Senin, 18 Februari 2013

KEGAGALAN REZIM SBY-BOEDIONO: PERTAHANAN DAN KEAMANAN

Rezim SBY-Boediono berjanji dalam kampanye Pilpres 2009 akan membuat kemampuan pertahanan dan keamanan terus ditingkatkan seperti pengadaan dan modernisasi alustista TNI/Polri. Khusus bidang pertahanan, memang terdapat peningkatan anggaran mencapai 36 % pada RAPBN 2012. Untuk pertama kalinya semenjak 1962, anggaran pertahanan tahun 2012 menjadi nomor satu, dengan jumlah menjadi Rp 64,4 triliun–mengalahkan anggaran Kementerian PU (Rp 61,2 triliun) dan Kementerian Diknas (Rp 57,8 triliun). Sekadar perbandingan, pada tahun APBN Perubahan 2011, Kementerian Pertahanan (Kemenhan) mendapatkan anggaran Rp 47,5 triliun. Bahkan, pada 2013 akan dialokasikan sekitar Rp77 triliun Sebagai gambaran, pada 2009 naik menjadi Rp33,67 triliun. Kemudian pada 2012 ini naik menjadi Rp72,54 triliun dan pada 2013 akan mengalokasikan sekitar Rp77 triliun. Gambaran ini menunjukkan peningkatan secara signifikan dibanding tahun 2009 dan 2012. Sebuah sumber dari Kemenhan menunjukkan, jika angka anggaran dibandingkan dengan PDB (Produk Domestik Bruto), angaran pertahanan Indonesia tergolong paling rendah di bandingkan negara-negara Asia Tenggara (ASEAN). Sejak 2000, alokasi anggaran pertahanan rata-rata per tahun masih di bawah 1 % PDB. Sementara, negara-negara Asia Tenggara lain memiliki anggaran pertahanan di atas 2 % PDB. Alokasi anggaran di bawah 1 % PDB akan menyulitkan pembangunan kekuatan pertahanan memadai. Bahkan untuk membangun kekuatan minimal sekalipun. Selama lima tahun terakhir, anggaran pertahanan mencapai Rp. 14,27 triliun per tahun. Angka itu kira-kira 0,88 %PDB rata-rata per tahun atau kira-kira 4,29 % APBN rata-rata per tahun. Perubahan mulai mengambil tempat. Di dalam Rencana APBN 2005, Dephan mengajukan rencana anggaran belanja pertahanan sebesar Rp. 45,028 triliun, kemudian terealisasi sebesar Rp. 21,997 triliun. Dibandingkan tahun sebelumnya, anggaran pertahanan naik 2,59 persen. Ideal alokasi anggaran pertahanan 2005-2006 adalah dua %dari PDB. Artinya, sekitar 11 %dari APBN atau bernilai Rp. 51,17 triliun. Diharapkan, tiga sampai 15 tahun ke depan, anggaran pertahanan meningkat menjadi 3,86 %dari PDB, atau Rp. 98, 77 triliun. Kecilnya anggaran pertahanan, tidak lepas dari ketidak-mampuan peningkatan pendapatan negara mengimbangi peningkatan pengeluaran negara. Berdasarkan Sumber Tempo.co.id, perbandingan persentase anggaran pertahanan masing-masing negara di Asia Tenggara dan sekitarnya, terhadap PDB dan APBN sebagai berikut: 1.Australia 2,3 % PDB dan 7,13 % APBN; 2. Brunei 6,9 % dan 17,96 %; Filipina 2,2 % dan 19,88 %; 4. Malaysia 4 % dan 9,08 %; 5. Thailand 2,8% dan 15,04%; 6. Singapura 5,2% dan 20,97%; 7. Indonesia 1,07% dan 5,72%. Namun, ada penilaian kritis bahwa alokasi anggaran Kementerian Pertahanan sebesar Rp77 triliun dinilai belum signifikan bagi modernisasi alat utama sistem senjata (alutsista). Soalnya sekitar 50 %anggaran akan diserap belanja pegawai. Pegawai di bawah Kemenhan ada 460 ribu, terdiri dari militer dan nonmiliter. Tapi, ini lebih rendah dari kepolisian. Tingginya alokasi belanja pegawai membuat pos untuk belanja modal dan barang (alutsista) otomatis terbatas. Padahal untuk mencapai target minimum "essential force" (kekuatan pokok minimum/MEF), dibutuhkan dana besar. Menurut Sekretaris Jenderal Kemenhan Marsdya TNI Eris Herryanto, meski secara alokasi anggaran terbesar, namun sebetulnya ketika di-'breakdown' jumlahnya masih normal. "Memang ada peningkatan tapi tidak siginifikan dalam rangka percepatan 'minimum essential force' (MEF). Dari Rp17 triliun pagu untuk Kemenhan Rp5 triliun di antaranya digunakan untuk pembayaran uang muka pembelian alutsista. Pasalnya, alutsista sudah ditetapkan sejak dua tahun dan sudah ada penetapan sumber pembiayaan. Di lain fihak, Pengamat militer Universitas Muhammadiyah Malang, Muhadjir Effendi, menilai bahwa anggaran pertahanan saat ini belum ideal, meski sudah ada kenaikan cukup signifikan. Kebutuhan anggaran pertahanan paling tidak juga harus bisa memenuhi kebutuhan umum minimal, tingkat kebutuhan peningkatan kesejahteraan perajurit dan memodernisasi alutsista bisa seimbang. Anggaran pertahanan saat ini baru sekitar lima %dari APBN. Paling tidak untuk mendekati ideal antara 8-10 persen, seperti anggaran untuk kesehatan 10 persen, dan pendidikan 20 persen. Kenaikan anggaran pertahanan dari Rp 64 triliun menjadi Rp 77 triliun pada tahun 2013, ada perkembangan positif dalam skema pembenahan dunia militer di Tanah Air. Porsi kenaikan sebesar itu harus dibagi secara adil. Artinya, porsi peningkatan kesejahteraan prajurit dan memodernisasi alutsista harus adil (proporsional). Singapura meski berpenduduk sekitar 4 juta orang, anggaran militernya merupakan terbesar di antara negara anggota ASEAN, dan teknologi militer termaju. Berdasarkan RENCANA ANGGARAN PERTAHANAN NEGARA-NEGARA ASEAN TAHUN 2013, urutan sebagai berikut 1. Singapura (12.6 miliyar US$ atau Rp. 108 Triliun); 2. Indonesia (8.2 miliar US $ atau Rp.76,5 triliun);3. Thailand (5,7 miliar US $ atau Rp 49 triliun); 4. Malaysia (4.5 miliar US $ atau Rp. 41 triliun): 5. Vietnam (3.5 miliar US $ atau Rp. 34 triliun); 6. Filipina (3.1 miliar US $ atau Rp. 28 triliun); 7. Kampuchea (1.7 miliar US $ atau Rp 15 triliun); 8. Brunei (600 juta US $ atau Rp. 5.4 triliun) ;dan, 9. Laos (400 juta US $ atau Rp. 3.6 trilun). Singapura sejak 1970 mengalokasikan rata-rata 6% PDB untuk pengeluaran pertahanan. Pada 1998, belanja militer Simgapura naik dari Sin$6,1 miliar menjadi Sin$7,3 miliar. Negara Kota ini memiliki lebih dari 200 pesawat tempur modern. Sedangkan anggaran pertahanan Indonesia turun dari US$4,8 miliar menjadi US$1,7 miliar pada 1998, dan hampir 60% anggaran itu untuk memenuhi kebutuhan personil. Singapura juga memiliki hubungan militer erat dengan AS dan Israel, dua negara memiliki teknologi militer paling maju di dunia. Setelah AS keluar dari pangkalan di Filipina, Singapura-AS menandatangani kesepakatan memungkinkan armada dan pesawat AS menggunakan fasilitas militer di Singapura untuk perbaikan, pengisian logistik dan pengisian bahan bakar. Singapura juga bisa menggunakan fasilitas militer di Australia, Israel, Thailand, Taiwan, Brunei, dan AS. Di bidang keamanan, ditandai dengan gangguan keamanan dalam negeri. Kekerasan terjadi di mana–mana, telah melibatkan berbagai kalangan masyarakat. Sasarannya, bahkan sudah aparat keamanan itu sendiri. Apa terjadi di Kebumen dan juga di Cirebon, mengindikasikan, bahwa keberanian masyarakat tidak lagi mempertimbangkan keamanan diri sendiri. Mereka bahkan, bersedia mempertaruhkan jiwa seperti korban bentrok antar warga di lokasi kejadian Desa Sidoreno Kecamatan Waypanji, Lampung Selatan (April 2012). Maraknya konflik pertanahan antara masyarakat asli dan pihak perusahaan beroperasi dalam bisnis kehutanan di berbagai wilayah Indonesia, tidak hanya terjadi di wilayah-wilayah kaya sumber daya, seperti di Sumatra dan Kalimantan. Menurut sumber Perhutani, konflik serupa, bahkan masih terjadi di pulau Jawa memiliki varian bisnis tinggi. Potensi tenurial di Pulau Jawa, diperkirakan bertambah hingga 92.000 hektar tahun 2012 ini. Kasus tenurial rawan terjadi di sejumlah kawasan hutan dikelola perusahaan milik negara, Perhutani, seperti di Cilacap, Boyolali, Blitar, Malang, Kraksaan, Lumajang, Bondowoso, jember, Bogor, dan Indramayu. Kecenderungan konflik akan terus terjadi apabila langkah akuisisi dan inventarisasi aset tidak segera dituntaskan. Hampir sebagian besar hutan dihuni masyarakat adat banyak terjadi pengusiran atau sengaja dipaksa meninggalkan hutan disertai tindakan kekerasan dilakukan aparat negara dan pihak swasta untuk dijadikan hutan negara. Dalam sepuluh tahun terakhir ini berbagai konflik seputar perebutan tanah adat banyak bermunculan. Hal ini disebabkan karena belum adanya batas-batas lahan jelas dan tegas. Tak hanya itu, pembukaan lahan untuk kepentingan industri baik pertambangan maupun perkebunan turut menjadi pemicunya. Masyarakat adat di berbagai wilayah Indonesia tidak hanya dihadapkan pada konflik perebutan lahan. Mereka pun juga dihadapkan posisi mereka juga semakin terpinggir di tengah modernisasi. Sengketa lahan antara petani dengan pengusaha selalu saja berujung pada tragedi memilukan. Tidak sedikit korban meninggal dan mendapatkan perlakuan tidak manusiawi, sebuah tragedi kemanusiaan dilakukan hanya karena Negara memberi ruang terhadap para pelaku kekerasan. Kita masih ingat kasus Mesuji, Lampung, dimana telah terjadi pembantaian sangat keji, manusia menuntut haknya dijadikan korban dan diperlakukan sangat tidak masuk diakal. Kasus Mesuji, Lampung sebenarnya sudah menjadi sebuah peringatan akan terjadinya peristiwa besar kaitan dengan konflik tanah antara petani dan pengusaha. Tetapi, sekali lagi Rezim SBY-Boediono masih saja menutup mata dan telinga sehingga seharusnya tidak terulang peristiwa sama tetapi kenyataanya konflik agraria semakin marak. Sumatera Utara salah satu daerah bakal menjadi ladang pertempuran karena perusahaan di bawah BUMN dan swasta banyak bermasalah dan potensi konflik terbuka lebar. Beberapa di antaranya adalah sengketa lahan; warga Desa Sei Mencirim, Kutalimbaru, Deliserdang versus PTPN II; Kelompok Masyarakat Padang Halaban dan sekitarnya versus PT SMART di Padang Halaban Labura, dimana satu warga (Usmanto) diduga ditembak aparat Polri; dan, antara Kelompok Tani Torang Jaya Mandiri (KTTJM) versus PT Sumatera Riang Lestari (PT SRL) dan PT Sumatera Silva Lestari (PT SLL) di Desa Tobing Tinggi, Kecamatan Aek Nabara Barumun, Padang Lawas, Sumut (Harian Analisa, Medan, 2 Juli 2012). Sementara di lapangan bisa disaksikan masyarakat adalah bagaimana petani memperjuangkan tanahnya menjadi bulan-bulanan aparat. Tanggung jawab aparat seharusnya mengamankan dan memberi perlindungan berubah menjadi lawan masyarakat, dimana kekuatan senjata kemudian berbicara. Tidak sedikit terluka, kasus terakhir di PT Perkebunan Nasional (PTPN) VII unit Cinta Manis, Ogan Ilir, Sumatera Selatan menewaskan seorang anak masih berumur 13 tahun dan melukai puluhan orang lain. Dengan menggunakan sikap refresif, anggota Brimob mengabaikan hak asasi manusia dan menembaki warga petani menjadi korban perusahaan. Polisi sudah menjadi pengawal setia perusahaan Bukan lagi rahasia umum ketika aparat Polri sepertinya sudah menjadi budak perusahaan berorientasi pada modal. di lapangan telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia, menunjukkan rasa keadilan tidak pernah berpihak kepada masyarakat dan kenyataannya memang demikian. Rezim SBY-Boediono menyatakan saat ini ada 4.005 kasus sengketa lahan di seluruh Indonesia. Jumlah ini merupakan akumulasi dari konflik belasan tahun belum selesai. Separuh lebih merupakan konflik antarkeluarga dan sisanya konflik antara masyarakat dan perusahaan. Kebanyakan daerah rawan sengketa lahan adalah berada di areal perkebunan, seperti di Kalimantan atau di Sumatera. Faktor penduduk juga kadang menjadi masalah tersendiri. Di beberapa daerah, ada konflik justru dipicu masyarakat, terutama dalam pembagian ganti rugi lahan. Ada oknum di dalam masyarakat tidak membagi konsesi ganti rugi kepada tanahnya dibeli. Indonesia memang dilandas syndrome konflik horizontal ditandai dengan adanya kekerasan tumbuh subur tanpa mampu dikendalikan oleh Rezim SBY-Boediono. Kerusuhan Ambon, Konflik Posso, Pengganyangan Etnis Tionghoa di Makkassar dan banyak lagi. Kekerasan merupakan potret menunjukkan kealpaan negara dalam melindungi hak-hak dasar warganegaranya. Kekerasan biasanya digunakan untuk menggambarkan suatu perilaku, baik terbuka, tertutup, menyerang maupun bertahan disertai penggunaan kekuatan terhadap orang lain. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), meminta Rezim SBY-Boediono segera mengesahkan rancangan undang-undang (RUU) Perlindungan Masyarakat Adat, sebelum akhir tahun. Sebab, sebanyak 530 konflik melibatkan masyarakat adat sepanjang tahun lalu tidak ada satu pun terselesaikan. Seluruh konflik terjadi sepanjang 2011 tidak bisa terselesaikan, karena Rezim SBY-Boediono tidak memiliki instrumen untuk menyelesaikan konflik tersebut. Jika Rezim SBY-Boediono bersungguh-sungguh menyelesaikan konflik tersebut, Rezim SBY-Boediono harus segera mengesahkan RUU Perlindungan Masyarakat Adat. "Dengan pengesahan RUU, langkah kongkritnya adalah Rezim SBY-Boediono akan membentuk badan khusus menangani konflik-konflik adat. Sewaktu ada konflik adat, maka badan inilah harus menyelidiki ke lapangan. Mantan Wapres Jusuf Kalla mengungkapkan, mayoritas konflik terjadi di berbagai daerah di Indonesia pada umumnya disebabkan adanya ketidakadilan. Mayoritas konflik itu disebabkan karena ketidakadilan. Ketidakadilan itu bisa karena politik, sosial dan ekonomi. Kalla mencontohkan konflik di Aceh kaya dengan gas, tetapi pembangunan di sana tidak lancar dan signifikan. Selain itu hasil sumber daya alam larinya juga bukan ke Aceh tetapi ke luar daerah seperti ke Jakarta. Di Aceh bukan masalah mereka ingin merdeka, tetapi lebih pada ingin mempertahankan keadilan ekonomi. Sementara apa terjadi di Ambon dan Poso, juga sama sekali bukan konflik agama. Sementara untuk kasus di Kalimantan juga karena adanya ketidakadilan, yakni mengapa pendatang lebih banyak memanfaatkan kekayaan hutan dan bermacam-macam sumber daya alam di sana, sedangkan orang dayaknya justru mencari kayu di hutan saja susah. Hasil jajak pendapat Kompas (Kompas, 5 November 2012) mengungkapkan satu dari dua responden menyuarakan kegagalan Rezim SBY-Boediono mencegah potensi konflik sosial terjadi di masyarakat. Secara lebih spesifik publik menilai empat hal terkait dengan kegagalan tersebut. Dalam hal menjaga dan merawat gagasan kebinekaan, lebih dari separuh bagian responden mengatakan ketidakpuasannya terhadap Rezim SBY-Boediono. Proporsi lebih besar menyuarakan ketidakpuasaan terhadap upaya Rezim SBY-Boediono mencegah ancaman kerukunan hidup beragama dan (po tensi konflik etnis. Bahkan, tiga dari empat responden menyatakan secara lugas Rezim SBY-Boediono gagal menegakkan hukum dan keamanan secara konsisten. Opini serupa telah disuarakan publik pada September tahun 2011 lalu. Tampaknya belum ada perubahan berarti dalam pencegahan potensi konlik di masyarakat. Dari 770 responden via telepon, survey Litbang Kompas 31 Oktober-2 November 2012, terdapat hanya 47 % merasa puas tehadap upaya Rezim SBY-Boediono dalam mencegah ancaman kerukunan hidup beraga, sementara 55,8 % merasa tidak puas, dan 1,4 % tidak tahu/tidak jawab. Selanjutnya, hanya 38,8 % responden puas atas upaya Rezim SBY-Boediono dalam mencegah potensi konflik karena perbedaan etnis, 58,8 % tidak puas dan 2,3 % tidak tahu. Dalam hal menegakkan hukum dan keamanan secara konsisten, hanya 21, 4 % puas; 76, 2 % tidak puas dan 2,3 % tidak jawab. Sementara itu, opini masyarakat tentang siapakah paling dipercaya mampu meredam potensi konflik sosial, jawabannya adalah 52,5 % tokoh informal masyarakat; 18,2 % Rezim SBY-Boediono daerah/lokal; hanya 11,4 % Rezim SBY-Boediono Pusat; 10,1 % aparat keamanan; 4,3 % tidak ada; dan, 3,5 % tidak tahu/tidak jawab. Pengamat ekonomi pertanian UGM Prof Masyhuri menambahkan, selama tahun 2011 ada 163 kasus konflik agraria di Indonesia. Jumlah ini lebih besar dibanding tahun 2010 lalu mencapai 106 kasus. Menurut Mashyuri, banyaknya kasus konflik ini disebabkan tidak adanya kepastian hukum agraria, terutama soal hukum nasional dan hukum adat. Di sisi lain, terjadi pula ketimpangan sosial luar biasa dimana warga semestinya menggarap tanah minimal dua hektar (sesuai ketentuan undang-undang) namun justru hanya menggarap lahan kurang dari setengah hektar Dari sisi opini publik, hasil survei JSI (jaringan Suara Indonesia) pada 10-15 Oktober 2011 dengan 1.200 responden menunjukkan, hanya 49,8 % responden menilai Rezim SBY-Boediono telah membuat kemampuan pertahanan dan keamanan terus ditingkatkan seperti pengadaan dan modernisasi alustista TNI/Polri.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda