Jumat, 14 Desember 2012

PERTUMBUHAN EKONOMI ANOMALI DAN KESENJANGAN SEMAKIN LEBAR

Pada kampanye Pilpres 2004, SBY juga berjanji pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 6.6%. Sampai tahun 2008, pemerintah SBY-JK hanya mampu meningkatkan pertumbuhan rata-rata 5.9% padahal harga barang dan jasa (inflasi) naik di atas 10.3%. Ini menandakan secara ekonomi makro, pemerintah gagal mensejahterakan rakyat. Pada kampanye Pilpres 2009, SBY juga berjanji akan membuat pertumbuhan ekonomi minimal 7 % sehingga kesejahteraan rakyat meningkat. Janji kampanye SBY ini mendekati keberhasilan karena pertumbuhan ekonomi mencapai kisaran 6 %. Pertumbuhan ekonomi triwulan kedua tahun ini mencapai 6,4 persen dibandingkan dengan periode sama tahun lalu. Secara kumulatif, pertumbuhan ekonomi Indonesia semester I-2012 lebih baik dibandingkan dengan semester I-2011 tumbuh sebesar 6,3 persen. Pertumbuhan PDB pada kuartal kedua tahun 2012 adalah 6,4 persen tahun-ke-tahun, naik sedikit dari 6,3 persen pada kuartal pertama. Menurut Menteri Bappenas Armida Alisyahbana, Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 6,8 persen pada 2013 mendatang. Beragam penilaian kritis muncul dari kalangan masyarakat madani dan sektor konomi tentang pertumbuhan ekonomi ini. Salah satu penilaian kritis dimaksud, yakni sekalipun pertumbuhan ekonomi mencapai lebih 6 %, belum 7 % sebagaimana dijanjikan, tetapi rezim SBY-Boediono gagal dalam menciptakan pemerataan kesejahteraan. Kesenjangan ekonomi semakin lebar. Hal ini ditunjukkan Thee Kian Wie (Peneliti Ekonomi LIPI) dengan indeks gini sebesar 0,41, mengindikasikan adanya konsentrasi asef fisik dan non fisik semakin besar. Konsentarsi fisik seperti pemilikan tanah, bangunan, dan saham. Konsentrasi nonfisik seperti pendidikan dan kesehatan. Menurut The Kian Wie, kesenjangan ini menunjukkan konsentrasi asset terjadi pada kelas menengah atas. Mereka mampu memberikan pendidikan dan kesehatan lebih baik bagi anak-anak mereka. Karena pendidikan dan kesehatan bagus, anak-anak bisa mengakses pusat ekonomi dan mendapatkan penghasilan lebih tinggi (Kompas, 13 Desember 2012). Penilaian kritis lain muncul dari Indef (Institute for Development of Economics and Finance atas kinerja ekonomi tahun 2012. Ekonom Indef, Didik J. Rachbini, menyatakan, indikator ekonomi makro selama 2012 secara umum positif. Ini antara lain ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi di ataas 6 %, tingkat inflasi tergolong moderat di angka 4,32 % per November 2012, serta cadangan devisa mencapai 110,29 juat dollar AS per Oktober 2012. Namun, capaian tersebut dibangun di atas fondasi yang rapuh. Pertumbuhan ekonomi lebih banyak dinikmati sektor bukan padat karya yang minim nilai tambah. Sektor pengangkutan dan komunikasi, misalnya, adalah sektor dengan laju pertumbuhan tertinggi, rata-rata sampai triwulan III-2012 sebesar 10,29 %. Sementara itu, sektor padat karya seperti pertanian hanya tumbuh 4,27 % dan industri pengolahan 5,81 %. Padahal, tegas Didik, sektor padat karya menyerap lebih dari separuh tenaga kerja nasional (Kompas, 13 Desember 2012). Selanjutnya, penilaian kritis bahwa tetapi gagal dalam pemerataan kesejahteraan. Masih banyak warga Indonesia yang menderita gizi buruk dan tidak mendapatkan pelayanan kesehatan seperti seharusnya sehingga meninggal dunia dan harus putus sekolah. Jutaan petani masih belum mempunyai tanah memenuhi syarat minimum sebagai alat produksi. Jutaan petani masih belum mempunyai tanah yang memenuhi syarat minimum sebagai alat produksi. Sekalipun tercapai pertumbuhan ekonomi, namun pertumbuhan itu tergolong anomaly dan konsentrasi pertumbuhan tetap terpusat di Pulau Jawa dengan angka 57,5 persen. Di lain fihak, ada pengamat ekonomi menilai, pertumbuhan ekonomi itu hanya menguntungkan orang asing, eletis, bukan menguntungkan kebanyakan rakyat Indonesia. Salamuddin Daeng, pengamat ekonomi dari Indonesia for Global Justice, menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia tergolong anomali. Alasannya, pertumbuhan ekonomi tidak diikuti peningkatan kesejahteraan masyarakat. Ada empat faktor membuat pertumbuhan ekonomi anomali. Pertama, ekonomi Indonesia digerakkan oleh utang luar negeri angkanya terus naik. Utang Indonesia terakumulasi mencapai Rp 2.870 triliun. Utang luar negeri bertambah setiap tahun. Utang selanjutnya menjadi sumber pendapatan utama pemerintah dan menjadi faktor pendorong pertumbuhan ekonomi. Kedua, pertumbuhan ekonomi didorong oleh peningkatan konsumsi masyarakat bersumber dari naiknya harga sandang dan pangan, serta ditopang dari pertumbuhan kredit, khususnya kredit konsumsi. Ketiga, pertumbuhan ekonomi didorong ekspor bahan mentah, seperti bahan tambang, migas, hasil perkebunan dan hutan, sehingga tidak banyak menciptakan nilai tambah dan lapangan pekerjaan. Keempat, pertumbuhan ekonomi didorong oleh investasi luar negeri membuat sumber daya alam kian dikuasai asing. Di lain fihak, Pengamat Ekonomi Econit Advisory Group, Hendri Saparini, menilai, pertumbuhan ekonomi di Indonesia belum mengarah ke inklusif, yaitu pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan berkualitas (REPUBLIKA.CO.ID, 15 Oktober 2012). Pertumbuhan ekonomi mengikutsertakan semakin banyak rakyat dalam proses produksi dan sesuai dengan pasal 33 UUD 1945, sehingga tidak hanya kalangan tertentu saja bisa menikmatinya. Indonesia memang mengalami pertumbuhan ekonomi mencapai 6,3 persen. Namun, pertumbuhan ekonomi ini tidak dapat dirasakan secara merata di seluruh Indonesia, kebanyakan di Pulau Jawa, terutama Jabodetabek. Indikasi mengapa pertumbuhan ekonomi dialami Indonesia belum inklusif, yakni meski pertumbuhan ekonomi meningkat namun tingkat kemiskinan dan angka pengangguran semakin meningkat. Orang miskin masih banyak. Banyak propinsi memiliki pertumbuhan tinggi, tetapi pengangguran dan kemiskinan juga tinggi. Sementara itu, Jamaluddin, seorang aktivis buruh Jawa Timur menilai, pertumbuhan ekonomi belum mampu menyejahterakan buruh dan hanya memberikan keuntungan bagi pelaku usaha. Hal itu tecermin dari bertambahnya pekerja dengan status alih daya sehingga kewajiban pemilik perusahaan, seperti memberikan hak pensiun, tunjangan kesehatan, dan biaya sekolah anak, justru nihil. Upah buruh di Indonesia paling murah dibandingkan Thailand, Singapura, Filipina, dan Malaysia. Artinya, pertumbuhan ekonomi tidak berbanding lurus dengan penghasilan buruh, apalagi petani dan nelayan. Selanjutnya, menurut penilaian Subagyo, seorang pengamat ekonomi Universitas Airlangga, hasil dari semua itu justru dinikmati oleh investor asing sudah menguasai kepemilikan saham di hampir semua sektor usaha. Pertumbuhan ekonomi tidak berdampak langsung pada orang-orang kecil, tetapi justru para pemilik modal. Sesungguhnya sekalipun pertumbuhan ekonomi menaik, namun indikasi ketimpangan distribusi pendapatan masih terus terlihat dan semakin melebar. Koefisien gini meningkat dari 0,33 tahun 2002 menjadi 0,41 tahun 2011. Hanya 20 % kelompok kaya menikmati kenaikan partumbuhan ekonomi. Hal ini dipertegas Sofjan Wanandi, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Baginya, pertumbuhan itu hanya dinikmati oleh kelas menengah ke atas, sedangkan masyarakat kelas bawah tergerus berbagai hambatan hanya berupaya bisa bertahan. Kalaupun klas bawah memperoleh keuntungan, namun keuntungan itu semakin tipis. Sebabnya adalah klas bawah harus merasakan tingginya harga bahan baku dan harus berhadapan dengan bunga kredit perbankan tinggi. Sofjan Wanandi memastikan pertumbuhan saat ini dicapai dipicu oleh kenaikan pola konsumsi masyarakat dalam menghadapi puasa dan perayaan Idul Fitri. Sedangkan peningkatan investasi, bukanlah hal baru. Ninasapti Triaswati, Anggota Komite Ekonomi Nasional (KEN) menyebutkan bahwa Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II-2012 sebesar 6,4% dianggap sia-sia (8 Agustus 2012). Banyak issue di Indonesia membuat pertumbuhan ekonomi 6,4% terasa sia-sia. Pemerintah harus membongkar dan memperbaiki masalah kesenjangan dan kesejahteraan sosial. Issue ini penting, harus dipecahkan karena saat ini presentasinya sudah melebar menjadi 41% (2012). Padahal pada era Orde Baru, rasio kesenjangan kesejahteraan hanya 37%. Ini menjadi alarm, ada sesuatu tidak beres sehingga ada peningkatan ketimpangan antara strata miskin, menengah dan kaya. Salah satu penyebab peningkatan ketimpangan ini adalah sektor pekerja. Indonesia mempunyai sektor pekerja informal jauh lebih banyak dibandingkan sektor pekerja formal. Sektor Informal sebanyak 63% sedangkan sektor formal hanya 37%. Tetapi terdapat 17% dari 64% sektor pekerja informal tidak digaji. Sektor pekerja informal juga butuh perlindungan. Di disini, terlihat kesenjangan antara sektor informal dan formal. Padahal sektor pekerja formal terus naik 11% dan ini bukan trend negara maju. 80% Anggaran Pendapatan Negara berasal dari sektor informal. Sektor formal hanya memboroskan keuangan negara. Selain ketimpangan sosial, masalah lain harus diselesaikan oleh Rezim SBY-Boediono adalah infrastruktur transportasi. Infratruktur transportasi dirasakan kurang bahkan jauh dari harapan. Infrastruktur tranportasi kurang, Orang lebih berminat untuk beli kendaraan sendiri. Akibatnya, Indonesia tidak mempunyai surplus minyak karena tingkat kosumsi minyak boros. Arief Budimanta, Anggota Komisi XI DPR menilai, Indonesia belum aman dan bebas dari krisis. Bahkan, ekonomi Indonesia terbilang rentan. Hal ini terindikasi dari pertumbuhan ekonomi Indonesia semu. Berdasarkan data BPS, pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih dari 54% ditopang oleh konsumsi rumah tangga. Untuk sementara, menyelamatkan Indonesia. Indonesia belum aman dan bebas dari krisis dan justru sangat rentan (11 September 2012). Arief Budimanta juga menilai, terjadi peningkatan ketimpangan karena Gini ratio meningkat dari 0,32 pada 2004 menjadi 0,41 pada 2011. Selain itu, pekerja kita sebagian besar bekerja di sektor informal sebanyak 62,7%. Semunya pertumbuhan ekonomi Indonesia juga dilihat dari elastisitas penurunan kemiskinan terhadap laju pertumbuhan mengkhawatirkan. Ada 16 propinsi memiliki populasi penduduk miskin lebih tinggi dari tingkat kemiskinan nasional. Selain itu, rata-rata lama bersekolah penduduk berusia di atas 15 tahun hanya 7,6 tahun. Ichsanuddin Noorsy (28 Juli 2012) menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia milik orang asing. Kepemilikan dan pengelolaan asing atas SDA (sumber daya alam) tambang dan enerji, perbankan, telekomunikasi, broadband, retailer, angkutan laut antar pulau dan antar negara, serta dominannya barang asing di pasar domestic. Karena itu, pertumbuhan ekonomi terjadi adalah milik orang asing dan dikelola orang asing. Ketika ketika APBN hanya berkontribusi di bawah 20 persen atas PDB terbentuk, maka angka dan kenyataan membuktikan bahwa PDB itu bukan milik orang Indnesia, tapi orang asing di Indonesia. Sementara orang Indonesia sendiri menjadi kuli di rumah sendiri. Menurut Noorsy, guna menyurutkan kegelisahan itu, pemerintah menjanjikan kenaikan gaji bagi PNS Sipil dan TNI-Polri di tengah belanja modal tidak juga menunjukkan kebijakan perekonomian berbasis padat karya. Janji ini pun terancam tidak bermakna. Di sisi lain, ancaman kekurangan pasokan pangan mengarah pada krisis pangan. Begitu juga dengan lambannya penyediaan infrastruktur akan berujung pada mahalnya biaya logistik dan mata rantai pasokan. Hal itu akan mengakibatkan kenaikan harga-harga. Dampak kenaikan ini tidak sebanding dengan kenaikan gaji berkisar rata-rata tujuh persen. dengan posisi dominan atas faktor-faktor produksi justru mendapat kesempatan meningkatkan akumulasi modal. Di lain fihak, Pengusaha Marwoto menilai, ekonomi Indonesia bisa tumbuh lebih dari negara manapun. Dimatanya justru pemerintah jadi factor penghambat tumbuhnya ekonomi nasional. Kenapa? Karena pemerintah gagal memberantas pungli (sekitar 25% dari biaya produksi). Pemerintah gagal membangun infrastruktur (jalan buruk membuat waktu tempuh dan biaya membengkak). Pemerintah gagal memotong jalur panjang perizinan investasi dan waktunya lama. Pemerintah/perbankan gagal membuat kebijakan perbankanramah terhadap UKM. Pemerintah kurang supporting dalam perpajakan terhadap usaha tertentu terutama berhasil export. Kebijakan Pemerintah merugikan usaha nasional membiarkan bahan neraca perdagangan akan semakin besar. Sementara itu, Rony menunjukkan belanja Pemerintah lebih cepat dan besar juga cukup membantu pertumbuhan. Seiring hal itu, inflasi terkendali di bawah 5% cukup membantu meski hal tersebut ada efeknya, yaitu subsidi energy terus membengkak sebenarnya cenderung tidak sehat. Hasil survei JSI (jaringan Suara Indonesia) pada 10-15 Oktober 2011 dengan 1.200 responden menunjukkan hanya 23,7 % responden menilai telah terjadi peningkatan kesejahteraan rakyat. Pemerintah sering bangga bahwa ekonomi bisa tumbuh sampai 6,5%. Menurut teman saya nyentrik namanya Sunoto, justru menunjukkan kegagalan pemerintah. China dan ebberapa negara lain bisa tumbuh lebih dari itu. Padahal SDA negara lain itu dalam banyak hal kalah dari Indonesia.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda