jenjang pendidikan semakin tinggi. Walaupun ada wajib belajar 6 tahun, tingkat putus sekolah Dasar mencapai 1,7 % terutama karena kesulitan ekonomi. Walaupun ada wajib belajar 9 tahun dan alokasi anggaran pendidikan dinaikkan, ternyata dari 26 juta anak usia sekolah 7-12 tahun, 4,49 juta anak atau 18,4 % terbukti tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang Menengah.
Kesembilan, pemerintahan SBY-Boediono sekarang telah mengalami krisis kepercayaan (distrust) publik, sama ketika menjelang kejatuhan Presiden Soeharto. Krisis kepercayaan timbul karena rakyat menyaksikan perbedaan sangat besar antara perkataan (janji) dan tindakan (kenyataan) pemerintah SBY-Boediono. Atau, lanjut Rizal, mengutip seloroh Buya Syafi’i Ma’arif,“pecah kongsi antara perkataan dengan realitas!“ Paling mencolok tentu saja maraknya praktek rekayasa (metodologi) statistik dan kinerja. Sehingga secara umum, publik menilai pemerintah SBY-Boediono telah menjadi bagian dari masalah, bukan solusi.

Untuk itu, Rizal menunjukkan beberapa kasus sebagai bagian dari masalah pemerintah SBY-Boediono, yakni :
1. Pembobolan 6,7 triliyun rupiah Bank Century.
2. Teknologi Informasi (IT) KPU terkait dengan Pemilu dan Pilpres 2009.
3. Penghapusan (Restitusi) Pajak Bank Mandiri.
4. Rekayasa /Kriminalisasi Ketua KPK Antasari .

Boediono dinilai telah terlibat dalam merancang kebijakan keriminal rekayasa bailout Bank Century yang merugikan keuangan negara hingga Rp. 6,7 triliyun dan skandal pajak Bank Mandiri senilai Rp. 2,2 triliyun. Modus oparandi kejahatan kerah putih yang nyaris sama, Boediono menurunkan kriteria bailout untuk Bank Century dari sebelumnya CAR 8 persen menjadi CAR asal positif, dan menghapuskan kewajiban pajak khusus untuk Bank Mandiri. Untuk ini Rizal mengajak kita membaca keterangan Mantan Sekneg Yusril Mahendra“Yusril: SBY Pernah Konsultasi bila Boediono Ditangkap“. (http://www.rakyatmerdeka.co.id/news/2010/07/11/98196/CENTURYGATE-Yusril:-SBY-Pernah-Konsultasi-bila-Boediono-Ditangkap). Baca juga tulisan „Boediono Memercik Muka Sendiri“, (http://www.rakyatmerdeka.co.id/news.php?id=10544); dan, „Membaca Kembali Hubungan Boediono dan Skandal Bank Century“ (http://www.rakyatmerdeka.co.id/news.php?id=10692).

Menurut Rizal, krisis kepercayaan semakin meluas, kesulitan hidup rakyat semakin berat dan pembiaran berkembangnya demokrasi kriminal merupakan faktor-faktor pendukung percepatan perubahan. SBY-Boediono sebagai pemimpin dinilai telah mengingkari konstitusi karena:

1. Ketidakmampuan dalam menegakkan prinsip negara hukum.
2. Tidak mengambil tindakan terhadap berbagai kejahatan kerah putih seperti skandal rekayasa bailout Bank Century, mafia hukum dan skandal restitusi pajak.
3. Menjalankan kebijakan ekonomi neoliberal bertentangan dengan konstitusi.
4. Tidak mampu menjamin hak-hak dasar warga negara dalam bidang kesejahteraan dan kenyamanan beragama.

Akhiirnya, menurut Rizal, pemerintah SBY-Boediono saat ini bagaikan “Rumah Pasir” yang direkat oleh lem pencitraan. Sekarang lem pencitraan itu telah meleleh setelah diberi “cap kebohongan” oleh para pemuka agama, kalangan intelektual, tokoh pergerakan, kaum buruh/pekerja, pemuda/mahasiswa. Akhir dari “Orde Citra” (2004-2011) tinggal menunggu waktu. Rumah Pasir itu akan roboh dengan sendirinya. “Tidak akan meninggalkan persoalan krusial, apalagi ideologis,” kilah Rizal. (Muchtar Effendi Harahap/NSEAS).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda