Rabu, 06 Maret 2013

KEGAGALAN REZIM SBY-BOEDIONO: OTONOMI DAERAH

Rezim SBY-Boediono berjanji dalam kampanye Pilpres 2009 akan meningkatkan otonomi daerah dan pemerataan daerah. Sebagian Pemda bisa melaksanakan amanat konstitusi meningkatkan taraf hidup rakyat, menyejahterakan rakyat, dan mencerdaskan rakyat. Berdasarkan data, 20 % Pemerintah Daerah (Pemda) mampu menyelenggarakan otonomi daerah dan berbuah kesejahteraan rakyat di daerah. Namun, masih 80 % Pemda dinilai belum berhasil menjalankan visi, misi dan program desentralisasi. Dalam kenyataannya, pendidikan dan pengalaman dimiliki DPRD masih di bawah rata-rata dan masih sangat terbatas . Rata- rata DPRD tidak dibekali dengan pendidikan dan pengelaman cukup di bidang pemerintahan. Hal ini sangat berpengaruh dalam penyelenggaraan otonomi daerah Dari sisi perilaku korupsi Kepala Daerah, sebagai contoh di Propinsi Jawa Tengah, selama tahun 2011 terdapat kasus korupsi ditangani Polda Jateng: tercatat 78 kasus dengan 86 tersangka. Polda mengklaim telah menyelamatkan kerugian negara sebanyak Rp 34.612.637.000. Jumlah tersebut naik sekitar 143 persen dari tahun 2010 yang berjumlah 32 kasus. Jumlah tersangka pada tahun lalu pun kalah jauh yang hanya berjumlah 31 orang dengan kerugian negara Rp. 23.693.274.000 (Suara Merdeka, 13/12/2011) Secara nasional tahun 2004-2011 Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat, terdapat 158 kasus korupsi menimpa Kepala Daerah, terdiri atas Gubernur, Bupati, dan Wali kota. Sementara periode tahun 2008-2011, sedikitnya terdapat 42 anggota DPR terseret kasus korupsi (Republika, 5/12/2011). Rakyat merasa sayang bila APBD dan APBN selalu defisit, namun kesejahteraan rakyat tidak terasakan oleh rakyat di daerah. Karena itu, pasti ada penyimpangan dalam pelaksanaan otonomi daerah sedang berjalan. Otonomi digadang-gadang sebagai solusi kesejahteraan rakyat di daerah, sebaliknya menjadi buah simala kama menelan korban kader-kader terbaik rakyat di daerah. Menjerat Kepala Daerah sebagai kader terbaik di daerah terjerat kasus korupsi sangat menyedihkan dan memprihatinkan. SBY sendiri mengakui, hanya sekitar 20 persen dari seluruh daerah hasil pemekaran berhasil mencatatkan kisah sukses itu. Angka ini sebelum Rezim SBY-Boediono melakukan moratorium setahun terakhir. Selebihnya, gagal mencapai tujuan hakiki pemekaran karena kemudian terjadi salah urus. Sebagian besar Pemda (baru) itu terbukti justru sibuk dengan proyek-proyek mercu suar sehingga lupa akan kesejahteraan masyarakat. Ada malah bertengkar sendiri, bersengketa tentang perbatasan, atau malah ada kebingungan karena baru menyadari 85 persen wilayah berstatus hutan lindung tidak bisa dipakai begitu saja. Pada tahun 2011, Rezim SBY-Boedionomengumumkan hasil evaluasi penyelenggaraan otonomi daerah. Pada 399 kabupaten telah dievaluasi dua tahun terakhir, terdapat 10 Kabupaten terbaik. Di antara 10 kabupaten terbaik itu, 70% berada di wilayah Pulau Jawa. Sisanya, 30% mewakili Indonesia Bagian Timur atau di luar Pulau Jawa. Kesepuluh Kabupaten dimaksud adalah Jombang, Bojonegoro, Sragen, Pacitan, Buleleng, Karanganyar, Kulonprogo, Enrekang, Luwu Utara dan Bualemo. Jika dicermati lebih dekat, tiga Kabupaten berada di luar Pulau Jawa diwakili masing-masing oleh Kabupaten Enrekang (Provinsi Sulawesi Barat), Luwu Utara (Provinsi Sulawesi Selatan) dan Kabupaten Bualemo (Provinsi Gorontalo). Lalu, bagaimana dengan evaluasi penyelenggaraan otonomi daerah di wilayah perkotaan? Dari total 98 kota di Indonesia, 90% penyelenggaraan otonomi terbaik berada di Pulau Jawa, sisanya 10% berada di wilayah kota luar Jawa. Kota-kota tersebut adalah Surakarta, Semarang, Banjar, Yogyakarta, Cimahi, Probolinggo, Mojokerto, Sukabumi, Bogor dan Sawahlunto. Satu-satunya kota terbaik di luar Pulau Jawa diwakili oleh Kota Sawahlunto, Provinsi Sumatera Barat. Pertanyaannya, dimanakah posisi Kabupaten dalam percaturan penyelenggaraan otonomi daerah dewasa ini? Baru-baru ini Rezim SBY-Boedionomengatakan bahwa mayoritas daerah yang menerapkan otonomi daerah justru mengalami kegagalan. Tugas pelayanan publik dan upaya mendekatkan pembangunan terhadap masyarakat di daerah ternyata mengalami kegagalan. Padahal, dari awal otonomi daerah dimaksudkan untuk membangun dan membangkitkan potensi daerah dalam rangka mengejar ketertinggalan dan keterbelakangan. Namun kenyataannya bahwa otonomi daerah justru kehilangan tujuan awalnya. Menurut hasil evaluasi Kemendagri, sebanyak 205 Kabupaten dan Kota hasil pemekaran memiliki kinerja yang rendah. Pemerintah Kabupaten dan Kota baru hasil pemekaran sejak 1999 hingga 2009 tidak mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menyelenggarakan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), meningkatkan pelayanan publik dan berdaya saing rendah. Menurut evaluasi itu, tidak ada Propinsi, Kabupaten dan Kota meraih skor di atas 65,00. Hanya dua Kota memperolaeh skor diatas 60 dari nilai tertinggi 100, yaitu Kota Banjar Baru di Kalimantan Selatan dan Kota Cimahi Jawa Barat. Sisanya Kabupaten dan Kota memperoleh skor merah atau angka nol. Kegagalan Otonomi Daerah (Otda) dapat dilihat dari beberapa indikator. Sekitar 10 % dari 525 daerah atau 33 Propinsi, 398 Kabupaten dan 93 Kota mampu memberikan pelayanan publik terbaik atau sekitar 90% pelayanan publik buruk. Pada sektor kesejahteraan juga mengalami tekanan. Sekitar 31,02 juta penduduk Indonesia miskin. Penyerapan tenaga kerja juga menjadi tantangan Rezim SBY-Boediono. Hingga tahun 2010 BPS mencatat terdapat 8,59 juta jiwa penganggur terbuka. Potret ini telah menjadikan indikator gegagalan penyelenggaraan pemerintahan daerah bertujuan mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat. Dari sisi opini publik, Litbang “Kompas”, 12-14 November 2012, melakukan jajak pendapat dengan 716 responden berdomisili di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Solo, Semarang, Surabaya,Palembang, Medan, Makassar, Manado, Pontianak, Banjarmasin dan Denpasar (Kompas, 19 November 2012). Jajak pendapat “Kompas” menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak puas dengan kinerja Pemda dalam menyelenggarakan kehidupan politik yang demokratis (56,8%); memajukan perekonomian daerah (57,0%); mengelola kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyat (61,2 %); dan, mengatasi konflik social (56,1 %). Di lain fihak, hasil survei JSI (jaringan Suara Indonesia) pada 10-15 Oktober 2011 dengan 1.200 responden menunjukkan, hanya 32,2% menilai bahwa pemerataan pembangunan di daerah telah meningkat.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda