Kamis, 25 November 2010

KAWASAN KUMUH: CERMINAN PELANGGARAN HAK DASAR WARGA

Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP




Hak Dasar Warga dan Komitmen Global

Sudah menjadi komitmen global, tempat tinggal atau rumah merupakan bagian dari hak dasar dan menjadi prasyarat bagi setiap orang untuk bertahan hidup dan menikmati kehidupan bermartabat, damai, aman dan nyaman. Penyediaan perumahan dan permukiman memenuhi prinsip-prinsip layak dan terjangkau bagi semua orang telah menjadi komitmen global. Telah ada kesadaran global, adalah kewajiban Pemerintah untuk memudahkan warganya mendapatkan tempat tinggal, melindungi dan untuk meningkatkan kualitas rumah serta lingkungan tempat tinggal. Pemerintah Indonesia juga harus melaksanakan dan terikat dengan komitmen global berdasarkan beberapa deklarasi internasional penting di atas.

Komitmen global ini pertama-tama tertuang di dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Azasi Manusia, diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum Perserikatan bangsa-Bangsa (PBB), 10 Desember 1948 melalui Resolusi 217 A(III). Di dalam Mukadimah dipertimbangkan, menegaskan kembali kepercayaan anggota-anggota PBB pada hak-hak dasar dari manusia, martabat dan nilai seseorang manusia dan hak-hak sama dari laki-laki maupun perempuan dan telah memutuskan akan mendorong kemajuan sosial dan tingkat hidup lebih baik dalam kemerdekaan lebih luas.

Dalam hak-hak dasar perumahan, Deklarasi menegaskan dalam Pasal 25 ayat (1) sebagai berikut: “Setiap orang berhak atas taraf hidup memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya mengakibatkannya kekurangan nafkah, berada di luas kekuasaannya.”

Komitmen global ini lebih lanjut diperkuat oleh Deklarasi PBB tentang Pembangunan dan Kemajuan Sosial tahun 1969, Deklarasi Permukiman Vancouver, Kanada, tahun 1976 dan Deklrarasi PBB di Istanbul, Turki, tahun 1996. Deklarasi Vancouver tahun 1976 merupakan hasil Konferensi PBB mengenai Pemukiman Manusia (HABITAT) di Vancouver, Kanada, 31 Mei hingga 11 Mei 1976. Menurut Konferensi PBB tersebut, peningkatan kualitas hidup manusia adalah tujuan pertama dan penting dari setiap kebijakan pemukiman manusia. Kebijakan-kebijakan harus memfasilitasi perbaikan cepat dan terus menerus dalam kualitas hidup semua orang, mulai dari kepuasan kebutuhan dasar pangan, tempat tinggal, air bersih, pekerjaan, kesehatan, pendidikan, pelatihan, jaminan sosial tanpa diskriminasi apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelaminan, bahasa, agama, ideologi, asal nasional atau sosial atau penyebab lainnya, dalam kerangka kebebasan, martabat dan keadilan sosial. Bagi Konfrensi ini, semua orang memiliki hak dan kewajiban untuk berpartisipasi, secara individual dan kelektif dalam perluasan dan pelaksanaan kebijakan dan program permukiman manusia mereka.
Dalam kaitan dengan tempat tinggal sebagai hak dasar manusia, Deklarasi Vancouver menegaskan, “tempat tinggal memadai dan jasa merupakan hak asasi manusai yang menempatkan kewajiban pada Pemerintah untuk memastikan pencapaian mereka dengan semua orang, dimulai dengan bantuan langsung kepada yang paling diuntungkan melalui program dipandu swadaya dan tindakan masyarakat. Pemerintah harus berusaha untuk menghapus semua hambatan yang menghalangi pencapaian tujuan tersebut atau kepentingan khusus adalah penghapusan dan ras segregasi sosial, antara lain, melalui penciptaan masyarakat yang seimbang lebih baik, yang campuran kelompok sosial yang berbeda, pekerjaan, perumahan dan fasilitas.”
Dengan perkataan lain, Deklarasi Vancouver menegaskan bahwa tempat tinggal dan pelayanan yang layak adalah hak dasar manusia, sehingga merupakan kewajiban pemerintah untuk memastikan ketersediaan kedua hal tersebut bagi setiap warganya melalui pendampingan langsung atau program berbasis komunitas atau aksi swadaya yang lebih terarah.

Konvensi internasional sebagai komitmen global lain dalam hal penegakan hak dasar manusia atas perumahan atau tempat tinggal adalah Konferensi PBB tentang Permukiman Manusia (HABITAT II) di Istanbul, Turki dari 3 hingga 14 Juni 1996. Kepala Negara atau Pemerintah dan delegasi resmi negara-negara berkumpul mengambil kesempatan ini untuk mendukung tujuan-tujuan universal untuk memastikan tempat tinggal yang memadai untuk semua dan membuat manusia pemukiman lebih aman, sehat dan lebih baik untuk ditinggali, adil, berkelanjutan dan produktif. Mereka membahas dua thmea utama, yakni tempat tinggal yang memadai untuk semua dan berkesinambungan pembangunan manusia permukiman di dunia urbanisasi—telah terinspirasi oleh Piagam PBB dan ditujukan untuk menegaskan kembali ada dan membangun kemitraan baru untuk tindakan di tingkat internasional, tingkat nasional dan lokal untuk memperbaiki lingkungan hidup. Mereka berkomitmen dengan tujuan, prinsip dan rekomendasi tertuang dalam Agenda Habitat dan berjanji saling mendukung untuk pelaksanaannya.

Agenda Habitat (The Habitat Agenda, Istanbul Declaration on Human Settlements) tahun 1996. Konvensi ini turut memastikan komitmen “untuk merealisasikan hak dasar atas perumahan layak”. Konferensi PBB ini menegaskan komitmen kembali untuk realisasi penuh dan progresif hak atas perumahan yang layak sebagaimana diatur dalam instrumen internasional. Untuk tujuan itu, Konferensi akan mencari partisipasi aktif dari mitra publik, swasta dan nonpemerintah di semua tingkatan untuk menjamin keamanan hukum kepemilikan, perlindungan dari diskriminasi dan akses sama terjangkau, perumahan layak bagi semua orang dan keluarga mereka.

Masyarakat dunia ternyata terus memperjuangkan penegakan hak dasar manusia atas perumahan melalui Millenium Development Goals (MDGs) sebagai dorongan agar keadaan dan kehidupan manusia benar menjadi lebih benar. Pilar pertama dipakai dunia sebagai acuan tentang hak atas perumahan layak, adalah International Convenant on Economic, Social dan Cultural Right(1966) yang diterjemahkan oleh Komnas HAM ke dalam bahasa Indonesia (2004) setelah Pemerintah RI bersama negara lain seperti Amerika Serikat dan Cina meratifikasinya. Pasal 11 (1) konvenan tersebut berbunyi: ”Negara-negara pihak pada Konvenan ini mengakui setiap orang atas kehidupan yang layak untuk dirinya sendiri dan keluarganya, termasuk kelayakan pangan,sandang dan pangan, dan perbaikan kondisi hidup terus menerus. Negara-negara pihak akan mengambil langkah-langkah tepat untuk menjamin perwujudan hak tersebut dengan mengakui arti esensial dari kerja sama internasional didasarkan pada kesepakatan sukarela.

Definisi “Rumah Layak”

Gagasan merumuskan kriteria atau definisi tentang apa yang disebut sebagai “rumah layak” sudah muncul sejak PBB mengadopsi konvenan tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Muara dari upaya ini pertama kali muncul pada Deklarasi Vancouver tentang Human Settlement yang dihasilkan oleh KTT Habitat I (1976). Selanjutnya, definisi ini dikembangkan pada saat Global Strategy for Shelter to the year 2000 ditetapkan PBB pada 12/1988 (GSS 2000), rumah layak didefinisikan lebih baik meliputi kelayakan privacy, kelayakan ruang, kelayakan sekuriti, kelayakan penerangan dan ventilasi, kelayakan prasarana dan sarana dasar dan kedekatannya pada berbagai sasarana dasar, semua dalam batas keterjangkauan mencapaiannya. ECOSOC PBB pada keputusan Sidang Umum PBB No. 4 Tahun 1991 lebih lanjut yakin bahwa aspek-aspek kelayakan rumah berikut ini perlu diperhatikan yaitu:

1.Jaminan kepemilikan dilindungi hukum.
2.Ketersediaan service, bahan, fasilitas dan prasarana.
3.Kemampuan beli masyarakat.
4.Layak huni atau habitable.
5.Dapat diakses oleh siapa saja.
6.Lokasi mendukung bagi kehidupan.
7.Kelayakan budaya, termasuk menjalankan keyakinan luas.

Millenium Development Goals (disingkat MDGs) dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai Tujuan Pembangunan Melenium (TMP). Tujuan Pembangunan Melemium merupakan paradigma pembangunan global yang disepakati secara internasional oleh 189 negara anggota PBB, termasuk Indonesia, dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium PBB bulan September 2000. Majelis Umum PBB kemudian melegalkan ke dalam Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 55/2 tanggal 18 September 2000 tentang Deklarasi Milenium PBB (A/RES/55/2.United Nations Millennium Declaration).

Lahirnya Deklarasi Mileneum merupakan hasil perjuangan panjang negara-negara berkembang dan sebagian negara maju. Deklarasi ini menghimpun komitmen para pemimpin dunia, yang belum pernah terjadi sebelumnya, untuk menangani isu perdamaian, keamanan, pembangunan, hak asasi, dan kebebasan fundamental dalam satu paket. Negara-negara anggota PBB kemudian mengadopsi MDGs. Setiap tujuan memiliki satu atau beberapa target berikut indikatornya. MDGs menempatkan pembangunan manusia sebagai fokus utama pembangunan serta memiliki tenggat waktu dan kemajuan terukur. MDGs didasarkan atas konsensus dan kemitraan global, sembari menekankan tanggungjawab negara berkembang untuk melaksanakan pekerjaan rumah mereka, sedangkan negara maju berkewajiban mendukung upaya tersebut.

Secara ringkas, arah pembangunan disepakati secara global mencakup: (1) menghapuskan kemiskinan dan kelaparan berat; (2) mewujudkan pendidikan dasar untuk semua orang; (3) mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; (4) menurunkan kematian anak; (5) meningkatkan kesehatan maternal; (6) melawan penyebaran HIV/AIDS, dan penyakit kronis lainnya (malaria dan tuberkulosa); (7) menjamin keberlangsungan lingkungan; dan (8) mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.

Khusus menyangkut perumahan dan permukiman, pada tahun 2020 mendatang diharapkan dapat mencapai pengembangan signifikan dalam kehidupan untuk sedikitnya 900 juta orang tinggal di daerah kumuh. Indonesia telah menargetkan perbaikan berarti dalam kehidupan penduduk miskin di permukiman kumuh pada 2020 merupakan bagian dari pencapaian pelaksanaan pembangunan masyarakat bersifat konservasi terhadap salah satu unsur lingkungan hidup. Target ini dipantau dengan menggunakan indikator proporsi rumah tangga memiliki dan menyewa rumah (%), yang dalam dokumen pedoman MDGs disebut sebagai ”jaminan bermukim (secure tenure), bermakna sebagai rumah tangga memiliki atau menyewa rumah baik secara pribadi maupun kelompok.

UUD 1945: Hak Dasar Bagi Setiap Warga
Pada tingkat negara bangsa (nasional), terkait soal hak setiap warga atas rumah atau tempat tinggal, secara filosofis telah tertuang di dalam UUD 1945, khususnya Pasal 28 C dan Pasal 28H. Pasal 28C ayat (1) berbunyi: “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” Pasal 28C ini kemudian dipertegas pada Pasal 28H ayat (1) menyebutkan, “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Makna Pasal ini adalah perumahan dan permukiman merupakan hak dasar bagi setiap Warga negara Indonesia. Selanjutnya Pemerintah juga terikat dengan amanat UU N0. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 40 menegaskan,”setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berpenghidupan yang layak”. Pemerintah bertanggungjawab untuk membantu masyarakat agar bertempat tinggal serta melindungi dan meningkatkan kualitas permukiman dan lingkungannya.

Sesuai amanat UUD 1945, telah diterbitkan Undang-undang Nomor 16 tahun 1955 tentang Rumah Susun dan Undang-undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, di mana tujuan kedua UU tersebut adalah sebagai dasar pengaturan bagi pemenuhan kebutuhan dasar manusia akan rumah, baik dalam bentuk rumah tinggal maupun rumah susun. Pasal 5 UU No. 4 tahun 1992 menyebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan/atau menikmati dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur (ayat 1). Pasal 5 ini juga menetapkan, setiap warga negara mempunyai kewajiban dan tangggung jawab untuk berperan serta dalam pembangunan perumahan dan permukiman (ayat 2).

Tentang peran serta masyarakat ini dipertegas pada pasal 29:
(1)Setiap warga negara mempunyai hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam pembangunan perumahan dan permukiman.
(2)Pelaksanaan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) dapat dilakukan secara perorangan atau dalam bentuk usaha bersama.
Indonesia telah menetapkan dalam pasal 28 ayat 1 UUD 1945 bahwa setiap orang memiliki hak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tingal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Pada tanggal 10 Agustus 2002, MPR merampungkan amandemen UUD 1945 keempat untuk pertama kali memasukkan hak atas perumahan sebagai hak azasi manusia Indonesia. Pasal 28H ayat (1) berbunyi: ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Ayat (4) menyebutkan, setiap orang berhak mempunyai milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapun. Dengan ditetapkannya hak asasi atas rumah dan lingkungan oleh UUD 1945, tidak ada alasan tidak meratifikasi berbagai kesepakatan internasional mengandung hak asasi perumahan layak tersebut.

Pasal 28H UUD 1945 ini menyerupai pasal 25 ayat (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948). Sedang pertama kali merekomendasikan tentang perumahan (Buruh), yakni ILO dengan Rekomendasi No. 115 (1961) dan dilanjutkan dengan mengusulkan luas minim rumah buruh sebesar 5,1 m2 per kapita. Ini kemudian dipakai untuk menentukan luas rumah inti di banyak negara seperti rumah inti, RSS dan sejenisnya. Dalam UU No. 4 Tahun 1992 Pasal 5 berbunyi: (1) Setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan/atau menikmati dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan sehat, aman, serasi dan teratur. Ayat (2) Setiap warga negara mempunyai kewajiban dan tangungjawab untuk berperan serta dalam pembangunan perumahan dan permukiman.

Dengan merunjuk pada pasal 5 UU No. 4 tahun 1992 di atas, maka pasal 28H UUD 1945 lebih mudah ditemukan kaitannya dengan berbagai kesepakatan internasional, sebagian besar disponsori PBB. Untuk mengulas pasal 28H tersebut, beberapa acuan dipakai, antara lain Basic Human Rights and The Human Rigth to Adequate Housing terbitan UN Centre for Human Rights di Geneva, Legal Resources for Housing Rights (2000) diterbitkan oleh Escuela Tecnica Superior de Arquitecture de Valladolid, Espapana.

Oleh karenannya, rumah sebagai wadah tempat tinggal perseorangan ataupun dalam entitas sosail baik dalam bentuk keluarga atau lainnya merupakan hak setiap orang. Secara fungsional rumah dijadikan sebagai wadah untuk berlindung dari tantangan alam dan ancaman binatang, sekaligus wadah interaksi sosial keluarga dan pada kasus tertentu mewadahi aktivitas ekonomi penghuninya. Hak perumahan secara nasional didefinisikan sebagai hak bagi setiap orang untuk mendapatkan akses menghuni rumah yang layak dalam suatu komunitas yang aman dan bermartabat secara berkelanjutan. Lebih jauh kelayakan didefinsiikan sebagai kelengkapan rumah dengan jaminan keamanan dan hukum, jaminan perolehan prasarana, sarana dan utilitas umum (PSU), akses pada pembiayaan, dan atau hal lain untuk memenuhi martabatnya sebagai manusia. Menghuni rumah layak berarti pengakuan status legal kependudukan membuka identitas sosial, akses pada program peningkatan kesejahteraan serta peluang usaha membutuhkan kredibilitas hunian.

Berdasarkan perspektif filosofis dan legalitas/hukum di atas, maka dapat disimpulkan Setiap warga negara Indonesia yang berhak untuk bertempat tinggal serta berpenghidupan yang layak. Pemerintah Indonesia bertanggungjawab untuk membantu masyarakat agar bertempat tinggal serta melindungi dan meningkatkan kualitas permukiman dan lingkungan masyarakat bersangkutan.

Definisi Rumah Tangga Kumuh
Permukiman kumuh di perkotaan memiliki beragam bentuk, besaran, sejarah dan budaya politik, serta terdapat beragam istilah juga digunakan untuk menyebutnya. UN-HABITAT sendiri mendefinisikan rumah tanga kumuh sebagai ”kelompok orang yang hidup di bawah satu atap di kota, dan tidak memiliki satu atau lebih dari lima kondisi” berikut:
a.Rumah dari bahan permanen di lokasi tidak rawan banjir.
b.Area huni layak, sehingga tidak lebih dari tiga orang berbagai kamar.
c.Akses ke air bersih mencukupi kebutuhan sehari-hari dalam harga terjangkau.
d.Akses ke sanitasi layak.
e.Kepemilikan lahan aman dan legal sehingga tidak rawan penggusuran.
Di beberapa tempat, permukiman kumuh dan ilegal dibedakan melalui:
a.Permukiman kumuh
Biasanya istilah ini digunakan untuk menunjukkan area dengan kualitas perumahan buruk, infrastruktur tidak memadai dan kondisi lingkungan terus menurun. Akan tetapi, penghuni biasanya memiliki kepemilikan lahan terjamin, baik sebagai pemilik, penghuni atau penyewa resmi atas tanah tsb.
b.Permukiman ilegal
Istilah ini digunakan untuk menggambarkan area di mana terdapat penduduk mendirikan rumah di atas lahan bukan miliknya atau tidak memiliki ijin mendirikan atau menyewakan bangunan, dan biasanya membangun tanpa mengikuti aturan tata kota berlaku.
Beragam pendapat telah muncul tentang sebab-sebab adanya permukiman kumuh dan ilegal. Salah satu pendapat menyebutkan bahwa permukiman kumuh dan ilegal ada karena kaum miskin tidak mampu atau dapat menjangkau bahkan perumahan minimum yang disediakan oleh pasar lahan dan perumahan formal. Banyak yang menghadapi hambatan dalam mengakses perumahan dan lahan karena keberadaan waktu, birokrasi dan kesulitan.
Salah satu realitas obyektif kita jumpai di perkotaan adalah kemiskinan ditandai dengan di samping tingkat pendapatan, juga bentuk aset antara lain, rumah tempat tinggal, keahlian kerja, kesehatan baik, tanah, aksesibilitas ke pelayanan umum, tabungan dan kelompok kredit serta beragam bentuk jaringan pengaman sosial. Karakteristik kemiskinan di perkotaan dapat dilihat dari keterbatasan:
a.Finansial (tingkat pendapatan).
b.Ketidakmampuan untuk memiliki penghasilan cukup dan stabil serta tidak adanya kepemilikan terhadap aset produktif.
c.Tidak adanya aksesbilitas ke perumahan aman dan terjamin kepemilikannya.
d.Tidak adanya aksesibilitas ke pelayanan infrastruktur dan publik.
e.Tidak adanya aksesibilitas ke jaringan pengaman sosial dan perlindungan terhadap hak-hak legalnya.
f.Ketidakmampuan untuk memliki kekuasaan, berpartispasi dan mendapatkan rasa hormat dari orang lain.
Kawasan Kumuh di Indonesia
Di Indonesia dari masa ke masa, keberadaan masyarakat miskin atau kemiskinan di perkotaan dan kawasan permukiman kumuh semakin meluas. Sebuah Sumber menyebutkan, pada tahun 2000 saja diestimasikan telah terdapat kawasan kumuh seluas 47.000 ha pada 10.000 lokasi. Lingkungan kumuh di perkotaan semakin meningkat terlihat dari realitas obyektif tahun 2004 (54.000 Ha) meningkat pada tahun 2009 menjadi 59.000 Ha. Sementara itu, Direktorat Penataan Bangunan dan Lingkungan, Dirjen Cipta Karya, Kementerian PU, mengungkapkan bahwa masih adanya sekitar 47 ribu Ha permukiman kumuh tersebar di berbagai kota (sekitar 10.000 lokasi) terutama kota metro dan besar; dihuni oleh sekitar 17,2 juta jiwa dan 14,5 juta rumah tidak layak huni. Bahkan Rekomendasi Diskusi Lintas Pelaku Pemberdayaan Komunitas dalam Penyediaan Perumahan dan Permukiman MBR di DKI Jakarta, di daerah DKI Jakarta saja masyarakat daerah kumuh mencakup 40 % penduduk.
Luas lahan perkotaan terbatas tidak mampu menampung desakan pertumbuhan penduduk dan pada akhirnya kerap memunculkan permukiman tidak teratur, kumuh, dan tidak layak huni. Penanganan permukiman kumuh belum holistik menyebabkan kondisi kekumuhan tidak dapat diatasi bahkan cenderung mengalami peningkatan luas. Hasil penelitian United Nation Development Programme (UNDP) mengindikasikan terjadinya perluasan permukiman kumuh mencapai 1,37% setiap tahun, sehingga pada tahun 2009 luas permukiman kumuh diperkirakan menjadi 57.800 ha dari kondisi sebelumnya yakni 54.000 ha pada akhir tahun 2004.
Sebagaimana diungkapkan di atas, tingginya kebutuhan masyarakat akan rumah baru mencapai tidak kurang dari 800.000 unit per tahun serta masih cukup besarnya kesenjangan pemenuhan kebutuhan perumahan (backlog) yang pada tahun 2004 mencapai 5,8 juta unit. Lingkungan perumahan juga cenderung mengalami penurunan kualitas khususnya di kawasan permukiman kumuh di kota-kota besar.
Kebijakan Pemerintah
Kebijakan nasional terkait dengan kawasan permukiman kumuh sebagai suatu masalah utama telah tertuang di dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005–2025. Ditetapkan bahwa sasaran pokok pembangunan perumahan dan permukiman jangka panjang adalah terpenuhi rumah layak huni dan terjangkau dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan memadai didukung oleh sistem pembiayaan jangka panjang yang berkelanjutan, efisien, dan akuntabel untuk mewujudkan kota tanpa kumuh. Bahkan sebagaimana diungkapkan oleh Bambang Susantono, Wakil Menteri Perhubungan RI pada februari 2010, Program PPP (Kemitraan Pemerintah-Swasta) dalam Infrastructure Strategies 2010-2014 telah mencanangkan akan melaksanakan salah satu kegiatan strategis, yakni ”penanganan kawasan kumuh di perkotaan antara lain melalui pembangunan Rumah Susun”.
Pada tingkat Kemenpera (Kementerian Perumahan Rakyat) RI, kebijakan Pemerintah terkait dengan kawasan permukiman kumuh telah mengambil sasaran strategis yakni terlaksana penataan lingkungan permukiman kumuh seluas 655 Ha dengan jumlah penduduk terfasilitasi sebanyak 130.000 jiwa. Pada bagian kawasan permukiman yang secara fisik tidak layak huni/kawasan kumuh penanganan dilakukan melalui pendekatan peningkatan kualitas kawasan yang lokasinya bisa berada pada persil- persil kawasan permukiman yang tersebar.
Kemenpera telah mencanangkan kebijakan PLP2PK-BK (Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh Berbasis Kawasan). Kebijakan ini berdasarkan UU No. 17 No. 2007 dan RPJPN Tahun 2025 bebas kawasan permukiman kumuh, dan MDG”s Indonsia Target 7 tujuan: ”meningkatkan kualitas lingkungan kumuh”. Lingkungan permukiman kumuh meningkat di perkotaan (54 ribu Ha pada 2004 menjadi 59 ribu Ha pada 2009. PLP2K-BK menggunakan pendekatan penanganan: a. Tri daya (berbasis pemberdayaan masyarakat/community action Plan); b. Skenario rencana 10 tahun (berkelanjutan); c. Mengintegrasikan multi sektor; dan, d. Pemda/Masyarakat sebagai pelaku utama. Berdasarkan penanganan itu, kegiatan penaganan mencakup: a. bantuan stimulan (PSU) perumahan dan permukiman; b. Bantuan stimulan formal (Rusunawa/mi); c. Bantuan stimulan perumahan swadaya; d.Bantuan pembiayaan (fasiltasi likuiditas); e. Kegiatan sektor lainnya (pendidikan, ke-PU-an, dll.). Kriteria penanganan berdasarkan : a. Tingkat kekumuhan, b. Kesesuaian & kesiapan lokasi, dan c. Kesiapan Pemda (APBD).
Kemenpera telah merencanakan dan mengkordinasikan dengan Pemda lokasi-lokasi penanganan kawasan kumuh (PLP2K-BK) tahun angaran 2011 mencapai lebih 20 lokasi, sementara stimulasi fisik mencapai 10 lokasi. Sedangkan untuk tahun 2011, direncanakan untuk sekitar 35 lokasi dan masih dalam proses dengan stimulasi fisik mencapai 11 lokasi, ditambah untuk sekitar 15 lokasi masih dalam proses. Alokasi dana tahun 2010 mencapai Rp. 75 miliyar, sedangkan tahun 2011 jauh meningkat mencapai Rp. 160 miliyar.
Cerminan Pelanggaran HAM
Komitmen global dan amanat konstitusi UUD 1945 dan beberapa UU di Indonesia mengharuskan Pemerintah bertanggungjawab dan berkewajiban menghilangkan kawasan kumuh dari tanah air ini. Kawasan kumuh secara filosofis dan bahkan konstitusional mencerminkan pelanggaran HAM. Karena itu, Pemerintah harus sungguh-sungguh membangun dan mengembangkan perumahan dan permukiman yang layak huni, sehat, aman, nyaman, dan teratur serta berkesinambungan.
Konsekuensinya, Pemerintah harus memprioritaskan pembiayaan dan pendanaan untuk penegakan hak warga atas rumah tempat tinggal yang layak, bukan kumuh. Pemerintah SBY, bagaimanapun, masih tergolong Pemerintah pelanggar HAM dalam tinjauan filosofis dan konstitusional ini. Tidak ada tanda-tanda atau fakta menunjukkan Pemerintah SBY telah mengurangi kawasan kumuh, malah yang terjadi semakin bertambah. Kita bisa lihat, pertambahan kawasan kumuh di perkotaan Pulau Jawa khususnya.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda