Senin, 24 Januari 2011

TIPOLOGI/MODUS KORUPSI KEPALA DAERAH DAN ANGGOTA DPRD

Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP




Fenomena korupsi Kepala Daerah (Gubernur, Bupati dan Waliota) dan anggota DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) baik tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota dalam era reformasi telah menunjukkan intensitas dan kuantitas semakin meningkat, bahkan telah menjadi ”keprihatinan” pejabat negara di Pusat. Fenomena korupsi ini nampaknya terus akan berlangsung seiring format politik nasional dengan kehidupan kepartaian syarat politik kartel. Tulisan ini bermaksud untuk memberikan gambaran tipologi/modus korupsi kepala daeran dan anggota legislatif dimaksud. Beragam tipologi/modus atau korupsi pada pemerintahan daerah telah ditemukan oleh berbagai hasil studi.

Tipologi/Modus Korupsi menurut Bank Dunia

Salah satunya, dapat ditemukan di dalam Taufik Rinaldi , dkk., Memerangi Korupsi di Indonesia yang Terdesentralisasi: Studi Kasus Penanganan Korupsi Pemerintahan Daerah (Jakarta: Justice for the Poor Project, Bank Dunia, Mei 2007). Hasil studi ini melaporkan bahwa tipologi/modus korupsi di DPRD adalah:
1.Memperbanyak/memperbesar mata anggaran untuk tunjangan dan fasilitas bagi pimpinan dan anggota dewan.
2.Menyalurkan dana APBD bagi keperluan anggota dewan melalui Yayasan fiktif.
3.Manipulasi bukti perjalanan dinas.
Sementara itu, peluang & tipologi/ modus operandi korupsi eksekutif di daerah yaitu:
1.Penggunaan sisa dana (UUDP) tanpa pertanggungjawaban dan tanpa
prosedur.
2.Penyimpangan prosedur pengajuan dan pencairan dana kas daerah.
3.Manipulasi sisa APBD.
4.Manipulasi dalam proses Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJP).
Di lain fihak, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah mengidentifikasi tipologi/modus korupsi di daerah. Menurut KPK, paling tidak ada 14 tipologi/modus, yakni:
1.Pengusaha menggunakan pejabat pusat untuk membujuk Kepala Daerah mengintervensi proses PBJP dalam rangka memenangkan pengusaha tertentu dan meninggikan harga ataupun nilai kontrak.
2.Pengusaha mempengaruhi kepala daerah untuk mengintervensi proses PBJP agar rekanan tertentu dimenangkan dalam tender atau ditunjuk langsung dan harga barang dinaikkan (di mark up).
3.Panitia PBJP dibentuk Pemda membuat sepesifikasi barang mengarah pada merek produk atau spesifikasi tertentu untuk memenangkan rekanan tertentu, serta melakukan mark up harga barang dan nilai kontrak.
4.Kepala Daerah ataupun pejabat daerah memerintahkan bawahan
untuk mencairkan dan menggunakan dana/anggaran tidak sesuai dengan peruntukannya kemudian membuat laporan pertangungjawaban fiktif.
5.Kepala Daerah memerintahkan bawahan menggunakan dana untuk
kepentingan pribadi si pejabat bersangkutan atau kelompok tertentu kemudian membuat pertanggungjawaban fiktif.
6.Kepala Daerah menerbitkan Perda (Peraturan Daerah) sebagai dasar pemberian upah
pungut atau honor dengan menggunakan dasar peraturan perundangan lebih tinggi, namun sudah tidak berlaku lagi.
7.Pengusaha, pejabat eksekutif dan DPRD membuat kesepakatan
melakukan ruislag (tukar guling) atas aset Pemda dan menurunkan (mark down) harga aset Pemda, serta meninggikan (mark-up) harga aset milik pengusaha.
8.Kepala Daerah meminta uang jasa dibayar di muka kepada pemenang tender sebelum melaksanakan proyek.
9.Kepala Daerah menerima sejumlah uang dari rekanan dengan menjanjikan akan diberikan proyek pengadaan.
10.Kepala Daerah membuka rekening atas nama Kas Daerah dengan specimen pribadi (bukan pejabat atau bendahara yang ditunjuk). Maksudnya, untuk mempermudah pencairan dana tanpa melalui prosedur.
11.Kepala Daerah meminta atau menerima jasa giro/tabungan dana pemerintah yang ditempatkan di bank.
12.Kepala Daerah memberikan izin pengelolaan sumber daya alam
kepada perusahaan yang tidak memiliki kemampuan teknis dan finansial untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
13.Kepala Daerah menerima uang/barang berhubungan dengan proses perijinan dikeluarkannya.
14.Kepala Daerah, keluarga ataupun kelompoknya membeli lebih dulu
barang dengan harga murah untuk kemudian dijual kembali ke Pemda dengan harga yang sudah di-mark up.

Tipologi/Modus Korupsi menurut Transparency International Indonesia

Hasil studi berikutnya dapat ditemukan di dalam Biadib, Fahmia (Penerjemah), Buku Panduan Mencegah Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa ( Jakarta: Transparency International Indonesia, 2006). Hasil studi ini menunjukkan tipologi/modus korupsi pada PBJP di daerah pada tahap:
1.Kegiatan penilaian kebutuhan/penentuan kebutuhan.
2.Persiapan perancangan dan persiapan dokumen tender.
3.Pemilihan peserta penentuan pemenang tender.
4.Pelaksanaan pekerjaan.
5.Pelaporan keuangan & audit.
Lebih detailnya hasil studi Transparancy International (2006) berdasarkan tahapan kegiatan PBJP di daerah sebagai berikut:

I. TAHAP PENILAIAN /PENENTUAN KEBUTUHAN
Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi yakni:
1.Kekuasaan melakukan investasi dan pembelian. Adanya tawaran dari beberapa perusahaan untuk membuat kesepakatan, walau nilainya kecil atau tidak bermanfaat bagi masyarakat.
2.Menerapkan sistem baru (potensial menawarkan suap) justru lebih rentan terhadap kebocoran dibanding menggunakan sistem pelacakan kebocoran sistematis atau sistem yang meminimalkan kerugian secara berjenjang (justru meminimalkan korupsi).
3.Adanya investasi secara ekonomis tidak adil dan merusak mekanisme yang ada.
4.Hanya menguntungkan sebagian penyedia barang. Kebutuhan barang dan jasa dinaikkan agar melebihi batas kebutuhan.
5.Suap untuk politisi dan uang „terima kasih“ (kickback) yang dimasukkan dalam anggaran keuangan (biasanya ada pra-perjanjian tertentu dengan kontraktor).
6.Konflik kepentingan di mana pembuat kebijakan mempengaruhi proses tender dengan cara menekan panitia tender.
II. TAHAP PERSIAPAN PERANCANGAN & PERSIAPAN DOKUMEN TENDER
Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi yakni
1.Dokumen atau panduan tender dibuat untuk menguntungkan salah satu kontraktor, sehingga bisa dipastikan tidak ada persaingan saat tender berlangsung.
2.Menaikkan atau mengurangi jumlah barang/jasa yang dibutuhkan untuk menguntungkan beberapa kontraktor.
3.Kompleksitas proyek dalam dokumen dan panduan tender sengaja dihilangkan untuk membingungkan proses pengawasan, bertujuan menyembunyikan rencana korupsi.
4.Konsultan sengaja membuat perencanaan proyek untuk menguntungkan beberapa peserta tender.
5.Menyalahgunakan prinsip penunjukan langsung.
III. TAHAP PEMILIHAN PESERTA/PENENTUAN PEMENANG TENDER
Tahap ini memiliki tipologi/kodus korupsi yakni :
1.Pembuat kebijakan bersikap tidak adil (karena disuap, mengharapkan uang terima kasih, kickback, atau konflik kepentingan).
2.Seleksi kriteria sangat subyektif untuk memudahkan pembuat kebijakan mengambil alih peran di dalamnya.
3.Adanya pemberian informasi bersifat rahasia sebelum penawaran dimulai atau pada tahap aanwejzing yang menguntungkan salah satu atau beberapa peserta tender. Informasi serupa tidak dibagikan kepada seluruh peserta tender.
4.Penyalahgunaan kerahasiaan, bahkan dokumen tersebut justru disebarluaskan sehingga proses pemantauan dan pengawasan sulit dilakukan.
5.Kriteria pemilihan pemenang tender diumumkan kepada publik (transparansi hasil evaluasi penawaran).
6.Pembayaran harga sangat mahal (padahal tidak seharusnya) akibat proses tender tidak benar.
IV. TAHAP PELAKSANAAN PEKERJAAN
Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi yakni:
1.Sebagai ganti atas suap dan uang tak resmi lainnya, kontraktor akan menggantinya dengan harga barang lebih rendah, kualitas kurang baik atau berbeda dari spesifikasi kontrak telah disetujui. Akibatnya, buruknya hasil pekerjaan menyebabkan adanya perbaikan memerlukan biaya lebih mahal dari semestinya.
2.Re-negoisasi atau penggantian klausal kontrak mendasar dilakukan pengawas lapangan dan pelaksana dengan sejumlah imbalan.
3.Harga meningkat sebagai perubahan kontrak, dampak atas perubahan spesifiaksi disertai dengan peningkatan biaya untuk suap guna memperlancar kolusi.
4.Muculnya tuntutan dibuat-buat.
5.Pengawas atau pemantau telah „dibeli „atau tidak indepenen agar mereka membuat laporan tidak benar atau memalsukan laporan tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya.
6.Negoisasi ulang atau penambahan perubahan substansial dalam kontrak diperbolehkan sehingga membuat proses tender menjadi sia-sia.
V. TAHAP PELAPORAN KEUANGAN & AUDIT (BILA DILAKUKAN)
Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi yakni :
•Akuntan dan auditor melakukan audit tidak jujur atau telah « dibeli » dan memuluskan banyak bukti akuntansi tidak benar.

Tipologi/Modus Korupsi menurut Indonesian Procurement Watch (IPW)

Di lain pihak, hasil studi Indonesian Procurement Watch (IPW), telah merumuskan tipologi/modus korupsi pada PBJP di daerah lebih mendetail sebagaimana terlihat di dalam Tabel berikut ini (Oemarmadi, Sarwedi dkk., Toolkit Anti Korupsi Bidang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, Jakarta, Indonesia Precurement Watch, tanpa Tahun):

I. TAHAP PENYUSUNAN RENCANA PENGADAAN
Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi yakni:
1.Pengelembungan Anggaran, yakni pengelembungan anggaran pada berbagai aspek: biaya,kualitas, bahan, volume dll tidak realistis dan biasanya berlebihan, jauh di atas kebutuhan sebenarnya.
2.Rencana pengadaan yang diarahkan, yakni rencana pengadaan yang diarahkan; dan, penyusunan spesifikasi teknis dan kriterianya diarahkan untuk memperbesar peluang agar suatu produk dan pengusaha tertentu dapat memenangkan tender. Kompetisi tak terjadi dan peluang negara untuk memperoleh pengawasan paling menguntungkan semakin kecil.
3.Rekayasa pemaketan untuk KKN, yakni Perencanaan pengadaan meliputi kegiatan pembagian dan pengaturan paket pengadaan menjadi beberapa paket proyek atau sebaliknya, menggabungkan beberapa kegiatan menjadi satu paket proyek untuk alasan menguntungkan diri sendiri atau kelompoknya. Sebagai contoh, “tender arisan” atau “proyek bagi-bagi untung”.
4.Mengarah dengan sengaja untuk penunjukan langsung, yakni Tahapan pengadaan dibuat lama dan berlarut-larut sehingga batas waktu sempit dan mendesak. Ketika waktu mendesak, dapat dijadikan alasan untuk melakukan penunjukan langsung, yang dapat membuka peluang untuk memilih perusahaan atau rekanan sudah ditentukan.
5.Panitia tidak transparan, yakni Panitia bekerja tertutup dan tidak memberi layanan/penilaian sama di antara para peserta lelang. Pada umumnya hal seperti ini terjadi karena adanya unsur suap atau sogok, dari pihak pengusaha ingin memenangkan tender, atau tekanan dan pengaruh pihak atasan langsung mereka yang berniat unjuk melakukan KKN.
6.Integritas Panitia lemah, yakni Lemahnya integritas mental dan kompetensi panitia membuat proses pengadaan terbuka terhadap ancaman KKN. Lemahanya integritas ini ditandai cara kerja cenderung tidak obyektif, tidak jujur, bekerja tanpa visi, tidak profesional, tidak transparan dan tidak bertanggungjawab.
7.Panitia Lelang memihak , yakni Panitia cenderung memberikan keistimewaan pada kelompok tertentu. Putusan selalu mengacu pada kesepakatan atau aturan2 pelelangan tidak tertulis. Panitia berpihak kepada kelompok yang memberikan janji atau memberikan sesuatu berharga.
8.Panitia tidak independen, yakni Panitia dikendalikan atau dipengaruhi oleh keinginan dan kepentingan tertentu, tidak akuntabel, tidak profesional dan lamban karena selalu menunggu perintah/petunjuk atasan, yang sebenarnya tidak memiliki otoritas di bidang pengadaan. Panitia ibarat robot tak bebas melakukan analisis maupun pertimbangan teknis diperlukan. Sepenuhnya atasan atau pihak pendana mengambil alih „operasi tender“.
9.Intervensi atasan langsung, yakni Panitia tidak dapat menolak intervensi atasan langsung. Kepentingan atasan menjadikan panitia tidak dapat bekerja secara operasional.
II. TAHAP KEGIATAN PRAKUALIFIKASI
Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi yakni:
1.Dokumen adminsitratif tidak memenuhi syarat, yakni Dokumen mitra kerja tidak memenuhi syarat, data palsu, dll tetapi panitia tetap meluluskan. Jika ternyata mitra kerja semacam ini menang tender, akibatnya penanganan fisik akan berkualitas `rendah atau jauh dari memadai sekalipun harga tergolong tingi.
2.Dokumen administratif „aspal“, yakni Dokumen sertifikasi mitra kerja asli, namun tidak didukung status nyata perusahaan (karena memang tidak ada). Panitia mudah meluluskan peserta tender dokumen „aspal“, walau pada proses informal tetap dipakai azas pembuktian tidak langsung bermuara pada suap.
3.Tidak dilakukan legalisasi dokumen, yakni Dokumen prakualifikasi tidak diperkuat oleh data otentik dan pengesahan pihak berwenang. Namun dokumen ini malah diluluskan karena praktik KKN.
4.Evaluasi tidak sesuai kriteria, yakni Dokumen pralikualifikasi tidak diperkuat data otentik dan pengesaahan dari pihak berwenang. Dokumen ini diluluskan karena KKN.
5.Tidak dilakukan pemeriksaaan lapangan, yakni Panitia tidak memeriksa kondisi perusahaan secara langsung ke lokasi perusahaan berada. Biasanya perusahaan tidak diperiksa adalah perusahaan akan dimenangkan. Jika dilakukan pemeriksaaan lapangan hanya dilakukan secara proforma.
III. TAHAP PENYUSUNAN DOKUMEN LELANG
Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi yakni :
1. Spesifikasi diarahkan, yaitu Paket pembelian peralatan atau mesin tertentu, agar barang ditawarkan pembuat/supplier, dengan janji komisi menggiurkan dibeli/dipakai proyek. Spesifikasi teknis disusun panitia untuk pembuatan dokumen tender diarahkan kepada produk tsb.
2.Rekayasa kriteria evaluasi, yaitu Penambahan persyaratan atau ketentuan tidak relevan/dibutuhkan dengan maksud mempermudah KKN. Penambahan dilakukan untuk membatasi peserta di luar daerah kerja, kelompok, atau ketentuan teknis yang sulit dipenuhi perusahaan tidak memiliki akses/persyaratan dimaksud.
3.Dokumen lelang non-standar, yaitu Dokumen lelang dibuat tidak mengikuti kaidah dokumen lelang. Instruksi penambahan syarat sukar, sehingga mitra kerja gugur suka rela menerima kekalahan karena tidak bisa memenuhi dokumen rekayasa itu.
4.Dokumen lelang tidak lengkap, yaitu Panitia tidak mampu menyusun dokumen lelang baik dan benar sehingga memperbesar peluang KKN. Pengusaha berpeluang memanfaatkan kekurangan informasi sebagai upaya menjatuhkan saingan mereka.
5.Dokumen lelang Aspal, yaitu Untuk mengelabui/menyesatkan peserta lain bukan kelompok kolusi panitia, sengaja membuat dokumen lelang „aspal“ agar dalam mengikuti dan menyusun penawaran perusahaan tsb salah, dan akhirnya akan dikalahkan.
IV. TAHAP PENGUMUMAN LELANG
Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi yakni:
1.Pengumuman lelang semu atau fiktif
Pengumuman lelang melalui media mempunyai jangkauan publik sangat terbatas. Misalnya pada surat kabar bertiras rendah atau kolusi media tertentu untuk menerbitkan edisi „khusus“ sangat terbatas. Hal ini menghilangkan kesempatan kompetisi sehat, tidak ada peminat dari pemasok barang/jasa akan mengikuti proses pelelangan, keluar pemenang KKN.
2.Pengumuman lelang tidak lengkap
Informasi lelang dibuat tidak lengkap, tidak memadai. Juga informasi „tidak diumumkan“ diberi khusus tersendiri kepada pengusaha diproyeksikan memenangkan lelang dan dibuat selengkap mungkin. Hal ini mempersempit peluang pesaing lain untuk berkompetisi „fair“ dan gagal memenuhi persyaratan lengkap dan tepat waktu.
V. TAHAP KEGIATAN PENYEDIAAN DOKUMEN LELANG
Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi yakni:
1.Dokumen lelang diserahkan tidak sama (inkonsisten), yakni hanya sedikit peserta memperoleh dokumen (kelompok KKN) dan ada pengaturan dalam tender. Dalih digunakan untuk menjustifikasi perbuatan adalah keterbatasan waktu pelaksanaan pekerjaan atau musim hujan segera datang.Peserta masih sempat mengambil dokumen yakni mereka dekat dengan Pimpro.
2.Waktu Pendistribusian Dokumen Terbatas, yakni untuk maksud mengalahkan peserta lelang lain tidak ikut dalam kelompok kolusi, mereka diberi dokumen masih „konsep, bukan final. Akibatnya, gugur karena tidak memenuhi kriteria evaluasi seharusnya. Mereka tidak gugur hanya kelompok KKN dokumen lengkap.
3.Dokumen lelang diserahkan tidak sama (inkonsisten), yakni hanya sedikit peserta memperoleh dokumen (kelompok KKN) dan ada pengaturan dalam tender. Dalih digunakan untuk menjustifikasi perbuatan adalah keterbatasan waktu pelaksanaan pekerjaan atau musim hujan segera datang.Peserta masih sempat mengambil dokumen yakni mereka dekat dengan Pimpro.
4.Waktu pendistribusian dokumen terbatas, yakni penyampaian dokumen lelang ditentukan oleh panitia di tempat sukar ditemukan dan papan pengumuman tidak dipasang. Termasuk juga upaya memindahkan lokasi pengambilan dokumen dilakukan secara mendadak, hanya beberapa jam sebelum penutupan dan hanya diumumkan dengan tempelan petunjuk kertas pengumuman. Hanya mereka mengenal baik panitia datang mengambil dokumen lelang.
VI. TAHAP PENENTUAN HARGA PERKIRAAN SENDIRI (HPS)
Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi yakni:
1.Harga perkiraan sendiri (HPS) ditutup-tutupi, yakni HPS ditutupi-tutupi agar peserta lelang tidak diproyeksikan menjadi pemenang akan kehilangan „jejak“ dalam mengajukan harga penawaran wajar. Para penawar hanya meraba-raba harga pantas, sehingga kenyataannya penawar mendekati “ceiling HPS, hanya mereka memperoleh “bocoran”, sedangkan lainnya jauh berbeda di atas atau dibawah harga ceiling HPS.
2.Pengelembungan (mark-up), yakni Nilai penawaran mendekati HPS karena sudah diatur sebelumnya dengan mitra kerja. Nilai kontrak menjadi tinggi karena nilai ditawarkan pemenang dekat nilai HPS. Koefisien dan faktor mempengaruhi suatu harga tidak menguntungkan. Produktivitas rendah karena upaya ini digunakan untuk berKKN. Mitra kerja terkait akan memanfaatkan nilai HPS.
VII. TAHAP PENENTUAN HARGA PERKIRAAN SENDIRI (HPS)
Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi yakni:
•Penentuan estimasi harga tidak sesuai aturan, yakni besarnya menyusun HPS adalah panitia, namun dalam rangka kolusi, menyusun adalah “calon pemenang”. Cara dan data serta metode mirip penawaran dari mitra kerja dalam rangka kolusi (disamping panitia juga tidak berkemampuan menyusun HPS sendiri).
VIII. TAHAP PENJELASAN/AANWIJZING
Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi yakni:
1.Pre-Bid Meeting terbatas, yakni pembatasan informasi oleh panitia agar hanya kelompok dekat saja memiliki informasi lengkap. Dalam penawaran, ada cluster penawaran lengkap dan ada cluster penawaran tidak lengkap. Bila para peserta tidak jeli melihat dokumen lelang dibagikan, mereka akan terjebak dalam kerugian. Akibatnya, tidak ada transparansi informasi, mengakibatkan ketimpangan dalam persaingan. Pengaturan tender akan mengarah pada ekonomi biaya tinggi. Dunia usaha dirugikan secara menyeluruh akibat ulah sekelompok pengusaha sehingga akuntabilitas dibina dengan susah payah, hilang dalam sekejab.
2.Informasi dan deskripsi terbatas, yaitu Panitia memberi penjelasan dalam bentuk pertanyaan dan jawaban. Adakalanya formulasi dan distribusi adendum selama pertemuan, tidak merata antar peserta (setelah aanwijzing). Penjelasan parsial dimaksud untuk berKKN, sehingga kelompok berKKN akan memperoleh informasi lebih sempurna. Pihak tidak berKKN akan menawar kurang sempurna dan cenderung dinyatakan gugur secara administratif.
IX. TAHAP PENYERAHAN & PEMBUKAAN PENAWARAN
Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi yakni:
1.Relokasi Tempat Penyerahan penawaran, yakni relokasi tempat penyerahan dokumen penawaran dalam rangka pengaturan tender. Hal ini dimaksudkan untuk menyingkirkan peserta tidak termasuk dalam kelompok KKN mereka. Sebaliknya kelompok mereka telah diberitahukan sebelum pemasukan penawaran. Saat melakukan relokasi, panitia sudah membuat skenario sedemikian rupa agar peserta non kelompok akan terlambat datang.
2.Penerimaan dokumen penawaran terlambat, yakni penawar biasanya menyampaikan penawaran pada detik-detik terakhir. Faktor transportasi dapat saja menjadi hambatan dalam proses penyampaian tersebut sehingga dokumen terlambat disampaikan. Sesuai tertera di juklak, panitia dilarang menerima dokumen terlambat namun dalam KKN hal ini sering terjadi.
3.Penyerahan dokumen fiktif, yakni untuk jatuhkan lawan, mitra kerja melakukan tindakan ilegal yakni memasukkan dokumen palsu atas nama penawar lain. Dokumen palsu tersebut memiliki banyak kesamaan dengan dokumen lain, dalam hal perwajahan dan bentuk tanda tangan. Bila terjadi, maka akan ditemukan 2 dokumen penawaran dari satu perusahaan sama. Kedua dokumen saling menjelaskan (berupa dokumen perubahan). Bila indikasi tidak terbukti, maka kedua dokumen akan dinyatakan tidak sah sebab dalam dokumen lelang disebutkan bahwa pemasukan dokumen penawaran hanya diperkenankan satu kali saja.
X EVALUASI PENAWARAN
1.Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi, yakni kriteria evaluasi cacat, yakni Dimaksudkan memenangkan calon berani menyuap jumlah tidak sedikit. Dari awal telah diterapkan hal-hal khusus sukar dipenuhi mitra kerja untuk menjustifikasi kelompok tertentu. Penawaran tidak kompeten ternyata mampu memenangkan tender. Perusahaan bonafid akan gugur, sebaliknya perusahaan kinerja lebih buruk akan lulus evaluasi administratif.
2.Penggantian dokumen penawaran, yakni penggantian dokumen penawaran dengan cara menyisipkan revisi dokumen di dalam dokumen awal. Evaluasi tertutup dilakukan di tempat tersembunyi dan sukar dijangkau, panitia dapat berbuat apa saja dalam menangani dokumen termasuk mengganti atau menukar dokumen penawaran. Walaupun penawar bukan terendah, dokumen dirubah dan diganti sedemikian rupa, sehingga telah dilakukan koreksi aritmatik penawar tersebut dapat menjadi pemenang (karena terendah).
3. Evaluasi tertutup dan tersembunyi, yakni pemilihan tempat evaluasi tersembunyi untuk memudahkan panitia mengatur segala sesuatunya dalam rangka KKN. Pemilihan tempat terpencil dan tersembunyi untuk memperoleh hasil mantap karena tidak banyak gangguan pihak luar akan mempengaruhi jalannya evaluasi. Tapi, justru dimanfaatkan panitia untuk melakukan KKN dengan mitra kerja.
4.Peserta lelang terpola dalam rangka berkolusi, yakni pengaturan lelang seperti ini banyak dijumpai dalam tender arisan, sehingga beban evaluasi panitia tidak banyak dan panitia hanya mengevaluasi syarat minimum tertentu. Jumlah peserta ikut prakualifikasi, memasukan dokumen, dan lulus semakin menurun mencolok dengan pola 15-10-5 penawar. Ikut tender hanya separuh. Selanjutnya setengah total peserta memasukkan penawaran salah, akhirnya tinggal 3 peserta. Simtom pada tender arisan tidak terlampau jelas, namun akan terlihat pada proses berikutnya (banyak surat kuasa, banyak kecerobohan, banyak kesamaan isi, pengetikan sama, dan nomor jaminan berurutan).
XI. TAHAP PENGUMUMAN CALON PEMENANG
Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi yakni :
1.Pengumuman terbatas, yakni Pengumuman terbatas dengan maksud mengurangi sanggahan, publik betul2 buta mengenai proses pengadaan. Ketertutupan panitia berlangsung hingga tahap akhir. Informasi baru akan dibuka setelah pelaksanaan pekerjaan. Sanggahan tidak ada,masukan dari publik tidak ada karena tidak terbaca.
2.Pengumuman tanggal diteunda, yakni Pengumuman agar terlambat dari hari ditentukan karena proses suap/sogok terjadi. Secara psikis, calon pemenang sudah tahu akan menang, ingin kemenangan itu segera diumumkan agar tidak terjadi perubahan. Hal tersebut dilakukan dengan menyogok panitia. Bila suap diterima, maka telah terjadi kesalahan bersifat random.
3.Pengumuman tidak sesuai, yakni Tidak ada masukan dari masyarakat, sejak awal sudah ada upaya mengelabui pihak pemerhati dan mitra kerja, yakni melalui pengumuman tidak impormatif. Muncul hambatan pada mekanisme pasca evaluasi dan mengurangi sanggahan dari mitra kerja.
XII. SANGGAHAN PESERTA LELANG
Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi yakni :
1.Tidak seluruh sanggahan ditanggapi, yakni Pengumuman panitia ditanggapi mitra kerja kurang setuju dengan hasil evaluasi. Mereka mengkritik tugas panitia menyimpang dari pedoman, menunjukkan bukti panitia berKKN dengan kelompok mitra tertentu. Respon panitia kurang mencerminkan jawaban atas sanggahan. Proses pengadaan tertutup dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Merugikan proses pengadaan dari segi waktu.
2.Substansi sanggahan tidak ditanggapi, yakni Polemik berkepanjangan namun surat rekomendasi tetap alasan kekhawatiran keterlambatan proyek. Jawaban panitia tidak menyentuh substansi sanggahan.
3.Sanggahan proforma untuk menghindari tuduhan tender diatur, yakni Sanggahan proforma untuk menghindari tuduhan tender diatur
XIII. TAHAP PENUNJUKAN PEMENANG LANGSUNG
Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi yakni :
1.Surat penunjukan tidak lengkap, yakni Penunjukan sudah dikeluarkan, namun proses sanggahan belum selesai, data pendukung berita acara tentang sangah-jawab belum ada, seolah-olah tidak ada sanggahan. Panitia bekerja tertutup, memasuki tahap berikutnya sebelum menyelesaiakn proses seharusnya diselesaikan.
2.Pengeluaran surat penunjukkan sengaja ditunda, yakni hari ditentukan, pengeluaran surat penunjukan sengaja ditunda demi uang pelicin. Terjadi penundaan kegiatan berikut akan memperlambat proses selanjutnya. Akibatnya, masyarakat dan dunia usaha tidak lagi percaya terhadap lembaga pengadaan tersebut.
3.Surat penunjukkan dikeluakan dengan terburu-buru, yakni Surat tersebut seolah-olah tanpa masalah tentang tender dilaksanakan. Padahal, saat proses sanggah-jawab berlangsung sehingga sangat merugikan mitra kerja penyanggah. Akibatnya, hilang kepercayaan terhadap lembaga, pimpro dan panitia.
4.Surat penunjukan tidak sah, yakni Surat Penunjukkan belum lengkap sudah beredar atau sudah sampai kepada calon pemenang. Ada kemungkinan sanggahan benar. Surat bisa jadi tangal dan tanda tangan belum ada, belum memiliki kekuatan hukum.
XIV. TAHAP PENANDATANGAN KONTRAK
Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi yakni:
1.Penandatangan kontrak ditundang-tunda, yakni jaminan pelaksana belum ada sehingga kontrak belum dapat ditandatangani. KKN mulai di sini karena di satu pihak rekanan berusaha mengulur waktu, sementara proyek mendesak dan mengancam memutuskan/mencabut SPK atau pembatalan tanda tangan kontrak.
2.Penandatangan kontrak tidak sah, kontrak ditandatangani tanpa adanya dukungan disyaratkan, atau data pendukung kurang dipercaya.
3.Penandatanganan kontrak oleh orang lain, Penandatangan kontrak bukan orang namanya tercantum dalam akte perusahaan atau akte perubahan telah disahkan oleh notaris. Hal ini ditujukan terhadap perusahaan peserta tender disewa atau dipinjam orang lain.
XV. AMANDEMEN
Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi yakni:
1.Amandemen untuk melindungi keterlambatan penyedia barang/jasa, Amandemen utk menghindari sanksi karena keterlambatan pekerjaan, tapi ketidakmampuan pihak penyedia,baik teknis maupun keuangan.
2.Amandemen menaikkan harga, yakni Penyedia menawar harga serendahnya. Setelah menang meminta amandemen menaikkan harga sesuai harga awal (HPS). Keterlibatan pengguna sangat besar, sejak awal penawaran.
3.Amandemen volume, yakni Ternyata harga ditawarkan tidak sesuai lagi ketika penawaran dibuat. Penyedia mengurangi kualitas dan kuantitas agar tidak rugi. Alasan inflasi tinggi,
dijadikan alasan untuk amandemen.
XVI. TAHAP PENYERAHAN BARANG/JASA
Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi yakni:
1.Volume tidak sama, yakni Volume diserahkan tidak sama dengan volume kontrak. Pihak organisasi pengadaan kolusi dengan pihak rekanan untuk mengurangi volume pekerjaan . Agar pekerjaan fiktif dijadikan uang untuk keperluan pihak organisasi pengadaan.
2.Mutu/kualitas pekerjaan lebih rendah dari ketentuan dalam spesifikasi teknik, yakni Upaya KKN melalui penurunan mutu barang atau pekerjaan jauh berbeda spesifikasi teknik tertera dalam penawaran atau kontrak. Hal melibatkan pihak organisasi pengadaan dan rekanan, asumsi kedua belah pihak akan memperoleh keuntungan tapi negara dan masyarakat akan dirugikan.
3.Mutu/kualitas pekerjaan tidak sama dengan spesifikasi teknik, yakni Terjadi ketidaksesuaian antara hasil pekerjaan dengan ketentuan tertuang dalam spesifikasi teknik. Bentuk ketidaksesuaian berwujud deformasi bentuk permukaan pekerjaan diserahkan, deformasi kadang-kala tidak tampak. Dalam pekerjaan fisik, berbentuk permukaan retak, bergelombang, dan terjadi deformasi bentuk. Dalam pekerjaan konsultan, hanya ditemukan dalam suatu kajian, lebih kepada kejujuran para profesional. Dalam pengadaan barang, kinerja barang kualitas rendah, tidak akan sempurna (seperti Komputer mengalami „hang“,dll).
4.Contract Change Order (CCO), yakni CCO merupakan tempat paling populer untuk menempatkan dana susah dipertanggungjawabkan. CCO dapat dilakukan pergantian volume material murah (dikurangi) ke volume material bernilai tinggi, sehingga terjadi kenaikan harga karena volume material mahal diperbesar. Karena CCO memang digunakan sebagai kamuflase, mitra kerja akhirnya tidak peduli lagi terhadap mutu hasil pekerjaan. Negara dirugikan karena mitra kerja tidak lagi memikirkan kuantitas efisien bagi pekerjaan, mereka upayakan pembayaran lewat kolusi.
5.Pekerjaan fiktif, yakni Penyerahan barang/jasa fiktif. Tiada sama sekali bukti, pekerjaan dilakukan atau barang diadakan. Terjadi kolusi antara panitia dan kontraktor/pemborong sejak awal dan sangat tertutup.
6.Tidak menerapkan masa jaminan, yakni Menerima pekerjaan tanpa menerapkan jaminan pekerjaan. Akibatnya pekerjaan mengalami kerusakan sebelum masa jaminan habis dan tidak dapat diminta pertanggungjawaban.
7.Meminta adendum, adendum sebagai siasat untuk memberi jalan bagi perusahaan terlambat melakukan pekerjaan karena kelemahan kemampuan dan keterbatasan modal meneruskan proyek sesuai jadwal.

Tipologi/Modus Korupsi Pengalaman Kasus NTT

Uraian tipologi atau tipologi/modus korupsi di atas sesungguhnya hasil kajian tipologi atau mudus korupsi di daerah dalam ruang lingkup nasional. Untuk khusus ruang lingkup Provinsi sebagai suatu studi kasus, dapat disajikan dari hasil pengalaman Advokasi Piar-NTT (Nusa Tenggara Timur), telah tersaji di dalam Sinleloe, Paul, „Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa“, website: LAWAN KORUPTOR, 16 Juni 2009. Studi kasus ini menggambarkan kegiatan korupsi pada tahap perencanaan pengadaan; pembentukan panitia lelang; prakualifikasi perusahaan; penyusunan dokumen lelang; pengambilan dokumen lelang; penyusunan HPS; penjelasan; penyerahan dan pembukaan penawaran; evaluasi penawaran; pengumuman pemenang lelang; sanggahan pemenang lelang; penunjukan pemenang lelang, dll. Lebih detailnya tipologi/modus korupsi di daerah berdasarkan tahapan PBJP sebagaI berikut:
1.Tahap perencanaan pengadaan, yakni pengelembungan anggaran, rencana pengadaan diarahkan rekayasa pemaketan untuk KKN.
2.Tahap pembentukan Panitia Lelang, yakni Panitia tidak transparan. Integritas Panitia Lelang lemah, tidak independen dan memihak.
3.Tahap prakualifiaksi perusahaan,yakni Dokumen administrasi tidak memenuhi syarat, aspal, tanpa legalisasi dokumen. Evaluasi tidak sesuai kriteria.
4.Tahap penyusunan dokumen lelang, yakni spesifiaksi yang diarahkan. Rekayasa kriteria evaluasi. Dokumen lelang non standar, tidak lengkap, dsb.
5.Tahap pengumuman lelang, yakni pengumuman lelang semu atau fiktif, tidak lengkap. Jangka waktu pengumuman terlalu singkat.
6.Tahap pengambilan dokumen lelang, yakni dokumen lelang diserahkan inkonsistensi. Waktu pendistribusian dokumen terbatas. Lokasi pengembalian dokumen sulit dicari.
7.Tahap penyusunan HPS, yakni gambaran nilai HPS (Harga Perkiraan Sendiri) ditutup. Penggelembungan harga (markup) atau KKN. Penentuan estimasi harga tidak sesuai dengan ketentuan,dsb.
8.Tahap Penjelasan/Aanwijzing, yakni peserta aanwejzing terbatas. Informasi dan deskripsi terbatas. Penjelasan kontroversial, dsb.
9.Tahap penyerahan/pembuktian penawaran, yakni relokasi tempat penyerahan dokumen penawaran. Penerimaan dokumen penawaran terlambat, penyerahan dokumen fiktif.
10.Tahap evaluasi penawaran, yakni kriteria evaluasi cacat. Penggantian dokumen penawaran. Evaluasi tertutup dan tersembunyi. Pengumuman tidak sesuai ketentuan,dsb.
11.Tahap pengumuman calon pemenang, yakni pengumuman terbatas. Tanggal pengumuman ditunda. Pengumuman tidak sesuai dengan ketentuan, dsb.
12.Tahap sanggahan peserta lelang, yakni tidak seluruh sanggahan ditanggapi dan dijawab. Substansi sanggahan tidak dijawab. Sanggahan untuk menghindari tuduhan tender diatur.
13.Tahap penunjukan pemenang lelang, yakni surat penunjukan tidak lengkap, sengaja ditunda diterbitkan. Surat penunjukan dikeluarkan terburu-buru. Surat penunjukan tidak sah, dsb.
14.Tahap penandatangan kontrak, yakni penandatanganan kontrak ditunda-tunda. Penandatanganan kontrak tetutup, atau tidak sah.
15.Tahap penyerahan barang/jasa, yakni volume tidak sesuai. Mutu/kualitas pekerjaan lebih rendah dari spesifikasi teknik. Mutu kualitas pekerjaan tidak sesuai dengan spesifikasi teknik. Contract Change Order,dll.

Tipologi/Modus Korupsi menuruht Fitra, The Habibie Center dan ICW

Fitra (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran) menemukan 10 tipologi/modus penyalahgunaan dana APBD. Menurut The Habibie Center ada 20 tipologi/modus korupsi berpeluang digunakan oleh anggota legislatif dan eksekutif di daerah. Tetapi, secara umum hasil penelitian dua lembaga itu mempunyai kesamaan: anggaran daerah sudah berpeluang dikorup sejak mulai dari perencanaan (usulan). Berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah memberi kekuasaan besar untuk mengatur daerah, termasuk hak untuk mengatur anggaran menjadikan kecenderungan tertentu perilaku eksekutif dan yudikatif di daerah. Sementara di sisi lain, UU tersebut tidak mengatur mekanisme pertanggungjawaban transparan kepada publik. Wewenang besar justru membawa banyak penyimpangan seperti mengalirnya dana negara ke kantong peribadi.
Catatan dari ICW menunjukkan, sampai 2004 sudah ada seratus perkara korupsi melibatkan anggota DPRD di seluruh Indonesia. Sebanyak 1.500-an orang telah diproses secara hukum. Sebagian dalam tahap penyelidikan, sebagian sudah disidik dan sisanya menjalani hukuman. Mereka umumnya didakwa telah melanggar PP No. 110 tahun 2000, sebuah peraturan agar dalam menyusun APBD, para anggota DPRD dan pejabat Pemerintah daerah memperhatikan asas kepatutan antara anggaran publik dan anggaran kesejahteraan anggota. Asas kepatutan itu antara lain termasuk kejelasan penggunaan dari setiap rupiah dana APBD. PP No. 110 tahun 2000 ini dimaksudkan sebagai pagar dari pelaksanaan otonomi daerah. Sementara itu, baik tahun 2009 maupun tahun 2010, keuangan daerah, terutama dalam APBD, tetap sebagai sektor paling rawan dan rentan dikorupsi. Keuangan daerah juga menyumbang potensi kerugian negara terbesar, yaitu sekitar Rp. 596,232 mliyar dengan 38 kasus.
Menurut ICW (4 Agustus 2010), kecenderungan korupsi Semester I, dari Januari hingga 30 Juni 2010, berdasarkan tahap penyidikan oleh penegak hukum (Kejaksaaan, Kepolisian dan KPK), sebanyak 176 kasus. Terdapat 441 orang ditetapkan sebagai tersangka dan kerugian negara akibat korupsi sekitar Rp. 2,1 triliyun. Pada periode sama tahun 2009, hanya ada 86 kasus korupsi disidik, 217 tersangka, dan kerugian negara sekitar Rp. 1,17 triliyun. Peningkatan jumlah kasus korupsi ini terungkap karena jumlah korupsi diindikasikan meningkat, terutama terjadi di daerah.
Tipologi/modus korupsi beragam dari periode ke periode. Berbeda dengan periode sebelum, tipologi/modus korupsi dominan tahun 2009 adalah penyalahgunaan anggaran dengan 32 kasus, tahun 2010 tipologi/modus bergeser menjadi penggelapan (62 kasus). Pergeseran tipologi/modus ini kemungkinan karena dipengaruhi perubahan kondisi politik, yakni tahun 2008 dan 2009 sebagai tahun persiapan Pilkada. Tipologi/modus penggelapan umumnya terkait penyimpangan dana langsung berhubungan dengan kepentingan masyarakat seperti dana bantuan sosial (bansos). Dana banson adalah program pupuler biasa digunakan Kepala Daerah (Incumbent) untuk mendekati konstituen dalam Pilkada.
Namun, para Kepala Daerah dan anggota DPRD juga selalu menemukan celah dan alasan untuk menyalahgunakan dana APBD atas nama otonomi daerah. PP No. 110 itu sendiri telah dipersoalkan di depan MA (Mahkamah Agung) oleh banyak anggota DPRD. MA mengabulkan uji materiil PP No. 10 tersebut dan Pemerintah kemudian menggantinya dengan PP No. 37 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. PP No. 37 Tahun 2006, pada Pasal 10 menetapkan, penghasilan Pimpinan dan Anggota DPRD terdiri atas: Uang Representasi, Tunjangan Keluarga, Tunjangan Beras, Uang Paket,Tunjangan Jabatan, Tunjangan Panitia Musyawarah, Tunjangan Komisi,Tunjangan Panitia Anggaran, Tunjangan Badan Kehormatan: dan Tunjangan Alat Kelengkapan Lainnya. Pasal 10A, ayat (1) menetapkan pula, Selain penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, kepada Pimpinan dan Anggota DPRD diberikan penerimaan lain berupa Tunjangan Komunikasi Intensif. Selanjutnya,. selain penerimaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Pimpinan DPRD diberikan Dana Operasional.
Sebagian pengamat keuangan menilai, justru PP No. 37 tahun 2006 itu semakin memberikan peluang terjadinya penggembosan anggaran daerah. PP No. 37 sepintas tidak memberi celah bagi pejabat di daerah untuk menyalahgunakan dana APBD karena kenaikan pnghasilan dan tunjangan anggota DPRD tidak lagi berasal dari APBD. Namun, mengacu pada pasal-pasal PP No. 37, semua kenaikan penghasilan dan tunjangan para anggota Dewan itu justru diperbolehkan diambil dari dana untuk belanja publik. Sektor publik seharusnya untuk kepentingan kebanyakan orang dapat dikurangi hanya untuk menambah kesejahteraan para anggota DPRD. Fitra pernah menghitung, anggaran belanja untuk publik akan termakan untuk membiayai gaji dan tunjangan para anggota DPRD akan mencapai 20 %.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda