Jumat, 14 Desember 2012

KEGAGALAN REZIM SBY-BOEDIONO: KEMISKINAN

Rezim SBY-Boediono berjanji dalam kampanye Pilpres 2009 akan membuat kemiskinan harus turun 8-10 % dengan meningkatkan pembangunan pertanian, pedesaan dan program pro rakyat. Pada Agustus 2012, Ketua Bappenas Armida Alisjahbana mengatakan, Pemerintah berupaya menurunkan tingkat kemiskinan nasional pada akhir 2012. Hingga Maret 2012, tingkat kemiskinan di Indonesia mencapai 11,96 % atau 29,13 juta jiwa penduduk masih kategori miskin. Meski terkesan masih tinggi, tingkat kemiskinan saat ini sudah lebih baik dibanding tahun 2011. Pada 2011, di periode sama, tingkat kemiskinan nasional adalah 12,49 %. Angka ini menurun dibandingkan tahun 2010 sebesar 13,33 %. Tingkat kemiskinan tersebut terus bertahan di kisaran 12 % hingga akhir tahun 2011. Pada tahun 2013, pemerintah berharap angka kemiskinan bisa ditekan dikisaran angka 9,5-10,5 %. Angka itu, sudah tercatat di RAPBN 2013. Namun, bagi Armida, Indonesia terkendala angka poverty basket inflation (inflasi dirasakan masyarakat miskin) masih tinggi. Pada triwulan pertama, Indonesia mencatat angka poverty basket inflation sebesar 6,52 %. Angka tersebut karena tingkat konsumsi masyarakat miskin terhadap pangan rendah akibat kelangkaan dan naiknya harga pangan. Sebagai contoh tahun 2005, meski terjadi pertumbuhan ekonomi, angka kemiskinan malah menaik. Masalahnya, pada tahun itu, poverty basket inflation-nya 12,87 % akibat melonjaknya harga BBM. Kemampuan konsumsi oleh masyarakat miskin jadi faktor di sini. Tingginya inflasi berdampak pada angka kemiskinan, tidak bisa turun secara signifikan. Walaupun tingkat pertumbuhan relatif tinggi, tetapi inflasi dirasakan oleh masyarakat miskin juga tinggi sehingga angka kemiskinan tidak dapat turun dengan signifikan. Di lain fihak, BPS menunjukkan, jumlah penduduk miskin Indonesia terus menurun dari waktu ke waktu meskipun tidak secara signifikan. Warga miskin telah berkurang 890 ribu jiwa, yakni dari 30,1 juta Maret 2011 menjadi 29,13 juta jiwa Maret 2012 atau turun 0,53%. Di perkotaan, jumlah orang miskin berkurang 399.500 orang dan di perdesaan 487 ribu orang. Adanya penurunan tingkat kemiskinan nasional. BPS pada awal Juli 2012 melaporkan jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2012 berjumlah 29,13 juta orang atau 11,96 %. Jumlah itu berkurang 890.000 orang dibandingkan bulan sama 2011. Angka kemiskinan di Indonesia sepanjang tahun 2011 dinilai beberapa kalangan masih tinggi walaupun pemerintah mengklaim sudah berhasil menekan angka kemiskinan. Masih diperlukan program tepat sasaran untuk mengatasi kemiskinan di tanah air. Namun, angka BPS mendapat kritik tajam kalangan ekonom. Mereka melihat, ada dua menyangkut data BPS. Pertama, data BPS mencerminkan Rezim SBY-Boediono gagal menurunkan kemiskinan di negeri ini. Turun 1 % bukanlah prestasi. Kedua, benarkah data BPS itu? Apakah jumlah orang miskin versi BPS mencerminkan realitas sesungguhnya? Sudah lama muncul gugatan tentang kriteria digunakan BPS untuk memotret kemiskinan. Hingga kini BPS masih mematok golongan miskin ialah mereka dengan pengeluaran sekitar Rp 8.000 per orang per hari. Kriteria BPS itu jelas masih jauh dari ukuran dikeluarkan Bank Dunia, yakni sebesar US$ 2 per orang per hari atau sekitar Rp19 ribu per orang per hari. Banyak pihak menilai kriteria BPS untuk mengukur kemiskinan sudah tidak rasional. Di beberapa daerah, angka kemiskinan malah menaik. Misalnya, di Yogyakarta, jumlah kemiskinan menaik sekitar 181 ribu orang dan di Propinsi Riau bahkan melonjak 483 ribu jiwa. Sesungguhnya penduduk miskin di Indonesia tersebar tidak merata. Jumlah terbesar 57,8 % penduduk miskin berada di pulau Jawa. Di Sumatera terdapat 21 %, di Sulawesi 7,5 %, di Nusa Tenggara 6,2%, di Maluku dan Papua 4,2 % dan angka terkecil sebesar 3,4 % tersebar di Kalimantan. Angka kemiskinan tidak dapat turun dengan signifikan karena inflasi dirasakan oleh masyarakat miskin juga tinggi. Harga bahan pokok mengalami kenaikan tertinggi di antara kelompok pengeluaran untuk bahan-bahan lainnya. Pengeluaran rumah tangga miskin untuk bahan pokok ini rentan terhadap kenaikan harga pangan. Bahkan pada tahun 2005, meski terjadi pertumbuhan, tetapi dengan poverty basket inflation tercatat sampai dengan 12,78 % karena adanya kenaikan harga BBM, memicu kenaikan harga bahan pokok sehingga berdampak pada kenaikan angka kemiskian. Stabilitas harga pangan tidak terjaga. Namun, terdapat penilaian kritis, pertumbuhan ekonomi dinilai tidak sejalan dengan penurunan tingkat kemiskinan. Peran pertumbuhan ekonomi kurang signifikan memengaruhi penurunan tingkat kemiskinan itu. Karena kualitas pertumbuhan itu belum baik. Sebagai misal ekonom Indef Enny Sri Hartati, ia menilai bahwa distribusi PDB semakin timpang menunjukkan tingkat kemiskinan penduduk relatif Indonesia semakin tinggi. Koefisien Gini penduduk Indonesia menaik dari 0,38 pada 2011 menjadi 0,41 pada 2012. Koefisien tersebut menggambarkan bahwa 20% dari penduduk Indonesia menguasai 48% pendapatan domestik bruto, sedangkan mayoritas 80% menguasai 52% pendapatan domestik bruto. Di lain fihak, sekalipun Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi, tetapu masih kalah dengan negara tetangga. Pengamat ekonomi INDEF, Enny Sri Hartati, dalam Rapat dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR (6 Juni 2012) mengungkapkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih minim pengaruhnya terhadap penurunan tingkat kemiskinan di Indonesia. Jika garis kemiskinan diambil dari US$1,25, maka ekonomi Indonesia pengaruhnya terhadap penurunan tingkat kemiskinan hanya sebesar 0,88%. Padahal dari US$ 1,25 Malaysia memiliki pengaruh cukup besar, yakni 2,9% dan Thailand sebesar 5,6%. Setiap 1 % pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mengurangi 0,88%. Padahal negara lain itu diatas 1%. Bahkan, pengaruhnya pertumbuhan Indonesia dengan penurunan tingkat kemiskinan hanya 0,1%. Pengamat ekonomi LIPI, Latif Adam, mengatakan masih sulit untuk melihat penurunan kemiskinan saat ini sejalan dengan pertumbuhan ekonomi (2 Juli 2012).Kualitas pertumbuhan ekonomi sendiri masih kurang tajam untuk menekan garis kemiskinan, apalagi kalau melihat pola pertumbuhan ekonomi masih didominasi sektor nontradable maka sangat kecil pengaruhnya. Penurunan angka kemiskinan di Indonesia bersifat semu. Pasalnya, Rezim SBY-Boediono menggelontorkan subsidi untuk membuat masyarakat berada di garis kemiskinan merangkak naik. Namun, ketika subsidi tersebut dikurangi maka angka kemiskinan akan kembali meningkat. Ada penilaian bahwa sekalipun terjadi penghentasan dan pengurangan jumlah kelompok miskin di Indonesia, tetapi dibandingkan dengan anggaran negara dikeluarkan, maka penghentasan kemiskinan tergolong lambat. Periode 2004-2012, angka kemiskinan rata-rata berkurang 870.000 jiwa/tahun. Selama 9 tahunterakhir, total penurunan orang miskin sebanyak 6,97 juta jiwa 2004-2009 berkurang 3,57 juta jiwa dan 2009-2012 berkurang 3,4 juta jiwa. BPS mengklaim, telah terjadi penurunan jumlah kelompok miskin, tetapi angka penurunan bermakna pengentasan kemiskinan paling lambat. Padahal volume anggaran pemerintah dalam bentuk APBN meningkat lebih dari empat kali lipat selama delapan tahun terakhir, dari Rp 374 Triliun pada tahun 2004 menjadi Rp 1.548 Triliun pada tahun ini. Anggota komisi XI DPR dari Fraksi PDIP, Arif Budimanta Seba (16 September 2012) menegaskan, jika ditarik lebih jauh ke belakang, kelambatan penghentasan kemiskinan semakian kentara. Selama tahun 1999-2004, angka kemiskinan turun 11,9 juta jiwa, dari 48 juta jiwa menjadi 36,1 juta jiwa. Namun, mulai periode 2004-2009, penurunan angka kemiskinan melambat menjadi 3,6 juta jiwa. Pada periode 2009-2011, penurunannya menjadi 2,6 juta jiwa. Salah satu sebeb pelambatan penghentasan kemiskinan adalah pembangunan tidak berpihak pada desa dan sektor pertanian. Padahal 71,3% rumah tangga miskin ada di pedesaan dan bekerja di sektor pertanian. Secara terpisah, Direktur INDEF Enny Sri Hartati juga menilai, kian besarnya volume APBN berbanding terbalik dengan pengentasan warga miskin menunjukkan politik anggaran tidak tepat. Hal itu juga menunjukkan, program Rezim SBY-Boediono tidak menjawab tantangan fundamental kemiskinan, yakni bagaimana menciptakan lapangan kerja. Terus menaikannya anggaran program penghentasan kemiskinan juga diakui Kepala Bappenas Armida Alisjahbana dalam suatu rapat kerja dengan Komisi XI DPR. Namun, ia berkilah, porsinya baru 0,5% dari produk domestic bruto tahun 2010. Lebih rendah dibandingkan rata-rata negara Asia Timur (1%), Amerika Latin (1,3%), dan Vietnam (diatas 1%). Mengacu pada kondisi masyarakat miskin di Indonesia dalam perspektif layanan keuangan formal, Bank Dunia memberi data, sekitar 79 % masyarakat miskin Indonesia tidak mempunyai akses pada layanan keuangan formal. Hanya 21 % yang berhubungan dengan layanan keuangan formal, yakni 19 % berhubungan dengan bank dan 2 % dengan layanan keuangan formal lain. Dari masyarakat miskin yang tidak tersentuh layanan keuangan formal itu, sekitar 40 % berhubungan dengan layanan keuangan informal dan semiformal. Adapun 39 % masyarakat miskin tidak tersentuh layana n keuangan. Secara total, ada 17 % masyarakat Indonesia tidak tersentuh layanan keuangan formal ataupun informal. Hanya 52 % yang menggunakan layanan formal dan 31 % yang menggunakan layanan keuangan informal atau semiinformal (Kompas, 29 November 2012). Bagaimana kondisi kemiskinan menurut hasil survei? Pada awal November 2011, UNDP merilis Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada di urutan ke-124 dari 187 negara disurvei. IPM Indonesia hanya 0,617, jauh di bawah Malaysia di posisi 61 dunia dengan angka 0,761. Kemunduran IPM menunjukkan kegagalan rezim SBY-Boediono dalam mensejahterakan rakyat. Hasil UNDP ini dapat dimaknakan, politik pembangunan rezim SBY-Boediono belum berorientasi pada kemanusiaan. Manusia belum menjadi subjek pembangunan, sehingga hasil pembangunan hanya terakumulasi pada sekelompok orang. Rezim SBY-Boediono membangga-bangakan data pertumbuhan ekonomi, sementara melupakan kemunduran dalam indeks korupsi menempati urutan ke-100 dari 182 negara. Pertumbuhan ekonomi menjadi tidak bermakna ketika rakyat kebanyakan bukan sebagai subjek pembangunan. Pembangunan manusia Indonesia bukan saja tidak serius, juga terhimpit di antara kompetisi politik kekuasaan. Rakyat terjebak dalam sirkulasi kekuasaan dikendalikan Rezim SBY-Boediono. Dari sisi opini publik di Indonesia, hasil survei JSI (jaringan Suara Indonesia) pada 10-15 Oktober 2011 dengan 1.200 responden menunjukkan, hanya 19,9 % responden yang menilai telah terjadi pengurangan jumlah penduduk miskin. Data dan fakta ini bermakna, publik menilai Rzim SBY-Boediono telah gagal memenuhi janji kampanye Pilpres 2009 di bidang penghentasan kemiskinan. Rezim SBY-Boediono menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tim Koordinasi Peningkatan dan Perluasan Program Pro-Rakyat. Keputusan ini dibuat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan penghentasan kemiskinan. Tim Koordinasi diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dengan tugas: 1.Menyusun kebijakan dan rencana aksi nasional peningkatan dan perluasan program pro-rakyat, meliputi rancangan produk, tindakan, sasaran, target penyelesaian, sumber pembiayaan, dan penanggungjawab. 2.Menyinkronkan kebijakan dan rencana aksi nasional peningkatan dan perluasan pogram pro-rakyat dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014. 3.Menyiapkan pelaksanaan rencana aksi nasional peningkatan dan perluasan program pro-rakyat. Di dalam Tim Koordiansi ini terdapat enam Kelompok Kerja, yakni: 1.Program Rumah Sangat Murah. 2.Program Kenderaan Angkutan Umum Murah. 3.Program Air Bersih untuk Rakyat. 4.Program Listrik Murah dan Hemat. 5.Program Peningkatan Kehidupan Nelayan. 6.Program Peningkatan Kehidupan Masyarakat Pinggir Perkotaan. Namun, realitas obyektif menunjukkan bahwa belum ada perumusan dan implementasi kebijakan dan rencana aksi nasional sebagai amanat dari Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tim Koordinasi Peningkatan dan Perluasan Program Pro-Rakyat. Bahkan, pada level Kelompok Kerja belum juga membentuk Tim Teknis. Dengan demikian, berdasarkan Keputusan di atas, Rezim SBY-Boediono telah gagal melaksanakan kebijakan yang diambilo sendiri. Keberhasilan Rezim SBY-Boediono hanya pada tataran pembuatan keputusun/kebijakan, namun tidak pada tataran implementasi kebijakan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan penghentasan kemiskinan.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda