Senin, 29 November 2010

DAMPAK NEGATIF POLITIK KARTEL: MENINGKATNYA KASUS KORUPSI DI DAERAH

Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP





Salah satu dampak negatif politik kartel adalah meningkatnya baik kualitatif maupun kuantitatif kasus korupsi kaum politisi baik sebagai Kepala Daerah maupun Anggota DPRD. Dampak lanjutannya adalah penyelenggaraan negara oleh pejabat pemerintahan daerah tidak dalam rangka memenuhi tujuan bernegara yakni kesejahteraan masyarakat, melainkan kesejahteraan kaum politisi Parpol khususnya dan klas atas dan menengah umumnya.

Tulisan ini akan berfokus pada penyajian fenomena korupsi di daerah dalam era reformasi, demokratisasi, otonomisasi, desentralisasi dan dekonsentrasi, termasuk era pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung. Karakteristik politik kartel kepartaian di tingkat nacional juga berlaku dan jauh lebih banyak di tingkat daerah, antara lain memperoleh dana ilegal dari negara/pemerintahan untuk kepentingan pribadi dan Parpol. Para pelaku politik kartel dapat direpresenasiakan dengan kasus-kasus korupsi Kepala Daerah dukungan atau pemimpin Parpol setempat dan anggota DPRD yang notabenenya adalah kader Parpol.

Demokratisasi dan Pilkada Secara Langsung

Pada tahun 1997 krisis ekonomi politik di Indonesia memperkuat posisi kekuatan reformasi dengan cita-cita demokratisasi di bidang Pemerintahan, dunia usaha dan masyarakat madani. Cita-cita kekuatan reformasi akan menghasilkan sistem perumusan kebijakan lebih partisipatif dan karena itu memberi legitimasi yang lebih kuat terhadap kebijakan melalui proses politik panjang untuk menggunakan ketrampilan negoisasi, serta kesediaan melakukan kompromi dengan semua pemangku kepentingan. Demokratisasi mengakibatkan kecenderungan sistem interaksi terpencar (divergence) dan bukannya terpusat (convergence). Kekuatan reformasi telah menumbuhkan harapan baru akan masyarakat bebas dari Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) sebagai salah satu agenda reformasi.

Salah satu kemajuan kekuatan reformasi dan demokratisasi di Indonesia adalah penataan hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah baik dalam pengertian otonomisasi, desentralisasi maupun dekonsentrasi. Bermula dari diterbitkannya UU No. 22 tahun 1999, kemudian direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah an Daerah hasil revisi UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, demokratisasi secara legalistik yuridis telah melakukan perubahan sangat mendasar dalam pelaksanaan Pemerintahan Daerah. Secara garis besar, perubahan paling tampak adalah terjadinya pergeseran kewenangan dari satu lembaga ke lembaga lain. Konsep otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab tetap dijadikan acuan dengan meletakkan pelaksanaan otonomi pada tingkat daerah paling dekat dengan masyarakat, yakni Kabupaten/Kota. Tujuan pemberian otonomi tetap seperti yang dirumuskan saat ini yakni memberdayakan daerah, termasuk masyarakat, mendorong prakarsa dan peran masyarakat dalam proses Pemerintah an dan pembangunan. Asas-asas penyelenggaraan pemerintahaan seperti desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan diselenggarakan secara proporsional sehinga saling menunjang.

UU No. 32 tahun 2004 digunakan otonomi seluas-luasnya di mana daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan Pemerintah an kecuali urusan Pemerintah pusat yakni: politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, moneter/fiskal, perdailan (yuridis) dan agama. Pemerintah berwenang membuat norma, standar, prosedur, monitoring dan evaluasi, supervisi, fasilitasi dan urusan-urusan Pemerintahan dengan eksternalitas nasional. Pemerintah Provinsi berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan Pemerintahan dengan eksternal regional, dan Kabupaten/Kota berwenang mengatur dan mengurus urusan Pemerintahan dengan eksternalitas daerah. Dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 disebutkan, NKRI dibagi atas daerah-daerah Provinsi dan daerah Provinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, dan tiap-tiap Provinsi, Kabupaten dan kota mempunyai Pemerintahan Daerah diatur dengan UU. Pemerintah Provinsi sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah diakomodasikan dalam bentuk urusan Pemerintahan menyangkut peraturan terhadap regional menjadi wilayah tugasnya. Urusan menjadi kewenangan daerah meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib adalah urusan Pemerintahan berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar, sedangkan urusan pilihan terkait dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah.

Pemda adalah fungsi-fungsi pemerintahanan daerah dilakukan oleh lembaga Pemerintahan Daerah yaitu Pemerintah Daerah dan DPRD. Hubungan antar Pemerintah Daerah dan DPRD hubungan kerja kedudukan setara dan bersifat kemitraan, bermakna sama-sama mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai fungsi masing-masing sehingga antar kedua lembaga membangun hubungan kerja saling mendukung satu sama lain dalam melaksanakan fungsi masing-masing.
Dalam UU No. 32 tahun 2004 terlihat semangat melibatkan partisipasi publik. Pelibatan publik dalam Pemerintahan atau politik di daerah mengalami peningkatan luar biasa dengan diaturnya Pilkada secara langsung. UU No. 32 tahun 2004 tersebut menciptakan good governance (tata pengaturan yang baik). UU No. 32 tahun 2004 kemudian diikuti terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. PP No. 6 tahun 2005 ini mengatur tentang pelaksanaan Pilkada secara langsung telah membuat sistem Pemerintah an di daerah semakin demokratis. Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 untuk memeilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Melalui peraturan perundang-undangan ini setidaknya secara prosedural demokrasi telah difungsikan secara baik di daearh. Mulai tahun 2005 pergantian Kepala Daerah, baik Gubernur mapun Bupati/Waliota di seluruh Indonesia telah dilakuakn secara langsung. Parpol berperan dalam pencalonan pasangan Kepala Daerah, lalu rakyat setempat secara langsung memilih dengan prinsipprinsip Pilaka yang sesuai Pilpres. Seiring dengan penguatan Pemerintah Daerah dan pelaksanaan Pilkada secara langsung yang menjadikan Parpol sebagai faktor penting penting, peran Parpol juga semakin menguat kemudian menjadi berpengaruh terhadap pemilihan Kepala Daerah dan sistem perumusan kebijakan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
Demokratisasi menggiring sistem politik di daerah semakin terbuka, dapat dinilai merupakan kemajuan signifikan. Namun, dari perspektif kebijakan publik gelombang demokratisasi itu ternyata menjadi tantangan tersendiri tidak pernah berlaku sebelumnya. Dewasa ini situasi Pemerintahan Daerah lebih sulit dalam menyelesaikan perselisihan tentang kebijakan akan diambil. Lain halnya semasa Orde Baru, begitu cepat keputusan diambil karena terbiasa dengan pendekatan kekuasaan. Proses kebijakan publik kini lebih terfragmentasi dan untuk sebagian terasa kurang efektif.
Konfigurasi politik di daerah kini telah dilengkapi dengan semua ciri dasar bagi sebuah demokrasi. Berbagai ciri demokrasi telah berlaku di daerah seperti Pilkada secara langsung, bebas dan adil, kebebasan berendapat dan berserikat, hak untuk memilih, adanya sumber informasi alternatif, hak bagi semua orang untuk menduduki jabatan publik, serta kelembagaan memungkinkan rakyat bisa mengontrol Pemerintahan Daerah sebagai ciri-ciri demokrasi telah berlaku di Indonesia. Namun, sebagai daerah baru belajar berdemokrasi, banyak di antara perumus kebijakan strategis daerah sebenarnya baru belajar berdemokrasi, dan juga belum lama terbiasa dengan sistem otoritarian. Salah satu tantangan berat yakni meyakinkan para perumus kebijakan daerah agar tidak frustasi dengan tatanan demokratis masa lalu mengunkit nostalgia semuanya serba pasti dan dapat diduga. Proses perumusan kebijakan demokratis memang memerlukan kerja keras untuk menciptakan sebuah konsensus, tetapi itu bukan berarti bahwa kembali ke cara-cara tidak demokratis menjadi cara pemecahan/solusi.
Demokratisasi telah memberdayakan DPRD. Jika di masa Orde Baru lembaga ini hanya merupakan pelengkap dan menjadi ”stempel” dari kebijakan Pemerintah Daerah, kini bergerak ke arah legislatif sehingga DPRD diberi hak untuk memilih dan mengawasai Gubernur, Bupati dan Walikota tanpa mekanisme kawal dan imbang jelas. Sistem ini rawan politik uang selain akan menghambat proses perumusan kebijakan. Pemilihan Kepala Daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) diserahkan sepenuhnya kepada DPRD, pasangan calon Kepala Daerah tinggal ”mendekati” separuh dari seluruh anggoat DPRD. Untuk memencapai jabatan politis di daerah ketika itu tidak lebih dari 50 orang untuk DPRD tingkat Provinsi dan tidak lebih dari 23 orang untuk tingkat Kabupaten/Kota.Dengan modal uang, sepasang calon akan mudah untuk membeli suara para anggota DPRD. Memang ada keharusan bagi para pasangan calon untuk menyampaikan visi dan misi mereka di depan DPRD, namun pada akhirnya sangat bergantung penggunaan hak mutlak memilih para anggota DPRD. Persoalan menjadi lebih parah karena kebanyakan para anggota DPRD ketika itu tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan yang memadai dalam hal ketatanegaraan maupun hal-hal teknis terkait pemerintahan daerah. Ketika para anggota DPRD dengan kualitas SDA kurang memadai itu memperoleh kekuasaan besar seiring kebijakan desentralisasi, maka mereka akan sangat rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan, politik uang, dan korupsi. UU No. 32 tahun 2004 menghapus kewenangan DPRD untuk memilih Kepala Daerah dan juga ketentuan mengenai LPJ (Laporan Pertanggungjawaban), sebelumnya seringkali disalahgunakan oleh para anggota DPD untuk memecat Kepala Daerah tanpa alasan jelas. LPJ itu itu kini hanya dipandang sebagai laporan kemajuan bagi para anggota legislatif. Ketika Kepala Daerah selanjutnya dipilih secara langsung, kedudukan eksekutif dan legislatif di daerah relatif menjadi lebih seimbang.
Meskipun secara prosedural tatanan demokratis telah terwujud di daerah, tetapi masih banyak masalah yang belum terpecahkan. Namun, masalah kesenjangan antara prilaku DPRD dengan apa dikehendaki oleh para konstituen mereka tetap belum dapat diatasi sampai sekarang. Dinamika politik di daerah menganadung tendensi kuat bahwa pejabat lebih memperhatikan kepentingan Parpol ketimbang kepentingan publik. Korupsi menjangkiti para politisi dan petinggi di seluruh jenjang Pemerintahan daerah mengakibakan sikap skeptis terhadap para pengambil keputusan di daerah. Potret korupsi semakin mengerikan. Korupsi tidak hanya terjadi di tingkat pejabat negara dengan segala unsur seperti Bupati/Walikota, pejabat musyawarah pimpinan daerah (Muspida), atau DPRD. Namun, sebagaimana ditegaskan Hadi Supeno, seorang Mantan Wakil Bupati penulis buku Korupsi di Daerah: Kesaksian, Pengalaman, dan Pengakuan (2010), korupsi telah merembet ke berbagai elemen masyarakat, mulai dari kalangan parpol, LSM, tokoh agama, hingga perguruan tinggi. Semua terlibat korupsi, Perguruan Tinggi seringkali melegitimasi proyek-proyek korup dengan penelitian bayaran, sedangkan tokoh agama acapkali menjadi juru doa proyek korup. Tidak ada lagi pejabat daerah memenangi pemilihan dengan jujur atau tanpa menggelontorkan uang ke calon pemilih. Akibatnya, ketika menjabat mereka berperilaku korup. Dalam hitungan, Kebocoran uang APBD rata-rata mencapai 20 %. Sebagian adalah untuk biaya Pilkada pada priode berikutnya. (Hadi Supeno, (Kompas.Com, 24 Desember 2009).
Fenomena Korupsi di Daerah Era Reformasi

Menurut ICW, Fenomena korupsi di daerah sudah demikian rumit mulai dari pola dilakukan. Salah satu sebab adalah para pemain di daerah mempunyai kekuasaan penuh dan praktis tanpa ada pengawasan berarti. Pejabat benar-benar berkuasa di daerah adalah Bupati dan Walikota, Bahkan Gubernur sekalipun tidak sangup “mengatur”para raja-raja baru di daerah tersebut. Penyimpangan telah merambah secara merata di Pemerintahan daerah, acapkali dinilai telah memasuki era korupsi di daerah. Kerugian negara tidak hanya berumber dari APBN digegrogoti, termasuk juga APBD. Jenis penyimpangan sebagian besar mengindikasikan praktik KKN. Pada umumnya berujung ada timbulnya kerugian negara atau daerah (Pelita, 16 Agustus 2010).
Otonomisasi dan desentralisasi daerah terlalu memberikan keleluasaan (disrectory of ower) kepada daerah. Ada indikasi justru terjadi beberapa gejala negative di daerah, bertentangan dengan upaya pemberantasan KKN. Adanya DAU merupakan transfer dari Pemerintahan Pusat ke Pemerintahan Daerah, menyebabkan daerah berhak mengalokasikan DAU sesuai pertimbangan dan kebutuhan daerah. Hal ini merupakan salah satu pendorong korupsi di daerah. Adanya kecenderungan kebebasan kurang terkendali baik dari ekekutif maupun legislative. Juga, adanya ketidakjelasan pengawasan penggunaan DAU sepenuhnya diserahkan kepada eksekutif dan legislative. Kekuasaan Kepala Daerah baik Gubernur maupun Bupati/Walikota dalam penyelenggaraan Pemerintaah Daerah relatif begitu besar, kadangkala terdapat julukan munculnya “raja-raja kecil” di daerah.

UU No. 32 Tahun 2004 sesungguhnya tidak mengenal instilah “penguasa tunggal”, namun secara sosiologis dan psikologis posisi Kepala Daerah tetap sebagai orang nomor satu di daerah baik dalam kewenangan maupun protokoler. Secara yuridis, Kepala Daerah memimpin penyelenggaraan Pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan ditetapkan bersama DPRD, namun di pihak lain, Kepala Daerah bertugas mengkoordinasikan penyelenggaraan urusan Pemerintahan Pusat di daerah. Hal ini sesuai dengan UU No. 32 tahun 2004, penggunaan otonomi seluas-luasnya di mana daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan Pemerintahan kecuali urusan Pemerintah Pusat, yakni politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, moneter/fiskal, peradilan (yuridis) dan agama. UU No. 32 Tahun 2004 ditindaklanjuti dengan PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota. Sebagian pengamat politik mengusulkan, sebaiknya hubungan Kepala Daerah dengan DPRD tetap diposisikan sebagai “chek and balances” dan kedudukan Kepala Daerah sebagai kordinator dalam penyelenggaraan Pemerintahan di daerah perlu dibuat aturan jelas dan rinci. Perlu ketidakbrgantungan instansi vertikal pada Pemda. Instansi Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan harus tidak memperoleh fasilitas anggaran dan APBD, tetapi secara global ditampung oleh APBN. Namun dalam kenyataannya, Kepala Daerah masih merupakan kordinator terhadap lembaga vertikal lain. Kendatipun tidak ada peraturan jelas, namun masih dihidupkan lembaga “Muspida” di Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Kepala Daerah adalah pemimpin ”Muspida” tersebut. Kepala Daerah melaksanakan koordinasi untuk menjalankan tugas-tugas tertentu dengan Unsur Muspida lain seperti Pangdam, Kajati, Ketua Pengadilan Tinggi, Ketua DPRD Propinsi dan instansi lain untuk Propinsi. Sedangkan Dandim, Kapolres, Ketua Pengadilan Negeri, Ketua DPRD adalah untuk Kabupaten/Kota. Lebih dari mengkordinasikan, para Kepala Daerah juga “memfasilitasi” unsur Muspida lain baik melalui APBD (boleh resmi tetapi illegal) dan ada juga bersifat pribadi. Untuk dukungan pelaksanaan tugas instansi vertikal atau unsur Muspida, sering dialokasikan anggaran dalam APBD, walaupun sebenarnya instansi vertikal lain itu memiliki anggaran tersediri dari instansi induk di pusat. Tidak jarang karena “kedekatan hubungan” antar Kepala Daerah dengan pejabat Muspida, diciptakan pos anggaran sedemikian rupa dengan alasan koordinasi, kendati dasar hukum tidak ada, tetapi mungkin terjadi persengkongkolan dan juga korupsi. Dalam hal ini berlakulah konsep bahwa hukum dipergunakan sebagai alat kejahatan (law as tool of crime).

Korupsi adalah solusi cepat bagi Kepala Daerah untuk melarikan diri dari pembayaran utang akumulasi akibat pembiayaan kampanye politik mahal. Mochammad Jasin (Anggota KPK) mengakui bahwa kasus korupsi banyak terjadi di tingkat daerah didorong oleh hutang untuk mendanai kampanye politik selama Pilkada. Masalah utama dalam sistem politik Daerah kita adalah bahwa Pilkada secara langsung rawan terhadap praktik-praktik politik uang. Calon Kepala Daerah dilaporkan ekstra dalam menggali ke dalam kantong mereka dalam rangka memenangkan pemilihan. Pendapat Kepala Daerah ini adalah sekitar Rp. 6 juta sebulan. Bagaimana mereka bisa membayar utang mereka untuk kampanye politik? Kampanye hutang terbukti menjadi beban besar pada politisi. Sebagai contoh kasus korban Pilkada, pada 4 Juni Sutoto Agus Pratomo, suami Dasih Ardianti kalah pada Pilkada 2010 Wakil Walikota di Semarang, Jawa Tengah, menggantungkan diri di kantornya.

Fakta dan Data Korupsi di Daerah

Fakta dan data korupsi di daerah dapat diperoleh dari KPK . Antara kurun waktu 2004 dan 2010, Lembaga penegak hukum ini telah menyelesaikan 193 kasus korupsi, termasuk di tingkat Daerah. Kebanyakan pelanggaran telah diungkapkan terkait dengan pegadaan barang dan jasa dan prosedur pelayanan dengan 86 kasus dan suap pada 56 kasus. Terdapat 40,93 % dari total jumlah kasus, terjadi di daerah 79 kasus. Dari angka ini, pelanggaran paling banyak terjadi di Provinsi Jawa Barat 17 kasus, diikuti oleh Kalimantan Timur 11 kasus, Jakarta 10 kasus dan Riau dan Kepulauan Riau kombinasi 10 kasus. Lembaga telah berhasil menjatuhi hukuman delapan Gubernur dan 20 Walikota atau Bupati antara 2004 dan awal 2010, dari jumlah total 242 para pejabat korup.
Ada banyak pejabat Daerah lain terlibat dalam korupsi. Menurut jasin, metode paling berulang korupsi di tingkat Daerah adalah markup dari pengadaan barang dan jasa, menambahkan bahaw banyak pejabat pemda membuat pengeluaran fiktif dan proyek-proyek untuk keuntungan diri mereka sendiri. Ini dilakukan oleh Gubernur,Bupati, Waliota dan wakil-wakil mereka, termasuk pejabat mereka. Bentuk korupsi lainn termasuk manipulasi prosedur pengadaan dan menggelapkan dana daerah dengan praktik paling umum seperti menggunakan dana negara untuk urusan peribadi seperti liburan keluarga. Lebih melibatkan bentuk manipulasi prosedur pencarian dana, Daerah manipulasi perizinan konsesi kehutanan dan pertambangan, merajalela di Sumatera dan Kalimantan, dan pelanggaran prosedur gratifikasi biasanya melibatkan bank-bank Daerah. Public Sector Integrity Survey tahun 2010 menunjukkan bahwa indeks integritas nasional turun sampai 5,42 taun ini dari 6,5 tahun lalu. Survey mengevaluasi dan memberi skor lembaga-lembaga tingkat daerah mencakup administrasi 22 kota, mendapat skor rata-rata 5,07 (The Jakarat Post, 10/11/2010.
Fakta dan data lain menunjukkan, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, Indonesia sudah melahirkan 205 daerah baru, terdiri dari 7 provinsi, 164 Kabupaten dan 34 kota. Sejak itu pula, perilaku korupsi di daerah semakin menggila. Berdasarkan catat ICW hingga satu semester 2010, setidaknya ada 1.800 kasus korupsi terungkap dan sudah masuk pengadilan. Dari data ini, sepanjang 2004-2009 tercatat setidaknya 1.243 anggota DPRD terlbat korupsi.
Fakta dan data korupsi ICW ini hampir sama dengan data Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM). Pukat UGM melaporkan kepada KPK, terdapat 1.891 kasus korupsi di daerah hasil pemekaran. Korupsi terbanyak terjadi di Provinsi Banten 593 kasus, Kepulauan Riau 463 kasus, Maluku Utara 184 kasus, Kepulauan Bangka Belitung 173 kasus, Sulawesi Barat 168 kasus, Gorontalo 155 kasus, dan Papua Barat 147 kasus. Sisanya di daerah lain. Bagi Pukat, melonjaknya kasus korupsi di daerah lantaran dipicu oleh tingginya anggaran negara digelontorkan ke daerah. Hal tersebut menyebabkan gagalnya proses pembangunan di daerah baru hasil pemekaran. 80 % daerah baru hasil pemekaran gagal meningkatkan kesejahteraan masyarakat (LiraNews, Jakarta, 30 Oktober 2010).

Dalam kurun waktu 2004-2010, ICW mencatat ada 1.243 anggoat DPRD terjaring kasus korupsi. Tetapi saat divonis, hamper separuhnya dibebaskan oleh pengadilan. Kejaksanaan telah berupaya keras membawa kasus korupsi itu banyak, yang melibatkan anggoat legislative daerah, ternyata dibebaskan di pengadilan.
Fakta dan data berikutnya adalah hasil hasil investigasi ICW, yakni APBD menjadi sektor paling diminati para koruptor. Terbukti, kini keuangan daerah menyumbang potensi kerugian negara terbesar yakni Rp. 596, 232 miliyar. Temuan ICW baik tahun 2009 maupun tahun 2010, keuangan daerah tetap sebagai pintu masuk utama terjadinya korupsi. Keuangan daerah penyumbang potensi kerugian negara terbesar yakni Rp. 596.232 mliyar dengan 38 kasus. Tiga sekor lainnay menyumbangkan potensi kerugian negara yakni perizinan Rp. 420 miliyar (1 kasus), pertambangan Rp. 365,2 miliyar (2 kasus), dan energy/listrik Rp. 140,8 miliyar (5 kasus). Sebagai perbandingan, ada semester I tahun 2009, kasus korupsi meraup keuangan daerah sebesar Rp. 410.857 miliyar dengan 23 kasus. Adapun modus paling banyak digunakan para pelaku korupsi untuk mengeruk uang negara yakni penggelapan (62 kasus). Diikuti modus mark up (52 kasus), proyek fiktif (20 kasus), penyelahgunaan anggaran (18 kasus) dan suap (7 kasus). Sementara modus tertinggi semester I tahun 2009, yakni modus penyelahgunaan anggaran dengan 32 kasus. Ini terkait dengan kondisi politik terjadi, yakni tahun 2008-2009, tahun persiapan menjelang Pemilukada. Modus penggelapan umumnya terkait dengan penyimpangan dana langsung berhubungan dengan kepentingan masyarakat seperti dana bantuan sosial marak terjadi pada tahun 2008-2009 (Potret Indonesia, 17 Oktober 2010).

Fakta dan data selanjutnya berasal dari Hadi Poernomo, Ketua BPK. Pada 12 Oktober 2010, BPK melapor kepada DPR dari ikhtiar pemeriksanaan semester I tahun 2010, total temuan mencapai 10.113 kasus dengan potensi kerugian negara Rp. 26,12 triliyun secara nasional. Khusus untuk potensi kerugian daerah mencapai Rp. 2 triliyun. Dari sekian banyak itu, ternyata ada beberapa oknum memang sengaja melakukan hal-hal berpotensi merugikan negara dan daerah. Khusus untuk daerah, BPK mencatat ada 348 laporan keuangan pemda (LKPD) menunjukkan adanya kerugian sebanyak 1.246 kasus dengan nilai Rp. 306,63 miliyar. Kerugian di daerah dimaksud adalah berkurangnya kekayaan daerah berupa uang, surat berharga, dan barang, nyata dan pasti jumlah sebagai akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai. Kerugian ini timbul karena kasus-kasus meliputi belanja atau pengadaan barang dan jasa fiktif, rekanan pengadaan barang dan jasa tidak menyelesaikan pekerjaan, kekurangan volume pekerjaan, kelebihan pembayaran selain kekurangan volume pekerjaan dan termasuk proses pemahalan harga (mark up). Sementara itu, Kementerian Keuangan menyatakan hingga kini belum memiliki langkah jitu untuk mengantispasi manipulasi dan korupsi para pegawai daerah dalam proses pengadaan barang dan jasa atau kegiatan lain. Dirjen Perbendaharaan Harry Purnomo mengakui kelemahan Pemerintah dalam melacak dan menelusuri berbagai kasus tersebut (Potret Indonesia, 17 Oktober 2010).
Sumber resmi Pemerintah dapat diambil melalui pernyataan Menteri Dalam Negeri Ganawan Fauzi. Menurutnya, sejak tahun 2005 Bupati menjadi tersangka sebanyak 150 orang. Jumlah tersangaka dari total jumlah Kepala Daerah 524 orang itu sangat memprihatinkan (Potret Indonesia, 17 Oktober 2010). Di lahin fihak, berdasarkan hasil investigasi ICW kecenderungan korupsi 2010 semester I, korupsi di semester awal tahun ini sudah terjadi di 27 Provinsi. Provinsi menempati jumlah kasus paling banyak adalah Sumut dengan 26 kasus, empat besar di bawahnya yakni Jabar (16 kasus), DKI Jakarat dan kasus terjadi pada Pemerintahan pusat 18 kasus, NAD (14 kasus), Jateng (14 kasus). Meski demikian, potensi kerugian negara dengan jumlah paling besar terjadi pada kasus-kasus di DKI Jakarta, sebesar Rp. 709,514 miliyar dengan 12 kasus, diikuti Lampung sebesar Rp. 408,382 miliyar (7 kasus), NAD sebesar Rp. 275,1 miliyar (14 kasus), Maluku sebenar Rp. 118,875 miliyar (6 kasus) dan Riau potensi kerugian negara mencapai Rp. 117, 75 miliyar (3 kasus). Beberapa kasus APBD dengan potensi kerugian negara sangat besar selama tahun 2010, di antara kasus pembobolan kas daerah Aceh Utara (Rp. 220 miliyar), kasus korupsi APBD di Indrgiri Hulu (Rp. 116 miliyar), kasus korupsi kas daerah di Pasuruan Jawa Timur (Rp. 74 miliyar) dan kasus dana otonomi daerah Kabupaten Boven Digoel Rp. 49 miliyar. Presiden SBY sendiri menyatakan keprihatinann atas korupsi masih saja terjadi di daerah. (Potret Indonesia, 17 Oktober 2010).
Dalam laporan yang diserahkan kepada DPR awal Oktober 2009 dan DPD 22 November 2009, BPK memaparkan berbagai penyimpangan uang negara. Tidak saja di Pemerintah pusat, penyimpangan juga merambah secara merata di Pemda. Hasil pemeriksaan atas 237 Pemda meliputi Propinsi dan Kabupaten/Kota, BPK menemukan penyimpangan sebesar Rp. 91,03 miliyar. BPK membagi penyimpangan tersebut dalam lima jenis temuan, yaitu : 1. Penggunaan anggaran tidak sesuai dengan ketentuan sebesar Rp. 45,8 miliyar (37%) ; 2. Tidak didukung bukti yang lengkap Rp. 32,05 miliyar (38%) ; 3. Terlambat menyampaikan laporan Rp. 8, 2 miliyar (6%); 4. Penggunaan anggaran tidak tepat sasaran Rp. 4,4 milyar (9%); dan, 5. Belum dipungut pajak/denda Rp. 466 juta.
Dalam buku Ikhtiar hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2007 tersebut, BPK melaporkan banyak praktik pengadaan barang dan jasa dengan nilai ratusan juta hingga miliyaran rupiah tidak menaati aturan. Selain itu, dijumpai pemberian berbagai fasilitas kepada Kepala Daerah dan anggota DPRD menyimpang dari aturan. Nilainya juga bervariasi dari puluhan juta hingga miliyaran rupiah, Kedua temuan tersebut merupakan contoh dari penggunaan anggaran tidak sesuai dengan ketentuan.
Di lihat dari frekuensi, jenis penyimpangan banyak tejadi adalah penggunaan uang tidak didukung bukti pertanggunjawaban lengkap dan sah. Hampir seluruh Pemda terdapat temuan seperti ini. Sebagai contoh, di Pemerintah Provinsi Riau, BPK menemukan belanja administrasi umum apparatur sebesar Rp. 2 miliyar. Tanpa bukti pertanggungjawaban lengkap dan sah. BPK tidak yakin atas kewajaran hal itu. Demikian pula, di Kota Prabumulih Provinsi Sulsel, BPK menemukan belanja tenaga kerja non pegawai sebenar Rp. 300 juta belum didukung dengan bukti lengkap dan sah. Di kabupaten Kediri ditemukan pemberian bantuan dan kepada sejumlah instansi vertical, seperti Polres, Polsek, Kejaksaan, Kodim, Koramil, Pengadilan Negeri, dll senilai Rp. 950 juta. Temuan seperti ini dijumpai hampir di setiap Pemda. Selain pemberian bantuan tersebut tidak dibenarkan oleh aturan, ternyata bukti pertanggungjawaban sering tidak jelas. Melihat fakta seperti itu, perlu diwaspadai Pemda akan menyelenggarakan Pilkada. Bukan tidak mungkin pengeluaran dana APBD tidak jelas pertanggungjawaban, sesungguhnya dipakai untuk membiayai kepentingan politik pimpinan daerah dalam Pilkada. Dana tersebut untuk membayai lobby-lobby politik. Biasanya kepada kalangan DPRD, LSM dan kelompok-kelompok masyarakat diharapkan memberikan dukungan pencalonan. Penyimpangan lain ditermukan BPK adalah penggunaan anggaran tidak tepat sasaran. Bukan cerita baru, banyak Pemda saat mengajukan rancangan APBD tidak didahului dengan perencanaan baik. Sering dijumpai rencana proyek pembangnan dan pelayanan publik diajukan hanya sekedar formalitas anggaran. Akibatnya, pada saat proyek selesai dilaksanakan, ternyata tidak dapat dimanfaatkan oleh masyarakat karena tidak sesuai dengan kebutuhan. Contoh menarik dapat dibaca pada temuan pengadaan kapal keruk senilai Rp. 4 miliyar di Kabupaten Cirebon. Pada waktu diperiksa oleh BPK, kondisi kapal tersebut menganggur karena tidak ada biaya untuk mengoperasikan. Hal ini merupakan kecerobhan pejabat terkait dalam membuat rencana pengadaan tidak sesuai dengan kebutuhan. (Majalah Pemeriksa, Edisi 114, 27 Januari 2009).

Aliran Dana dari Pusat ke Daerah

Berbagai hal bisa kita kaitkan dengan fenomena korupsi di daerah ini. Salah satunya berkaitan dengan aliran dana dari Pusat ke Daerah. Bambang Widjojanto, misalnya, (Kompas, 20 Agustus 2009) percaya, ada kontradiksi antara peningkatan jumlah aliran dana ke daerah dan akuntabilitas penggunaan keuangan daerah dinilai terus merosot. APBN Perubahan 2009 menetapkan, jumlah dana APBN Rp. 1.0005,7 triliyun dan ada sekitar 60 % diserahkan ke daerah. Di sini lain, laporan keuangan Pemda mendapat opini dengan penilaian tidak wajar meningkat tajam dari 10 daerah (2004) menjadi 59 daerah (2007). Sementara hasil pemeriksaan BPK Semester II tahun 2008 menyebutkan, ada 93.481 rekomendasi senilai Rp. 764 triliyun yang perlu ditindaklanjuti. Dari jumlah itu, 38.010 rekomendasi senilai Rp. 205 triliyun belum ditindaklanjuti. Menteri Keuangan dengan merujuk laporan BPK mengemukan kian merosotnya akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah. Penjelasan Menteri dan laporan itu menyatakan, pertama, ada 21 daerah mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian tahun 2004 dan merosot menjadi hanya 8 daerah tahun 2008. Kedua, ada 249 daerah mendapatkan opini wajar dengan pengecualian tahun 2004 merosot menjadi 137 daerah (2008). Ketiga,ada 7 daerah tahun 2004 diberikan opini tidak memberikan pendapat menjadi 120 daerah (2008). Uraian tersebut menjelaskan beberapa hal. Pertama, ada kecenderungan kian merosotnya kinerja daerah dalam mengelola keuangan. Kedua, ada 157 daerah pengelolaan dinilai membahayakan dan 249 daerah potensial membayakan karena dapat merugikan keuangan negara. Ketiga, ketidakmampuan mengelola keuangan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kewenangan dapat dikualifikasi sebagai korupsi. Keempat, potensi kerugian negara cenderung meningkat sesuai dengan kian memburuknya kualitas pengelolaan keuangan negara.
Laporan BPK juga menyatakan, pada 2008 ada 31 laporan hasil pemeriksaan (LHP) meliputi 40 kasus senilai Rp. 3,67 triliyun dan 26,37 juat dolar AS mengandung unsur tindak pidana dan telah dilaporkan kepada fihak berwenang. Dari jumlah itu, ada 24 LHP terdiri 37 kasus senilai Rp. 3,59 triliyun dan 26,37 juta dolar AS diserahkan kepada KPK; sisanya diserahkan kepada Kepolisian satu LHP dan Kejaksanaan enam LHP terdiri dari tiga kasus senilai Rp. 84,42 miliyar. Laporan itu melengkapi laporan lain BKP menyatakan, tahun 2003-2008 ada 90 LHP terdiri dari 120 kasus senilai Rp. 30, 18 triliyun dan 470, 31 juta dollar AS. Ada dugaan potensi penyimpangan pengelolaan keuangan negara akan meningkat seiring diadakan Pilkada di lebih 240 daerah tahun 2010. Asumsinya pejabat di daerah akan lebih memberikan perhatian pada Pilkada, kontrol pengelolaan keuangan daerah akan berkurang, serta sebagian pejabat potensial tergoda untuk menggunakan kewenangan dan keuangan daerah bagi kepentingan sendiri dalam Pilkada (Kompas, 20 Agustus 2009).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda