Selasa, 18 Desember 2012

KEGAGALAN REZIM SBY-BOEDIONO: PENDIDIKAN

Rezim SBY-Boediono berjanji dalam kampanye Pilpres 2009, pendidikan harus ditingkatkan lagi. Mutu infrastruktur dan kesejahteraan guru dan dosen ditingkatkan. Persamaan perlakuan sekolah negeri-swasta-agama. Tetap melanjutkan sekolah gratis bagi tidak mampu. Sebagai langkah awal dalam upaya penilaian terstruktur, perlu disoroti antara lain mengenai pemanfaatan 20% APBN dalam bidang pendidikan untuk pendidikan dasar 9 tahun gratis, kesenjangan aksesibilitas dan kualitas pendidikan, perbaikan kurikulum secara fundamental, serta partisipasi dan tanggung jawab pemerintah. Rezim SBY-Boedino mengakui, angka anak putus sekolah dari SD ke SMP karena mahalnya biaya pendidikan mencapai 920.000 anak. Angka putus dari SMP ke SMA lebih besar lagi yaitu 1,26 juta anak. Putus sekolah tersebar dari 19 Propinsi, termasuk Jawa Barat, Papua Barat, NTT, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah. Inflasi biaya pendidikan di negeri ini dari tahun 2000 hingga 2009 memang mencapai 200 %. Dibandingkan dengan Thailand hanya 17%. Malaysia juga hanya 11%. Paling parah, sistem seleksi perguruan tinggi negeri telah rusak, bukan berdasarkan kualitas tetapi melalui mekanisme lelang bangku kuliah, membayar paling mahal berpeluang lebih besar untuk diterima di perguruan tinggi negeri. Dari sisi politik anggaran, sesuai UUD 1945, Pemerintah diwajibkan mengalokasikan anggaran pendidikan minimal 20% APBN. Namun, Rezim SBY-Boediono memanfaatkan celah kebijakan membungkus besaran 20% ini atas nama pendidikan, meskipun –sebagai contoh– anggaran ini salah satunya dipakai untuk program pendidikan dan latihan (Diklat) pegawai kementerian. Dari Rp 248,9 triliun anggaran pendidikan 2011, hanya sebesar Rp 89,7 triliun dikelola oleh pemerintah pusat, sementara Rp158,2 triliun sisanya dikelola oleh daerah. Dari Rp 89,7 triliyun dikelola oleh pemerintah pusat, Rp 55,5 triliun dikelola oleh Kemendiknas, Rp27,2 triliun oleh Kementerian Agama, dan Rp 6,8 triliun sisanya dibagikan ke 13 kementerian dan empat lembaga lain. Sedangkan dari Rp 158,2 triliun dikelola oleh Daerah, sebanyak Rp 104 triliun dialokasikan untuk Dana Alokasi Umum (DAU), mayoritas dimanfaatkan untuk gaji guru, Rp10 triliun untuk Dana Alokasi Khusus (DAK), Rp18,5 triliun untuk tunjangan profesi guru, Rp16,8 triliun untuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan lainnya sebesar Rp 8,3 triliun. Politik anggaran Rezim SBY-Boediono sangat kontra produktif dengan semangat pemanfaatan anggaran pendidikan untuk pendidikan dasar 9 tahun gratis. Sebagian besar anggaran pendidikan dialokasikan untuk bersifat rutin. Tidak efektif untuk meningkatkan semangat pendidikan dasar gratis dan aksesibilitas baik. Pendidikan adalah hak semua orang dan merupakan kebutuhan primer, sehingga seharusnya tidak ada pengkhususan pendidikan dan tidak boleh ada hak-hak masyarakat terabaikan dalam mengakses pendidikan berkualitas. Realitas obyektif menunjukkan, masih banyak SD dan SMP memungut dana iuran dari orang tua siswa, dengan atau bukan alasan SPP. Pada sekolah-sekolah bertaraf RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) realitas obyektif semacam itu acap kali ditemukan. Rata-rata orangtua siswa dikenakan biaya Rp 5 juta agar anak mereka mengenyam pendidikan bertaraf “internasional”; hanya menggunakan “Air Conditioner” dan “Bahasa Inggris” tanpa mengajarkan wawasan internasional lebih luas dan komprehensif. Tidak hanya RSBI, sekolah standar pun masih banyak menarik iuran, terutama dengan embel-embel biaya buku, praktek, LKS (lembaran Kerja Siswa), dll. Kesemuanya bisa menghabiskan uang tidak kurang dari Rp1 juta per tahun. Belum lagi mengenai keluhan kualitas sekolah gratis. Pertanyaannya: apakah seorang anak petani atau tukang cuci hanya berhak memperoleh pendidikan dengan kualitas biasa-biasa saja atau bahkan dengan kualitas buruk? Tidak bolehkah mereka mengenyam pendidikan bertaraf internasional? Sementara itu, kurikulum pendidikan nasional juga hingga sekarang masih jauh dari ideal. Persoalan pokok mengenai pendidikan karakter hingga sekarang masih menjadi wacana tanpa dampak nyata. Ditambah lagi dengan tergerusnya nilai-nilai kearifan lokal dengan nilai-nilai globalisasi mengedepankan kompetisi dibandingkan kerja sama (gotong royong), individualistik dibandingkan kolektivistik. Dampaknya, masyarakat Indonesia hanya menjadi masyarakat mekanistik. Dibenak masyarakat hanya terpikirkan tentang kesejahteraan diri, bukan kesejahteraan bersama.. Peningkatan kualitas pendidikan dan program wajib belajar 12 tahun untuk semua anak Indonesia, hanyalah utopia atau ilusi semata. Jika Rezim SBY-Boediono mengatakan, program wajib belajar 9 tahun sudah selesai dan akan dilanjutkan pada wajib belajar 12 tahun, perlu dipertanyakan maksud “selesai” Apakah selesai karena waktu atau karena semua anak Indonesia sudah wajib belajar 9 tahun? Jangankan kita berbicara wajib belajar 9 tahun untuk anak-anak bangsa di seluruh penjuru tanah air, untuk anak jalanan dalam radius 10 Km dari Istana Merdeka Jakarta saja tidak dapat pendidikan rata dan berkualitas. Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-109 dari 174 negara. Posisi Indonesia berada pada urutan ke 17 dari 17 negara Asia di bawah Vietnam. Tingkat pendidikan masyarakat Indonesia di tahun 2011 menurun dibanding tahun 2010. Banyak masyarakat Indonesia putus sekolah dan tidak bisa melanjutkan sekolah hingga perguruan tinggi. Hal tersebut berdasarkan data dari United Nation Development Programme (UNDP) dikeluarkan pada 2 November 2011 dalam Human Development Index. Indonesia di posisi 124 di bawah Filipina. Tahun 2010 Indonesia di ranking 108. Memang di tahun 2011 jumlah negara ikut bertambah menjadi 187 negara dari tahun 2010 hanya 169. Indonesia turun dari tahun 2010. Education For All Global Monitoring Report 2011 dikeluarkan oleh UNESCO setiap tahun dan berisi hasil pemantauan pendidikan dunia. Dari 127 negara, Education Development Index (EDI) Indonesia berada pada posisi ke-69. Indonesia kalah dibandingkan Malaysia (65) dan Brunei (34). Kualitas pendidikan Indonesia masih tertinggal bila dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya. Selain itu, akses pendidikan di Indonesia masih sangat terbatas. Lebih dari 1,5 juta anak setiap tahun tidak dapat melanjutkan sekolah. Sementara dari sisi kualitas guru dan komitmen mengajar, terdapat lebih dari 54 % guru memiliki standar kualifikasi perlu ditingkatkan dan 13,19 % bangunan sekolah dalam kondisi perlu diperbaiki. Berdasarkan opini publik, hasil survei JSI (jaringan Suara Indonesia) pada 10-15 Oktober 2011 dengan 1.200 responden menunjukkan, hanya 62,9 % responden menilai di bawah Rezim SBY-Boediono telah terpenuhi janji soal kesejahteraan guru dan sekolah gratis bagi tidak mampu. Sementara itu, 30,1 % menilai tidak terpenmuhi, dan sisanya tidak menjawab.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda