Rabu, 05 Januari 2011

PILKADA BIAYA TINGGI DAN PERILAKU KORUPSI KEPALA DAERAH

Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP




Permasalahan pelaksanaan Pilkada secara langsung khususnya bagi calon atau pasangan calon adalah besarnya biaya diperlukan untuk memperoleh status sebagai Calon Kepala Daerah dan memperoleh suara masyarakat pemilih. Besarnya biaya diperlukan bukan saja bagi calon/kandidat non-incumbent, tetapi juga calon incumbent. Pihak incumbent mengikuti Pilkada untuk periode jabatan kedua mungkin mendapatkan dana hasil korupsi dari pemberian ijin-ijin konsesi, ataupun dari peningkatan nilai (mark-up) atau kolusi pada pengadaan barang/jasa Pemerintah di daerah bersangkutan. Pihak non-incumbent mungkin mendapatkan sumbangan dari pihak-pihak dijanjikan mendapatkan ”balasan” jika kandidat tersebut memenangkan Pilkada. Setelah menang menjadi Kepala Daerah, dilakukan ”balasan” dengan perilaku korupsi pada pengadaan barang/jasa Pemerintah di daerah tersebut.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di depan Sidang Paripurna Gabungan DPR dan DPD (1 5 Agustus 2010) mengaku prihatin dengan maraknya demokrasi biaya tinggi khususnya Pilkada. Bukan rahasia lagi, ujarnya, bahwa setiap Pilkada selalu dibarengi dengan politik biaya tinggi. “Sudah sering kita dengar, seorang kandidat dengan timnya harus mengeluarkan uang yang begitu banyak”, tegasnya. Menurut SBY, kegiatan demokrasi seperti itu, sumber dana legal dan juga besarannya sesuai dengan aturan. Tapi kenyataannya tindakan seperti itu justru hanya akan menimbulkan politik uang dan bahkan memicu terjadinya perbuatan anarkis seperti terjadi di Pilkada beberapa daerah. Politik biaya tinggi ini, lanjutnya, berimbas negatif bagi perkembangan demokrasi dan merugikan masyarakat. “Berdampak negatif pada moral, etika, budaya, politik kita”, tegasnya.

SBY memperkuat lagi penilaian tentang Pilkada biaya tinggi ini saat menerima kunjungan ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia), di kantor Kepresidenan, Jakarta, 18 Agustus 2010. SBY juga menunjukkan keperihatinan dengan praktik politik dan demokrasi Pilkada biaya tinggi. Akibat praktik itu, esensi kepemimpinan di daerah jauh dari diharapkan masyarakat sebagai pemilih. “Satu keprihatinan dan kecemasan kalau politik dan demokrasi kita ini menjadi suatu amat mahal, high cost politics, dan high cost democracy. Bukan rahasia lagi kalau orang mencemaskannnya. Pilkada saja biayanya sangat tinggi, apakah pemilihan bupati, Walikota, dan Gubernur,” tandas SBY Sembari mengingatkan, saat ini perlindungan atas hak asasi manusia telah memadai, partisipasi politik rakyat juga meningkat, proses Pemilu berjalan tertib dan kebebasan pers dijalankan sebagai dampak positif dari perkembangan demokrasi di Indonesia.

Penilaian Pilkada biaya tinggi juga datang dari Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, mengungkapkan sebuah paradoks, yaitu untuk menjadi seorang Kepala Daerah dituntut untuk menciptakan pemerintahan bersih. Untuk menjadi seorang kepala daerah dibutuhkan uang miliyaran rupiah, setelah menjadi kepala daerah dituntut untuk menciptakan pemerintahan bersih. Gamawan mengatakan, gaji Gubernur sebesar Rp. 8,7 juta per bulan, ungkap Mendagri.”Kalau menjadi seorang Gubernur dibutuhkan uang Rp. 20 miliyar, dengan gaji Gubernur itu, butuh waktu berapa lama untuk mengembalikan uang Rp. 20 miliyar itu?”, ungkap Mendagri (Kompas, 22 Juli 2010).

Ungkapan Mendagri ini mendapat banyak tanggapan. Salah sastunya adalah Mudrajad Kuncoro, Staf Pengajar Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM (Kompas, 23 Juli 2010), memperkirakan dari sisi KPU, daya dibutuhkan bisa mencapai Rp. 4 triliyun untuk 244 Pilkada. Angka ini belum ditambah apabila dilihat dari sisi pengeluaran calon kepala daerah. Misalnya, untuk tingkat Kabupaten seorang calon menghabiskan dana sekitar Rp. 5 miliyar, calon Gubernur lebih dari Rp. 20 miliyar. Jika setiap daerah minimal ada tiga, maka dana dibutuhkkan jauh lebih besar.

Biaya dibutuhkan untuk Pilkada oleh calon Kepala Daerah sesungguhnya bervariasi, namun umumnya lebih Rp. 5 miliyar untuk kabupaten/Kota dan Rp. 20 miliyar untuk Provinsi. Bahkan, hasil studi di salah satu Kabupaten di Sumatera Utara, seorang calon untuk memenangkan Pilkada telah menghabiskan minimal Rp. 50 miliyar untuk dua putaran. Namun, beberapa Bupati berkilah mengeluarkan dana sebanyak itu. Sebagai misal, Amirullah mengakui, biaya dikeluarkan calon Bupati atau Wakil Bupati dalam Pilkada memang cukup besar, namun biaya dapat diperoleh dari berbagai sumber, seperti dana pribadi dan sumbangan orang lain. Namun, ia enggan merinci pengeluaran dananya (Kompas, 23 Juli 2010).

Selanjutnya, Bupati Kubu Raya Muda Mahendrawan dan Bupati Kayong Utara Hildy Hamid di Kalimantan Barat mengaku bisa menghemat biaya. Mereka melakukan survei melihat populeritas sebelum memutuskan untuk maju dalam Pilkada. Keduanya mencalonkan diri setelah melihat hasil survei populaeritas dan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap mereka mencapai lebih dari 60%. Biaya politik dileuarkan Muda Mahendrawan (Bupati Kubu Raya), untuk memenangi Pilkada pada akhir 2008 berkisar Rp. 1,5 miliyar. Jumlah itu, menurut dia, tidak besar untuk merebut suara di Kubu Raya memiliki luas wilayah sekitar 7.000 km persegi dengan jumlah pemilih 300.000 jiwa di 9 kecamatan dan 106 desas. Dengan maju dari jalur independen, Muda tidak memiliki utang budi ke Parpol ketika terpilih menjadi Bupati. Ia juga tidak menemui hambatan dari Parpol di DPRD saat menjalankan pemerintahan karena memiliki posisi netral dan dapat membangun komunikasi baik dengan legislatif (Kompas, 23 Juli 2010).

Di samping itu, Hildy Hamid mengakui biaya politik dikeluarkan dalam Pilkada lalu berkisar Rp. 2 miliyar. Jumlah itu, menurutnya, tidak terlalu besar karena ia menjadi fungsionaris Partai Persatuan Daerah (PPD) dan maju ke Pilkada menggunakan partai itu. Yang membuat pengeluaran politik tinggi itu, biaya harus dikeluarkan untuk meraih dukungan dari Parpol, apalagi jika calon bukan dari Parpol bersangkutan. Biaya harus dikeluarkan makin besar jika calon itu menggunakan strategi merkrut banyak partai. Meski penghasilan menjadi Bupati tidak sebanding dengan pengeluaran saat pencalonan. Menurut Hildy, hal tersebut tidak menjadi soal karena ia menjadi Bupati bukan untuk menambah kekayaan. Penghasilan diterimanya saat menjadi Bupati berkisar Rp. 360 juta per tahun (Kompas, 23 Juli 2010).

Pengakuan kandidat Wakil Gubernur Jambi, Agus Setyonegoro, mengaku mengeluarkan dana Rp. 1,5 miliyar untuk alokasi dana kampanye bersama pasangan, Safrial. Jumlah ini, menurutnya, tergolong sedikit dibandingkan dengan dikeluarkan kandidat lain. Bagi Agus, sebagian besar biaya kampanye dikeluarkan berasal dari dana peribadi. Hanya sekitar Rp. 300 juta berasal dari batuan kalangan pengusaha dan birokrat. Selanjutnya, pengakaun Yuniarso Kwartono Adi, calon bupati Purwerejo, Jawa Tengah, diusung PKB dan Gerindra, dana kampanye tidak diperoleh dari partai pengusung. Untuk keseluruhan kegiatan dilakukan dalam pencalonan, dia menggunakan dana peribadi dan sumbangan rekan-rekan. Yuniarso dan pasangannya Zaenal Mustofa adalah pasangan calon bupati dan calon wakil bupati Perworejo memiliki dana kampaye paling sedikit dibandingkan dengan delapan pasangan lain, yakni Rp. 62 juta. Di lain fihak, Kontjoro, pernah maju sebagai calon Walikota Magelang, Jawa Tengah, dari jalur independen, mengaku sudah menjual tanah dan laku Rp. 400 juta sebagai modal awal kampanye (Kompas, 24 Juli 2010).

Di lain pihak, Poppy Dharsono, Anggota DPD dari Jawa Tengah, pada suatu diskusi (Koran Jakarta, 27 April 2010), mengungkapkan bahwa dirinya pernah ditawari sebuah Parpol untuk menjadi calon kepala daerah dalam Pilkada secara langsung, tetapi ia harus menyediakan sekitar Rp. 5 miliyar. Angka sebesar itu baru untuk ”tiket pencalonan” oleh Parpol. Jika ia maju, miliyaran rupiah dana harus disiapkan untuk dana kampanye dan berbagai kebutuhan lain.

KPU juga telah melaporkan tingginya biaya Pilkada. Biaya Pilkada 2010-2014 mencapai Rp. 15 triliyun. Ada lima komponen biaya Pilkada dilihat dari pengeluaran, yakni KPU, Panitia Pengawas Pemilu, Kepolisian, Calon Kepala Daerah dan Tim Kampanye. Khusus untuk KPU dan Panwas, KPU Kabupaten/Kota tahun 2010 menganggarkan sekitar Rp. 7 miliyar sampai Rp. 10 miliyar, sedangkan KPU Provinsi menganggarkan sekitar Rp. 50 miliyar sampai Rp. 70 miliyar. Dari sisi Panwas, dana dibutuhkan sekitar Rp.3 milyar untuk tingkat Kabupaten/Kota dan Rp. 20 miliyar untuk tingkat Provinsi. Data dari Dirjen Bina Administrasi Daerah menyebut angka Rp. 3,54 triliyun untuk biaya Pilkada tahun 2010 di 244 Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota. Jumlah ini hanya memperhitungkan penyelenggaraan untuk satu putaran saja. Sebuah angka sangat fantastis dan hampir setara dengan dana APBN untuk Kementerian Sosial tahun 2010. Beberapa pihak menyebutkan bahwa biaya tersebut sangatlah mahal untuk sebuah proses demokrasi di Indonesia. Angka ini belum termasuk biaya dikeluarkan oleh peserta Pilkada itu sendiri. Seseorang akan maju untuk mencalonkan diri mau tidak mau harus mempersiapkan diri dengan modal uang tidak sedikit. Ongkos ini dimulai ketika sang kandidat akan mendaftar di parpol akan menjadi kendaraan menjadi calon. Selanjutnya sang calon akan dibebani biaya kampanye sangat tinggi, mulai dari iklan televisi, spanduk, “roadshow” ke kantong-kantong suara sampai dengan “money politics” acapkali ditutup-tutupi dengan kegiatan sosial seperti pemberian sembako, pengobatan gratis bahkan dalam “ukuran lebih tinggi” acapkali diberikan dalam bentuk uang langsung kepada calon pemilih. Di samping itu, juga sang calon harus membiayai tim sukses dan relawan mencari dukungan suara, juga Konsultan Politik atau Lembaga Survei untuk pencitraan sang calon di mata publik.

Penyebab Meningkatnya Perilaku Korupsi di Daerah
Biaya dibutuhkan calon Kepala Daerah untuk Pilkada, oleh sebagian pengamat politik dianggap sebagai penyebab meningkatnya perilaku korupsi di daerah pada pasca pelaksanaan Pilkada. Biaya tinggi mereka keluarkan, bahkan acapkali didanai dari utang, harus dapat dikembalikan ketika mereka sudah memperoleh jabatan. Namun, ketika jabatan ini menemui tembok berupa penghasilan terbatas, maka tentunya mereka berniat untuk menyalahgunakan wewenang demi pengembalian modal telah dikeluarkan. Data kuantitatif dari berbagai sumber, terutama KPK, justifikasi atas anggapan ini. Masalah mendasar telah meningkatnya korupsi adalah penggunaan uang dalam Pilkada tidak terkendali. Uang telah menjadi kebutuhan mutlak dan komponen sangat strategis untuk meraih suara pemilih, suatu faktor penting untuk menyokong berbagai macam kegiatan kampanye, termasuk juga membayar Parpol-parpol pengusung dan pendukung jika menggunakan jalur Parpol, bukan independen. Uang digunakan untuk berbagai kepentingan, mulai dari pengadaan material kampanye, logistik, hingga pembiayaan Tim Sukses dan pendukung (relawan). Tanpa uang sangat mustahil seorang calon Kepala Daerah dapat memenangi Pilkada.

Biaya politik dan praktik politik uang dalam Pilkada secara langsung oleh sebagian pengamat politik local dinilai sebagai salah satu sebab maraknya korupsi di daerah. Setelah memenangi pemilihan, Kepala Daerah terpilih hanya berpikir untuk mengembalikan dana/uang telah digelontorkan untuk mencari dukungan dan bahkan membeli suara dalam Pilkada. Resiko tejadinya korupsi di pemerintahan daerah semakin tinggi. Salah satu cara pemecahan pengembalian dana politik ini adalah melakukan korupsi pada PBJP di daerah, di samping sumber-sumber APBD dan APBN lain. Potensi korupsi semakin membesar apabila PBJP di daerah tidak dikawal dan dikontrol secara efektif dan baik khususnya oleh masyarakat madani sebagai penerima manfaat dari PBJP itu sendiri.

Korupsi pada PBJP di Daerah
Berdasarkan beberapa hasil penelitian dan sumber media massa sementara ini, dampak negatif Pilkada terhadap PBJP (pengadaan barang/jasa pemerintah) di daerah pada dasarnya memperbanyak dan memperbesar tindak pidana korupsi. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kasus dugaan dan dakwaan Kejaksanaan terhadap Kepala Daerah telah melakukan tindak pidana korupsi melalui Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tipikor.

Pilkada secara langsung hanyalah suatu proses jangka pendek. Lebih penting adalah pasca Pilkada, yakni penyelenggaraan pemerintahan daerah selama lima tahun di bawah kepemimpinan Kepala Daerah memenangkan Pilkada. Pilkada secara langsung merupakan proses awal untuk membangun local good governance, ditandai antara lain partisipasi masyarakat, akuntabilitas, transparansi dan responsivitas pemerintah daerah. Ada satu hal penting dan harus diperhatikan pasca Pilkada, yakni relasi antara Kepala Daerah, politisi legislatif daerah, politisi Parpol di satu pihak dan di lain pihak yakni organisasi pengadaan barang/jasa pemerintah di daerah tersebut.

Sebagian pengamat politik ekonomi lokal dan pejabat tinggi pemerintahan telah mengakui bahwa biaya Pilkada secara langsung terlalu mahal mencapai puluhan hingga ratusan miliar rupiah. Sementara gaji seorang Kepala Daerah tidak cukup untuk membayar keseluruhan biaya Pilkada tersebut. Akibatnya, muncul pendapat bahwa salah satu pemicu Kepala Daerah melakukan korupsi adalah untuk membiayai Pilkada yang terlalu mahal itu.

Beragama Perilaku Korupsi
Beragam perilaku korupsi dapat dilakukan Kepala Daerah, khususnya pada pengadaan barang/jasa pemerintah dengan modus antara lain :

a)Membentuk dan menetapkan personil organisasi pengadaan berdasarkan KKN.
b)Mengintervensi proses pegadaan untuk memenangkan pelaku usaha tertentu di
menangkan dalam tender atau ditunjuk langsung dan harga barang dinaikan (di
mark-up).
c)Memerintahkan organisasi pengadaan untuk membuat spesifikasi barang yang
mengarah pada merek tertentu atau spesifikasi tertentu untuk memenangkan rekanan
tertentu, serta melakukan mark up harga barang dan nilai kontrak.
d)Menerima sejumlah uang dari rekanan dengan menjanjikan akan diberikan proyek
pengadaan.
e)Meminta uang jasa dibayar di muka kepada pemenang tender sebelum pelaksanaan
proyek.

Sebagian besar pengamat Pilkada dan politik daerah sepakat bahwa Pilkada membutuhkan pembiayaan/pendanaan tinggi bukan saja bagi KPUD sebagai pelaksana, tetapi juga bagi calon Kepala Daerah itu sendiri. Pembiayaan tinggi bagi calon bukan saja untuk kepentingan kampanye atau setelah menjadi calon resmi, tetapi juga untuk kepentingan internal sejumlah Parpol pengusung/pendukung, dalam penentuan calon. Pengeluaran calon untuk pembiayaan tinggi itu harus dikembalikan sehingga tidak sedikit calon terjebak dalam perilaku koruptif. Dampak dari Pilkada biaya tinggi adalah Kepala Daerah terpilih cenderung melakukan praktik korupsi. Tujuannya untuk mengembalikan biaya Pilkada sekaligus investasi politik masa mendatang.

Hasil Penelitian KPK, menurut Dedie A. Rachman, Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK pada Latihan Kader II HMI Ponorogo di Ponpes Gontor, 17 Mei 2010, kasus korupsi di daerah banyak dilakukan pada proses pengadaan barang dan jasa Pemerintah. Sebagai misal, dengan cara melakukan “mark up”, “penunjukan langsung” yang menyebabkan gratifikasi, atau “proses tender tidak fair”. Sebagian besar kasus korupsi di daerah ditangani KPK itu terjadi pada pengadaan barang dan jasa (Seputar Ponorogo NEWS, 18 Mei 2010). Intinya, fenomena Pilkada biaya tinggi ini adalah salah satu faktor penyebab meningkatnya korupsi di daerah, terutama pada pengadaan barang dan jasa Pemerintah baik dari sumber APBN maupun APBD.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda