Jumat, 11 April 2014

ISSUE NEGARA FEDERAL DI INDONESIA (BAGIAN KELIMA): HARGA MATI, DISINTEGRASI, NEGARA KEPULAUAN DAN PEMERINTAAH PUSAT/BIROKRASI

Dalam pembicaraan dan diskusi publik tentang issue Negara Federal di Indonesia Kita dapat menemukan butir-butir perdebatan antara kelompok penentang dan kelompok pendukung penerapan model atau sistem Negara Federal di Indonesia. Butit-butir perdebatan dimaksud antara lain: (1) Negara Kesatuan harga mati dan telah ditetapkan di dalam UUD 1945 hasil Amandemen; (2) Disintegrasi, perpecahan bangsan dan pemisahan Daerah dari Republik Indonesia; (3) Negara kepulauan; (4) Pemerintah Pusat dan Birokrasi; (5) Tradisi keramat RI 17 agustus 1945 ; (6) Masuknya orang asing; (7) Konsep Neo-Belanda dan Set-back ke zaman sebelum 1928; (8) Tenaga Ahli; (9) Efisiensi hubungan bisnis dan usaha luar negeri;(10) Biaya Administrasi; (11) Keberagaman etnis; (12) Kebebasan bergerak (bekerja); dan (13) Pemerataan pembangunan. Tulisan Bagian Kelima ini akan menyajikan butir-butir perdebatan berkaitan hanya dengan nomor (1) s/d Nomor (4. Pertama-tama kita menemukan butir perdebatan antara kelompok penolak dan pendukung penerapan model atau sistem Negara Federal di Indonesia terkiat dengan prinsip bahwa NEGARA KESATUAN HARGA MATI DAN TELAH DITETAPKAN DI DALAM UUD 1945. Butir perdebatan berdasarkan penegasan kelompok penolak tentang prinsip NKRI harga mati ini berangkat dari alasan dan argumentasi konstitusional/UUD 1945. Berdasarkan UUD 1945, mereka mengklaim bahwa konstitusi Indonesia (UUD 1945) secara tegas melarang terbentuknya Negara Federal di Indonesia. Di dalam UUD soal Negara kesatuan ditegaskan dua kali, pada pasal pertama dan pada pasal terakhir. Pasal 1 (1) berbunyi “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik”. Berdasarkan Pasal 1 ini, Indonesia didefinisikan sebagai Negara Kesatuan. Bentuk ini bukan dirumuskan sebagai bentuk pilihan, namun sebagai rumusan definitif. Artinya, Negara Indonesia tidak ada jika tidak berbentuk sebagai Negara Kesatuan. Di lain fihak Pasal 37 ayat 5 menyatakan “bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan”. Bagi mereka, merubah Negara kesatuan menjadi Negara Federal bukanlah reformasi, tetapi merupakan gerakan anti NKRI. Bahkan, ada seorang pendukung Negara Kesatuan menilai, adalah ironis Amin Rais, menjabat Ketua MPR dan telah bersumpah setia kepada Pancasila dan UUD 1945 berarti bersumpah setia kepada NKRI, ikut mendorong pembentukan Negara Federal. Amien dinilai ingkar. Keingkaran ini seharusnya menyeret Beliau untuk mengundurkan diri dari jabatannya, kecuali kalau Beliau sudah tidak menghargai lagi nilai moral dan harkatnya. Logikanya, setiap anggota MPR tidak boleh mendukung penerapan Negara Federal di Indonesia karena telah bersumpah setia kepada Pancasila dan UUD 1945. Bagi mereka, setia kepada Pancasila berarti setia kepada NKRI. Sesungguhnya bagi pihak pendukung, hal ini tidak bisa menjadi excuse untuk menutup celah diskusi akademis tentang gagasan Negara Federal. UUD 1945 bagaimanapun tetap merupakan produk historis, bisa dan patut dikembangkan sesuai relevansi zaman dan kepentingan nasional lebih besar, antara lain: kemajuan ekonomi dan integrasi nasional lebih membumi dan konkret. UUD 1945 bukanlah sebuah wahyu dogmatis dan harus selalu dirasionalisasi. Kenyataannya, UUD 1945 pernah diamandemen berkali-kali oleh MPR pimpinan Amien Rais dalam era reformasi ini setelah keruntuhan kekuasaan Rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan militer, Soeharto. Bagi para pendukung Negara Federal, pada dasarnya NKRI adalah produk kebijakan politis sama seperti Republik Indonesia Serikat (RIS). Saat itu Indonesia pernah menerapkan bentuk Negara Federal. NKRI sebagai pilihan bentuk Negara bukanlah satu-satunya hal paling fundamental dan asasi dalam kehidupan berNegara di Indonesia karena dasar filosofisnya tidak sekuat perangkat keNegaraan lain seperti Pancasila dan semboyan Negara. Dialog tentang gagasan Negara Federal patut untuk tidak dibatasi hanya dengan alasan kesakralan NKRI dan UUD 1945. Kepentingan nasional lebih besar perlu diutamakan. Butir perdebatan kedua adalah PERPECAHAN, DISINTEGRASI DAN PEMISAHAN DIRI. Kalangan penentang penerapan model dan sistem Negara Federal menilai, jika Indonesia diterapkan model dan sistem Negara Federal, akan terjadi perpecahan bangsa, disintegrasi nasional dan pemisahan diri Daerah dari pangkuan Republik Indonesia (merdeka). Mereka khawatir akan perpecahan,disintegrasi dan pemisahan diri Negara-Negara bagian bagaikan balanisasi Republik Indonesia seperti di Yugoslavia. Pembentukan Negara Federal akan berakibat bubarnya Indonesia. Mereka kerapkali menilai gagasan Negara melihat sistem Federal dengan pandangan negatif dan sengaja melupakan manfaat mungkin dapat disumbangkan Negara Federal untuk bangsa Indonesia yang majemuk ini. Para Penentang pada umumnya menyebutkan bahwa Negara Federal bisa menyebabkan terjadinya “disintegrasi” di Indonesia. Merubah Negara Kesatuan menjadi Negara Federal sebagai solusi karena telah terjadinya tindak kekerasan dan ketidakadilan adalah penyelesaian menyesatkan. Para penentang mempertanyakan, seandainya Negara Federal telah terlaksana, siapakah dapat menjamin akan lahirnya kehidupan damai kalau di wilayah itu telah berkembang konflik horizontal begitu tajam? Siapakah menjamin, di dalam Negara Bagian itu sendiri tidak akan lahir “tirani baru” menindas kalau tuntutan Federalisme bukan datang dari bawah, tetapi dimobilisasi oleh elit dan pemilik dana/uang? Jika benar tuntutan Negara Federal atau Kemerdekaan datang dari rakyat, kenapa justru terjadi pengungsian besar-besaran ketika tuntutan itu didesakkan? Manakala penindasan oleh “tirani baru” terjadi, sejauh manakah kekuatan rakyat di sebuah Negara Bagian akan mempu memperjuangkan nasib mereka sendiri? Beberapa pertanyaan ini ditujukan untuk membantah asumsi-asumsi dasar kelompok pendukung Negara Federal, terutama terkait dengan penerapan Negara Federal sebagai solusi untuk memecahkan masalah perpecahan, disintegrai dan pemisahan diri Daerah dari Republik Indonesia. Di lain fihak, kelompok pendukung Negara Federal meyakinkan bahwa Indonesia semestinya kembali ke model atau sistem Negara Federal. Pemerintah Indonesia takut menerapkan sistem Negara Federal karena khawatir akan cenderung memicu ketidakstabilan politik dan gerakan pemisahan diri dari NKRI. Sesungguhnya menurut mereka, dari segi pertahanan dan keamanan nasional, semakin sentral pemerintahan semakin kacau di bawah (rakyat), semakin sulit Kepolisian Nasional mengendalikan. Dari segi keberagaman etnis, besar dan jumlah unit konstituen merupakan dua elemen amat menentukan kemampuan Negara Federal dalam mengakomodasi kepentingan minoritas. Mengacu pada pandangan Jonathan Lemco (1991), suatu Negara dengan luas wilayah relatif kecil dan memiliki komposisi penduduk homogen tidak perlu mengadopsi model atau sistem Negara Federal. Swiss merupakan pengecualian (luas daerah kecil) dan Meksiko merupakan Negara Federal dengan populasi homogen. Namun, model dan sistem Negara Federal sangat cocok apabila diterapkan pada suatu Negara memiliki wilayah terbagi-bagi ke dalam jumlah besar daripada kecil. Selanjutnya para pendukung acapkali mengutip pandangan Donald L. Horowitz (1985), bahwa Federalisme seringkali diadopsi oleh Negara-Negara memiliki populasi penduduk dengan beragam etnis, di mana tempat tinggal mereka secara homogen terbagi berdasarkan etnik maupun wilayah terpisah-pisah. Asumsinya, lebih banyak wilayah dapat diidentifikasi berpopulasi homogen berdasarkan etnis tertentu, maka akan lebih baik sistem Negara Federal tersebut mengakomodasi berbagai kepentingan minoritas. Kelompok pendukung menilai dari segi budaya, model dan sistem Negara Federal akan menimbulkan beragam sentrum kultural jauh lebih merata dan kaya kekhasan sehingga lembaga-lembaga seperti Taman Ismail Marzuki (TIM) serta Pusat Kebudayaan berkembang di Daerah-daerah. Penjabaran kedaulatan rakyat yang sungguh konsekuen untuk 13.000 pulau dengan lebih dari 240 juta manusia serba tersebar serta beragam budaya, hanya dapat real dan efektif dalam sisten Negara Federal. Mereka menolak pandangan bahwa sistem Negara Federal akan menyebabkan bangsa dan Negara Indonesia mengalami disintegrasi. Sistem Negara Fedeeral justru akan memperkuat integrasi dan mencegah disintegrasi serta mensejahtetakan rakyat. Kelompok pendukung menyajak kita untuk membayangkan Papua, Nusa Tenggara, Kalimantan dipersilahkan mengurus sumber daya alamnya sendiri tanpa diambil Pusat. Berapa kekayaan dan betapa kayanya Daerah tersebut. Tidak ada orang ingin kalah dan percayalah bahwa persaingan sehat akan memicu semangat. Potensi itu sangat besar, dan besar sekali. Terlalu besar jika hanya ditanggung oleh Jakarta untuk mengurus semuanya. Negara Federal bukan berarti kita berpisah-pisah. Satu Negara, satu bangsa, satu bahasa, satu mata uang, satu TNI. Mungkin yang lain kita delegasikan penuh kepada daerahnya masing-masing. Biarkanlah Daerah mempunyai Polisi untuk menegakkan Peraturan Daerahnya. Apabila dioperasikan secara tulus, model atau sistem Negara Federal dapat menghilangkan ancaman disintegrasi dari bumi Indonesia. Dibawah naungan model dan sistem Negara Federal, masyarakat di daerah-daerah di luar Jawa pada khusunya akan dapat mengatur diri sendiri dan tidak merasa dalam cengkraman kekuasaan Pulau Jawa. Adalah fakta bahwa cengkraman kuat itu bukan saja telah mengakibatkan terpuruknya masyarakat di luar Jawa, melainkan juga mematikan kreativitas mereka. Yang lebih parah lagi adalah mereka merasa dijajah oleh Jawa. Dengan prinsip kekuasaan dianut modelatau sistem Negara Federal berarti bahwa masyarakat daerah memiliki kekuasaan dan merekalah memberikan sebagian dari kekuasaan kepada Pemerintah Pusat. Ini berarti bahwa merekalah menghidupi Pemerintah Pusat. Perasaan memiliki tersebut berfungsi sebagai perekat di dalam hubungan antara Pusat dan Daerah. Hal ini membawa efek sentripetal. Artinya, karena daerah mereka memiliki pusat pemerintahan, maka masyarakat Daerah tidak perlu merasa untuk menjauh dan tidak perlu mengambil langkah-langkah disintegratif. Arus sentrifugal akan terakomodasi dengan baik dalam model atau sistem Negara Federal. Kebebasan dan kekuasaan besar dan dimiliki masyarakat di Daerah-daerah akan memungkinkan sistem ini mengubah arus sentrifugal itu menjadi arus sentripetal. Di dalam model dan sistem Negara Federal, tingkat kepuasaan masyarakat Daerah akan sangat tinggi. Bagi kelompok pendukung, modeldan sistem Negara Federal sangat bermakna bagi upaya suatu bangsa untuk mencapai tingkat integrasi yang sangat tinggi. Penerapannya secara tepat akan mampu mencegah bergulirnya proses disintegrasi di Indonesia. Butir perdebatan ketiga adalah NEGARA KEPULAUAN. Kelompok penentang menilai model atau sistem Negara Federal tidak cocok untuk Negara kepulauan seperti Indonesia. Tidak ada Negara kepulauan di dunia ini berbentuk Negara Federal. Di lain pihak, kelompok pendukung, justru menganggap Indonesia Negara kepulauan sangat cocok untuk model atau sistem Negara Federal. Indonesia adalah Negara kepulauan, memiliki lebih dari 17.000 pulau: 6.000 diantaranya berpenghuni. Negara makmur memiliki sumber daya alam luar biasa termasuk minyak bumi, gas alam, batu bara, bijih timah, nikel, bauksit, tembaga, emas, perak, kayu, dan tanah subur. Populasi penduduk berjumlah sekitar 240 juta jiwa, memiliki keragaman etnik dan kepercayaan, dengan prosentase suku Jawa 45%; Sunda 7.5%; Madura 7.5%; Melayu 7.5%,; dan lainnya 26%. Sedangkan dari kepercayaan, pemeluk agama Islam berjumlah 88%; Protestan 5%; Katolik Roma 5%; Hindu 2%; Budha 1%; dan lainnya 1%. Indonesia adalah Negara sangat luas atau terlalu luas jika hanya dikomandoi dari satu titik, Ibukota Jakarta. Begitu luas dan besar Indonesia, harus membagi menjadi lebih 30 Provinsi, terbagi lagi ke dalam 3 (tiga) bagian waktu: WIT (Waktu Indonesia Timur), WITA (Waktu Indonesia Tengah), dan WIB (Waktu Indonesia Barat). Belum lagi jika dibagi berdasarkan bahasa daerah, pulau, ras, agama, budaya, dan lainnya. Banyaknya perbedaan terlalu naïf untuk kita menjeneralisir atau menyeragamkan. Satu bahasa bisa, satu bendera setuju, satu bangsa juga sepakat. Tetapi, menurut mereka, jika harus disamakan cara pergaulan masyarakat sangat besar ini dalam berbagai hal justru akan menghambat perkembangan masyarakat. Biarkan Aceh mengatur dengan syariat Islamnya, dan mungkin masih banyak lagi ingin meniru. Biarkan Bali tumbuh dengan norma dan nilainya sendiri. Biarkan Daerah-daerah lain ingin menjaga budaya dengan caranya sendiri. Menurut kelompok pendukung, Indonesia memiliki tingkat heterogenitas kepentingan berbasis etno-regional dan etno-religious sangat tinggi. Prinsip seperti “unity in diversity” atau “Bhinneka Tunggal Ika” dianggap paling sesuai bagi bangsa Indonesia. Prinsip di mana kepentingan peribadi, suku, agama, dan golongan harus mengalah pada kepentingan umum. Butir perdebatan keempat, yakni PEMERINTAH PUSAT DAN BIROKRASI. Menurut kelompok penentang, model dan sistem Negara Federal menyebabkan Kedudukan Pemerintah Pusat menjadi lemah dan birokrasi bertele-tele dan tidak efisien. Kesempatan dimiliki oleh Negara Bagian dalam Negara Federal tidak sama. Sementara itu, fihak pendukung menolak pandangan kelompok penentang model atau sistem Negara Federal di atas. Menurut kelompok pendukung, tidak ada kedudukan Pemerintah Pusat dari suatu Negara Federal lemah baik dalam arti politik maupun ekonomi. Tidak ada posisi Pemerintah Federal lebih lemah ketimbang Pemerintah Negara Bagian seperti dihadapi oleh Washiington (Negara Federal Amerika Serikat), Berlin (Negara Federal Jerman) ataupun Kuala Lumpur (Negara Federal Malaysia) serta Pemerintah Federal lain dalam masalah internal maupun eksternal masing-masing (Bersambung/MUCHTAR EFFENDI HARAHAP).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda