Selasa, 25 Maret 2014

ISSUE NEGARA FEDERAL DI INDONESIA (BAGIAN PERTAMA)

Issue “negara federal” telah mengambil tempat di Indonesia sejak awal kemerdekaan bangsa Indonesia, terutama munculnya prakarsa Negara Republik Indonesia Indonesia, disingkat RIS. RIS adalah suatu negara federasi, berdiri pada 27 Desember 1949 sebagai hasil kesepakatan tiga pihak dalam “Konferensi Meja Bundar”: Republik Indonesia, Bijeenkomst voor Federal Overleg(BFO), dan Belanda. Kesepakatan ini disaksikan oleh United Nations Commission for Indonesia (UNCI) sebagai perwakilan PBB. Bahkan, sesungguhnya issue negara federal mencuat pertama kali sebelum Kemerdekaan Indonesia. Mengacu pada hasil studi Adnan Buyung Nasution (2000), konsep federalisme pertama kali diperkenalkan oleh Ritsema van Eck, Kepala Kehutanan di Jawa. Saat itu konsep Ritsema yang juga mengikutsertakan nasib kelompok etnis luar Indonesia di bawah kekuasaan kerajaan Belanda, Curacao dan Suriname. Konsep Ritsema ini dipertanyakan oleh Prpf. Van Vollenhoven, Prof. Snouck Hurgronje dan Prof. Colenbrader. Para ilmuwan ini menilai, konsep Ritsema hanyalah untuk memenuhi maksud Belanda untuk meningkatkan kekuatan dengan membagi Indonesia ke dalam kelompok-kelompok etnis. Perdebatan issue negara federal di Indonesia tidak surut, masih terus berkembang sejalan dengan perkembangan bersejarah menjelang Kemerdekaan Indonesia. Issue negara federal mencuat kembali saat menjelang pembuatan Konstitusi (UUD 1945). Issue negara federal terdapat di dalam perdebatan Badan Penyidik Urusan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Menurut Adnan Buyung Nasution, Muhammad Yamin tidak sependapat dengan gagasan federalisme karena hanya akan mengantarkan Indonesia ke dalam pengkotakan wilayah berdasarkan Provinsi dan dapat memicu pecahnya kesatuan bangsa Indonesia. Sekalipun Muhammad Hatta dan Latuharhary telah bertindak sebagai pengusung gagasan negara federal, tidak berusaha untuk melawan kelompok penentang gagasan federalisme. Pada tahun 1955 Indonesia mengadakan Pemilu (Pemilihan Umum). Namun, segera setelah Pemilu tahun 1955, Bung Karno mengangkat Ali Sastroamidjoyo sebagai Perdana Menteri dan mulai menjalankan suatu sistem politik “demokrasi terpimpin”. Kebijakan Bung Karno ini antara lain menimbulkan gejolak oposisional dan baik dari kalangan politisi Partai dan perwira militer di Pusat maupun Daerah. Gejolak oposisional terhadap Pemerintah Pusat semakin menguat dengan bermunculannya pemberontahan daerah terutama di luar Pulau Jawa. Issue negara federal kemudian berlanjut. Issue negara federal muncul kembali di Dewan Konstituante antara tahun 1956 sampai tahun 1959. Perdebatan sangat tajam muncul di tahun 1957 ketika semua kekuatan politik dan partai dari berbagai ideologi politik menyatakan pendapatnya mengenai sistem negara. Dewan Konstituante kembali gagal mencapai kesepakatan. PNI, PKI, Partai Murba, IPKI, dan GPPS tergolong kelompok penentang gagasan negara federal. Partai pendukung negara federal adalah Partai Masyumi, PSII, Partai Buruh, dan Parkindo. Pemerintah Pusat (Bung Karno) berhasil menyelesaikan permaslahan pemberontakan daerah, juga gerakan oposisional dari Partai-Partai di Jakarta yang menentang kebijakan tentang demokrasi terpimpin, terutama Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Namun, pada 1965/66 kekuasaan Rezim Bung Karno (Orde Lama) ditumbangkan oleh kekuatan militer. Kekuasaan negara berpindah tangan dari Rezim Bung Karno ke Rezim Suharto (Orde Baru). Di bawah Rezim Orde Baru, issue negara federal sirna karena kekuatan militer sangat anti negara federal, kecuali negara “kesatuan”. Issue negara kesatuan telah menggantikan issue negara federal. Membicarakan negara federal menjadi sangat tabu. Namun, issue negara federal kembali mewacana ketika Rezim Orde Baru gagal mengakomodasi kebutuhan masyarakat di wilayah Indonesia terluar (Daerah-Daerah Luar Jawa). Muncul perdebatan negara federal karena masih terdapat masalah sentralisasi kekuasaan secara berlebihan, kesenjangan ekonomi antar wilayah, dan aneka macam ketidakadilan di daerah. Pada 1997/98 telah terjadi gerakan kekuatan reformasi yang berhasil menumbangkan Rezim Suharto (Orde Baru) dan melakukan perubahan konstitusional. Pembicaraan mengenai demokratisasi kehidupan politik baik di pusat maupun di daerah telah meluas. Dalam kondisi perubahan politik ini, issue negara federal menghangat kembali. Perbedaan pendapat mengenai negara federal dan kesatuan berjalan seiring dengan kontroversi demokratisasi lain seperti parlementarisme versus presidensialisme, sistem pemlihan distrik versus sistem pemilihan proporsional. Issue negara federal meluas juga karena aspirasi otonomi khusus dan kemerdekaan berbagai daerah, terutama Aceh, Timor Timur dan Irian Jaya. Tokoh-tokoh nasional turut mengangkat issue negara federal ini antara lain Romo Y.B. Mangunwijaya dan M. Amin Rais. Mangunwijaya telah menulis makalah berjudul “Indonesian Problems and Prospects”, disampaikan pada seminar Toward Structural Reforms for Democratization in Indonesia: Problems dan Prospects, diselenggarakan oleh LIPI dan the Ford Foundation di Jakarta, 12-14 Agustus 1998. Tulisan Mangunwijaya terkait lain terdapat di dalam “Pahami Secara Utuh Negara Federal” (Harian Pikiran Rakyat, Yogyakarta, 30 Agustus 1998). Untuk Amien Rais sebagai Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), konsep negara federal dapat ditemukan di dalam “platform” PAN. Federalisme dianggap tepat untuk pemecahan dan jalan keluar yang demokratis terhadap berbagai persoalan negara Indonesia. Beberapa tokoh politik dan cendikiawan lain memperbincangkan issue negara federal adalah Abdurahman Wahid (Gus Dur), Alfitra Salamn, Harus Alrasid, dan Adnan Buyung Nasution. Mereka beragumen bahwa Indonesia semestinya kembali ke sistem negara federal. Menurut mereka, Pemerintah Indonesia (Pusat) takut menerapkan sistem negara federal karena khawatir akan cenderung memicu ketidakstabilan politik dan gerakan pemisahan diri dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Setelah demokratisasi dan reformasi berjalan sekitar 10 tahun, issue negara federal menghangat kembali terutama bagi mereka yang tidak puas terhadap pelaksanaan kebijakan otonomi daerah dan hubungan Pusat dan Daerah. Berbagai alasan dan argumentasi telah diajukan baik bagi kalangan pendukung maupun penolak penerapan model atau bentuk negara federal. Umumnya kalangan pendukung penerapan model negara federal berasal dari luar Jawa, baik ilmuwan/akademisi, politisi Partai, pengamat, pengusaha, kaum professional dan aktivis NGO’s. Amat langka pendukung model negara federal berasal dari kalangan militer. Sebaliknya, kelompok penolak penerapan model negara federal umumnya kalangan mantan perwira militer dan politisi Partai pulau Jawa. Wacana tentang model negara federal sudah berkembang sedemikian rupa dalam masyarakat Indonesia beberapa tahun belakangan ini. Mereka acapkali menolak pandangan negartif bahwa negara federal bisa menyebabkan terjadinya disintegrasi di Indonesia. Menurut mereka, gagasan dasar negara federal yakni kekuasaan berada di daerah-daerah (negara bagian atau provinsi). Daerah-daerah mengalokasikan sebagian kekuasaan mereka kepada Pemerintah Pusat (Federal). Model negara federal dapat menghilangkan ancaman disintegrasi. Di bawah model negara federal, terutama masyarakat di daerah-daerah luar Pulau Jawa, akan dapat mengatur diri sendiri dan tidak merasa dalam cengkraman kekuasaan Pulau Jawa. Dewasa ini kaum intelektual terpenjara karena pembahasan model atau sistem negara dibatasi oleh kekakuan kerangka berfikir negara kesatuan (NKRI). Salah seorang intelektual terpenjara dimaksud adalah Pakar Psikologi Politik UI, Hamdi Muluk. Beliau seorang pendukung model negara federal. Alasannya antara lain jauhnya ketimpang antara Pusat dan Daerah. Baginya, Indonesia lebih cocok memakai model atau sistem negara federal. Kebutuhan masyarakat lokal seharusnya oleh Pemerintah Daerah. Negara federal secara emperis terbukti membuat daerah berkembang. Beliau kemudian mengajak kita untuk melihat negara-negara maju yang menggunakan model negara federal, berkembang di berbagai bidang. Setiap negara bagian memiliki universitas berkualitas, kemudian ekonomi tumbuh dengan pesat. Satu argumentasi unik lain terkait dengan model negara federal adalah prediksi Jayabaya bahwa Indonesia akan menjadi negara federal. Penganut argumentasi unik ini percaya, Jayabaya bukan seorang dukun, bukan paranormal, tetapi Raja dari Kerajaan Kadiri, juga seorang pujangga, sastrawan tergolong indigo (tingkat kecerdaswan tinggi), memiliki indera keenam mampu memprediksi apa akan terjadi di masa mendatang. Menurut mereka, salah satu prediksi Jayabaya berbunyi, ”Negarane ambane saprawalon”. Artinya, Indonesia akan terdiri dari 8 (delapan) negara bagian atau menjadi negara federal. Mengapa harus berbentuk negara federal? Alasannya adalah wilayah Indonesia terlalu luas; jumlah penduduk terlalu banyak; Pemerintah Pusat dianggap tidak mampu lagi mengurusi daerah; sehingga bentuk NKRI tidak cocok lagi; adanya tuntutan hampir semuadaerah untuk memiliki otonomi sangat luas. Tulisan ini akan mencoba mengelaborasi issue negara federal di Indonesia lebih jauh, terutama argumentasi/alasan kelompok pendukung: Mengapa Indonesia Negara Republik Indonesia semestinya menggunakan model atau sistem negara federal? Langkah pertama adalah mencoba menyajikan (1) tinjauan teoritis “negara federal”, kemudian (2) mengidentifikasi keunggulan dan kelemahan negara federal, serta (3) argumentasi/alasan beberapa pendukung model atau sistem negara federal diterapkan di Indonesia berdasarkan hasil wawancara langsung Tim Penulis (Bersambung/MUCHTAR EFFENDI HARAHAP).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda