Minggu, 13 April 2014

ISSUE NEGARA FEDERAL DI INDONESIA (BAGIAN KEENAM): TRADISI KERAMAT, ORANG ASING, NEO-BELANDA, TENAGA AHLI DAN PEMERATAAN PEMBANGUNAN

Sebagaimana telah disampaikan di dalam Tulisan Bagian Kelima sebelumnya, dalam pembicaraan dan diskusi publik tentang issue Negara Federal di Indonesia Kita dapat menemukan sejumlah butir-butir perdebatan antara kelompok penentang dan kelompok pendukung. Tulisan Bagian Keenam ini akan menyajikan butir-butir perdebatan hanya menyangkut beberapa, yakni: (1) Tradisi keramat 17 Agustus 1945 ; (2) Masuknya orang asing; (3) Konsep Neo-Belanda dan Set-back ke zaman sebelum 1928; (4) Tenaga Ahli; dan (5) Pemerataan pembangunan. PERTAMA, butir perdebatan tentang TRADISI KERAMAT 17 AGUSTUS 1945. Kalangan penentang Negara Federal telah menggunakan “perayaan 17 Agustus 1945 sebagai tradisi keramat”. Penggunaan model atau sistem Negara Federal di Indonesia berarti menyalahi tradisi keramat Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Bentuk Negara Kesatuan adalah sakral, pusaka warisan nenek moyang bahkan seperti wahyu dari Tuhan tidak boleh disentuh karena suci dan saktinya. KEDUA, butir perdebatan tentang MASUKNYA ORANG ASING DI SUATU NEGARA BAGIAN. Bagi kelompok penentang Negara Federal, masalah gaya hidup timbul akibat federalisme. Akan terdapat sentimen anti orang asing akan menimbulkan penolakan terhadap masuknya orang luar bukan berasal dari Daerah bersangkutan. Kekhawatiran semacam ini jika terjadi akan berujung pada kekisruhan sosial dan politik. Negara Federal menciptakan sentimen yang akan memecahbelah kesatuan Indonesia. Sementara kelompok pendukung Negara Federal menolak pandangan kelompok penentang atas kekhawatiran semata akan lahirnya stigma penduduk asli (putra Daerah) dan pendatang. Padahal Negara Federal menawarkan konsensus baik dalam hal pemerataan ekonomi maupun perlakuan adil terhadap kaum minoritas. Justru, gaya ultra-sentralistis rezim Orde Barulah menajamkan konflik antara penduduk asli tersingkir dengan kaum pendatang secara ekonomi biasanya lebih kuat. Menyertakan “romantisme” usang masa lalu tentang politik memecah-belah penjajah Belanda sebagai alasan usang dan tidak proporsional. Menurut pendukung, pada hakekatnya belum ada di satu Negara federal kuat (Amerika Serikat, Jerman, dan Malaysia) Pemerintah Pusat tidak dominan. Hal itu juga berlaku pada Pemerintah Pusat di Negara Kesatuan seperti Indonesia. Sesungguhnya argumentasi ini dapat mematahkan pandangan bahwa jika Negara Federasi terbentuk, Pemerintah Pusat akan kehilangan ‘gigi’ dalam menjaga stabilitas politik nasional. Kelompok pendukung menyangsikan, bangunan Negara Federal Indonesia kelak harus melalui tahap perpecahan dulu dalam bentuk Negara-Negara kecil. Mereka berpikir malah sebaliknya, Pemerintah Pusat dan Daerah bekerja sama meneruskan bangunan Otonomi Daerah lebih bertanggung jawab. KETIGA, butir perdebatan tentang KONSEP NEO-BELANDA DAN SET-BACK KE ZAMAN SEBELUM 1928. Para penentang Negara Federal di Indonesia mengecam dan menilai bahwa pemikiran atau pendukung Negara Federal diterapkan di Indonesia sebagai Neo-Belanda dan juga set-back ke zaman sebelum Sumpah Pemuda tahun 1928. Neo-Belanda bermakna pemikiran dimaksud merupakan peniruan dan pembaharuan gagasan atau konsep Belanda Negara terutama pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) yang diklaim “siasat” Kolonial Belanda untuk mempertahankan kekuasaan di Indonesia. RIS distigmakan “negatif” bagi penentang Negara Federal. Padahal RIS adalah suatu negara federasi, berdiri pada 27 Desember 1949, sebagai hasil kesepakatan tiga pihak dalam Konferensi Meja Bundar: Republik Indonesia, Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), dan Belanda. Kesepakatan ini disaksikan juga oleh United Nations Commission for Indonesia (UNCI) sebagai perwakilan PBB. Artinya, RIS dimaksud bukan semata-mata kemauan Belanda, tetapi juga masyarakar internasional (PBB) dan para Tokoh Nasional mewakili bangsa Indonesia. Penilaian terhadap pemikiran dan pendukung Negara Federal dalam era reformasi ini sebagai Neo-Belanda dan sert-back ke zaman sebelum tahun 1928 juga dialami Romo Mangunwidjaya. Tokoh Katolik dari Yogyakarta ini dianggap memiliki pemikiran Neo-Belanda, hendak memecah belah NKRI, menyalahi tradisi keramat UUD 1945, Balkanisasi Republik Indonesia seperti Yugoslavia, dan sebagainya. KEEMPAT, butir perdebatan tentang TENAGA AHLI DI NEGARA BAGIAN TIDAK TERSEDIA. Kelompok penentang Negara Federal memunculkan perasaan “apatisme” terhadap model atau sistem Negara Federal berdasarkan ketersediaan Tenaga Ahli (SDM) di Negara Bagian. Mereka ketakutan jika muncul Daerah dengan tingkat kemajuan lebih pesat, akan semakin merasa Daerah tersebut mampu membentuk Negara. Di lain fihak, terdapat Daerah kekurangan SDM dan tidak adapemerataan Tenaga Ahli . Pengkritik gagasan Negara Federal berdalih bahwa di beberapa Daerah atau Negara Federal belum memiliki kesiapan Tenaga Ahli atau Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas. Tingkat pendidikan dan tingkat kesadaran berpolitik Negara-negara Federal maju dewasa ini sangat berbeda dibandingkan dengan Negara Indonesia. Para penentang kemudian berkilah, banyaknya Negara menjadi maju setelah menjadi Negara Federal tidak bisa dijadikan “acuan” atau “panduan” karena perbedaan kultur dan historis keberadaan dan perjalanan suatu Negara akan sangat menentukan kemajuan. Intinya, Tenaga Ahli dan SDM berkualitas kurang tersedia untuk Negara Bagian/Daerah. Karena itu, model atau sistem Negara Federal tidak sesuai diterapkan di Indonesia. Kelompok Pendukung menolak dalih atau kilahan kelompok penentang. Kelompok ini memiliki asumsi berbeda, yakni munculnya beberapa Daerah lebih maju, menjadi satu modal baru karena akan lebih banyak memunculkan Daerah bisa dijadikan “sentral”. Selama ini baru Kota Jakarta saja menampung urbanisasi. Bagi Daerah kurang SDM harus lebih pandai dan bekerja ekstra menarik investor baik lokal maupun luar. Yang terpenting, masyarakat di Pemerintahan Daerah dapat lebih concern terhadap pengawasan pelaksaanaan Pemerintah Daerah bersangkutan. Sedangkan presure atau tekanan terhadap kebijakan Gubernur Negara Bagian dapat dilakukan secara sektoral. Selanjutnya, para pendukung berasumai, kondisi ketidaksiapan Tenaga Ahli dan SDM berkualitas di Daerah disebabkan penerapan Negara Kesatuan yang sejak Kemerdekaan hingga tahun 2014 ini mengkonsentrasikan pembangunan atau kegiatan perekonomian nasional di Pulau Jawa. Diperkirakan, sekitar 60 % kontribusi terhadap pendapatan nasional berasal dari kegiatan perekonomian di Pulau Jawa. Pulau Sumatera memberi kontribusi hanya sekitar 20 %, Pulau-pulau di Indonesia Timur hanya 20 %. Bahkan, pada era Rezim Orde Baru (sebelum Era Reformasi), kontribusi Pulau Jawa mencapai sekitar 70 %. Kecenderungan sentralisme di Pulau Jawa berakibat pada pemiskinan Daerah-Daerah Luar Jawa. Satu SUMBER menunjukkan, sebelum masa pembangunan, rata-rata kemakmuran penduduk Jawa sekitar 35 % di bawah rata-rata kemakmuran penduduk Luar Jawa. Pada awal 1990-an keadaan kemakmuran penduduk berbalik. Kemakmuran penduduk Luar Jawa sekitar 24 % di bawah kemakmuran rata-rata penduduk Jawa. Kota Jakarta saja memiliki pendapatan lebih dari dua kali lipat pendapatan rata-rata di Indonesia. Jakarta menjadi pusat pertumbuhan yang menarik bukan saja bagi Investor, tetapi juga Tenaga Ahli dari Luar Pulau Jawa. Akibatnya, ketimpangan Tenaga Ahli semakin melebar antara Pulau Jawa dan Luar Pulau Jawa. Efek sentralisasi kekuasaan dan sumberdaya ekonomi terhadap kondisi Tenaga Ahli Daerah Luar Pulau Jawa yakni peningkatan jumlah Tenaga Ahli di Pulau Jawa sangat cepat sehinggadi Luar Jawa lebih lambat. Realitas politik sentralisme dan praktek ketidakadilan telah terjadi. Ketidakseimbangan pembagian keuangan antara Pusat dan Daerah telah menyebabkan kecemburuan di beberapa Daerah. Suatu SUMBER memperkirakan, kekayaan alam di Aceh diekspor menghasilkan keuntungan US$ 2 Milyar pada 1997 hanya memberikan manfaat kepada masyarakat Aceh sebesar 0,05% melalui APBN. Meskipun produksi minyak Caltex di Riau tahun 1999 mencapai 23 Trilyun, tetapi masyarakat Riau termasuk yang paling miskin di Indonesia. Sedangkan PT Freeport mengeruk keuntungan tahun 1997 sebesar US$ 1,1 Milyar, tetapi masyarakat Papua tetap hidup seperti pada “zaman batu”. Semua ini tentunya turut menghambat peningkatan kemajuan Tenaga Ahli dan SDM di Daerah bersangkutan. Meski asumsi bahwa kualitas Tenaga Ahli dan SDM di Daerah-Daerah Luar Pulau Jawa masih lemah dan lebih lambat tidak sepenuhnya benar, namun dalam konteks kuatnya pengaruh daya tarik Pulau Jawa, dan situasi kegiatan perekonomian nasional terus terkonsentrasi di Pulau Jawa dalam satu rangkaian penarikan Tenaga Ahli dan SDM berkualitas dari Daerah-Daerah ke Pulau Jawa, maka asumsi tersebut menjadi benar. Jika diterapkan bentuk dan sistem Negara Federal, kegiatan perekonomian tidak lagi terkonsentrasi di Pulau Jawa dan sudah menyebar merata di Negara-Negara Bagian, maka SDM Tenaga Ahli terkonsentrasi di Pulau Jawa akan mencair dan menyebar merata ke seluruh Negara-negara Bagian. Proses penyebaran kegiatan perekonomian dan Tenaga Ahli dean SDM berkualitas ke Negara-Negara Bagian akan menolak asumsi kelompok penentang bahwa Tenaga Ahli di Negara Bagian tidak tersedia. Bahkan, penerapan Negara Federal akan mempercepat peningkatan kualitas Universitas atau Perguruan Tinggi di Daerah sebagai “pabrik” SDM Tenaga Ahli di Daerah bersangkutan. Para pelajar di Daerah tidak perlu lagi harus ke Pulau Jawa untuk memperoleh pendidikan atau keterampilan sebagaimana selama ini berlangsung. Argumentasi lain untuk mematahkan asumsi penentang Negara Federal berupa Tenaga Ahli danSDM berkualitas di negara bagian tidak tersedia yakni pada saat sekarang saja berlaku Negara Kesatuan dan penerapan konsep Otonomi Daerah hingga pada level Kabupaten/Kota, tetap saja Daerah menghadapi masalah SDM atau Tenaga Ahli. Banyaknya urusan telah diserahkan kepada Kabupaten/Kota tidak diikuti oleh kemampuan dan jumlah SDM. Daerah menghadapi keterbatasan kualifikasi dan jumlah SDM. Di beberapa Daerah bahkan pengisian jabatan dilakukan dengan mengatrol kepangkatan seseorang, karena keterbatasan SDM yang memenuhi persyaratan. Keterbatasan SDM ini sangat dirasakan dalam pelayanan publik maupun dalam pengelolaan keuangan daerah. Tidak terkecuali adalah keterbatasan kemampuan anggota DPRD dalam proses penganggaran. Akibatnya, perencanaan dan pengelolaan keuangan daerah serta proses penganggarannya masih jauh dari optimal. Hal ini dipersulit lagi oleh perubahan sistem anggaran dari pusat yang sangat cepat dan susul menyusul –bahkan seringkali tumpang tindih-, sehingga menyulitkan respon kemampuan SDM. Pada sisi lain, peran dan fungsi Gubernur sebagai Wakil Pusat masih tidak berjalan efektif, sehingga SDM berkualitas dalam Pemerintahan Daerah tidak dapat didistribusikan secara merata kepada Kabupaten/Kota di wilayah Propinsi bersangkutan. KELIMA, butir perdebatan tentang PEMERATAAN PEMBANGUNAN. Menurut kelompok penentang Negara Federal, pilihan model atau sistem Negara Federal jelas-jelas akan merugikan, karena secara teori tidak berorientasi pada pemerataan kesejahteraan di seluruh wilayah Indonesia, tetapi mengutamakan kesuksesan suatu Daerah berpotensi. Dengan demikian, seharusnya Indonesia lebih beruntung, karena kondisi bangsa saat ini memungkinkan Indonesia membentuk Negara Kesatuan. Secara teori, kalau Negara ini dimanajemni dengan benar, maka ke depan akan bisa membuat Indonesia lebih unggul dibandingkan bahkan dengan Amerika Serikat dan ada harapan bisa menyusul Cina. Apalagi pernah terdengar issue pemisahan terhadap beberapa Negara Bagian di Amerika Serikat setelah Obama terpilih kedua kali sebagai Presiden, walaupun kemudian tidak terbukti. Tetapi, kilah mereka, Uni Soviet dan Yugoslavia telah mengalaminya. Di lain fihak kelompok pendukung Negara Federal mengambil studi kasus Indonesia di bawah Negara Kesatuan, terutama era Rezim Orde Baru, Soeharto. Pembangunan dan kemakmuran terpusat di Pulau Jawa menciptakan ketidakadilan dan ketidakmerataan membawa dampak negative antara lain berbagai tuntutan mengarah kepada disintegrasi bangsa semakin besar. Bermula dari kemerdekaan Timor Timur (atau Timor Leste), kemudian gelombang tuntutan disintegrasi terjadi di beberapa daerah seperti di Aceh, Papua, Riau dan Kalimantan. Kelompok pendukung meyakinkan bahwa pembangunan dan kemakmuran akan lebih adil dan merata karena dengan tersumbatnya penyedotan raksasa kekayaan Daerah secara sewenang-wenang, modal pengembangan Daerah menjadi cukup bahkan berlimpah. Dampak sinergi antara kekuasaan politik, sumber daya alam (SDA), dan SDM terhadap Indonesia yang federalis adalah sangat dahsyat, karena sinergi inilah akan menjadi pemicu “revolusi” pembangunan secara berkelanjutan dan merata di Indonesia. Tingkat akselerasi akan sangat tinggi pula. Dengan model atau sistem Negara Federal, Indonesia akan mengalami peningkatan produktivitas di banyak Daerah di luar Pulau Jawa. Hal tersebut akan mengakibatkan Daerah-Daerah membutuhkan tenaga kerja sehingga mendorong terjadinya perpindahan Tenaga Ahli dan SDM berkualitas dari Pulau Jawa ke luar Pulau Jawa. Ini berarti akan terjadi migrasi secara besar-besaran di Indonesia sehingga akan mengalami penyusutan penduduk di Pulau Jawa. Untuk memperlancar arus migrasi tersebut, diperlukan pengembangan infrastruktur perhubungan dan transportasi nasional. Pengembangan infrastruktur tersebut sudah pasti akan membuka kesempatan kerja bagi jutaan tenaga kerja, termasuk Tenaga Ahli. Banyak Lembaga Pendidikan, Balai Latihan Kerja dan SDM berkualitas diperlukan untuk melatih tenaga kerja tersebut. Tidak perlu diragukan lagi, semua ini akan mengundang investasi menguntungkan. Apabila migrasi benar-benar terjadi dalam skala besar, maka kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung dan kota besar lain akan nyaman untuk didiami, dikarenakan perpindahan penduduk ke Pusat-Pusat produksi baru. Dapat pula dipasikan, tingkat kriminalitas di kota-kota besar itu akan merosot secara tajam. Kota-kota besar dan Provinsi-provinsi padat penduduknya berhasil mengirimkan tenaga kerja dalam jumlah besar akan menikmati keuntungan-keuntungan ekonomi lain seperti bertambahnya infrastruktur dimiliki tanpa menambah investasi baru. Infrastruktur dimaksudkan berasal dari infrastruktur ‘ditinggalkan’ oleh tenaga kerja bermigrasi ke Daerah lain. Infrastruktur itu antara lain berupa sarana listrik, trasportasi, komunikasi dan air bersih. Kondisi ini pada gilirannya berdampak luar biasa dinikmati dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kota-kota besar dan Provinsi-provinsi tersebut Arus pendatang dari Pulau Jawa akan meningkat dan disambut dengan gembira oleh masyarakat luar Pulau Jawa. Hal ini karena penduduk di luar Pulau Jawa justru memerlukan kaum pekerja untuk mengolah SDA mereka miliki. Di satu pihak proses dimaksud akan menumbuhkan rasa “sharing of prosperity”, di lain pihak akan meningkatkan atau memperkuat integrasi nasional. Rasa saling memerlukan merupakan faktor teramat penting dalam upaya meningkatkan integrasi bangsa. Pembagian kemakmuran juga bermakna bahwa penyebaran penduduk tidak perlu lagi diatur-atur atau dipaksa oleh Pemerintah Pusat. Apabila Daerah-Daerah luar Pulau Jawa memang benar-benar mampu menyediakan kesempatan kerja dalam jumlah besar, maka istilah TKI akan dapat dihilangkan dari kamus perburuhan Indonesia. Jika masyarakat Daerah menjadi semakin kreatif dan semakin produktif, maka semakin besar pula pajak harus mereka setor ke Pemerintah Pusat. Terjadinya peningkatan produktivitas di luar Pulau Jawa sudah pasti akan mendongkrak ekspor nonmigas Indonesia. Hal ini berarti, devisa akan mengalir masuk dengan deras sehingga membantu menstabilkan keuangan Negara. Negara Federal juga memberi dampak terhadap cara-cara menangani permasalahan keamanan dan pertahanan nasional. Nantinya setiap Negara bagian akan memiliki pertahanan masing-masing. Hal tersebut dapat memperkuat keamanan dan pertahanan nasional Indonesia. Terdapat perubahan dialami dari dampak migrasi puluhan juta penduduk sukarela dan atas biaya sendiri dan dalam waktu relatif singkat. Banyaknya uang, barang, dan jasa terlibat dalam proses migrasi tersebut akan mengundang banyak investasi ditanamkan oleh kalangan Investor. Intinya, kelompok pendukung Negara Federal percaya bahwa di dalam Negara Federal ada unsur-unsur dapat membantu menghindari kecenderungan ke arah intensifikasi ketimpangan ekonomi dan konflik sosial, politik dan budaya. Federalisme memungkinkan adanya usaha mengevaluasi perbedaan budaya internal antara kelompok masyarakat trasidional dan modern. Perbedaan tersebut justru menjadi sumber motivasi dan potensi untuk menggerakkan pembangunan mandiri (self-reliance). Mengaktifkan sumberdaya ini akan menghindari terjadi “Balkanisasi” seperti ditakutkan oleh kelompok penentang Negara Federal di Indonesia. MAJU TERUS: Butir-butir perdebatan antara kelompok penentang dan pendukung penerapan model atau sistem Negara Federal sepanjang era reformasi ternyata mendorong Pemerintah Indonesia untuk mempercepat implementasi gagasan Otonomi Daerah di bawah NKRI. Pemberian Otonomi Daerah yang luas kepada Pemerintah Daerah berdasarkan UU Nomor 22 tahun 1999, telah direvisi dengan UU Nomor 32 tahun 2004, boleh jadi bisa memberikan obat penawar bagi kegelisahan dan kemarahan Daerah selama berkuasanya rezim Orde Batu. Berbagai tulisan mengenai gagasan Negara Federal di Indonesia menunjukkan bahwa gagasan Negara Federal maju terus mempengaruhi Pemerintah Republik Indonesia untuk melaksanakan prinsip-prinsip dasar Negara Federal sekalipun atas nama Otonomi Daerah. Namun, dalam kenyataannya, upaya Pemerintah ini tidak serta merta menyurutkan keinginan Daerah seperti Aceh dan Papua untuk memerdekakan diri. Salah satu contoh adalah munculnya pembentukan NEGARA FEDERAL REPUBLIK PAPUA BARAT (NFRPB) hasil Konges III Rakyat Papua di Abepura, Jayapura, 19 Oktober 2011. Presiden NFRPB adalah Forkorus Yoboisembut. Beliau kini masih di penjara Abepura sebagai tahahan politik Kebijakan Otonomi Daerah juga telah menyebabkan sejumlah paradoks dalam pembangunan dan pemerintahan. Otonomi Daerah telah gagal, tercermin dari ketiadaan “political equality”, “local responsiveness” dan ”local accountability”. Otonomi daerah sangat luas telah menyebabkan tensi politik lebih tinggi ketimbang upaya peningkatan pelayanan publik. Penyusunan organisasi perangkat Daerah Kabupaten/Kota, tidak terkecuali Provinsi, lebih banyak ditentukan oleh akomodasi kepentingan tertentu. Setelah Pilkada secara langsung, afiliasi ini menjadi lebih besar, karena politik akomodasi mewarnai proses pemilihan langsung Kepala Daerah. Bahkan pengisian jabatan dalam struktur organisasi perangkat Daerah sangat ditentukan oleh afilisasi seseorang dengan Bupati/Walikota. Di samping itu, alasan Dana Alokasi Umum (DAU) dari Pusat juga menjadi dasar berpikir, perlunya pembengkakkan organisasi perangkat (budget maximizing). Di bawah Otonomi Daerah Negara Kesatuan, beberapa Daerah masih diwarnai nepotisme berdasarkan kebangsawanan, sukuisme dan afiliasi politik dalam proses rekruitmen, penempatan, promosi dan mutasi jabatan tertentu. Bahkan ada Tulisan menyebutkan bahwa “gelar kebangsawanan” secara sengaja diciptakan oleh Bupati/Walikota untuk memperkuat posisi jabatan, sekaligus membedakan masyarakat biasa dengan masyarakat yang memiliki status kebangsawanan tertentu. Hal ini muncul dengan istilah misalnya “laskar” dan “putera asli”. Istilah “anak daerah” sejatinya telah muncul pada tahun 1950-an sebagai antagonis dari orang Pusat yang didrop ke Daerah. Hingga saat ini memang kelompok pendukung Negara Federal belum berhasil mengubah bentuk NKRI menjadi Negara Federal. Namun, sebagian pengamat mengakui, bahwa perubahan ini hanya masalah waktu saja. Kita tidak akan bisa membendung tuntutan pendukung Negara Federal. Suatu saat, karena faktor perkembangan dunia dan dalam negeri, akan muncul kalangan Politisi Muda di Indonesia melakukan perubahan dimaksud. Memang diakui, secara substansial, beberapa prinsip Negara Federal telah ditegakkan dalam bungkus Negara Kesatuan di Indonesia. Sebagai contoh, adanya Bikameral Legsilatif, yakni Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tingkat Pemerintahan Pusat, sekalipun fungsi DPD masih belum mencakup turut menentukan penerbitan Undang-Undang. Prinsip Negara Federal lain telah ditegakkan di Indonesia adalah pembagian wewenang (atau urusan) antar berbagai tingkatan pemerintahan. Di dalam Makalah Pengukuhan Guru Besar di Universitas Indonesia (UI), berjudul “Konstruksi Ulang Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Indonesia: Antara Sentripetalisme dan Sentrifugalisme”, Eko Prasodjo menunjukkan salah satu perubahan besar konstruksi hubungan antara Pusat dan Daerah berdasarkan UU Nomor 22 tahun 1999 dan juga UU Nomor 32 tahun 2004 dibandingkan dengan Undang-Undang sebelumnya, yaitu dianutnya prinsip kewenangan sisa (residu of powers) dalam pembagian kewenangan antar tingkatan pemerintahan. Kewenangan Kabupaten/Kota mencakup semua kewenangan pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lainnya ditetapkan sebagai kewenangan Pusat. Dengan demikian, semua kewenangan pada dasarnya sudah ada pada Kabupaten/Kota. Dalam penjelasan pasal 11 ayat 1 UU Nomor 22 tahun 1999 disebutkan bahwa pada dasarnya seluruh kewenangan sudah berada pada daerah Kabupaten/ Kota. Maknanya, penyerahan kewenangan tidak perlu dilakukan melalui pengakuan oleh pemerintah. Secara material ketentuan penjelasan pasal 11 ini memiliki makna dan semangat dianut oleh Konstitusi dalam kebanyakan Negara Federal. Lebih jauh Eko Prasojo menunjukkan, pada sisi lainnya, ketentuan pasal 7 dan pasal 11 UU Nomor 22 tahun 1999 dapat pula ditafsirkan sebagai kewenangan yang tabu untuk didesentralisasikan. Kewenangan secara enumeratif diserahkan kepada Pusat dalam pasal 7. Hal ini hanya dapat dilaksanakan melalui asas sentralisasi atau dekonsentrasi. Ketentuan rinci mengenai bidang-bidang pemerintahan disebutkan dalam pasal 7 dan pasal 9, ditetapkan oleh Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (pasal 12). Selanjutnya Pakar Administrasi Negara ini menegaskan bahwa bentuk pembagian wewenang dengan azas “residu of powers” pada daerah Kabupaten/Kota menyerupai pembagian wewenang lazim dilakukan oleh beberapa Negara Federal seperti Amerika Serikat, Jerman, Austria dan Swiss. Di beberapa Negara Federal ini, wewenang Pemerintah Federal dirinci dalam Konstitusi/UUD, sementara wewenang lain tidak disebutkan sebagai wewenang Pemerintah Federal secara otomatis menjadi wewenang Negara Bagian. Secara substansial UU Nomor 22 Tahun 1999 menganut prinsip kelaziman diterapkan di Negara Federal dalam hal “pembagian wewenang”. Jika Kita telusuri lebih jauh peraturan perundang-undangan terkait hubungan Pusat dan Daerah dalam era reformasi ini, Kita akan menemukan lebih banyak lagi prinsip sesungguhnya berlaku di Negara Federal. Sementara itu, kita masih tetap bersikukuh untuk mempertahankan istililah NKRI. Dalam wacana akademik, gagasan Negara Federal telah memperoleh “stigma buruk” dalam sejarah perjalanan negara dan bangsa Indonesia. Federalisme diartikan sebagai” disintegrasi” atau “perpecahan negara”. Federalisme ibarat “najis” dan “aib”. Bahkan, Federalisme digunakan fihak penentang Negara Federal bagaikan penganut “Fasisme” atau “Ultra Nasionalisme” sebagai senjata menyerang lawan politik dalam perebutan kekuasaan pemerintahan secara legal. Model atau sistem Negara Federal dalam konteks hubungan Pusat dan Daerah telah dipahami semata-mata sebagai “kontra Negara Kesatuan” dan diduga kuat dengan keinginan untuk mendirikan Negara Federal. Bagaimanapun juga, pandangan semacam ini adalah “irrasional” dan “keliru”. Perdebatan publik tentang gagasan Negara Federal sangat penting maju terus dikumandangkan hingga pada waktunya sejarah ke depan Negara Indonesia akan membantah irrasionalitas dan kekeliruan pandangan penganut “Fasisme” atau “Ultra Nasionalisme” ini. Kepada para Cerdik Pandai dan Intelektual Indonesia antara lain Adnan Buyung Nasution, Alfitra Salamn, Amien Rais, Eko Prasojo, Fauzi Yusuf Hasibuan, Hamdi Muluk, Harun Alrasid, Ichlasul Amal, Ichwan Azhari, Jawahir Thontowi, Mahfud MD, Ryaas Rasyid, Samsu Rizal Panggabean, Syamsudin Mahmud, Shohibul Anshor, Tachir Kasnawi, Thaha Alhamid, dan Zainuddin Isman, sangat diharapkan agar tidak bosan-bosannya dan maju terus untuk berperanserta dalam “diskursus” atau “perdebatan public” mengenai gagasan Negara Federal di masa mendatang. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN SEBAGAI SOLUSI: Terutama segera setelah keruntuhan kekuasaan Rezim Suharto, akhir 1990-an, gelombang gerakan seperatisme dan pemberlakuan Negara Federal telah mengambil tempat khususnya di Luar Pulau Jawa. Untuk memecahkan atau solusi atas permasalahan gelombang gerakan dimaksud, Pemerintahan Pusat (Jakarta) menerbitkan peraturan perundang-undangan, terutama Undang-Undang (UU) Nomor 22 tahun 1999, yang direvisi dengan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU Nomor 22 tahun 1999 menghapus pelaksanaan azas dekonsentrasi pada Daerah Kabupaten/Kota. Azas dekonsentrasi hanya dilaksanakan pada daerah Propinsi. Semua kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota pada prinsipnya merupakan kewenangan dalam rangka desentralisasi dan sebagian dalam rangka “tugas pembantuan”. Makna desentralisasi tidak lagi dalam pemahaman administratif melainkan dalam konteks politik. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota berhak mengatur (regulate) dan mengurus (manage) rumah tangga sendiri atas inisiatif dan kekuatan sendiri. UU Nomor 22 tahun 1999 menghapus hierarki antara Pemerintah Kabupaten/Kota dengan Pemerintah Provinsi. UU ini juga menyebabkan beralihnya kekuasaan dari Pemerintah Provinsi kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. Kecenderungan menguatnya desentralisasi, merupakan refleksi gerakan seperatisme dan tuntutan penerapan model atau bentuk Negara Federal di Indonesia pasca kejatuhan Soeharto. Sejalan dengan UU Nomor 22 tahun 1999, Pemerintahan Pusat menerbitkan pula UU Nomor 2 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. UU ini juga memperkuat posisi Daerah dengan diterapkannya sistem pemilihan semi distrik, Juni 1999. Penerbitan UU Nomor 22 tahun 1999 dapat dikatakan berhasil meredam gerakan seperatisme dan tuntutan Negara Federal di Daerah-Daerah Luar Pulau Jawa pasca kejatuhan Soeharto. Kekuatan gerakan seperatisme dan tuntutan Negara Federal menjadi sangat lemah, karena para elite lokal menghendaki kemerdekaan Propinsi dan Negara Federal menjadi terpecah. Pemerintahan :Pusat berhasil menggiring Para Bupati dan Walikota agar lebih tertarik untuk menjadi “Raja Kecil” di Daerah masing-masing, namun dikendalikan dan bergantung pada Pusat. Bahkan, Pemerintahan Pusat juga berhasil menumbuhkembangkan kalangan “Raja Kecil” terkena kasus tindak korupsi atau menjdi Koruptor yang pada gilirannya memperlemah gerakan seperatisme dan tuntutan Negara di Provinsi bersangkutan. PERNYATAAN TIDAK RASIONAL, TIDAK FAKTUAL: Belakangan ini terdapat Pakar politik semula pendukung gagasan Negara Federal mulai mendukung Negara Kesatuan dan kompromis dengan Pemerintah Pusat sembari berdalih, yang penting substansi pelayanan masyarakat dan hubungan Pusat dan Daerah. Mereka acapkali mendengungkan bahwa substansi dari Negara Federal diinginkan selama ini dan implementasi kebijakan otonomi daerah luas, juga otonomi khusus seperti berlaku di Aceh dan Papua, tidak berbeda jauh. Bahkan beberapa diantaranya menyajaikan pernyataan, kebijakan otonomi daerah di Indonesia sudah “kebablasan” dan lebih federal dari pada Negara Federal. Salah satu indikator ditunjukkan, yakni otonomi daerah berlaku pada tingkat Pemerintah Kabupaten/Kota, bukan tingkat Provinsi. Pada hal di dalam Negara Federal, otonomi daerah ada pada tingkat Propinsi. Mereka acap kali melemparkan pernyataan bahwa kewenangan dari otonomi saat ini telah melampaui gagasan Negara Federal. Sesungguhnya pernyataan-pernyataan semacam ini adalah tidak rasional, tidak faktual dan dapat “memperlena” atau “membodohi” kelompok pendukung model atau sistem Negara Federal di Indonesia. Salah satu alasan mengapa tidak rasional, tidak faktual yakni sekarang ini kekuasaan masih terpusat di Jakarta dan power sharing masih bersifat bottom-up. Pemerintah Pusat memberikan sebagian kekuasaan kepada Pemerintah Daerah, khususnya Kabupaten/Kota. Sementara, jika Negara Federal sebagian kekuasaan memang diberikan oleh Negara Bagian (Daerah) kepada Negara Federal (Pemerintah Pusat) atas inisiatif dari Negara Bagian dan bukan dari Negara Federal. Di Indonesia masih berlaku prinsip top-down. Pemerintah Daerah pada hakekatnya hanya menjalankan atau menerima bagian kewenangan dilimpahkan dari Pemerintah Pusat. Pemerintah Pusat masih bisa memaksakan urusan-urusan tidak diinginkan oleh Pemerintah Daerah (MUCHTAR EFFENDI HARAHAP).***** SEBAGAI TAMBAHAN REFERENSI TENTANG PEMIKIRAN FEDERALISME DI INDONESIA: Koalisi NGO HAM Aceh melalui media Free-DOM,Edisi 5, 2001, menyajikan Resensi Buku Federalisme; Membendung Militer. Judul Buku: FEDERALISME UNTUK INDONESIA. Penulis : Adnan Buyung Nasution, Harun Alrasid, Ichlasul Amal, dkk Pengantar : Jacob Utama Penerbit : Harian KOMPAS, Jakarta. Cetakan : Pertama, 1999. Tebal : xxxi +198 Hal + indeks. Isi resensi buku dimaksud sebagai berikut: • "Karena ini merupakan masalah yang begitu gawat, maka tidak bisa diselesaikan satu-dua tahun, tetapi harus dimulai dulu dari ide. Saya memberi target RIS berdiri paling lambat tahun 2045, tergantung generasi muda. Kalau mereka giat tahun 2028 dan yang tua-tua mendukung 2008". Y.B Mangunwijawa, seorang budayawan sekadar melempar prediksi. Boleh jadi benar atau, jika satu dua tahun ini terbentuk, yang pasti ia sudah tak bisa menikmati alam "Indonesia Serikat" itu karena keburu meninggal dunia. Tapi gagasan itu akan terus diperdebatkan, didiskusikan oleh siapa saja sampai satu model alternatif buat sistem pembagian kekuasaan (division of power) ditemukan. • Enam tahun di bawah cengkraman sistem totaliter Demokrasi Terpimpin ditambah tiga puluh dua tahun lebih dalam asuhan keras Demokrasi Sentralistik Orde Baru, Indonesia sesungguhnya sudah lama menjadi sebongkah batu. Mengeras di tangan kekuasaan memusat di satu tangan besi –meskipun cukup lunak dan halus- yang menegasikan pluralisme etnik, ras, golongan, budaya, sistem kosmologis, sehingga terwujudlah sebuah "sapu lidi" besar yang diikat oleh paksaan kekuatan pemerintahan Pusat, dijaga ketal oleh aparatus koersifnya yang tenar dikenal sebagi kaum militer. • Dan ketika praktek teori politik yang diperagakan dua Orde itu tumbang, banyak yang tak sanngup lagi menerima pembodohan struktural tersebut di kalangan massa-rakyat. Maka terkuaklah gerakan-gerakan yang sedianya patuh dalam kebersamaan, namun kini cenderung memilih melepaskan diri dari poros Jakarta, atau meningkatkan daya tawarnya dengan otonomi seluas-luasnya sampai pada pembentukan propinsi-propinsi baru. • "Indonesia dapat dibagi dalam 40 propinsi, tiga Daerah Istimewa dan delapan Daerah Khusus", gagas Yusril Ihza Mahendra, atas nama Ketua Partai Bulan Bintang (PBB) dalam diskusi yang digelar oleh KOMPAS dan Freidrich Ebert Stiftung dan kemudian direkam semuanya dalam buku ini. Namun ide otonomi itu yang antara antara lain dipertahan kan oleh pengamat politik Andi Alfian Mallarangeng sebab baginya federalisme dipersyarati dengan lebih dahulu membubarkan NKRI, juga Adnan Buyung Nasution, banyak mendapat tanggapan, terutama masalah pembagiaan kekuasaan dan keuanagan Pusat-Daerah yang mesti segera terealisir secepatnya. Arah menuju sistem yang sudah pernah di gagas Moh. Hatta pada tahun 1935 bisa dibenahi sejak sekarang sebagai awal proses panjang menuju federalisme. • Dalam buku ini juga diisi oleh makalah dari negeri jiran Malaysia yang memerikan kembali prosesi terbentuknya federasi Malaysia yang, meski awalnya tertinggal, kini justrus melesat jauh ke depan dibanding Indonesia. Salah satu sebabnya, demikian Profesor Dr. Azman Syed Ahmad, sistem federasi di Malaysia cukup penting dalam menjamin terciptanya "praktik demokrasi". (hal. 99). Dan kitapun tak terkejut, tak ada penduduk dari satu negara bagian di sana yang punya ambisi untuk menetap dan mngadu nasib ke ibukota negara, Kuala Lumpur. Ketemtraman hidup, kesejahteraan sosial dan ekonomi cukup bisa dinikmati di daerah masing-masing. • Hal yang sangat kontras dengan Indonesia yang setia tahun (khususnya Lebaran) tingkat populasi penduduk Jakarta bertambah drastis. Itu pun banyak yang menderita, dan akhirnya terjun ke wilayah kumuh dan gelap. Tak pilihan lain ketika segala kekayaan propinsi diangkut ke Jakarta dan daerah-daerah cuma mendapat "setaik kuku hasil pembangunan" untuk diperebutkan. Kemiskinan dan kebodohan berbaris panjang dari pulau ke pulau. • Yang paling penting saat ini yang bisa disumbangkan konsep federalisme adalah memangkas peranan militer. Ichlasul Amal, sebagai Rektor UGM Jogjakarta, ia berangkat dari pandangan mahasiswa tentang federalisme. Disamping alasan mereka dan ia setuju, bahwa federalisme, yang memberi kekuasaan adalah negara bagian (bootom up) sementara sistem NKRI desentralisasi/otonomi menetes dari atas (top down), tetapi yang terutama, federalisme dapat membendung laju militer di wilayah bawah. Militer hanya di atas, dipusat kekuasaan federal. Sebagai Malaysia, militer dari dulu netral, tidak pernah melibatkan diri dalam hal dukungan dan aksi-aksi sosial-pilitik secara tegas. • Dan dalam negara kesatuan yang paling diuntungkan adalah militer. Kalau kita lihat sejarah, ide kesatuan dankebangsaan yang muncul dari elite pendidikan , tapi kemudian diambilalih militer untuk dipaksakan. Akhirnya "nasionalisme" menjadi proyek paling besar bagi militer. Sebuah operasi militer dari pantai Sumatera hingga pedalaman Kalimantan dan Irian Jaya berikut semua hasil-hasil SDA bisa diraup dalam sekejab atas nama "bangsa dan negara". Dan karena itu, ketika berbincang masalah federalisme, batu sandungan terbesar bagi proses terbinanya sistem ini ada pada kelompok "uniform" ini. • Bagi yang senang pada pemikiran alternatif dan suka mencari penyegaran wacana terutama maslah sosial-politik, buku ini kiranyan bisa menjadi bahan renungan. Siapa nyana, akibat arus pemikiran serius, bangsa ini akan menganut federalisme, ketika kita sadar, kita mafhum bahwa setiap orang, suku, bangsa di mana saja memiliki hak danmandat kehidupan untuk bebas. Terserah pakah nanti, dalam prose sejarah, semua kita akan mendefinisikan sebuah "kesatuan" yang lebih besar. Globalisasi dan post-modernisme, di samping berpretensi menciptakan negara atau bangsa tanpa batas (universal-state), tapi setidaknya untuk saat awal ini masih manaruh hormat pada unit-unit kecil yang unik dari belahan dunia mana pun. Apakah 2045 seperti ramalan Romo Mangun, atau kapan, kita tunggu saja ferak bandul sejarah pembebasan.TIM FREE.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda