Sabtu, 20 November 2010

MENGAPA ANGGOTA DPR-RI KORUPSI?

OLEH
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP




PERTANYAAN POKOK

Pertanyaan Pokok “Mengapa Anggota DPR-RI Korupsi?” ini membutuhkan jawaban kausalitas (sebab-akibat), tidak saja bersifat personal tetapi juga structural (kelompok kepentingan) di mana anggota tersebut menjadi anggota/kader. Anggota DPR-RI dimaksud adalah anggota legislative nasional hasil Pemilu dan anggota salah satu Parpol peserta Pemilu bersangkutan. Perilaku korupsi anggota DPR ini sesungguhnya beragam modus, mulai dari sebagai pelaku tidak langsung tapi menentukan pada “pengadaan barang/jasa Pemerintah” terutama tingkat nasional (dana APBN) hingga pelaku pendukung pembuatan keputusan politik dalam bentuk Undang-undang yang menguntungkan atau berpihak pada kepentingan pelaku usaha/korporasi baik nasional maupun internasional sebagaimana disebut sebagai “korupsi sandera negara”.

Sudah banyak data dan fakta hukum dan keputusan pengadilan membuktikan perilaku korupsi anggota DPR. Juga berbagai opini publik melalui survei menunjukkan lembaga penyelenggaraa negara ini termasuk lembaga paling korup, setelah Parpol. Sesungguhnya realitas obyektif masih menunjukkan fenomena anggota DPR korup dan opini publik tentang DPR semacam itu masih terus berlangsung.

KELOMPOK JAWABAN

Beragam jawaban atau alasan atas pertanyaan pokok di atas telah diajukan oleh berbagai pengamat politik dan juga aktivis anti korupsi di Indonesia. Terdapat perbedaan-perbedaan jawaban, namun terdapat juga kesamaan-kesamaan yang dipilih. Dari semua jawaban dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1.Rekruitmen politisi di internal Parpol yang melahirkan anggota DPR berorientasi uang. Hubungan loyalitas anggota dan Parpol berdasarkan setoran uang. Model rekruitmen yang “high cost precedure” dalam Parpol menjadi pintu awal praktik korupsi di tubuh DPR. Tiadanya jenjang karir yang jelas dalam politik. Untuk bisa duduk di DPR, sekarang lebih ditentukan kedekatan dengan pimpinan Parpol dan dana yang dimiliki serta bukan prestasi. Ini membuat sebagian anggota DPR mencari harta sebanyak-banyaknya.

2.Sumber pendanaan untuk Parpol maupun anggota DPR itu sendiri.

3.Mahalnya ongkos politik bagi Politisi yang menjadi pejabat publik akan mengembalikan investasi politik yang dikeluarkannya kemudian menggunakan sumber daya pulik yang dikuasainya untuk kelanggengan kekuasaan. Dana yang besar dalam politik antara lain dibutuhkan untuk memperjuangkan nomor urut dan daerah pemilihan saat Pemilu, memelihara pemilih dan mengamankan posisi di Parpol. Hal ini diperkuat adanya aturan mengenai pendanaan Parpol yang dilarang memiliki unit usaha dan hanya menghandalkan pendanaannya dari iuran anggota. Kebutuhan akan biaya politik yang tinggi dan hasrat untuk mempertahankan kekuasaan kian mendorong terjadinya perselingkungan yang keji antara kelompok bisnis dan politik-birokrasi.

4.Transparansi dan akuntabilitas DPR sangat rendah. Hampir tidak ada mekanisme yang dapat menjamin transparansi dan akuntabilitas itu dijalankan. DPR tidak menegakkan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik dalam berbagai pengambilan keputusan sehingga terjadi kongkalikong atau politik dagang sapi. DPR melakukan pengawasan sampai pada satuan tiga atau proyek, tidak hanya tahap program saja. Hal ini diperkuat kagi dengan tidak transparannya atau tertutupnya rapat pembahasan anggaran oleh Panitia Anggaran DPR dan Pemerintah. Banyaknya “ruang gelap” yang bisa dimainkan DPR.

5.Lemahnya posisi kontrol masyarakat dan konstituen untuk mengendalikan perilaku anggota DPR. Sementara itu, posisi lembaga legislatif pada saat ini sangat kuat dan tingginya ambisi anggota DPR dan elite Parpol untuk mendapatkan kekuasaan dan kekayaan dengan gaya hidup “konsumerisme” dan “hendonisme” keluarga anggota DPR dimaksud.

6.Masyarakat lebih menghormati hal-hal yang bersifat kebendaan; lebih menghargai nilai sumbangan sosial keagamaan yang diberikan oleh mereka; dan tutup mata terhadap asal-usul derma. Dengan perkataan lain, koruptor bisa demikian terhormat di masyarakat yang dapat merangsang dan mendorong orang korupsi.

7.Kewewenangan DPR kegemukan, semua hal bermuara di DPR mulai dari pembahasan anggaran, rekruitmen pejabat publik, perizinan hutan dan sebagainya. Tidak mengherankan anggota DPR bisa mempejualbelikan kewenangan untuk kepentingan individu. DPD (Dewan Perwakilan Daerah) yang semula diadakan untuk menyeimbangi kewenangan DPR yang luar biasa itu ternyata tidak berkutik. Sistem bikameral yang diciptakan UUD 45 Perubahan (Amandemen) ternyata tidak berjalan baik. Kewenangan DPD tidak ada apa-apanya di mata DPR kecuali hanya sebagai instansi formalitas belaka.

8.Sebagai konsekuensi dari politik berbiaya tinggi yang muncul karena dua alasan, yakni sistem rekkruitmen dan promosi Parpol yang tidak berdasarkan kriteria keunggulan. Selain itu, calon anggota DPR dibiasakan dengan iming-iming materi sejak memperkenalkan diri sampai meminat dukungan suara. Di samping itu, mereka terjebak keinginan untuk menaikkan status sosial dengan ukuran materi. Wakil rakyat meyakini kenaikan status itu dapat diperoleh bila nilai kejayaan dan gaya hidup mereka naik. Karena memaknai kenaikan status sosial seperti itu, mereka terjebak ke dalam hidup berbiaya tinggi bersama keluarga dan terdorong untuk mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya.

9.Struktur kekuasaan DPR telah begitu meluas sehingga dapat dikatakan, hitam-putihnya negeri ini ditentukan Parpol-parpol di DPR. Pengalihan locus fungsi legislasi dari Presiden ke DPR melalui amandemen konstitusi memberikan peluang bagi DPR untuk memperoluas otoritasnya melebihi yang seharusnya dimiliki parlemen dalam skema sistem presidensial. Pengangkatan pejabat publik, mulai anggota komisi negara, hakim agung, pimpinan KPK, pimpinan BPK dan pimpinan BI kini menjadi otoritas DPR sehingga fungsi presiden sekadar pengusul nama, lalu mengabsahkan melalui surat keputusan presiden (Kepres).

10.Pemerintah cenderung membiarkan terbangunnya relasi bersifat politik transaksional dengan DPR ketimbang relasi bersifat institusional. Transaksi tertutup berlangsung saat Presiden dan DPR bersepakat melalui rapat-rapat konsultasi akhirnya meredam usul hak interpelasi atau hak angket DPR. Hak angket impor beras, misalnya, kandas setelah berlangsung lobi setengah kamar antara pemerintah dan pimpinan fraksi DPR di Hotel Dharmawangsa. Transaksi paling terlanjang dialami para pejabat eselon I (sekjen atau setama) saat berhadapan dengan Panitia Anggaran DPR dalam menegoisasi alokasi anggaran masing-masing departemen dalam struktur APBN. Sedangkan transaksi skala kecil berlangsung hampir di setiap pekan di lobi atau kafe-kafe hotel berbintang di jakarta antara DPR dan pejabat daerah untuk mengurus dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dana bagi hasil atau “biaya sosialisasi” terkait pemekaran daerah.

11.Pendangkalan pemahaman para wakil rakyat terhadap esensi politik, Parpol, parlemen dan hakikat keterlibatan mereka dalam kehidupan politik nasional. Politik didistorsikan secara konkreat sekedar sebagai kekuasaan sehingga perdebatan tentang moralitas atau etika, hati nurani, dan keberpihakan pada penderitaan rakyat tidak lagi relevan bagi sebagian politikus DPR. Parpol cenderung dipraktikkan sebaai tempat untuk “mengambil” ketimbang wadah untuk mengabdi bagi Ibu Pertiwi seperti diteladani para pendiri bangsa ini. Berbagai UU bidang politik yang selalu direvisi menjelang Pemilu cenderung dirancang melestarikan realitas obyektif yang tidak pro rakyat ini.


SUMBER MASALAH BAGI RAKYAT

Parpol sebagai pilar demokrasi sesungguhnya tipe ideal atau sebagai realitas subyektif sehingga dapat berfungsi menciptakan iklim yang kondusif dan program konkrit untuk mensejahterakan rakyat. Iklim demokrasi diharapkan dapat menciptakan kehidupan ekonomi rakyat lebih baik dan makmur. Dengan iklim demokrasi dipercaya akan membawa dampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat. Karena itu, Parpol sebagai pilar demokrasi suatu keharusan.

Namun, dalam kenyataannya, justru Parpol telah berfungsi sebagai pencipta iklim korupsi anti demokrasi yang menyebabkan tidak terciptanya iklim yang kondusif dilaksanakan bagi program konkrit untuk mensejahterakan rakyat. Jika Parpol sudah bertindak sebagai anti demokrasi dan berprilaku korup, maka Parpol dapat disimpulkan telah menjadi salah satu pilar sumber masalah bagi upaya dan mensejahterakan rakyat dan juga bagi upaya menghentaskan kemiskinan rakyat selama ini. Realitas obyektif kepartaian ini terus berlangsung, maka cita-cita reformasi tidak terwujud, malah sebaliknya reformasi telah menghasilkan elite kekuasaan, terutama anggota Parpol di eksekutif dan legislatif, anti demokrasi dan pro korupsi.

Upaya negara mensejahterakan atau menghentaskan kemiskinan rakyat hanya wacana tanpa pelaksanaan program konkrit. Rakyat tidak akan berubah menjadi lebih sejahtera, bahkan sebaliknya kemiskinan dan keterbelakangan semakin meningkat. Perilaku politik Parpol bukan lagi sebagai pilar demokrasi “pemecah masalah”, tetapi “sumber masalah” bagi rakyat.

Bisa disimpulkan, jika tidak boleh dikatakan justru mempunyai “penyebab negatif”, Parpol era reformasi tidak mempunyai “pengaruh positif berarti” terhadap penghentasan kemiskinan dan keterbelakangan rakyat. Asumsi-asumsi dasar dari kalangan kader Parpol bahwa kiprah Parpol dalam pemerintahan untuk merealisasikan cita-cita dan tujuan reformasi, apalagi kesejahteraan rakyat, adalah suatu “utopia” belaka. Asumsi-asumsi itu sesungguhnya dibeberkan baik di media massa maupun forum-forum publik hanyalah sebagai upaya justifikasi dan penguatan “kesadaran palsu” yang selama ini berkembang masyarakat madani, khususnya masyarakat politik Parpol.

Kesimpulan lain adalah sistem multipartai yang secara teoritis dapat membuat pemerintahan menjadi demokratis, namun lebih menguntungkan elite politik dan sebaliknya rakyat tidak mendapatkan banyak keuntungan. Sistem multipartai dalam perjalanan politik kartel, ternyata tidak mampu memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Banyak Parpol memang mengesankan demokratis, namun keuntungan hanya dinikmati elite politik, termasuk pengusaha dari konco-konco orang Parpol. Rakyat tetap tidak mengalami perubahan lebih baik.

REGULASI BARU PARPOL

Permasalahan kepartaian ini perlu dipecahkan, terutama menyangkut sumber pendanaan Parpol. Membenai Parpol memecahkan masalah korupsi di Indonesia karena proses rekruitmen terhadap pejabat publik dimulai dari Parpol. Parpol harus bersih agar proses kaderisasi pejabat publik menjadi tidak korup. Salah satu sebab Parpol sebagai pusat korupsi berawal dari kegagalan Parpol dalam menggalang dana dari publik. Parpol tidak mampu memiliki sumber pendanaan secara mandiri.

Salah satu cara pemecahan yakni negara (eksekutif dan legislatif) melakukan regulasi baru atau menerbitkan Undang-undang Parpol baru yang mengharuskan rekonstruksi sumber pendanaan Parpol yang tidak menyebabkan anggota Parpol baik di parlemen maupun di eksekutif melakukan tindak pidana korupsi atau mengambil uang negara secara ilegal. Tanpa rekonstruksi sumber pendanaan, kiprah Parpol dalam realitas obyektif melakukan politik kartel anti demokrasi dan pro korupsi akan terus berlangsung dan pada gilirannya membawa dampak negatif terhadap upaya penciptaan kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan/keterbelakangan rakyat.

Di samping masalah sumber pendanaan Parpol, satu masalah lain juga sangat penting dipecahkan adalah pelaksanaan secara konsisten dan konsekuensi fungsi Parpol untuk percepatan proses demokratisasi, bukan anti demokratisasi yang selama ini berlaku. Dalam era reformasi Parpol harus memperjuangkan demokratisasi, namun dalam kenyataan obyektif, Parpol tidak melakukan kegiatan-kegiatan di kehidupan sehari-hari. Hasil jajak Pendapat Litbank Kompas (26-27 Mei 2010) dengan 781 responden 17 tahun keatas di 57 kota Indonesia mempertegas realitas obyektif dimaksud, yakni 58,9 % responden tidak puas tentang Parpol memperjuangkan demokratisasi, hanya 35,1 % yang puas. Jajak Pendapat juga mengungkapkan, lebih ari separuh (54 %) responden mengemati bahwa selama ini tidak ada aktivitas organisasi yang berarti dari Parpol-parpol yang ada diwilayahnya. Sebagian besar responden tiak pernah mngetahui kegiatan maupun aktivitas Parpol seperti dalam hal perekruitan anggota, pendidikan politik, penggalaman dana, maupun dalam pendampingan-pendampingan saat situasi krisis berlangsung di wilayah mereka. Sebagian besar responden tidak merasakan kehadiran Parpol di kehidupan sehari-hari.

Untuk itu, perlu dipecahkan melalui regulasi yang mengharuskan Parpol menjalankan fungsi sebagaimana mestinya terutama bisa menciptakan sistem keanggotaan sistemik berdasarkan meritokrasi sebagai salah satu prinsip demokrasi. Regulasi dimaksud juga harus dapat memaksa Parpol untuk melaksanakan prinsip kedaulatan anggota/konstituen, bukan kedaulatan uang dan elite Parpol.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda