Selasa, 08 April 2014

ISSUE NEGARA FEDERAL DI INDONESIA (BAGIAN KETIGA): KELEMAHAN DAN KEUNGGULAN

Dalam pembicaraan dan diskusi publik tentang issue Negara Federal telah menyajikan beragam kelemahan dan keunggulan Negara Federal baik datang dari kelompok penentang maupun pendukung terhadap penerapan model atau sistem Negara Federal di Indonesia. Tulisan ini akan mengidentifikasi pertama-tama kelemahan, kemudian diikuti dengan keunggulan Negara Federal. Maksud dan tujuan tulisan ini untuk mempermudah kita mengetahui atau memahami apa saja kelemahan dan keunggulan Negara Federal sehingga dapat menarik kesimpulan atau pilihan penerapan model atau sistem Negara Federal di Indonesia. Di samping itu, mengidentifikasi para pendukung model atau sistem Negara Federal di Indonesia. KELEMAHAN MODEL ATAU SISTEM NEGARA FEDERAL: Model atau sistem Negara Federal bukan sesuatu tanpa “kelemahan” atau “kekurangan”. Berikut ini akan diidentifikasi beragam kelemahan baik menurut penentang maupun pendukung penerapan model atau sistem Negara Federal. Sebagaimana telah diuraikan di dalam Tulisan Bagian Kedua, Negara Federal pada umumnya merupakan gabungan sejumlah negara, dinamakan Negara-negara Bagian, diatur oleh suatu Undang-undang Dasar (Konstitusi), membagi wewenang antara Pemerintah Federal dan Negara-negara Bagian bersangkutan. Menurut kelompok penentang model atau sistem Negara Federal, Negara Federal bisa menyebabkan terjadinya “disintegrasi nasional” atau “bubarnya Negara”. Mereka mempercayai, Negara Federal tidak dapat menjamin akan lahirnya kehidupan damai di wilayah yang telah berkembang konflik horizontal begitu tajam. Mereka juga mempertanyakan, siapakah bisa menjamin bahwa di dalam Negara Bagian itu sendiri tidak akan lahir tirani baru yang menindas kalau tuntutan federalisme bukan datang dari lapisan masyarakat bawah, tetapi dimobilisasi oleh elit dan pemilik dana/uang? Mereka juga menyangkal argumentasi pendukung model atau sistem Negara Federal bahwa Amerika Serikat sebagai contoh keberhasilan federalisme. Sebaliknya mereka mencontohkan kegagalan federalisme atas keruntuhan negara-Negara Federal di Eropa Timur seperti Uni Soviet, Yugoslavia dan Cekoslovakia. Berdasarkan contoh kegagalan Negara Federal Eropa Timur tersebut, lalu para penentang ini kemudian berhipotetis bahwa penerapan model atau sistem Negara Federal akan menimbulkan disintegrasi nasional. Selanjutnya, para penentang mengklaim bahwa Negara Federal tidak memberi kebebasan bergerak (bekerja) bagi warga suatu Negara Bagian di Negara Bagian lain. Sistem Negara Federal menyekat-nyekat atau membeda-bedakan warganegara. Bahkan mereka mempercayai, Negara Federal tidak tepat diterapkan pada negara kepulauan seperti Indonesia. Menurut mereka, tidak ada negara kepulauan di dunia ini menggunakan model atau sistem Negara Federal. Satu sumber lain menunjukkan kelemahan model atau sistem Negara Federal, antara lain: (1) Tidak semua bidang dikendalikan Pusat sehingga bisa terjadi kesenjangan dalam bidang yang urusannya diserahkan kepada Daerah, sebagai misal pendidikan dan kesehatan; (2) Kualitas tokoh nasional tidak terjamin karena yang diutamakan merupakan perwakilan daerah; (3) Biaya demokrasi mahal karena pemilihan pejabat dilakukan berkali-kali; (4) Kepemimpinan Pusat dan Daerah bisa tidak sejalan karena merasa memiliki kepentingan masing-masing; (5) Biaya kegiatan perekonomian menjadi tinggi karena pejabat daerah menjadi “raja-raja kecil”; (6) Kesejahteraan rakyat bisa tidak merata sehingga terbentuk kelompok daerah kaya, daerah sedang dan daerah miskin; (7) Korupsi, jumlah pelaku maupun jumlah nilai uang dikorupsi semakin meningkat; (8) Acapkali ketidakpuasan terhadap apa yang terjadi di Daerah disikapi dengan amuk massa berakibat merusak keseimbangan kerja bangsa, dan anggaran negara terkuras untuk merenovasi akibat kerusakan terjadi. Lebih jauh kelemahan model atau sistem Negara Federal ditunjukkan dengan kata-kata sebagai berikut: “Negara Federal jelas-jelas akan merugikan karena secara teoritis tidak berorientasi pada pemerataan kesejahteraan di seluruh wilayah, tetapi mengutamakan kesuksesan suatu daerah yang berpotensi”. Terdapat juga kelompok penentang lain menunjukkan kelemahan Negara Federal sebagai berikut: (1). Negara Federal tidak memberi kebebasan bergerak (bekerja) warga sutau negara bagian di negara bagian lain; (2) Negara Federal menyekat-nyekat atau membeda-bedakan warganegara; (3) Tidak sesuai dengan penduduk beragam etnis; (4) Kesempatan dimiliki oleh Negara Bagian dalam Negara Federal tidak sama. KEUNGGULAN MODEL ATAU SISTEM NEGARA FEDERAL: Sementara itu, model atau sistem Negara Federal juga memiliki “keunggulan” atau “kelebihan”. Berikut ini akan diidentifikasi beragam keunggulan atau kelebihan model atau sistem Negara Federal, tentunya lebih banyak diungkapkan oleh kelompok pendukung. Satu keunggulan model atau sistem Negara Federal terkait dengan pengendalian keamanan dan ketertiban nasional. Di bawah model atau sistem Negara federal, karena tidak tersentralisir, maka pengendalian keamanan dan ketertiban nasional semakin mudah bagi Kepolisian Nasional untuk mengendalikan. Jika semakin sentral, maka semakin kacau, semakin sulit dikendalikan oleh Kepolisian. Selanjutnya, model atau sistem Negara Federal lebih dapat memekarkan potensi jutaan manusia di daerah. Sementara di dalam negara sentralistik, potensi dimaksud menjadi terkendala, apalagi daerah negara yang sangat luas seperti Indonesia. Dengan penerapan model atau sisten Negara Federal, semangat putra daerah paling terpencil pun akan bergairah memperjuangkan nasionalisme. Kebanggaan diri dan kemudian kepercayaan diri lalu mekar menjadi buah kreativitas mereka yang melimpah. Keunggulan berikutnya adalah pembangunan dan kemakmuran akan lebih merata dan adil karena dengan tersumbatnya penyedotan raksasa kekayaan daerah secara sewenang-wenang. Modal pengembangan daerah menjadi cukup bahkan berlimpah. Di bidang budaya, model atau sistem Negara Federal akan menimbulkan beragam sentrum kultural yang jauh lebih merata dan kaya kekhasan. Seorang Akademisi Universitas Gadah Mada (UGM), Samsu Rizal Panggabean telah menulis makalah berjudul “Federasi dan Demokratisasi Indonesia”, di muat pada JSP.Vol.I, No.3—Maret 1998. Makalah ini pernah dipresentasikan pada Seminar Nasional “Membangun Indonesia Baru: Suatu Pendekatan Konstitusional dan Politik”, Fak.Hukum, UGM, Yogyakarta, 31 Agustus 1998. Samsu Rizal Panggabean menyajikan beberapa alasan bagi pentingnya “federalisasi” dalam rangka demokratisasi Indonesia. PERTAMA adalah membuka kekuasaan. Federalisasi adalah sebuah strategi paling tepat untuk membuka kekuasaan pada masa lalu amat tertutup. Dalam kehidupan bersama suatu masyarakat, baik bidang ekonomi, politik maupun sosial, kekuasaan menjadi terbuka, tampak atau kelihatan. KEDUA adalah menghormati pluralisme. Federalisme dipandang sebagai usaha menyeimbangkan kekuataan budaya daerah, suku, atau etnis di dalam suatu negara. Tujuannya, supaya pemerintahan dapat berjalan secara konsisten dan dapat diandalkan. Federalisme merupakan respons kelembagaan terhadap heterogenitas budaya. KETIGA adalah pembangunan yang adil dan partisipatif. Terdapat unsur-unsur dapat membantu menghindari kecenderungan ke arah intensifikasi ketimpangan ekonomi dan konflik politik dan budaya menyertainya. Federalisme memungkinkan adanya usaha evaluasi perbedaan budaya internal di negara-negara berkembang masih memiliki struktur tradisional di pedesaan. Bentuk Negara Federal lebih memudahkan implementasi pembangunan partisipatif, dengan postulat: (1) Partisipasi politik diterjemahkan menjadi kontrol atas kekuasaan birokratis; (2) Ketimpangan ekonomi diselesaikan bertahap dan keanekaragaman budaya dihormati; (3) Unsur-unsur masyarakat digabungkan dalam kegiatan pembangunan langsung terkait dengan kepentingan mereka. KEEMPAT adalah menghindari disintegrasi. Federalisme menghindari disintegrasi, menciptakan hidup berdampingan secara damai dengan unit atau loyalitas subnasional. Federalisme merupakan pilihan jauh lebih lunak dibandingkan dengan pemisahan diri. Apalagi dibandingkan dengan “genocide”. Pemerintah Pusat dan masyarakat di berbagai daerah tidak melirik pemisahan diri sebagai jalan keluar. Bahkan, pilihan ini diwaspadai dan dihindari. Sambil mengutip pendapat Horowitz, Samsu Rizal Pangabean menekankan bahwa dalam praktiknya, mengizinkan pemisahan diri atau “secession” tidak memenuhi aspirasi untuk mendapatkan hak menentukan nasib sendiri tetapi memperkenankan sebagian kelompok menentukan masa dengan kelompok-kelompok lain. Sesungguhnya hampir semua pendukung Negara Federal di Indonesia meyakinkan bahwa pembentukan Negara Federal bukanlah suatu upaya disintegrasi, melainkan suatu sistem pemerintahan tidak berbeda dengan negara kesatuan. Idea dasar Negara Federal paling substansial adalah agar terjamin keadilan dalam alokasi sumber daya. Selain itu, model dan sistem Negara Federal memungkinkan manajemen administrasi menjadi lebih efektif dan efisien karena lingkupnya lebih terbatas. Pada akhirnya, model atau sistem Negara Federal justru dimaksudkan untuk menciptakan kesatuan yang riil, tidak semu, dan tidak artifisial. Satu sumber lain meringkas keunggulan Negara Federal sebagai berikut: (1) Kewenangan pejabat daerah lebih luas sehingga diharapkan lebih kreatif; (2) Tokoh daerah di tingkat nasional merata berasal dari seluruh daerah walaupun sebenarnya ada tidak berkualitas; (3) Daerah memiliki potensi alam baik bisa lebih cepat berkembang. Sistem Negara Federal menawarkan konsensus baik dalam hal pemerataan ekonomi maupun perlakuan adil terhadap kaum minoritas. Konsep kekuasaan dari rakyat untuk rakyat lebih banyak ditawarkan oleh model atau sistem Negara Federal. Secara keseluruhan Negara Federal sangat menjanjikan akan merubah secara luar biasa baik fisik maupun nonfisik (cara berfikir dan memandang negara). Terjadi migrasi penduduk sukarela atas biaya sendiri dan dalam waktu relatif singkat. Banyaknya uang, barang, jasa terlibat dalam proses migrasi akan menundang banyak investasi ditanamkan. PENILAIAN DAN PEMIKIRAN BEBERAPA TOKOH DAN AKADEMISI: Pada Agustus 1998, beberapa saat sebelum wafat, Romo Y.B. Mangunwijaya, termasuk Tokoh Nasional, Pastor yang sastrawan, pernah menggebrak kebekuan paradigma berpikir bangsa Indonesia tentang model atau sistem negara. Mangunwijaya menggagas penerapan model atau sistem Negara Federal di Indonesia. Beliau mengutip kalimat Proklamator RI Muhammad Hatta, dimuat dalam Daulat Rakyat Edisi 20 April 1932 sebagai kalimat pembuka dalam bukunya “Menuju Republik Indonesia Serikat” (1999). Dalam bukunya ini, Beliau sangat bersemangat, bahkan punya target, selamat-lambatnya tahun 2045, federalisme Indonesia sudah terbentuk. Mangunwujaya mendefinisikan “negara federal” sebagai Bhinneka Tunggal Ika, susunan beragam namun satu”. Justru demi ke-Tunggal-an Republik Indonesia itulah ke-Bhinneka-an federal dalam abad ke-21 harus dibentuk. Mangunwijaya mengajak kita, belajar mengapa fenomena sentimen anti-Jawa merambah di mana-mana di luar Pulau Jawa. Baginya, bukan karena sentimen anti-Jawa sebagai anti etnik Jawa, melainkan karena benci akumulasi kekuasaan dan kekayaan serta sistem otoriter tanpa penghargaan dan tanpa belas kasih dari Pulau Jawa, khususnya Jakarta. Lalu, Mangunwijaya menawarkan model atau sistem “Republik Federal Indonesia”. Baginya, penerapan model atau sistem ini secara psikologis akan menggelorakan harga diri, motivasi serta harapan memajukan diri 200 juta rakyat di luar Jakarta, luar Pusat. Daerah luar Jawa, khususnya Indonesia Bagian Timur, akan sungguh dapat menemukan abad keemasannya sesudah ratusan tahun dibabat hongi VOC dan kapitalisme kongkalikong Rezim Orde Baru (Soeharto). Aceh akan puas merasakan nikmat hasil kepahlawanan melawan sekian Jenderal. Para perkasa Irian Jaya tidak perlu lagi geram menggerakkan suatu negara Papua sendiri, karena telah dikembalikanlah martabatnya sebagai subjek pelaku sejarah Indonesia. Papua tidak hanya dijadikan tambang logam serta tebangan kayu untuk memperkaya beberapa kapitalis di Pusat. Republik Federal Indonesia ini akan merubah situasi magnet dan cerlang-gemerlap pembangunan sudah tidak lagi memusat di “Jabodetabek” atau satu dua kota besar saja di Pulau Jawa. Pembangunan akan tersebar secara proporsional ke Negara-negara Bagian lain. Amien Rais adalah salah satu tokoh yang tergetol mengkampanyekan Negara Federal pada awal era freformasi. Namun, dalam perjalanannya kampanye Amien Rais meredup, sembari mengakui bahwa substansi dari federasi dan otonomi luas tidak berbeda jauh. Istilah federalisme memang sudah terlanjur buruk, berkaitan dengan penerapan sistem ini oleh Van Mook di tahun 1949 terhadap pengakuan kedaulatan RI dari Belanda. Salah satu alasan diajukan Amien Rais perlunya mempertimbangkan penerapan model atau sistem Negara Federal, yakni melihat perkembangan empirik bangsa Indonesia, ketidak puasan daerah semakin merata dan ekstrim serta desintegrasi. Realitas obyektif menunjukkan, kekuasaan sentralistik berpotensi melahirkan penyakit politik, sosial dan ekonomi di daerah, seperti saat ini terjadi. Ibarat rumah, rumah negara kesatuan tidak memiliki petak-petak kamar, sehingga semua menyatu dan ditentukan oleh Pusat. Jika gejolak daerah tidak puas berlangsung terus, akan semakin banyak daerah menuntut merdeka sehingga perpecahan bangsa akan terjadi. Lalu Amien menilai dan berpikir bahwa bentuk negara federal adalah jalan tengah dari dua ekstrim, kekuasaan sentralistik dan tuntutan merdeka atau melepaskan diri dari pangkuan Republik Indonesia. Menurut Amien Rais, ada tiga asas sebagai syarat keberhasilan Negara Federal yaitu persepsi kesamaan (Al-Musaawah), musyawarah (Asy-Syuro), dan keadilan (Al-‘Adalah). Lebih lanjut Beliau menunjukkan keunggulan atau kelebihan Negara Federal berdasarkan pengalaman beberapa Negara Federal yang memetik keuntungan dan kemajuan pembangunan dan Good Governance, antara lain Malaysia, Kanada, Jerman, Amerika Serikat, dan Australia. Sesungguhnya masih terdapat sejumlah Tokoh Nasional dan juga Akademisi mendukung penerapan model atau sistem negara federal di Indonesia. Kecuali Y.B.Mangunwijaya, Amien Rais, juga terdapat Ichlasul Amal (Dosen Fisipol Universitas Gadjah Mada). Ketiga Tokoh ini masing-masing berdomisi di Yogyakarta (Pulau Jawa), bukan Luar Pulau Jawa. Menurut Ichlasul Amal, ada banyak persamaan antara bentuk kesatuan dengan otonomi luas dan federal, yakni sama-sama mengutamakan pemberdayaan daerah. Perbedaannya adalah cuma dalam proses pembentukan. Dalam beberapa kasus, Ichlasul melihat federasi hanya persoalan “terminology” saja. Bila otonomi diperluas diterapkan, maka sebetulnya telah dilaksanakan apa disebut federal. Pendapat Ichlasul Amal ini senada dengan Ryass Rasyid, Pakar Pemerintahan dan Mantan Menteri Otonomi Daerah. Bagi Ryass, prinsip negara kesatuan dengan otonomi luas dan federal sama saja, yakni menyerahkan kewenangan Pusat ke Daerah. Bahkan, otonomi luas prosesnya lebih sederhana. Jadi, jika mau bersabar dan tidak terpaku pada istilah, otonomi diperluas sama saja dengan federal. Singkatnya, bentuk negara tetap kesatuan dengan prinsip pelimpahan wewenang kepada Daerah. Suara mendukung penerapan model atau sistem Negara Federal di Indonesia juga datang dari Akademisi Universitas Indonesia, antara lain Maswadi Rauf, Dosen Senior FISIP. Beliau sepakat bahwa model atau sistem negara federasi perlu dipertimbangkan untuk menyelesaikan berbagai persoalan menghadang kehidupan bangsa Indonesia ke depan. Semakin banyak perbedaan pada suatu negara, bentuk federasi lebih cocok diterapkan. Terlebih menghadapi ketidakpercayaan daerah terhadap Pemerintah Pusat, akibat begitu banyak ketidakadilan di masa lalu. Maswadi menganjurkan supaya Pemerintah mencoba saja menerapkan Negara Federal. Terakhir Akademisi lain dari Universitas Indonesia, Hamdi Muluk (Pakar Psikologi Politik) mendukung penerapan model atau sistem negara federal di Indonesia. Beliau menyayangkan bentuk negara kesatuan. Ia mengusulkan idea pembentukan Negara Federal. Bagi Hamdi, negara kita negara kesatuan, ketimpangan antara Pusat dan Daerah jauh. Banyak mudaratnya daripada bagusnya. Semua ukuran di Pusat. Indonesia lebih cocok memakai model atau sistem Negara Federal. Pasalnya, tidak semua urusan menggunakan konsep sentralistik seperti saat ini. Ia menilai, Negara Federal adalah pola ideal. Efektifitas managemen tidak mungkin tercapai dengan kondisi Sabang sampai Merauke yang sentralistik. Ia mencontohkan pelaksanaan Ujian Nasional (UN) yang gagal karena memakai sistem sentralistik. Menurutnya, kebutuhan masyarakat lokal seharusnya diatur oleh Pemerintah Daerah. Gubernur Negara Bagian berdaulat, politik hangat politik lokal. Negara Federal secara empiris terbukti membuat daerah itu berkembang. Ia lalu mencontohkan kasus negara-negara maju yang menggunakan mpdel atau sistem Negara Federal berkembang di berbagai bidang. Setiap Negara Bagian memiliki Universitas (Perguruan Tinggi) berkualitas. Kemudian ekonomi bertumbuh dengan pesat. Beliau kemudian mengakui dari lubuk hatinya, mengaggumi Bung Hatta dan Y.B. Mangunwijaya yang mendukung konsep federal. “Saya juga terpaksa bermigrasi ke Pusat, jika Negara Federal, saya tetap di daerah,”tandas Hamdi. Para pendukung model atau sistem Negara Federal pada umumnya menyangkal kebijakan otonomi daerah selama ini diterapkan di Indonesia mampu menjawab permasalahan kesejahteraan masyarakat dan ketidakadilan di luar Pulau Jawa. Bagi mereka, Indonesia, negara kepulauan terbesar di dunia, adalah suatu negara kepulauan terdiri atas kurang lebih 17.000 pulau, terbentang dari Barat ke Timur sepanjang lebih lebih dari 5.000 Km melintasi tiga zona waktu menyebabkan Indonesia menjadi. Bangsa Indonesia juga bukan merupakan bangsa keturunan penduduk asli Indonesia tetapi merupakan keturunan migran Austronesia sekitar 5.500 tahun lalu. Kondisi ekologi dan isolasi geografis menyebabkan mereka memiliki sistem dan lingkungan kebudayaan masing-masing sangat jauh berbeda satu sama lain. Bangsa Indonesia pada hakekatnya tidak memiliki budaya nasional terpadu dan utuh tetapi hanya berupa “keping-keping” kebudayaan daerah diakui sebagai budaya nasional. Karena itu, mereka merekomendasikan model atau sistem Negara Federal untuk diterapkan di Indonesia. Bagi mereka, Negara Federal lebih cocok digunakan oleh sebuah bangsa yang heterogen (majemuk) secara sosial dan kultural. Keragaman kultural, sosial, agama, tingkat perkembangan masyarakat, dan keadaan geografis serta geologis melahirkan kepentingan yang berbeda-beda. Negara Federal nampaknya lebih mampu mengakomodasi kepentingan daerah-daerah sehingga dapat lebih berkembang sesuai dengan potensi dan kemampuan masing-masing. Dari Sumatera Utara, seorang Pakar Sosiologi Politik, Shohibul Anshor, juga termasuk pendukung penerapan model atau sistem Negara Federal di Indonesia. Menurut Shohibul, masyarakat selalu teriak-teriak masalah pemerataan pembangunan, jalan rusak di Kalimantan, pemadaman listrik mendadak di Sumatra Utara, tingkat pendidikan rendah di Papua. Beliau merasakan sendiri pemadaman listrik tiap hari di Sumatera Utara. Juga sadar, lingkaran pembangunan nasional cuma berdiameter di Pulau Jawa. Implikasi logisnya adalah pemberontakan di dua ujung Provinsi Republik Indonesia ini. Shohibul Anshor adalah Pendukung Negara Federal dengan argumentasi realitas obyektif ketidakadilan dan ketidakmerataan pembangunan antara Pulau Jawa dan Luar Jawa. Sesungguhnya argumentasi ini masih relevan. Sekalipun sudah lebih 10 tahun Indonesia memasuki era reformasi, ketimpangan pembangunan mencolok antar Pulau Jawa dan Luar Jawa masih berlaku dan terlihat jelas. Mengacu pada Harian Kompas 27 Maret 2014, berjudul “Pemerataan Harus Jadi Fokus”, menunjukkan data pemerataan pembangunan antara Pulau Jawa dan Luar Jawa jelas terlihat timpang. Asumsi dasar bahwa perekonomian nasional masih bertumpu di Pulau Jawa. Berdasarkan kontribusi PDRB nasional (persen), ditunjukkan bahwa Pulau Jawa untuk tahun 2012 mencapai 61,36 %; Sumatera 20,96 %; menyusul Kalimantan hanya 8,35 %; Sulawesi hanya 4,98 %; Papua hanya 1,40 %; Maluku hanya 0,33%; Nusa Tenggara hanya 1,32 % dan Bali 1,31 %. Data kontribusi PDRB Nasional tahun 2012 ini tidak jauh berbeda, tetap saja terlihat ketimpangan mencolok antara Pulau Jawa dan Luar Jawa. Khusus Pulau Jawa pada tahun 2004 mencapai 59,77%; 2005 sebesar 59,91 %; 2006 meningkat 60,25 %; 2007 meningkat 60,74 %; 2008 meningkat 60,90 %; 2009 meningkat 60,92 %; 2010 meningkat lagi 61,04 %; 2011 meningkat 61,22; dan 2012 meningkat terus 61,36 %. Pada dasarnya, di bawah era reformasi tidak ada perubahan perekonomian nasional yang masih bertumpu di Pulau Jawa; kontribusi PDRB Nasional dari Pulau Jawa terus meningkat dari tahun ke tahun, sementara Luar Jawa mengalami stagnan, jika tidak boleh dikatakan menurun. Sumber lain datang dari Badan Pusat Statisti (BPS). Pada 5 Mei 2015, BPS dalam jumpa pers di Jakarta tentang Pertumbuhan Ekonomi Nasional, masih tetap menegaskan bahwa ekonomi masih terpusat di Jawa. Struktur ekonomi Indonesia secara spasial tetap timpang. Roda ekonomi di Jawa dan Sumatra masih terlalu dominan kontribusinya kepada kue ekonomi nasional. Sementara, roda ekonomi di Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Nusa Tenggara masih terlalu lamban untuk mengimbangi. Dalam Laju Pertumbuhan dan Distribusi Ekonomi per Pulau Triwulan I 2015, distribusi ekonomi Sumatra dan Jawa sangat besar. Sumatra menyumbang 22,56 persen kue ekonomi nasional, sementara Jawa lebih dari dua kali lipatnya, yaitu sebesar 58,30 persen. Porsi keduanya meninggalkan empat pulau lainnya. Porsi ekonomi Bali dan Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku-Papua bahkan tak sampai 10 persen. Ekonomi Bali-Nusa Tenggara hanya menyumbang 2,97 persen ke nasional. Lalu, Kalimantan hanya sebesar 8,26 persen, Sulawesi hanya 5,72 persen, dan terakhir Maluku-Papua hanya 2,19 persen. Kecenderungannya, porsi ekonomi ini dari 2012 memperlihatkan tren yang negatif bagi pulau selain Sumatra dan Jawa. Sejak 2012, misalnya, porsi ekonomi Jawa terus naik dari posisi 57,65 persen (2012), 57,99 persen (2013). Begitu juga Sumatra yang tumbuh dari 23,74 (2012) dan 23,81 persen (2013). Sementara porsi ekonomi Kalimantan justru terus turun dari 9,30 (2012), lalu 8,67 persen (2013). Ataupun kalau tumbuh, lajunya tidak bisa secepat pertumbuhan Jawa dan Sumatra. Melihat data bersumber Harian Kompas dan BPS di atas, adalah layak sejumlah kaum Intelektual dan Politisi dari Indonesia Bagian Timur, tergabung dalam Perhimpunan Indonesia Timur (PIT), memiliki gagasan untuk melaksanakan Kongres di Makassar tahun 2013. Mereka adalah La Ode Ida, Laode Ida, Hatta Taliwang, Petrus Selestinus, Robert B Keytimu, Syukur Mandar, Frangky Maramis, Roy Simbiak, dan beberapa lainnya. Kongres Indonesia Timur di Makassar sendiri bertema, “NKRI atau Federasi; Menuju Indonesia Lebih Baik.” Kongres bertujuan mengkaji berbagai persoalan bangsa dan keberpihakan bangsa terhadap Wilayah Timur Indonesia, dari berbagai faktor, mulai dari pembangunan infrastruktur, pengembangan sumberdaya manusia, sampai pada bentuk negara yang dianut Indonesia. Kongres akan mempertanyakan, apakah NKRI masih pas, ataukah federasi yang pas. Dalam Konfrensi Pers di Komplek MPR/DPR, 20 Maret 2013, Wakil Ketua DPD RI, La Ode Ida mengatakan, sekarang konsep NKRI telah gagal total. Kegagalan dapat diukur dengan pembangunan tidak merata di Indonesia. Indonesia Timur termarjinalkan. NKRI telah gagal, karena tidak memberikan kesejahteraan kepada semua wilayah secara merata. Konsep negara NKRI perlu ditinjau kembali. Mereka akan mengkaji: apakah saatnya Indonesia membutuhkan bentuk negara federasi? Apakah negara NKRI masih pas, ataukah Indonesia membutuhkan negara federasi? Uraian di atas telah menunjukkan kelemahan dan keunggulan model atau sistem Negara Federal, diikuti dengan penilaian atau pemikiran dari Tokoh Nasional dan Akademisi serta Politisi tentang penerapan model atau sistem Negara Federal di Indonesia. Penyajian penilaian atau pemikiran para pendukung penerapan model dan sistem Negara Federal di Indonesia dimaksudkan untuk membuka wawasan dan keseimbangan informasi terkait dengan polemic atau perdebatan issu Negara Federal atau federalisme di Indonesia selama ini. Untuk Tulisan berikutnya akan diuraikan penilaian atau pemikiran Tokoh Nasional dan Tokoh Daerah sebagai narasumber tentang penerapan model atau sistem Negara Federal di Indonesia berdasarkan hasil wawancara langsung oleh suatu Tim Pewawancara (Bersambung/MUCHTAR EFFENDI HARAHAP).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda