Kamis, 10 April 2014

ISSUE NEGARA FEDERAL DI INDONESIA (BAGIAN KEEMPAT): ALASAN DAN ARGUMENTASI

Dalam pembicaraan dan diskusi publik tentang issue Negara Federal di Indonesia Kita dapat menemukan sejumlah pemerhati, pengamat, politisi dan bahkan akademisi sebagai kelompok pendukung penerapan model dan sistem Negara Federal di Indonesia. Tulisan ini akan menyajikan beragam alasan dan argumentasi kelompok pendukung dimaksud. Satu pertanyaan dasar perlu mendapat jawaban umum adalah: “Mengapa model dan sistem Negara Federal sebaiknya diterapkan di Indonesia?” Tatkala para Pendukung Negara Federal angkat bicara diIndonesia, nama Muhammad Hatta acap kali menjadi rujukan karena Proklamator ini merupakan salah seorang Tokoh Nasional mendukung penerapan model atau sistem Negara Federal di Indonesia dalam SIdang BPUPKI. Salah satu dasar gagasan Negara Federal dimaksud adalah kondisi geografi dan sosial kemasyarakatan Indonesia. Yakni Indonesia terbagi atas beberapa pulau dan golongan bangsa. Karena itu, perlu tiap-tiap golongan kecil atau besar mendapat otonomi, mendapat hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Satu-satunya dapat mengatur pemerintahan sendiri menurut keperluan dan keyakinan sendiri, asal saja peraturan masing-masing tidak berlawanan dengan dasar-dasar pemerintahan secara umum. Bagi Mohammad Hatta, Indonesia terdiri dari masyarakat majemuk, sehingga membutuhkan bentuk Negara Federal bagi Indonesia untuk mempersatukan segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia. Namun, dalam pengambilan keputusan mengenai bentuk negara di Sidang BPUPKI, Hatta mengikuti pendapat mayoritas dengan menerima bentuk Negara Kesatuan untuk Indonesia. Mengapa? Karena Hatta kalah suara dan mayoritas anggota BPUPKI lebih menginginkan bentuk Negara Kesatuan. Kecuali Mohammad Hatta, juga menjadi rujukan adalah Ide Anak Agung Gde Agung dengan era "Negara Indonesia Serikat”(1946-1949). Ide Anak Agung Gde Agung adalah putra asli pulau Bali. Mengacu pada hasil suatu hasil penelitian akademis, Ide Anak Agung Gde Agung pernah merasakan pengalaman pahit dengan penerapan sistem sentralisme pemerintahan Hindia Belanda. Federalisme yang diusung oleh Ide Anak Agung Gde Agung dalam bernegara secara esensi memiliki kesamaan dengan pandangan dari van Mook. Mereka sepakat, negara federal merupakan bentuk ideal bagi Negara Indonesia serta sama-sama menyandarkan pada konsep sintesa nasional. Namun, perbedaannya terletak pada unsur yang berpadu serta landasan filosofis yang digunakan dalam konsep sintesa nasionalnya. Dalam pandangan van Mook unsur yang berpadu dalam Negara Indonesia Serikat harus terdiri dari Belanda dengan pihak Republik. Sementara itu, dalam konsep sintesa versi van Mook dasar filosofinya mengambil dari politik etis yang menekankan pada asosiasi. Van Mook mengharapkan bahwa dengan adanya politik etik, maka akan tercipta sebuah hubungan antara Pribumi dengan pihak Pemerintah Hindia Belanda. Dalam hal ini pihak pribumi dijadikan mitra Belanda untuk membentuk tatanan Negara baru. Di lain fihak, Ide Anak agung Gde Agung berpandangan, unsur berpadu dalam Negara Indonesia Serikat harus antar Republik Indonesia dengan Bijeenkomst vor Federaale Overlage (BFO). Adapun dasar filosofi yang digunakan dalam memadukan kedua unsur tersebut adalah konsep “tri hita” karana dan “rwa bhineda”. Kedua konsep ini merupakan local genius (kearifan lokal) yang senantiasa mendarah daging bagi manusia Bali. Konsep “tri hita karana” menekankan pada harmonisasi dari berbagai unsur adalah untuk mencapai jalan kebahagian di dunia dan akhirat sementara konsep rwa bhineda menekankan pada semangat toleransi diantara sesame manusia. Kedua konsep ini sejalan dengan tindakan dan pemikiran Ide Anak Agung Gde Agung dalam mewujudkan Negara Indonesia serikat. Inti federal sama dengan inti ajaran “rwa bhineda”, menghargai perbedaan tetapi tetap berusaha melestarikan perbedaan yang ada. Pemikiran federalisme Ide Anak Agung Gde Agung telah memberikan dampak cukup besar terhadap berdirinya Republik Indonesia Serikat. Ide anak Agung Gde Agung senantiasa mendasarkan pemikirannya pada konsep sintesa nasional. Pada awal reformasi akhir tahun 1990-an, Tokoh Nasional Reformasi Amien Rais kembali melontarkan ke publik gagasan federalisme atau Negara Federal untuk diterapkan di Indonesia. Namun, gagasan federalisme ini mendapat gelombang penentangan dan kebanyakan ditolak, terutama oleh tokoh-tokoh Angkatan 45, khususnya perwira ABRI. Namun, secara sembunyi-sembunyi, tidak sedikit Daerah menghendaki adanya bentuk Negara Federal. Dengan harapan, pembangunan sosial ekonomi, pengelolaan sumber daya alam, dengan pembagian proporsional dan keadilan dapat diselenggarakan. Beberapa Daerah seperti Pemerintahan Provinsi Aceh, Papua, Riau, Kalimantan Timur secara diam-diam ”tidak” menolak pembentukan Negara Federal. Meskipun dalam perumusan legal formal, istilah federalisme tidak tampak, sesungguhnya roh federalisme tidaklah dapat ditolak ketika rumusan Pasal terkait dengan pengaturan Pemerintahan Daerah, membagi-bagi pada wilayah Provinsi, Kabupaten/Kota. Fauzi Yusuf Hasibuan adalah salah seorang Ketua Peradi (Persatuan Advokat Indonesia. Menurut Mantan Aktivis Mahasiswa 77/78 di Universitas Sumatera Utara (USU) ini, federalisme sebagai satu gagasan, tidak bisa diberikan justifikasi “salah”. Gagasan federalisme ini memang harus diuji dahulu agar kita mengetahui. Karena itu, Fauzi tidak cenderung “apriori”. Kenapa? Karena, lanjut Fauzi, sebagai seorang Amien Rais merupakan Tokoh dan Ilmuwan, gagasannya tentu tidak didasarkan kepada lontaran subjektifitas, melainkan telah dilakukan matang dengan komparasi-komparasi melihat di berbagai macam perkembangan dunia. Oleh karena itu, federalisme sebagai suatu gagasan, menurut Fauzi, harus kita apresiasi. Tidak tertutup perubahan sampai pada memberi dan menerima federalisme tanah air Indonesia ini. Jadi, bukan mutlak harus negara ini tidak berubah seperti apa. “Jika untuk perubahan baik, kenapa tidak?”, kilah Fauzi Sembari secara peribadi sepakat, apabila gagasan itu baik dan mungkin untuk dilakukan, maka tidak tertutup kemungkinan. Selanjutnya, Ichwan Azhari adalah Sejarawan dan Dosen Universitas Negeri Medan (Unimed), Sumatera Utara. Ia senada dengan Fauzi Yusuf Hasibuan dalam menanggapi gagasan federalisme Amien Rais. Pada saat orang tidak berani mendiskusikan Negara Federal, Amien Rais malah tampil dan menyatakan bahwa Indonesia harus menjadi Negara Federal. Gagasan Amien Rais tentang Negara Federal mempesona Ichwan Azhari. Gagasan ini ke depan akan menjungkir-balikkan Negara Kesatuan. NKRI bukan kitab suci sekarang sepertinya tidak boleh diganti. Siapapun mengatakan NKRI harga mati, Itu sudah bertentangan dengan Sunatullah. Mereka menentang hukum alam, tidak ada NKRI harga mati, tidak betul itu. Bagi Ichwan, Indonesia ke depan harus Negara Federal, bukan Negara Kesatuan yang dikontrol oleh Pusat. Alasannya adalah Indonesia begitu luas untuk ditentukan oleh segelintir orang di Senayan. Orang-orang ini mengaku Wakil dari Daerah-Daerah, tetapi sebetulnya mereka bukan orang-orang mengenal Daerah. Contohlah seorang anggota DPR dari Sumatera Utara, baru muncul di Sumatera Utara ketika mau Pemilu. Dia bukanlah tokoh datang dari kita. Jadi, Senayan tidak mewakili. Sekali lagi Indonesia ditentukan oleh perundang-undangan dihasilkan oleh Senayan mengatasnamakan Indonesia. Jadi indonesia direduksi oleh orang pintar dari Senayan. Lebih jauh Ichwan Azhari menilai, Daerah belum cocok dipaksakan juga dengan model Pemilihan Kepala Daerah secara langsung. Tidak pernah ditanya ketika Undang-Undang tentang Politik dibuat di Daerah. Tetapi, kemudian Ichwan kecewa dengan Amien Rais. “Mengapa Amien Rais begitu populis dengan gagasan Negara Federal, tiba-tiba menghilang?”, tanya Ichwan Sembari menekankan cerita mengenai Negara Federal lenyap dalam text books Amien Rais. Sesuatu yang sangat disesalkan. Menurut Alumnus dari negeri Jerman ini, kalau memang belum bisa dilakukan sekarang tidak apa-apa, tetapi Amien Rais harus menyatakan, yang ideal untuk Indonesia. Jadi, perlu dikaji. Pertama, mengapa gagasan Negara Federal sayup-sayup? Jika itu merupakan gagasan kita anggap sebuah gagasan brilian, seharusnya sebuah gagasan itu dihidupkan baik oleh Amien Rais maupun kader-kadernya. Bagi Ichwan, penting sekali untuk ditelaah ulang tentang gagasan negara federal. Kita memerlukan orang seperti Amien Rais yang kemana-mana berteriak. Jawahir Thontowi adalah Guru Besar Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, dan juga Mantan Anggota Komisi Konstitusi MPR-RI. Menurut Jawahir Thontowi, sistem politik semula sangat sentralistik berubah menjadi desentralisasi telah menunjukan adanya jalan tengah antara pro dan anti-federalisme. Argumentasinya adalah Pasal 18 ayat (5) UUD 1945, Pemerintahan Daerah menjalankan Otonomi Daerah seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan oleh Undang-undang ditentukan sebagai Urusan Pemerintah Pusat. Pasal tersebut, dengan jelas menyatakan, dalam menjalankan Otonomi Daerah seluas-luasnya berarti bahwa Pemerintahan Daerah memiliki hak dan wewenang yang luas, sepanjang tidak bertentangan dengan urusan Pemerintahan pusat, urusan luar negeri, keamanan dan pertahanan, keuangan dan perpajakan, keagamaan dan penegakan hukum. Begitu juga kandungan Pasal 18A ayat (1) UUD 1945 telah memberi tempat fleksibel, kekhususan dan keragaman memiliki kepastian hukum untuk dilindungi. Pada hakikatnya bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan. Lebih dari itu, Pasal 18B ayat (1), Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintahan Daerah bersifat khusus atau bersifat istimewa diatur dengan Undang-undang. Ketiga pasal tersebut, menunjukan adanya kepastian hukum bagi keberadaan bentuk dan sifat Pemerintahan Daerah beraneka ragam. Keberadaan Pemerintah Provinsi Khusus Aceh Darussalam, Pemerintah Provinsi Khusus Papua, dan juga Pemerintah Daerah Istimewa adalah tiga corak Pemerintahan Daerah berbau federalisme. Selanjuitnya penilaian tentang Negara Federal datang dari Tachir Kasnawi, Guru Besar Fisip Universitas Hasanudin,Makassar. Tachir mengakui, Amien Rais secara lantang menyatakan, paling tepat Indonesia sebagai negara federal. Pemikiran Beliau sebetulnya ingin mengatakan bahwa jangan penyelenggaraan kehidupan berbangsa ini terpusat. Politik pembangunan tidak merata karena hanya melihat dari kacamata Pusat yang sangat hegemonik. Sebagai kompromi pemikiran Amien Rais tentang Negara Federal, lahirlah Undang-Undang tentang Otonomi Daerah. Namun, menurut Tachir Kasnawi, ada persoalan. Yakni Otonomi Daerah dipraktekkan cepat. Banyak Daerah bergolak, Papua mau merdeka, Aceh mau merdeka. Otonomi Daerah tidak diikuti dan dijalankan dengan kesiapan peranata sosial politik di Daerah sendiri. Selama ini sangat sentralisitik. Begitu dikasih otonomi langsung disambut dengan euphoria, dilaksanakan secara liar di Daerah. Muncul Raja-Raja kecil. Kita mungkin harus menyusun dulu peranata sosial, baru menerapkan Undang-Undang tentang Otonomi Daerah. Bagi pandangan Tachir, demokrasi di Indonesi sudah seperti di Amerika. Terjadi “money politics” bahkan sudah terbiasa dengan menggantung ke atas tiba- tiba lepas gantungannya, turun sendiri menjadi liar di bawah. Mahfud MD adalah Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Guru Besar Ilmu Hukum ini berkesimpulan bahwa negara besar umumnya Negara Federal. Indonesia memilih Negara Kesatuan. Karena itu, demokrasi harus ditunjang melalui Otonomi Daerah. Tidak bisa kalau di Negara Kesatuan tidak ada Otonomi Daerah karena akan muncul problema sama pada saat zaman Orde Baru lagi. Daerah tidak berdaya tetapi seperti api dalam sekam. Jadi pilihannya Otonomi Daerah diperluas sudah bagus. Tinggal bagaimana kita mengelolanya. Seingat Mahfud MD, Amien Rais membawa issue federalisme karena federalisme masuk ke dalam platform PAN. Pada waktu itu Mahfud ikut menyusun platform PAN. Bahwa PAN mewacanakan Negara federal sebagai pengganti negara kesatuan. Dari mana gagasan itu dan apa alasanya?. Seingat Mahfud, gagasan itu muncul dari sebuah Seminar di Kampus UGM dilaksanakan Pusat Studi Pedesaan dan Kawasaan UGM, dipimpin oleh Lukman Soetrisno. Kesimpulannya begini. Mumpung ini reformasi, Indonesia sedang mencari format baru, maka harus berfikir negara federal. Yang menjadi pembicara waktu itu adalah Romo Mangunwijaya dengan kata-kata begini: “Kalau Indonesia tidak mengubah diri menjadi Negara Federal, maka pada tahun 2045 Indonesia bisa bubar”. Lalu, Mangunwijaya menceritakan Negara Federal bertentangan dengan Negara Kesatuan. Tetapi, Negara Federal memperkuat Negara Persatuan. Kesatuan dan Persatuan itu berbeda ! Coba lihat negara Amerika. Negara Federal persatuannya lebih kuat daripada negara kesatuan. Persatuan mereka sangat kuat dan kokoh. Berbeda dengan Negara Kesatuan, malah pecah. Persatuan bisa muncul di Negara Kesatuan dan Negara Federal. Selanjutnya Mahfud mengajukan argumentasi, Negara-negara besar pada waktu itu seperti Amerika dan Jerman adalah Negara Federal sementara negara Filipina sebagai Negara Kesatuan pecah dengan Morro di Selatan. Indonesia Negara Kesatuan terancam pecah dengan Papua Merdeka. Ada berbagai gerakan separatis. Sehingga disimpulkan, tidak apa-apa Negara Federal saja. Itu kemudian masuk ke platform PAN. Mahfud menilai, karena Amien Rais orang konsisten lalu kampaye kemana-kemana. Mari kita pikirkan Negara Federal. Disitulah dia mengungumumkan secara resmi Negara Federal. Namun kemudian diserang oleh semua tokoh politik terutama Megawati dan Akbar Tanjung, Dia diserang ramai-ramai sampai akhirnya dia tidak kuat menjelaskan kalau orang tidak mengerti juga, PAN akan menarik gagasan itu. Ini negara demokrasi. Kalau orang tidak setuju ya sudah! Setelah itu, lanjut Mahfud, Amien Rais tidak pernah berbicara tentang Negara Federal. “Sebenarnya kalau kita melihat otonomi Daerah sekarang ini, ya itu gagasan Negara Federal. Otonomi Daerah sekarang kan begitu luas dan Pemerintah hanya mempunyai lima urusan. Yang biasa di Negara Federal adalah empat urusan, yakni: (1) Urusan keuangan; (2) Urusan peradilan; (3) Urusan pertahanan & keamanan; dan (4) Urusan hubungan luar negeri” Bagi Mahfud, Negara Federal di seluruh dunia menguasai empat urusan ini. Tetapi di Indonesia ditambah satu yaitu Urusan Agama. Agar tidak pecah, agama dipusatkan. Itu sebenarnya gagasan yang ada di federalisme dulu. Namanya tidak Negara Federal. Itulah sebabnya, lanjut Mahfud, menjadi lucu ketika kepada Gus Dur diberitahu. “Gus, Amien Rais mengkhendaki Negara Federal”. Kata Gus Dur, ”Itu masuk akal karena Negara Federal bagus lebih demokratis. Dengan Federal demokrasi lebih tumbuh.” Kemudian dilanjutkan, “Itu gagasan Amien Rais tetapi Megawati tidak setuju, dengan alasan bisa memecah belah bangsa, padahal tidak”. Kata Gus Dur, “ Ya kita ambil jalan tengah. Namanya Negara Kesatuan tetapi isinya Federal.” Itulah yang terjadi sekarang ini dengan Otonomi Daerah. Selanjutnya Mahfud menekankan, pertentangan antara Amien Rais menghendaki Negara Federal tidak disetujui oleh Megawati lalu diambil jalan tengah oleh Gus Dur dengan Otonomi yang diperluas. “Tentu penggagas ini banyak, antara lain Prof. Ryass Rasyid dll.”, ujar Mahfud. Suara Pendukung Negara Federal lain datang dari Qashim Mathar, Guru Besar Universitas Islam Negeri Makassar, Sulawesi Selatan. Mantan Aktivis Mahasiswa 1977/78 ini berharap gagasan Negara Federal jangan menjadi hilang. Baginya, masih cukup usianya untuk melihat bahwa kita beruntung mempunyai Negara Federal. Karena sesungguhnya keinginan bahwa Daerah itu mengolah kekayaannya sendiri itu. Ada pada sanubari setiap Daerah. Mungkin Yogyakarta juga ingin diberi kekuatan tetapi tidak dimiliki karena dia setengah Kerajaan. Rajanya menjadi Gubernur untuk memelihara kebudayaannya. Sebenarnya hal seperti itu ada pada semua Daerah, termasuk kekayaan alam, sama di Papua. Di lain fihak, Ryaas Rasyid, Mantan Menteri Negara Otonomi Daerah, menilai bahwa konsep federalisme dilemparkan pada waktu tidak tepat. Alasannya, karena ketika itu kita sedang ingin mengganti Rezim. Jika bersama itu kita lihat para federalisnya mengarah pada perpecahan, mengarah pada kontroversi. Itulah masalahnya. Bagi Guru Besar Ilmu Pemerintahan ini, federalisme adalah masa depan. Tidak perlu dibicarakan, tidak perlu dilakukan Amien Rais. Ketika itu Ryass melawan pendapat tentang federalisme. Kemudian Ryass menemukan solusinya yaitu Otonomi Daerah, bukan federalisme. Ryass juga mengakui Otonomi Daerah sekarang “kebablasan”. Tetapi Otonomi Daerah mengalami distorsi hanya di dua bidang. Distorsi pertama dari Otonomi Daerah adalah pemekaran-pemekaran tidak terkendali, mengakibatkan biaya operasional Pemerintahan membengkak dan jumlah pegawai juga membengkak. Distorsi kedua adalah Pilkada secara langsung. Hal tersebutlah mendistorsi Otonomi Daerah. Apa terjadi adalah Pilkada secara langsung tidak menghasilkan Pemimpin lebih baik. Ketika Pemimpin itu masuk kemudian terjadi korupsi dan salah kepengurusan sehingga seolah-olah otonomi Daerah gagal. “Sesungguhnya sistem rekruitment-nya yang gagal, yaitu Partai politik”, kilah Ryass Sembarai menekankan, karena sistemnya mengatur siapa boleh menjadi Calon, seperti misalnya Julia Perez hampir saja menjadi Calon Bupati Pacitan. Syamsudin Mahmud adalah Mantan Gubernur Daerah Istimewa Aceh dan Guru Besar Universitas Syah Kuala, Aceh. Ia adalah seseorang berpendapat bahwa Indonesia harus Negara Federal. Ia setuju kalau Indonesia merupakan Negara Federal bukan karena Amien Rais. “Saya senang sekali sebagai orang Indonesia ketika saya di luar negeri. Tetapi, ketika saya di indonesia saya senang sekali menyebut diri saya orang Aceh. Negara ini adalah negara persatuan, bukan kesatuan. Hal itu sesuai dengan Sila Ketia Pancasila, yakni Persatuan Indonesia.” Terkait dengan Sila Ketiga Pancasila (Persatuan Indonesia) ini, suatu sumber lain menyajikan penilaian Pakar Politik Zainuddin Isman dari Universitas Muhammadyah Pontianak, Kalimantan Barat. Bagi Zainuddin Isman, Sila Ketiga Pancasila, yakni “Persatuan Indonesia” dan “Bineka Tunggal Ika”, hanya ada di dalam konsep dan pemahaman Negara Federal, bukan dalam pemahaman Negara Kesatuan. Hal ini dipertegasnya saat menanggapi penyelenggaraan Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan oleh Fraksi PDIP-MPR di Desa Suli, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, 26 Mei 2013. Bagi Zainuddin Isman, Empat Pilar Kebangsaan sudah salah kaprah. Ia pun berharap, masyarakat jangan disuguhkan oleh sebuah pemahaman ketatanegaraan sangat keliru dan tidak sinkron satu sama lain. Menurut Zainuddin Isman, UUD 1945 hasil Amendemen Keempat di mana ditegaskan bentuk negara Indonesia adalah NKRI bertolak belakang dengan pemahaman Sila Ketiga Pancasila, yaitu “Persatuan Indonesia”, yang artinya Indonesia berbentuk Negara Federal. Persatuan, lanjut Zainuddin, artinya Federalisme, sedangkan Unitarisme barulah artinya Kesatuan. “Bineka Tunggal Ika” atau “beraneka ragam, tetapi satu” hanya ada di dalam konsep Negara Federal. Di dalam Negara Kesatuan, terjadi penyeragaman sehingga semua permasalahan tatanan ketatanegaraan terpusat, sentralistik, bertolak belakang dengan konsep federalisme yang menghargai keberagaman. “Kalau memang MPR konsisten dengan bentuk Indonesia adalah Negara Kesatuan sebagaimana digariskan di dalam UUD 1945 hasil Amendemen Keempat, berarti mesti pula mengubah Sila Ketiga dari Pancasila, yakni “Persatuan Indonesia” menjadi “Kesatuan Indonesia,” kata Zainuddin. Akan tetapi, kalau bunyi Sila Ketiga Pancasila diubah, diamendemen, berarti secara otomatis Indonesia akan bubar karena tidak ada lagi alat perekat akan keberagamaan atau Bineka Tunggal Ika. Zainuddin kemudian menegaskan, banyak kalangan sudah mendesak agar bentuk negara Indonesia sebaiknya diubah menjadi Negara Federal. Mengapa? Karena sebagai negara kepulauan terluas dan terbesar di dunia, dihuni 240 juta jiwa, meliputi 1.128 suku bangsa, tersebar di 17.408 pulau, menggunakan 746 bahasa Daerah. Keberagamaan bangsa Indonesia sangat kaya, mustahil kalau tetap saja dipaksakan Indonesia dalam bentuk Negara Kesatuan. Zainuddin kemudian berargumentasi, disintegrasi bangsa sekarang tengah terjadi di Papua, Aceh, Maluku dan sekarang ada benih-benihnya di Kalimantan, karena pemaksaan terhadap bentuk Negara Kesatuan. Itu karena keberagaman hanya ada di bentuk Negara Federal, sudah tidak dihargai lagi oleh Negara. Konflik etnis dan agama intensitasnya terus meningkat. Pemaksaan kehendak Indonesia dari federasi menjadi NKRI sejak 17 Agustus 1950, pada dasarnya hanya lantaran persaingan internal dan konflik pribadi antara Menteri Pertahanan Hamengku Buwono IX didukung Presiden Soekarno dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan Sultan Hamid II, Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB). Sultan Hamid II (konon Perancang Lambang Garuda Pancasila, red.) selaku Ketua Bijeenkomst Voor Federaal Overleg (BFO) atau Perhimpunan Musyawarah Negara-negara Federal, sejak awal memang dipersiapkan sebagai perpanjangan tangan Belanda di Indonesia untuk proses memerdekakan Indonesia. Namun Presiden Soekarno, Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono IX, sangat anti-Belanda sehingga terjadi pemberontakan di sejumlah Daerah memicu agresi militer Belanda selama dua kali secara besar-besaranm sebagai aksi balasan. Perlu diingat, lanjut Zainuddin, berdasarkan sikap resmi Belanda pada 10 Februari 1946, Belanda sendiri akan mendaftarkan Indonesia di PBB dalam bentuk sebuah Negara Persemakmuran. Thaha Alhamid adalah adalah Sekretaris Jenderal Dewan Presidium Papua. Sebagai orang dari Daerah Papua, Thaha Alhamid melihat satu gebrakan reformasi langsung dirasakan, yakni munculnya sebuah gagasan tentang federalisme. Ini sekaligus mengingatkan kita pada pandangan Mohammad Hatta di awal kemerdekaan. Saat itu respon dari Daerah luar biasa. Karena dengan begitu, lanjut Thaha, InsyaAllah Daerah bisa mengelola sumber-sumber alamnya, dan bermanfaat sebesar-besarnya untuk rakyat. Hal tersebut menjadi harapan yang besar sebenarnya. Selanjutnya Thaha Alhamid menegaskan, gagasan federalisme luar biasa. Gagasan tersebut baik dan menjadi harapan bagi banyak orang, banyak teman di Daerah terutama di Daerah-Daerah dikenal sebagai Daerah “sapi perah” seperti Aceh, Papua, Kalimantan, dan Riau. Selama bergabung dengan Indonesia, Jakarta gagal mengIndonesiakan orang Papua. Jakarta paling sukses mengIndonesiakan emas Papua, hutan Papua, minyak Papua dan seterusnya. Thaha Alhamid kemudian percaya, gagasan federalisme menjawab problem bangsa ini, tetap di pelataran Indonesia, di atas kapal Indonesia, tetapi dengan plat form ketatanegaraan berbeda. Gagasan federalisme bisa menjawab keadilan. Federalisme adalah “sunatullah” atau “hukum Tuhan”. NKRI ini kesatuan historis, tidak ada gunung Indonesia, tidak ada laut Indonesia. Sayangnya, ujar Thaha, gagasan besar dan bagus tersebut hanya mengalir sejenak. Hanya numpang lewat saja. Jika saja waktu itu gagasan diterima, Thaha Alhamid percaya, konflik-konflik di Daerah terselesaikan.(Bersambung/MUCHTAR EFFENDI HARAHAP)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda