Senin, 31 Desember 2012

KEGAGALAN REZIM SBY-BOEDIONO: KESEHATAN

Rezim SBY-Boediono berjanji dalam kampanye Pilpres 2009 akan mengatasi masalah kesehatan dengan terus melakukan pemberantasan penyakit menular dan melanjutkan pengobatan gratis bagi tidak mampu. Kesehatan masih kurang terpecahkan di Indonesia. Memang sarana kesehatan di Indonesia sudah cukup baik, tetapi pelayanan kesehatan di Indonesia masih memiliki nilai minus. Warga Indonesia sendiri belum bisa sepenuhnya percaya pada kekuatan medis di Indonesia. Buktinya, banyak orang Indonesia sendiri rela pergi ke luar negeri hanya demi mendapatkan tanganan medis. Kabarnya ‘lebih baik’ ketimbang penanganan medis di Indonesia. Program jamkesmas diberikan Rezim SBY-Boediono ternyata masih belum berjalan secara maksimal. Cara mendapatkan fasilitas tersebut tidak mudah. Rezim SBY-Boediono telah membiarkan meluasnya gizi buruk dan gizi kurang diseluruh Indonesia. Data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menunjukkan, setidaknya ada 5,3 persen balita dari 28 juta anak di bawah usia 5 tahun mengalami gizi buruk. Artinya, sekitar 1,5 juta balita mengalami gizi buruk sedangkan balita mengalami gizi kurang sekitar 15%. Mereka berpotensi mengalami kebodohan permanen. Beragam kasus gizi buruk masih saja bermunculan bahkan di lokasi berbatasan langsung dengan Ibukota DKI Jakarta. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu indikator keberhasilan MDGs harus dicapai oleh Indonesia. Yakni menurunkan angka kesakitan dan angka kematian menjadi setengahnya pada tahun 2015. Berdasarkan data 1990 dan pencapaian 2010, Indonesia telah berhasil menurunkan insidens, prevalens, dan angka kematian. Insidens berhasil diturunkan sebesar 45% yaitu 343 per 100.000 penduduk menjadi 189 per 100.000 penduduk, prevalens dapat diturunkan sebesar 35% yaitu 443 per 100.000 penduduk menjadi 289 per 100.000 penduduk dan angka kematian diturunkan sebesar 71% yaitu 92 per 100.000 penduduk menjadi 27 per 100.000 penduduk. Walaupun telah banyak kemajuan dicapai dalam pengendalian TB di Indonesia tetapi tantangan dan masalah TB tidaklah semakin ringan. Antara lain, meningkatnya koinfeksi TB-HIV, kasus TB-MDR, kelemahan manajemen dan kesinambungan pembiayaan program pengendalian TB. Menurut laporan Badan PBB untuk masalah anak-anak (UNICEF), tingkat kematian anak/bayi di Indonesia masih relatif tinggi. Saat ini diperkirakan 150.000 anak meninggal di Indonesia setiap tahun sebelum mereka mencapai ulang tahun kelima. Indikator kesehatan lain adalah status gizi anak masih perlu diperbaiki. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) 2010 menunjukkan, prevalensi gizi buruk balita di Tanah Air masih 4,9 persen, meskipun angka ini sudah menurun dari 2007 mencapai 5,4 persen. Anak balita masuk dalam kategori gizi kurang menurut Riskesdas 2010 masih bertahan pada angka 13 persen. Sedangkan prevalensi tubuh pendek (stunting) pada balita mencapai 35,7 persen atau mengalami penurunan dibanding 2007 (36,7 persen). Dari sisi pencegahan penyakit, hak anak Indonesia mendapatkan imunisasi masih belum optimal. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, cakupan Universal Child Immunization (UCI) tahun 2010 adalah 75,3 %. Tahun 2011, pencapaian UCI turun menjadi 74,1 %. Sementara itu, Laporan organisasi medis kemanusiaan dunia Médecins Sans Frontières (MSF) atau Dokter Lintas Batas menyebutkan, Indonesia termasuk sebagai salah satu dari enam negara teridentifikasi memiliki jumlah tertinggi anak-anak tidak terjangkau imunisasi. Menurut MSF, sebanyak 70% anak-anak tidak terjangkau program imunisasi rutin tersebar di Kongo, India, Nigeria, Ethiopia, Pakistan, dan juga Indonesia. UNICEF telah menunjukkan, hampir 10.000 wanita Indonesia meninggal setiap tahun karena masalah kehamilan dan persalinan. Padahal, masa kehamilan dan persalinan adalah salah satu fase vital bagi kelangsungan hidup anak. Rezim SBY-Boediono masih belum mampu menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi. Hak perempuan Indonesia atas kesehatan, khususnya terkait anak, belum mendapat perhatian sepenuhnya. Pada tahun 2009 saja, ada lebih dari 39,8 juta perempuan atau 37,9% dari seluruh jumlah pekerja (104,87 juta jiwa). Ketersediaan sanitasi di Indonesia cukup memprihatinkan. Kementerian Kesehatan melansir sebanyak 7 % penduduk Indonesia belum mendapatkan akses sanitasi dengan baik. Kementerian Pekerjaan Umum menyebutkan negara baru menganggarkan 0,33 persen (Rp200 orang per tahun) untuk pembangunan sanitasi layak. Padahal, idealnya setiap orang dianggarkan Rp 54 ribu untuk setiap tahun. Paling nyata masalah sanitasi ini akan menimbulkan banyak dampak negatif bagi masyarakat. Indikasi dampak itu setidaknya telah muncul. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia untuk tahun 2012 ini melorot dari urutan ke 108 menjadi 124. Dari sisi SDM, bila dibandingkan antara jumlah tenaga kesehatan di tingkat Rumah Sakit ataupun Puskesmas khususnya di daerah terpencil, sangat jauh dari kriteria ideal. Apalagi secara sosial politik telah banyak wilayah di Indonesia mengalai pemekaran. MP3EI adalah Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. MP3EI dapat dinilai sebagai janji-janji politik Rezim SBY-Boediono setelah berhasil memegang kekuasaan pemerintahan pasca Pilpres 2009. Berdasarkan Catatan Akhir Tahun 2012 Dewan Riset Nasional (DRN) Komisi Teknis Kesehatan dan Obat menilai, MP3EI lebih menguntungkan kepentingan asing dan pemodal besar, lebih mengarah pada peningkatan ekonomi makro akan semakin menimbulkan kesenjangan pertumbuhan ekonomi mikro antara kaya-miskin rentan terhadap perpecahan. MP3EI ini dinilai, lebih bernuansa upaya pencapaian peningkatan ekonomi melalui eksploitasi sumber daya alam tanpa upaya meningkatkan kualitas dan kapasitas SDM dan Iptek yang masih rendah. Bagi Komisi ini, kesehatan perlu dimasukkan ke dalam program utama MP3EI. Intinya, Komisi Teknis Kesehatan dan Obat DRN menilai, MP3EI lebih menguntungkan kepentingan asing dan pemodal besar! Di lain pihak, berdasarkan opini publik, hasil survei JSI (jaringan Suara Indonesia) pada 10-15 Oktober 2011 dengan 1.200 responden menunjukkan, sebanyak 65,5 % responden menilai janji Rezim SBY-Boediono tentang bidang kesehatan ini telah terpenuhi. Sementara itu, 28,9 % menilai belum, terpenuhi, dan sisanya tidak menjawab (MUCHTAR EFFENDI HARAHAP).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda