Senin, 25 Februari 2013

KEGAGALAN REZIM SBY-BOEDIONO: REFORMASI BIROKRASI DAN PEMBERANTASAN KORUPSI

Rezim SBY-Boediono berjanji dalam kampanye Pilpres 2009 akan membuat refomasi birokrasi, dan pemberantasan korupsi terus ditingkatkan. Rezim SBY-Boediono kembali mewartakan optimisme terkait pembaruan birokrasi. Setelah mengumumkan kenaikan gaji PNS sebesar 5 persen untuk tahun 2010, Rezim SBY-Boediono juga memancang target untuk menuntaskan Reformasi Birokrasi (RB) pada tahun 2011, khususnya di lingkungan instansi/lembaga tingkat pusat Rezim SBY-Boediono. Secara formal seluruh Kementerian dan Badan/Lembaga Negara di bawah Rezim SBY-Boediono disibukkan dengan upaya melakukan RB (refromasi Birokrasi). Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa banyak instansi Rezim SBY-Boediono memiliki persepsi salah mengenai tujuan RB itu sendiri. RB dipandang sebagai upaya untuk meningkatkan tunjangan kinerja, tanpa melihat upaya harus dilakukan agar organisasi instansi bersangkutan lebih mampu menunjukkan kinerja (performance). Hal ini berkembang akibat banyak instansi hanya melihat dari sisi “terang” apa telah dilakukan 3 (tiga) instnasi/lembaga Rezim SBY-Boediono sebagai “pilot project RB”: (1) Kementerian Keuangan; (2) BPK (Badan Pemeriksa Keuangan); (3) MA (Mahkamah Agung), menyusul Sekneg (Sekretariat Negara). Jika melihat dan benchmark ke dalam 3 (tiga) lembaga Rezim SBY-Boediono tersebut, diperoleh informasi bahwa pada dasarnya Rezim SBY-Boediono sejak lama telah banyak melakukan upaya RB. Upaya dimaksud tidak hanya menyangkut aspek penggajian (tunjangan kinerja) tetapi juga aspek kunci keberhasilan proses penyelenggaraan Rezim SBY-Boediono sesuai dengan tugas pokok dan fungsi. Aspek tunjangan kinerja merupakan faktor pemicu atau motif akan mendorong RB dapat dipastikan berjalan sesuai dengan tujuan. Tunjangan kinerja hanya merupakan faktor nantinya akan diberikan sebagai implikasi dari kinerja telah dikontribusikan oleh para birokrat dalam pelaksanaan penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi. Inilah bentuk dari akuntabilitas bahwa birokrat telah diberi tunjangan besar, mampu memberikan kontribusi nyata bagi kinerja lembaga Rezim SBY-Boedionoan. Banyak fihak meragukan agenda Refornmasi Birokrasi (RB), khususnya di lingkungan birokrasi Rezim SBY-Boediono, akan tuntas tahun 2011. Salah satu alasannya, yakni banyak kendala internal sulit diselesaikan dalam tempo dua tahun ini. Bahkan instansi dianggap telah melakukan terobosan, seperti Kementerian Keuangan, juga mendapat kritik. Upaya reformasi birokrasi dilakukan masih bersifat tambal sulam. Beragam penilaian kritis menunjukkan karakteristik birokrasi dewasa ini, antara lain: birokrasi terlampau gemuk, lamban, belum profesional, dan bahkan menghabiskan anggaran besar. Jangankan melayani masyarakat, di birokrasi malah kerap terjadi penyalahgunaan anggaran negara. Birokrasi gemuk semakin membebani ketika tidak menjalankan tugas melayani masyarakat dan malah korup. Bahkan, Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Birokrasi Reformasi (PAN) Azwar Abubakar mencontohkan, sangat tidak wajar jika ada PNS golongan III mempunyai rekening ratusan miliar rupiah. Ia menilai masalah birokrasi menjadi rumit akibat penanganan setengah hati. Reformasi tidak menyentuh akar masalah. Di lain fihak, terdapat pandangan bahwa RB sesungguhnya adalah restrukturisasi dan perombakan sistem kepegawaian. Namun, restrukturisasi dihadang oleh resistensi atau penolakan karena akan banyak pegawai dan pejabat kehilangan posisi dan pendapatan. Merombak sistem kepegawaian juga akan sulit dilakukan karena tidak semua PNS (Pegawai Negeri Sipil) siap berkompetisi. Di sisi lain, tidak semua politikus siap melepas kooptasinya terhadap birokrasi. RB terkait visi Rezim SBY-Boediono. Namun, Andrinof (Menteri Perencanaan/Ketua Bappenas era Rezim Jok-JK) melihat visi Rezim SBY-Boediono sangat lemah dan kesungguhan untuk melakukan RB tidak ada. Sejak Rezim SBY-Boediono dilantik masing-masing sebagai Presiden dan Wakil Presiden, agenda RB terlupakan. Ketika Rezim SBY-Boediono membahas program kerja dalam “National Summit”, ternyata agenda RB tidak masuk. Setelah diteriakin lalu dimasukkan. Dari penyusunan Kabinet pun sudah terlihat bahwa tidak ada kemauan untuk melakukan RB. Mengisi pos Menteri hingga 34 menunjukkan Rezim SBY-Boediono tidak ada niat untuk melakukan perampingan birokrasi. Reshuffle malah memunculkan pos menteri dan komisi-komisi di bawah eksekutif. Presiden membiarkan unit-unit kerjanya sudah tidak relevan. Seruan RB dinilai tidak akan efektif tanpa adanya dorongan penuh dari eksekutif. Karena itu, sejumlah kalangan meminta SBY memimpin langsung program tersebut. Sekjen DPP PDIP Tjahjo Kumolo (Menteri Dalam Negeri era Rezim Jok-JK) mengatakan, percepatan RB akan efektif jika ada ketegasan SBY sebagai Panglima berada di depan dalam mengelola Rezim SBY-Boediono. Ketegasan itu harus berlaku bagi semua pejabat dan birokrat tidak menjalankan instruksi, termasuk bagaimana pembantunya di kementerian dalam mengimplementasikan percepatan reformasi birokrasi. Harus ada perubahan dalam memimpin Rezim SBY-Boediono ini. Sebab Rezim SBY-Boediono berdasarkan telaah juga secara tidak langsung mengakui sistem berjalan karut- marut. Apa disampaikan SBY bagus karena itu memang ideal dalam mengelola Rezim SBY-Boediono. Tapi itu belum terimplementasi, RB juga belum berjalan, dan itu diakui oleh Rezim SBY-Boediono. Dalam pidato di hadapan anggota DPR dan DPD, Rezim SBY-Boediono menekankan pentingnya RB dan good governance dalam Rezim SBY-Boediono ini. Dalam mengelola pemerintahan, Rezim SBY-Boediono mewajibkan agar seluruh jajaran birokrasi dapat lebih meningkatkan peran dan fungsinya secara optimal dan maksimal. Pelayanan publik harus menjadi salah satu bagian mendasar dalam RB. Percepatan RB tidak dapat ditawar-tawar. Rezim SBY-Boediono selanjutnya menegaskan, percepatan RB sangat penting agar tercipta jajaran aparatur negara andal, profesional, dan bersih berdasarkan kaidah-kaidah good governance and clean government. Dalam pidatonya itu, SBY juga mengakui sungguhpun RB terus digalakkan, masih dijumpai jajaran birokrasi belum responsif, cenderung lalai, dan bahkan menghambat jalannya pembangunan. Tabiat dan perilaku seperti ini harus kita ubah dan akhiri. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengatakan, birokrasi di Indonesia sangat berbelit-belit. RB tidak memberikan perbedaan sama sekali. Birokrasi Indonesia malah tambah brengsek. Indonesia bersama India dan Filipina termasuk dalam negara paling tidak efisien dalam hal birokrasi. Hal itu terjadi tidak saja terhadap warga sendiri tetapi juga terhadap warga asing. Dalam survei terbaru Political and Economic Risk Consultancy (PERC) seperti dikutip dari AFP (3 Juni 2010). Para ekspatriat pelaku bisnis di Asia menilai bahwa kondisi itu bisa saja menyebakan investor menghindari berbisnis di negara bersangkutan. Sedangkan untuk negara paling efisien birokrasi, berdasarkan survei PERC adalah Singapura dan Hong Kong selama ini dikenal sebagai pusat keuangan di Asia. PERC menyarankan, birokrasi di beberapa negara Asia telah menjadi pusat kekuasan dalam beberapa hal sehingga harus ada upaya untuk secara efektif menuju reformasi oleh para politisi dan pejabat ditunjuk. Secara keseluruhan, dalam hal efisiensi birokrasi menempati posisi terburuk di Asia adalah India, diikuti kedua terburuk Indonesia. Di India, politisi sering berjanji melakukan mereformasi dan merevitalisasi birokrasi India, tetapi mereka telah tidak efektif dalam melakukannya terutama karena layanan publiknya seolah menjadi pusat kekuasaan. Berurusan dengan birokrasi India dapat menjadi salah satu pengalaman paling membuat frustrasi bagi warga India, apalagi untuk investor asing. Di Indonesia, Rezim SBY-Boediono dinilai gagal melaksanakan reformasi sehingga berkontribusi atas pengunduran diri Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, menerima tawaran sebagai managing director di Bank Dunia. Meskipun memperoleh mandat pemilihan kuat, tetapi SBY tidak memiliki kekuatan untuk benar-benar memperbaiki birokrasi Indonesia. Sedangkan di Filipina, masih banyak cara ilegal ditemukan dengan dalih membantu memfasilitasi warga dengan Rezim SBY-Boediono dengan meminta bayaran tertentu. Berdasarkan standar penilaian 1 hingga 10, di mana angka 10 adalah berarti terburuk, India mengoleksi skor 9,41, diikuti Indonesia (8,59), Filipina (8,37), Vietnam (8,13), dan China (7,93). Sementara Malaysia berada di urutan ke keenam terburuk dengan skor 6,97, kemudian Taiwan (6,60), Jepang (6,57), Korea Selatan (6,13), dan Thailand (5,53). Sedangkan Singapura telah menjalankan birokrasi paling efisien mendapat skor 2,53, diikuti Hong Kong (3,49). PERC mengatakan, dalam survei dilakukan mulai awal tahun ini, melibatkan 1.373 ekspatriat level menengah dan eksekutif senior di seluruh Asia. Dari sisi peningkatan pemberantasan korupsi, data dan fakta ini dapat membuktikan bahwa belum terlihat adanya upaya peningkatan pemberantasan korupsi berarti selama Rezim SBY-Boediono berkuasa. Pada 2010 PERC telah mewawancarai 2.174 eksekutif bisnis tingkat menengah dan senior di Asia, Australia dan AS. Dari 16 negera sasaran studi, menempatkan Indonesia sebagai negara paling korup, diikuti Kamboja di urutan kedua, Vietnam, Filipina, Thailand, India, Cina, Malaysia, Taiwan, Korea Selatan, Macao, Jepang, Amerika Serikat, Hong Kong, Australia dan Singapura. Skor Indonesia adalah 9,27 dalam skala 0-10 di mana 0 berarti sangat bersih, dan 10 sangat korup, turun cukup signifikan dari skor tahun lalu, yaitu 8,32. Pada tingkat Asean, Indonesia tingkat korupsi hampir sempurna dan lebih buruk daripada Kamboja (9,10), Vietnam (8,07), Filipina (8,06), Thailand (7,60), malaysia (6,47) dan Singapura (1,42). Studi ini melihat bagaimana korupsi berdampak pada berbagai tingkat kepemimpinan politik dan pamong praja serta lembaga-lembaga utama. Studi ini juga mencakup penelitian tentang pengaruh korupsi terhadap lingkungan bisnis secara keseluruhan. Dengan merajalelanya korupsi di semua level di Indonesia, perang korupsi dilakukan Rezim SBY-Bediono telah terhambat politisasi issue dilakukan pihak merasa terancam oleh aksi Rezim SBY-Boediono. Hasil korupsi digunakan para koruptor untuk melindungi diri mereka sendiri dan untuk melawan reformasi. Seluruh perang terhadap korupsi terancam bahaya. Lembaga terkorup di Indonesia adalah DPR. Korupsi sudah merusak cara berpikir anggota DPR sedemikian rupa. Kasus-kasus korupsi dihadapi anggota DPR memperlihatkan penjarahan uang negara tidak dilakukan secara individual, tetapi beramai-ramai. Artinya korupsi di DPR dilakukan sistemik dan melembaga. Majalah Berita Mingguan TEMPO (Edisi 16-22 Mei 2011) telah menurunkan laporan utama tentang perilaku korupsi anggota DPR. Menurut TEMPO, gedung DPR menjadi bursa transaksi gelap penentuan kebijakan publik. Penyusunan anggaran atau pembahasan pasal Rancangan Undang-undang (RUU) kerap dilumuri politik uang. Tawar menawar dilakukan untuk memutuskan pasal-pasal krusial dalam penyusunan RUU. Kepala Daerah bersusah payah menyiapkan sogokan buat memperoleh alokasi anggaran. Penyusunan anggaran merupakan lahan basah bagi anggota Dewan. Para “wakil rakyat” menggunakan proses persetujuan merupakan kewenangan mereka untuk memperoleh keuntungan. Transaksi gelap dilakukan politikus dari hampir semua fraksi. Berdasarkan pengelusuran TEMPO, banyak anggota DPR menghubungi Kepala Daerah, menawari mereka anggaran tertentu, dan kemudian memotong 5-10 persen sebagai “fee”, harus dibayar dimuka, tunai. Proses serupa dilakukan dengan pengusaha untuk persetujuan anggaran pengadaan barang. Lebih jauh Tempo membeberkan, seorang bekas anggota Panitia Anggaran mengatakan tiap Parpol biasanya memiliki sejumlah anggota giat “menjala uang”. Kader Parpol ini ditempatkan di Badan Anggaran, perangkat DPR beranggotakan 85 orang dari pelbagai fraksi secara proporsional. Di sini proses pembahasan anggaran dimainkan agar proyek dikawal bisa mulus. Anggota Badan Anggaran tidak produktif menyetor uang ke Parpol bakal dipindahkan ke alat kelengkapan DPR lain. Di Badan Anggaran kadang terjadi peleburan anggota lintas Fraksi dan lintas Komisi. Permainan juga melibatkan mediator, datang ke Senayan (Gedung DPR) dan melobi anggota DPR agar meloloskan proyek di daerahnya. Para mediator datang membawa proposal dari daerah sudah disetujui Bupati atau Walikota. Mafia Anggaran di DPR menjadi issu paling aktual seiring dengan mencuatnya kasus korupsi Wisma Atlet di Palembang melibatkan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin, Sondakh, dan anggota DPR lain. Issu Mafia Anggaran di DPR telah mengundang beragam opini dan komentar baik dari anggota DPR sendiri maupun bukan. Mafia Anggaran bermakna bahwa para anggota Panitia Anggaran juga kader Parpol menggunakan kewenangan mereka untuk memark-up dan sekaligus membuat komitmen kepada fihak Pengusaha maupun pejabat eksekutif agar memberikan dana sekian persen dari nilai proyek kepada pada anggota Panitia Anggaran. Intinya, para anggota DPR (dari semua fraksi) berjemaah dan berkerjasama untuk memperoleh dana ilegal dari Negara atas proyek pengadaan barang dan jasa Rezim SBY-Boediono. Pada 2010 Kemitraan melakukan survei nasional di 33 provinsi. Hasilnya adalah tidak ada perubahan lebih baik dan sangat mengecewakan. Sebanyak 90 % responden dari kalangan akademisi menilai elite Parpol di legislatif berperilaku korupsi, dan lebih 80 % responden dari kalangan media dan LSM menilai elite parpol di legislatif berperilaku korupsi. Kader Parpol di legislatif dan eksekutif menjadi responden juga meyakini bahwa elite Parpol mereka berprilaku korupsi dengan tingkat keyakinan di atas 50 persen. Pada 2011, Kemitraan (Partnership for Governance Reform) juga melakukan survei tentang hal-ikhwal sama, memperingatkan adanya fenomena perilaku korupsi kader Parpol melalui hasil survei nasional tentang korupsi di Indonesia. Hasil survei Kemitraan ini menempatkan parpol sebagai salah satu institusi publik tidak dapat dipercaya. Bahkan, menurut KPK, sampai dengan Agustus 2011, telah dihukum sekitar 60 anggota DPR. SBY adalah salah seorang Pendiri Partai Demokrat, bahkan kini telah menjadi pendukung utama kekuasaan Rezim SBY-Boediono. Namun, realitas obyektif membuktikan bahwa Rezim SBY-Boediono tidak mampu menjaga agar Kader-kader Partai Demokrat terbebas dari perilaku korupsi. Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Juni 2011, menemukan 45 % responden survei LSI percaya bahwa elite Partai Demokrat terlibat korupsi. Persepsi korupsi ini bahkan lebih tinggi di kalangan responden saat Pilpres 2009 memilih Megawati Soekarnoputri atau Jusuf Kalla. Sebanyak 57,4% pendukung Megawati-Prabowo Subianto sangat percaya bahwa elite Demokrat terlibat korupsi. Sedangkan 52,8% suara pendukung pasangan Jusuf Kalla dan Wiranto juga menyatakan hal sama. “Ini menunjukkan, pemilih PDIP dan Golkar, dan mayoritas pemilih Pilpres Megawati dan Jusuf Kalla percaya petinggi Demokrat terlibat korupsi. Hasil survei LSI di atas sesungguhnya tidak berbeda dengan realitas obyektif kasus dugaan tindak pidana korupsi kader-kader Partai Demokrat di DPR. Hasil pengolahan Litbang Kompas, Harian Kompas 13 Juli 2011, dan 27 Januari 2012, dan Website: Digital Media Ekspos News, 13 Juli 2011, dll, menunjukkan bahwa kader Partai Demokrat terkena kasus korupsi antara lain: As’ad Syam, Sarjan Tahir, Yusran Aspar, Amrun Daulay, Agusrin Maryono Najamudin, Nazaruddin, Murwan Effendi, RE Siahaan, Djufri, dan Angelina Sondakh. As’ad Syam adalah Anggota DPR 2009-2014 Dapil Jambi, Kader Partai Demokrat. As’ad Syam tersandung korupsi pembangunan pembangkit listrik tenaga diesel Sungai Bahas senilai Rp. 4,5 miliyar saat menjabat Bupati Muaro Jambi. Putusan Kasasi MA memutuskan As’ad bersalah dan menjatuhkan hukuman Vonis 4 tahun penjara dan denda Rp. 200 juta subsider enam bulan (Kasasi MA, 11/12/2008). Sarjan Tahir adalah anggota DPR 2004-2009, Kader Partai Demokrat. Ia terkena dugaan kasus suap alih fungsi hutan mangrove untuk Pelabuhan Tanjung Api-api. Ia terkena vonis 4,5 tahun penjara (PK MA,17/11/2009). Kasus dugaan suap terkait pengalihan fungsi hutan lindung seluas 7.300 hektar di Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Ditahan 2 Mei 2008. Status tersangka pada Sarjan Taher diputuskan KPK pada 27 Februari 2008. Yusran Aspar adalah anggota Komisi IV DPR 2009-2014 dari Fraksi Partai Demokrat. Yusran terkena dugaan kasus korupsi biaya pembebasan tanah kompleks perumahan PNS senilai Rp. 6,3 miliar semasa pejabat Bupati Penalam Paser Utama Kaltim periode 2003-2008. Yusran mendapat putusan kasasi MA tentang hukuman 1 tahun 6 bulan penjara serta denda Rp. 100 juta (Kasasi MA, 2009). Amrun Daulay adalah anggota DPR 2009-2014 Dapil Sumut II, Kader Partai Demokrat. Amrun Daulay terkena dugaan kasus korupsi pengadaan mesin jahit dan impor sapi Rp. 25 miliyar saat Amrun menjabat Dirjen Bantuan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial. Ia ditetapkan sebagai Tersangka oleh KPK (8 April 2011). Ditahan KPK (5 Juli 2011). Agusrin Maryono Najamudin adalah Gubernur Bengkulu, Kader Partai Demokrat. Ia tersandung dugaan kasus korupsi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta Bea Penerimaan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar Rp. 21,3 miliar. Proses hukum dituntut 4 tahun 6 bulan. Divonis bebas di PN Jakarta Pusat (24 Mei 2011). Namun, MA memvonis Agusrin 4 tahun penjara (1 Januari 2012). Selanjutnya, Nazaruddin, Anggota DPR 2009-2014 Dapil Jatim IV. Ia tersandung dugaan kasus korupsi Pembangunan Wisma Atlet SEA Games di palembang dengan nilai proyek mencapai Rp. 191 miliar. Tersangka (KPK, 30/6/2011). Ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK 30 Juni 2011. Ia ditangkap di Cartagena, Kolombia, 7 Agustus 2011. Murwan Effendi adalah Bupati Seluma, Bengkulu. Ia terkena kasus pemberian suap kepada anggota DPRD, penyusunan APBD dan penggunaan dana infrastruktur TA 2010. Perubahan anggaran membuat biaya pembangunan membengkak dari Rp. 350 miliar menjadi Rp. 385 miliar. Ditetapkan Tersangka oleh KPK pada 11 Juli 2011. RE Siahaan adalah Mantan Walikota Pematang Siantar Sumut periode 2005-1010, juga Ketua DPC Partai Demokrat Kota Siantar 2005-2010. Ia terkena kasus korupsi pengelolaan Rp. 16 miliar dana bantuan sosial APBD, serta dana pemeliharaan di Dinas PU Tahun Anggaran 2007 bernilai Rp. 30 miliar. Diduga kerugian Negara Rp. 9 miliar. Djufri adalah Anggota DPR 2009-2014. Ia terkena kasus penggelembungan dana pembelian lahan sejumlah proyek di kota Bukit Tinggi. Telah divonis 4 Tahun oleh Pengadilan Negeri Padang, 6 Januari 2012. Angelina Sondakh. Anggota DPR 2009-2014 Fraksi Demokrat. Ia telah ditetapkan oleh KPK sebagai Tersangka. Anggelina Sondakh adalah Wakil Sekjen DPP Partai Demokrat. Tuduhan Nazarudin terhadap Anggelona Sondakh akhirnya mendapat dukungan dari sejumlah kesaksian dalam persidangan Nazarudin. Berdasarkan catatan Yulianis, anggota DPR Anggelina Sondakh (Kader Partai Demokrat) dan Wayan Koster (Kader PDIP) masing-masing mendapat Rp. 2 miliar dan Rp. 3 miliar. Belakangan KPK telah memutuskan menahan Anggelina sebagai tersangka dalam dua kasus, yakni kasus suap pembangunan Wisma Atlet SEA Games XXVI di Jakabaring, Sumatera Utara; dan, kasus aliran dana ke Anggelina berkaitan dengan Anggaran Kementerian Pendidikan 2010 dan 2011. Bahkan akhir Februari 2013, KPK resmi menetapkan Ketua Umum Demokrat Anas Urbaningrum sebagai tersangka penerimaan suap dalam kasus Hambalang. Ketua umum DPP Partai Demokrat (PD) itu dinilai menerima hadiah atau janji terkait pembangunan sport center Hambalang dan atau proyek lainnya. Tapi tidak hanya kasus itu, ada kasus lain yang tengah diselidiki. Anas dijerat dengan pasal 12 huruf a atau Pasal 5 ayat (2) atau Pasal 11 atau 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU 20 Tahun 2001 tentang UU Pemberantasan Korupsi. Ancaman maksimal dari pasal tersebut adalah 20 tahun penjara. Soal keterlibatan Anas dalam kasus Hambalang sudah pernah diungkapkan mantan wakil bendahara umum Partai Demokrat M Nazaruddin. Ada beberapa penerimaan uang dan barang yang diduga sebagai 'kado' terima kasih karena membantu memenangkan PT Adhi Karya sebagai penggarap proyek. KPK mencari bukti-bukti keterlibatan Anas dalam kasus ini selama hampir setahun sejak kasus bergulir. Akhirnya, kini Anas pun resmi tersangka dan terancam masuk bui. Selain kader-kader Partai Demokrat di atas, juga Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Jhonny Allen Marbun tersandung kasus dugaan korupsi. Anggota DPR RI asal Sumut ini telah dua kali dilaporkan ke KPK oleh mantan ajudannya sendiri bernama Selestinus Angelo Ola. Pertama, terkait kasus dugaan korupsi pembangunan Dermaga di Indonesia Bagian Timur. Salestinus melaporkannya ke KPK dengan tuduhan menerima suap di Badan Anggaran. Ketika itu Salestinus menyatakan, Jhonny selaku Wakil Ketua Badan Anggaran DPR pada tahun 2008 terlibat pengaturan penyaluran anggaran ke daerah. Johnny mendapatkan komisi lima persen dari dana disepakati untuk dialokasikan ke daerah. Kedua, pada 5 Januari 2012, Salestinus melaporkan Jhonny Allen Marbun ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Salestinus datang ke Gedung KPK membawa bukti-bukti dugaan korupsi dilakukan Wakil Ketua Umum DPP Partai Demokrat itu. Diungkapkan Salestinus, Jhonny Allen diduga melakukan korupsi tanah kuburan senilai Rp10 miliar. Yakni dengan melakukan mark up tanah kuburan di Pondok Rangon Jakarta Timur. Dalam prosesnya, Jhonny berkomplot dengan Ketua Pimpro Pembebasan Tanah Pondok Rangon dari Dinas Pemakaman, Endang Syuhada.Jhonny Allen diduga menyuap Endang Syuhada sebesar Rp550 juta. Uang tersebut diberikan untuk kelancaran mark up senilai Rp10 miliar. Yakni kelancaran untuk menyepakati mark up pada tanah dibeli Jhonny Allen seluas 3,5 hektar dengan total biaya Rp13 miliar menjadi Rp23 miliar (INILAH.COM, 5 Januari 2012). Pada 23 Februari 2012 ratusan mahasiswa tergabung dalam Forum Generasi Muda Muslim Sumatera Utara mendesak aparat penegak hukum segera mengusut tuntas kasus dugaan suap dan mark-up dilakukan Jhonny Allen Marbun demi menindak lanjuti laporan dan pengaduan atas dirinya. Desakan tersebut disampaikan mahasiswa saat berunjukrasa di Gedung DPRD Sumatera Utara dibawah pimpinan Koordinator Aksi Adhitia Melfan Tanjung. “Sudah lebih dua tahun kasus melibatkan Jhonny Allen Marbun dipeties-kan oleh KPK. Mereka melihat bahwa pimpinan KPK sengaja menyembunyikan kasus tersebut hingga kepemimpinan KPK saat ini. (Berita Sore Online, 07 Maret 2012). Pemberantasan korupsi sesungguhnya bagian dari komponen reformasi birokrasi. Pemda juga merupakan sasaran reformasi birokrasi. Kegiatan pelayanan publik Pemda harus terbebas dari perilaku korupsi. Pada Juni-Oktober 2012, KPK melakukan surveI terhadap 60 Pemda, menilai 498 unit pelayanan terbesar di 20 instansi pusat dan lima instansi vertical, 15 ribu responden penguna langsung pelayanan publik dalam satu tahun terakhir (Harian Tempo dan Republika, 12 Desember 2012). KPK menggunakan standar nilai integritas rata-rata atau minimal yakni 6,00. Survei ini bertujuan untuk menyediakan bahan evaluasi dan terus memantau sejaumana efektivitas pengendalian terjadinya korupsi di layanan publik sebagai mekanisme “check and balance” antara penyedia dan pengguna layanan publik. Hasilnya? Dari 60 Pemda disurvei, hanya empat Pemda memiliki nilai tertinggi dalam hal pencegahan korupsi di sektor pelayanan publik. Yakni: Kota Bitung (Sulut), Pare-Pare (Sulsel), Banjarbaru (Kalsel), Banda Aceh (NAD). Sementara itu, masih sebanyak 16 Pemda memiliki nilai integritas terendah. Antara lain: Kota 1. Bandung, 2. Depok, 3. Bekasi, 4. Medan, 5. Cirebon, 6. Jayapura, 7. Bima (NTB), 8. Palu (Sulteng), 9. Kendari (Sultra), 10. Serang (Banten), 11. Bengkulu, 12. Semarang, 13. Metro (Lampung) 14. Bandar Lampung, 15. Jember (Jatim), dan 16. Ternate (NTT). 16 Pemda ini memiliki nilai di bawah rata-rata nasional, yaitu 6 (enam). Dari sisi opini publik di Indonesia, hasil survei JSI (jaringan Suara Indonesia) pada 10-15 Oktober 2011 dengan 1.200 responden menunjukkan, hanya 24,1 % responden menilai Rezim SBY-Boediono telah meningkatkan refomasi birokrasi, pemberantasan korupsi terus ditingkatkan. Terakhir, kita dapat menggunakan data resmi BPK (Badan Pemeriksanaan Keuangan)untuk menyimpulkan bahwa Rezim SBY-Boediono telah gagal memenuhi janji politik tentang reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi. Pada 2 Desember 2014, Ketua BPK, Harry Azhar Azis, menyampaikan "Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Sementara (IHPS) I-2014 BPK" pada Rapat Paripurna DPR. Laporan BPK menyebutkan, nilai penyimpangan anggaran yang dilakukan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) cenderung naik. Ditemukan penyimpangan dalam bentuk ketidakpatuhan terhadap perundang-undangan mencapai Rp. 10,93 triliun. Nilai tersebut meningkat dari temuan penyimpangan IHPS I-2013 sebesar Rp. 7,83 trilun. Ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dapat menyebabkan kerugian Negara, potensi kerugian Negara, kekurangan penerimaan, inefisiensi, dan anggaran tidak efektif semakin tinggi. Temuan penyimpangan tersebut mengakibatkan kerugian Negara naik dari Rp. 1,37 triliun pada Semester I-2013 menjadi Rp. 1,46 triliun di semester I-2014. Sementara itu, temuan-temuan BPK ini baru sebatas hasil pemeriksanaan BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), Laporan Keuangan Kementerian dan Lembaga (LKKL), Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), dan laporan keuangan badan lainnya seperti BUMN. Seandainya digabungkan dengan hasil pemeriksanaan kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT), nilai temuan penyimpangan semester I-2014 mencapai Rp. 30,88 triliun. Modus penyimpangan anggaran selalu berulang setiap tahun. Modus kerap dipakai dan menyebabkan kerugian Negara paling besar pada Semester I-2004 adalah pengelembungan nilai pengadaan barang dan jasa, yang mencapai Rp. 527 miliar. Modus ini umumnya dipakai dalam proyek pembangunan gedung pemerintah, jaringan jalan, dan pemeliharaan infrastruktur. Modus lain juga kerap dilakukan adalah perjalanan dinas fiktif dan ganda. Orang melakukan perjalanan dinas tidak pergi dan hanya menitipkan surat perintah perjalanan dinas SPPD mereka kepada orang lain berangkat untuk distempel di instansi tujuan sebagai bukti pertanggungjawaban pembangunan anggaran. Praktik ini membuat Negara merugi Rp. 92,83 miliar selama Semester I-2014. Data dan fakta ini mempertegas kegagalan Rezim SBY-Budiono untuk melakukan penegakan hokum dan pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana janji-janji kampanye mereka dalam Pilpres 2009.(MUCHTAR EFFENDI HARAHAP)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda