Jumat, 14 Desember 2012

KRITIK TERHADAP REZIM-REZIM POLITIK ERA REFORMASI

Proses demokratisasi di Indonesia semakin terlihat sejak terjadi gelombang reformasi sekitar 1997/1998, mencanangkan “Agenda Reformasi” sebagaimana telah dirumuskan oleh kelompok mahasiswa dan kelas menengah perkotaan. Dalam kondisi gelombang reformasi dan proses demokratisasi terjadi keruntuhan kekuasaan Rezim Soeharto, yakni kelompok sedang berkuasa dalam pemerintahan/negara pada Era Orde Baru. Berbagai perubahan politik dan ekonomi melalui regulasi muncul drastis sejak keruntuhan Rezim Soeharto, disebut kemudian era reformasi, antara lain: Pertama, terbitnya UU Parpol No. 2 Tahun 1999 di bawah Rezim BJ Habibie. Era Rezim Habibie ini terdapat 141 Parpol terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM; 106 Parpol terdaftar di KPU (Komisi Pemilihan Umum); 48 Parpol peserta Pemilu 1999. Padahal sebelumnya, era rezim Soeharto (Orde Baru), hanya ada 3 (tiga) Parpol (Golkar, PDI dan PPP). Pemilu 1999 telah menghasilan anggota MPR, DPR, DPRD Tingkat I Propinsi dan DPRD Tingkat II Kotamadya/Kabupaten yang baru. Kedua, berbagai keputusan politik diambil kemudian untuk mendukung proses reformasi dan demokratisasi, seperti GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara), UU (Undang-undang) dan peraturan perundang-undangan lainnya. GBHN ini pada intinya telah memuat agenda reformasi politik dan ekonomi. Beberapa ketentuan di dalamnya adalah desentralisasi kekuasaan Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah; penegasan kembali peran lembaga legislatif dalam pemerintahan; pengurangan peran dan keterlibatan militer dalam kehidupan sipil dan politik, dan pembaruan tata pengaturan kepegawaian dan administrasi negara. Kedua, terbitnya UU Parpol No. 31 Tahun 2002 di bawah Rezim Megawati. Dalam era Megawati ini terdapat sekitar 112 Parpol terdaptar di Departemen Kehakiman & HAM; 50 Parpol terdaftar di KPU; dan, 24 Parpol peserta Pemilu 2004. Pada Pemilu 2004 ini telah dilaksanakan pemilihan Presiden/Wakil Presiden secara langsung sesuai Pasal 6A UUD 1945 Perubahan (Amandemen) dan juga pemilihan anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah) secara langsung. Berdasarkan UUD 45 Amandemen, menjadi Calon Presiden/Wakil Presiden harus mendapat dukungan Parpol. Ketiga, terbitnya UU Parpol No. 2 Tahun 2008 di bawah Rezim SBY-Jusuf Kalla . Dalam era SBY ini terdapat 79 Parpol terdaftar di Departemen Hukum dan HAM; 64 Parpol terdaftar di KPU; dan, 38 Parpol (ditambah 6 Parpol lokal di Aceh) sebagai peserta Pemilu 2009. Kekuasaan politik di level nasional yang semula (era Orde Baru) didominir oleh kekuatan militer di bawah kepemimpinan Soeharto, di era reformasi bergeser ke arah kekuatan Parpol. Karena itu, perilaku politik Parpol sangat menentukan dinamika politik pemerintahan, satu perubahan struktural mendasar diraih di era reformasi ini. Ketiga, terbitnya peraturan perundang-undangan tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) secara langsung oleh rakyat. Sebelumnya, baik Era Orde Lama (Rezim Sukarno) maupun Era Orde Baru ( Rezim Suharto), Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sebuah lembaga negara/pemerintahan secara formal tergolong “tertinggi” di antara lembaga-lembaga negara lain seperti eksekutif/ Pemerintah, DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), MA (Mahkamah Agung), dll. Kekuatan reformasi sebelumnya menilai, MPR ditentukan eksekutif/Pemerintah terutama Era Orde Baru, bukan rakyat, sehingga pemilihan oleh MPR tidak demokratis, bukan sungguh-sungguh aspirasi rakyat. Keempat, terbitnya peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung oleh rakyat. Sebelumnya, baik Era Orde Lama maupun Era Orde Baru, Gubernur dipilih oleh DPRD Propinsi; Bupati dipilih oleh DPRD Kabupetan; Walikota dipilih oleh DPRD Kota bersangkutan. Terdapat beragam penilaian kritis atas perubahan politik era reformasi. Penilaian paling “ekstrim” adalah reformasi telah gagal terutama dalam kedaulatan ekonomi, demokratisasi hanya dalam bentuk prosedural, bukan substansi. Kekuatan Orde Baru atau status quo tetap terus berlangsung menguasai pemerintahan/negara dan perekonomian. Konglomerat hitam era Rezim Soeharto (Orba) tetap berkuasa. Oligarki terbangun tetap dengan mindset era Rezim Soeharto. Oligarki meminjam konsep Jeffrey A. Winters dalam karyanya, Oligarki (Jakarta: PT.GramdiaPustaka Utama, 2011), adalah kelompok pelaku yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material yang bisa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial eksklusifnya. Sumber daya itu haru tersedia untuk digunakan demi kepentingan pribadi, biarpun tidak harus dimiliki sendiri. Bagaimana dengan Indonesia? Winter menilai, proses memperkaya diri besar-besaran satu lapiran kecil masyarakat terjadi di Indonesia. Pada massa memperkaya diri itu Indonesia terlibat dan terikat sistem kapitalisme global. Kekayaan dikumpulkan dan oligark diciptakan oleh proses pengambilan, penyedotan, dan perampokan kekayaan sumber daya alam dan uang rakyat. Proses tersebut lebih berupa ekstraksi kekayaan ketimbang penciptaan kekeyaan. Oligarki di era reformasi bisa bertahan karena tidak ada pertentangan inheren antara oligarki dan demokrasi, maupun antaar oligarki dan caar produksi apa pun. Tidak menherankan, pada 2009 Indonesia tergolong negara paling demokratis di Di Asia Tenggara, tetapu juga tergolong negara paling korup. Indonesia paling tepat, lanjut Winter, dijabarkan sebagai demokrasi criminal di mana para oligark secara teratur ikut serta dalam Pemilu sebagai alat berbagai kekuasaan politik, sambil menggunakan kekuatan kekayaan mereka untuk mengalahkan sistem hukum dengan intimidasi dan bujukan. Dalam kondisi Indonesia negara paling demokrasi tetapi paling korup di Asia Tenggara ini, Parpol, TNI, Polisi, Intelijen, BJ. Habibie, Gusdur, Megawati, dan SBY mengalami kegagalan melakukan perubahan politik ekonomi secara substantif. Sejumlah peraturan perundang-udnangan diprakarsai dan dikendalikan oleh pihak asing melalui kaum oligark pro neoliberalisme dan demokrasi agar Indonesia membuka seluas-luas investasi asing. Terdapat “hubungan kepentingan harmonis” antara pihak asing dan kaum oligark sedang berkuasa di dalam pemerintahan sipil Indonesia! Bahkan, kini cengkeraman neoliberalisme semakin kencang. Rezim-Rezim era reformasi membuka bebas Indonesia untuk dimasuki, dimiliki dan dikuasai pihak asing. Pasar dalam negeri negara harus dibuka penuh untuk dimasuki oleh koporasi asing. Tidak ada proteksi atau hambatan dari kebijakan negara bagi produk-produk asing untuk masuk dan bersaing di dalam negeri Indonesia. Swastanisasi atau privatisasi, yakni Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D) harus dijual dan boleh dikuasai/dimiliki fihak asing. Walaupun secara konstitusional berlaku, namun dalam realitas obyektif tidak berlaku lagi konsep bahwa sektor-sektor penting dan dibutuhkan untuk rakyat banyak harus dikuasai oleh negara, -yang muncul dalam bentuk Badan Tanggungjawab sosial negara (keberpihakan dan perlindungan negara) terhadap kelompok mayoritas yang lemah (buruh, petani, nelayan dan rakyat miskin) harus dihapuskan. Akibatnya, pendidikan, kesehatan, pupuk, dan segala kebutuhan sosial lainnya menjadi mahal. Ketenagaan kerjaan dibiarkan ditentukan oleh pasar. Segala persoalan menyangkut ketenagakerjaan (upah, hubungan kerja, jaminan sosial, lapangan pekerjaan, serikat buruh) biarkan ditentukan oleh pasar. Kalangan pengkritik reformasi menilai, Rezim-Rezim era reformasi (Rezim BJ Habibie, Gus Dur-Megawati, Megawati-hamzah Haz, SBY-Jusuf Kalla, dan SBY-Boediono) melakukan liberalisasi di sektor investasi secara lebih radikal ketimbang era Rezim Orde Baru. Pada 1999 di bawah Rezim BJ Habibie, terbit UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan, dikuti Peraturan Pemerintah (PP) No. 29 Tahun 1999, memungkinkan penguasaan saham bank oleh satu pihak, termasuk asing, hingga 99 % menjadikan Indonesia satu-satunya negara memberi peluang kepada asing memiliki saham sangat besar di industri perbankan. PP No. 29 Tahun 1999 memungkinkan bank didominasi oleh satu pemilik sehingga bisa mengatur sendiri operasional bank tanpa diawasi pemilik lain. BKPM tidak lagi memerlukan tanda tangan Presiden untuk persetujuan. Program konten lokal untuk kendaraan bermotor dihapus. Kendali kepemilikan asing pada perusahaan diperbolehkan, termasuk melalui akuisisi. Beberapa sektor dibuka lebih lanjut untuk PMA, termasuk ritel, general importing, perkebunan kelapa sawit, penyiaran, dan operasi minyak hilir. IMF berperan besar dalam perubahan struktural ekonomi Indonesia, terutama dalam hal liberalisasi investasi era reformasi. Melalui penerbitan Letter of Intent (LoI) sejak 1997 hingga 1999, IMF membuat berbagai persyaratan kepada Rezim Soeharto untuk merestrukturisasi makroekonomi Indonesia dengan berbagai kebijakan mengarah pada pasar bebas. Di bawah Rezim BJ. Habibie, banyak dipengaruhi LoI dengan IMF terbit 1998 hingga 2001. IMF meminta Rezim BJ Habibie melakukan sejumlah agenda reformasi ekonomi untuk mendapatkan pinjaman dana pemulihan krisis ekonomi. Salah satunya adalah sektor energy. RUU Migas pertama kali diajukan Rezim BJ Habibie, namun RUU ini ditolak DPR. Pada masa Rezim Gus Dur-Megawati, draft RUU Migas sama diajukan kembali ke DPR, dan DPR membahasnya. Pada masa Rezim Megawati, 23 Nopember 2001, RUU Migas disahkan menjadi UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Kalangan pengkritik menilai UU No.22 Tahun 2001 ini sangat liberal karena mengusung norma-norma neoliberal ditetapkan dalam persyaratan IMF tertuang di dalam berbagai LoI. UU ini ditindaklanjuti PP No. 31 Tahun 2003 tentang Status Pertamina menjadi persero, tidak lagi berfungsi sebagai regulator dan kontraktor secara bersamaan. Posisi Pertamina sama dengan perusahaan asing dapat mengakses pasar modal. UU ini juga memindahkan kewenangan otoritas Pertamina untuk dijalankan oleh BP Migas (Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Ga). Ketentuan tentang BP Migas ini telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2012, sekitar 11 tahun kemudian. Pada LoI 31 Juli 2000 di bawah Rezim Gus Dur-Megawati akan mepercepat privatisasi sektor telekomunikasi dan energy dengan segera menyiapkan perangkat hukum bagi perusahaan-perusahaan bergerak di sektor ini. Selain itu, Rezim Megawati juga akan memperluas lingkup sektor ekonomi terbuka bagi investor asing. Pada LoI 7 September 2000, mempertegas kembali komitmen Rezim Megawati telah dibahas dalam LoI 31 Juli 2000 dengan beberapa penambahan komitmen, di antaranya akan melibatkan IMF, Bank Dunia, dan komunitas internasional. Pada LoI 19 Maret 2003 di bawah Rezim Megawati-Hamzah Haz, memfokuskan pada upaya pemulihan ekonomi tahun 2003, salah satunya memperbaiki iklim investasi melalui reformasi hukum dan struktural. Melalui UU Komersil dan Kepailitan segera dijalankan untuk memberikan kepastian bagi investor. Kerangka hubungan industrial akan diperbaiki untuk memperbaiki iklim investasi ini. Pada 2004-2009 di bawah Rezim SBY-Jusuf Kalla, muncul kebijakan reformasi inisiatif investasi, bertujuan memberikan dorongan dan fasilitasi terhadap swasta melakukan investasi, serta penerapan kebijakan sama untuk investor asing dan domestic. Investor diizinkan untuk berinvestasi di sektor ekonomi kecuali kegiatan tercantum pada “negatif List”. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) menggantikan UU PMA Tahun 1967. UU No. 25 Tahun 2007 ini menyederhanakan regulasi investasi dan menyamaratakan ketentuan hukum baik untuk investor asing maupun domestik, kecuali investor berasal dari negara-negara memiliki perlakuan khusus sesuai kesepakatan dibuat negara-negara tersebut dengan Indonesia. Intinya, UU ini tidak jauh dengan persyaratan “divestasi umum”. Regulasi ini melindungi investasi asing dari nasionalisasi dan pengambilaalihan lewat Pengadilan Arbitrase Internasional dalam kasus sengketa dengan Pemerintah Indonesia. Masih di bawah Rezim SBY-Jusuf Kallah, terdapat Daftar Negatif baru membuka beberapa sektor untuk pihak asing berperanserta lebih besar. Masih di bawah Rezim SBY-Jusuf Kalla, liberalisasi di bidang investasi berlanjut. Hukum pertambangan memungkinkan konsesi kepemilikan asing. Pembatasan milik asing dihilangkan. Hukum listrik memungkinkan operator swasta di daerah tidak dilayani oleh PLN. Sektor listrik dimungkinkan adanya investasi baru dalam bidang infrastruktur. Di bawah Rezim SBY-Boediono, juga Daftar Negatif baru membuka beberapa sektor untuk peranserta pihak asing lebih besar. Kebijakan liberalisasi di bidang investasi ini ditindaklanjuti melalui penerbitan UU tentang Pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Tujuannya, untuk mendorong penanaman modal di Indonesia. Praktek dan kebijakan dengan ciri neo liberal di atas itulah selama ini dilakukan intensif oleh Rezim SBY-Boediono. Gelombang kritik atas kebijakan ini baik mengacu pada konstitusi (UUD 1945) maupun pada pendekatan ilmu ekonomi politik terus menerus dan sangat gencar mengambil tempat di Republik ini. Gelombang kritik menegaskan dan memperjelas bahwa kebijakan “bernapas” neoliberalisme memiskinkan mayoritas rakyat, menjadikan kesenjangan sosial ekonomi, hancurnya nasionalisme, dan berbagai output dan ekses negatif lain, kejam dan buruk/jahat. Namun Rezim SBY-Boediono tidak peduli, aset-aset bangsa terus digadai/diobral murah ke pihak asing. Bahkan, pengkritik perihatinkan, demi status quo kekuasaan Rezim SBY-Boediono ini menjadikan rakyat miskin dan menderita sebagai obyek “devide at impera”, yakni diadu domba antar desa, antar ormas, antar agama, antar aliran, antar suku dll. Kembali pada pembicaraan tentang perubahan politik era reformasi, di bawah UUD 1945 hasil Amandemen, Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) dipilih secara langsung oleh rakyat. Metode kampanye calon Presiden dan Wakil Presiden menjadi berubah, mereka langsung bersama Tim Kampanye, Partai Politik Penyusung, Partai Politik Pendukung, komponen Relawan, dll. mempengaruhi calon pemilih melalui metode kampanye dalam berbagai instrument dan cara. Salah satu cara adalah memberikan pernyataan baik tertulis maupun lisan janji-janji kampanye yang akan dilaksanakan jika kelak berhasil menjadi Presiden dan Wakil Presiden (menang dalam perolehan suara pemilih). Tatkala kampanye untuk mempengaruhi calon pemilih berlangsung, Calon Presiden dan Wakil Presiden memberikan beragam janji kepada calon pemilih. Memberikan janji kampanye ini merupakan salah satu metode mempengaruhi calon pemilih dan meraih suara pemilih. Idealnya, janji-jani Calon Presiden dan Wakil Presiden saat kampanye adalah menjadi program kerja Pemerintah tatkala telah menduduki jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Janji itu adalah utang politik Presiden dan Wakil Presiden kepada rakyat. Jika program kerja tersebut tidak berjalan dengan baik, bukannya tidak mungkin rakyat akhirnya menjadi apatis terhadap Pemerintah, dan mengajukan gugatan hukum ke lembaga peradilan. Apakah janji kampanye mengikat secara hukum? Jika dalam perjalanannya calon Presiden dan Wakil Presiden pemberi janji berhasil menduduki kekuasaan dan bertindak sebagai Presiden dan Wkil Presiden apakah “harus“ melaksanakan janji tersebut? Dengan perkataan lain, apakah janji kampanye dapat mengikat secara hukum atau syarat “sanksi” hukum jika Presiden dan Wakil Presiden bersangkutan tidak menepati atau gagal memenuhi janji? Pertanyaan pokok ini akan terjawab dengan menelaah kasus gugatan “citizen lawsuit” terkait dengan janji kampanye Susilo Bambang Yudhoyono (SBY-BOEDIONO)-Jusuf Kalla (JK) Pilpres 2004. Pada Februari 2009, Sekitar 70 warganegara Indonesia mengajukan gugatan citizen lawsuit ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Para penggugat menyatakan SBY-JK “wanprestasi” karena tak bisa menuntaskan janji kampanye pada Pilpres 2004. Saat kampanye pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden SBY-JK berjanji meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mencapai 7,6 % pada 2009. Angka kemiskinan diprediksikan turun dari 17,14 % menjadi 8,7 % pada 2009. Janji kampanye itu kembali dinyatakan melalui pidato kenegaraan tatkala SBY-JK ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Menurut para penggugat, dalam kenyataannya Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat memenuhi janji kampanye sehingga dikatagorikan “wanprestasi”. Saat itu, tingkat pertumbuhan ekonomi baru mencapai 5,5 %, tidak mencapai peningkatan menjadi 7,6 %. Tingkat kemiskinan mencapai 17,7 % pada 2005, dan 15,54 % pada 2008, tidak mencapai penurunan menjadi 8,7 %. Namun, pada 24 Agustus 2009 saat membacakan putusan Majelis Hakim diketuai Makmun Masduki menolak gugatan dan menyatakan kegagalan SBY-JK dalam memenuhi janji kampanye bukan wanprestasi. Ketidakberhasilan janji kampanye politik itu bukan karena kesengajaan sehingga tidak bisa menjadi sengketa hukum. Lalu, apa opini sebagian pengamat hukum tentang penolakan gugatan itu? Salah satu Terdapat opini adalah janji kampanye politik disebutkan atau diedarkan atau sebagai visi dan misi adalah janji yang tidak memiliki kekuatan hukum. Janji itu adalah janji “bodong”. Unsurnya adalah “Penipuan” bagi masyarakat Pemilih. Janji Presiden dan Wakil Presiden lebih merupakan janji publik ketimbang janji perdata. Sehingga penyelesaiannnya kurang tepat ke peradilan umum. Namun, ada opini menegaskan, bukan berarti janji kampanye politik tidak bisa dituntut secara hukum. Ranahnya bisa saja ke peradilan umum atau badan peradilan lain setingkat Mahkamah Konstitusi (MK). Realitas obyektif menunjukkan bahwa hingga kini, belum ada rakyat Indonesia mengajukan gugatan semacam ini kepada MK. Pada Pilpres 2009 telah berhasil meraih suara pemilih terbanyak adalah Pasangan SBY-Budiono. Pada 20 Oktober 2009 rakyat Indonesia menjadi saksi atas dilangsungkannya satu prosesi pelantikan Presiden berserta Wakil Presiden RI periode 2009-2014. SBY-B oediono kembali terpilih sebagai Presiden RI. Apa janji kampanye SBY-Boediono? Pada 22 Oktober 2009 di Istana Negara disahkan pula Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II (Periode 2009-2014) sehingga sejak waktu itu SBY-Boediono telah membentuk suatu “rezim kekuasaan pemerintahan” sebagaimana disebut “Rezim SBY-Boediono”. Secara resmi nama-nama anggota rezim SBY-Boediono dipublikasikan secara luas kepada rakyat Indonesia, di antaranya: Djoko Suyanto (Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan); Hatta Radjasa (Menteri Koordinator Perekonomian); Agung Laksono (Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat); dan, Sudi Silalahi (Menteri Sekretaris Negara). Pada Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II ini terdapat wajah-wajah baru anggota rezim SBY-Boediono, walaupun beberapa di antaranya masih wajah lama. Kepada anggota rezim inilah seyogyanya janji kampanye SBY-Boediono disandarkan. Keahlian dan kompetensi mereka diharapkan akan mampu menyelesaikan atau memecahkan permasalahan pemerintahan/Negara, dunia usaha dan masyarakat madani dirumuskan di dalam butir-butir janji kampanye SBY-Boediono. Lebih dari itu, para anggota rezim SBY-Boediono harus mampu bekerja sehingga terdapat penilaian atas keberhasilan, bukannya kegagalan. Untuk mengidentifikasi janji kampanye SBY-Boediono sesungguhnya dapat diperoleh dari dua jenis data, yakni jenis data primer dan sekunder, atau tertulis atau lisan. Jika primer dan tertulis, tentu dapat diperoleh di Komisi Pemilihan Umum (KPU) karena setiap Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden memberikan dokumen mengandung janji kampanye kepada KPU sebagai salah satu persyaratan ditentukan KPU. Namun, dalam karya buku ini, data janji kampanye SBY-Boediono dikumpuilkan berdasarkan jenis data sekunder dan melalui pidato-pidato kampanye SBY-Boediono di forum publik saat pelaksanaan Pilpres 2009 berlangsung. Kampanye akbar SBY-Boediono dilaksanakan di Gedung Gelora Bung Karno (GBK) pada hari Minggu 4 Juli 2009. Masa dari berbagai Partai Politik Pengusung dan Partai Politik Pendukung Pasangan SBY-Budiono, organisasi masyarakat dan komponen Relawan dan simpatisan berbondong-bondong menghadiri kampanye terakhir Pasangan SBY-Budiono. Diperkirakan, lebih daripada 200 ribu orang memenuhi gedung Gelora Bung Karno. Massa telah datang dan menunggu dari pukul 12.00 WIB, dan pidato pembuka disampaikan oleh Calon Wakil Presiden Budiono. Dalam pidatonya Budiono menegaskan, "Yang menang kelak tidak melecehkan yang kalah, dan yang kalah tidak memusuhi yang menang". Budiono juga mengatakan, Pasangan SBY-Budiono akan memberikan bukti, bukan janji kosong atau angin surga yang diucapkan tidak berdasarkan realita. Pidato dilanjutkan dengan orasi Calon Presiden SBY diawali dengan ucapan terima kasih sebanyak tiga kali kepada semua hadir di Senayan. Dalam pidato SBY menjanjikan, lima agenda dan 15 prioritas yang akan dilaksanakan jika SBY-Budiono menang pada Pilpres 8 Juli 2009 ini. Lima Agenda dimaksud adalah: 1.Peningkatan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. 2.Pembangunan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. 3.Penguatan demokrasi dan menghormati hak asasi manusia. 4.Penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. 5.Pembangunan adil dan merata. Sedangkan 15 butir prioritas dalam janji kampanye SBY-Boediono adalah: 1.Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi minimal 7% sehingga kesejahteraan rakyat meningkat. 2.Kemisikinan Kemiskinan harus turun 8-10% dengan meningkatkan pembangunan pertanian, pedesaan dan program pro rakyat. 3.Pengangguran Pengangguran turun 5-6% dengan cara meningkatkan peluang lapangan pekerjaan dan peningkatan penyaluran modal usaha. 4.Pendidikan Pendidikan harus ditingkatkan lagi. Mutu infrastruktur dan kesejahteraan guru dan dosen ditingkatkan. Persamaan perlakuan sekolah negeri-swasta-agama. Tetap melanjutkan sekolah gratis bagi yang tidak mampu. 5.Kesehatan Masalah kesehatan dengan terus melakukan pemberantasan penyakit menular dan melanjutkan pengobatan gratis bagi yang tidak mampu. 6.Pangan Swasembada beras dipertahankan. Ke depannya Indonesia akan menuju swasembada daging sapi dan kedelai. 7.Enerji Penambahan enerji daya listrik secara nasional. Kecukupan BBM dan pengembangan energy terbarukan. 8.Infrastruktur Pembangunan infrastruktur di seluruh wilayah Indonesia. Mulai dari perhubungan, pekerjaan umum, air bersih, TI (Teknologi Informasi) maupun pertanian. 9.Perumahan Rakyat Peningkatan pembangunan rumah rakyat seperti proyek rusun (rumah susun) murah untuk buruh, TNI/Polri, dan rakyat kecil. 10.Lingkungan Pemeliharaan lingkungan terus ditingkatkan seperti reboisasi lahan. 11.Pertahanan dan Keamanan Kemampuan pertahanan dan keamanan terus ditingkatkan seperti pengadaan dan modernisasi alustista TNI/Polri. 12.Reformasi Birokrasi Refomasi birokrasi, pemberantasan korupsi terus ditingkatkan. 13.Otonomi Daerah Otonomi daerah dan pemerataan daerah ditingkatkan. 14.Demokrasi dan HAM Demokrasi dan penghormatan terhadap HAM makin ditingkatkan. Jangan terjadi lagi pelanggaran HAM berat di negeri ini. 15.Politik Luar Negeri Peran Indonesia makin ditingkatkan di dunia internasional. Berperan aktif dalam menciptakan perdamaian dunia. Di lain pihak, kampanye Pasangan SBY-Boediono digelar di GOR Saburai, Bandar Lampung, 16 Juni 2009. Calon Presiden dan Wakil Presiden SBY-Boediono, tampaknya ingin mengulang klaim sukses pembangunan Jembatan Suramadu (Surabaya-Madura), Jawa Timur. Dalam pidato kampanye politik, SBY mengatakan, salah satu misinya adalah pembangunan adil dan merata. Salah satu agenda aksinya adalah pembangunan infrastruktur yang padat karya. Selanjutnya SBY menyatakan bahwa salah satu proyek infrastruktur menjadi prioritas adalah pembangunan jembatan Selat Sunda. ''Jembatan Selat Sunda bisa kita percepat pembangunannya,'' kata SBY disambut tepuk tangan sekitar dua ribu peserta kampanye yang memadati GOR Saburai. Rencana kegiatan pembangunan jembatan Selat Sunda memiliki panjang 29 Km. Jika, rencana kegiatan ini dilaksanakan dan mencapai tahap operasional (pasca konstruksi), maka diperkirakan jembatan ini tergolong jembatan terpanjang kedua di dunia. Sedangkan jembatan terpanjang pertama terdapat di Shanghai, Tiongkok, memiliki panjang 36 Km. Selisih panjang kedua jembatan itu adalah hanya 7 (tujuh) Km saja. Di samping masih pada kampanye di Lampung, SBY juga berbicara tentang kemandirian pangan dan energi. Dikatakannya, selama memimpin pemerintahan Indonesia hampir lima tahun, dirinya sempat menghadapi gejolak pangan dan minyak. Namun, dengan kerja keras, masalah tersebut bisa diatasi. Kemandirian pangan, salah satu contohnya adalah tercapainya swasembada beras sejak tahun lalu. Kemudian, tahun ini Indonesia juga swasembada jagung dan gula konsumsi. Produksi padi hari ini surplus 62 juta ton. Indonesia bisa ekspor setelah dipastikan kebutuhan dalam negeri aman. Kedelai masih kurang. “Mudah-mudahan tahun depan kita bisa stop impor kedelai,'' kilah SBY-Boediono. Di kesempatan lain, SBY juga telah berjanji kepada publik atau calon pemilih, untuk menyediakan 8 (delapan) juta hektar tanah bagi masyarakat miskin. Kriteria Penilaian Keberhasilan atau Kegagalan Rezim SBY-Boediono? Sesungguhnya janji kampanye SBY-Boediono Pilpres 2009 dapat dijadikan kriteria penilaian keberhasilan atau kegagalan rezim SBY-Boediono periode 2009-2014. Setidak-tidaknya, terdapat 15 butir kriteria penilaian keberhasilan dan kegagalan rezim SBY-Boediono sebagaimana diucapkannya pada saat berlangsungnya kampanye di Gelora Bung Karno, Jakarta, 4 Juli 2009. Adapun 15 butir dimaksud adalah (1) Pertumbuhan Ekonomi; (2) Kemiskinan; (3) Pengangguran; (4) Pendidikan; (5) Kesehatan; (6) Pangan; (7) Enerji; (8) Infrastruktur; (9) Perumahan Rakyat; (10) Lingkungan; (11) Pertahanan dan Keamanan; (12) Reformasi Birokrasi; (13) Otonomi Daerah; (14) Demokrasi dan HAM; dan, (15) Politik Luar Negeri. Suatu penilaian keberhasilan atau kegagalan suatu rezim berkuasa pada pemerintahan/negara sangat penting dilakukan oleh rakyat karena sesungguhnya keberadaan rezim berkuasa itu semata-mata untuk melayani rakyat sebagai “pemilik kedaulatan” atau “pengguna/users” dalam kehidupan demokratis. Karena rezim berkuasa tidak melakukan “kontrak politik” dengan lembaga negara, tetapi dengan rakyat sebagai pemilik atau pemegang kedaulatan, maka kriteria penilaian/evaluasi keberhasilan atau kegagalan rezim berkuasa adalah butir-butir janji kampanye politik yang diberikan oleh Calon Presiden dan Wakil Presiden bersangkutan. Sesungguhnya rezim berkuasa terbentuk setelah berhasilnya suatu Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden merebut kekuasaan eksekutif melalui Pilpres. Dalam konteks Indonesia, juga demikian, adalah sangat tepat jika janji politik Presiden SBY-Boediono saat berkampanye pada Pilpres 2009 digunakan sebagai kriteria atau standar penilaian/evaluasi keberhasilan atau kegagalan rezim SBY-Boediono periode 2009-2014.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda