Minggu, 14 November 2010

Karakteristik Kartel Kepartaian: Menghilangkan Peran Ideologi hingga Menghindari Penyingkapan Korupsi

OLEH
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP




Jika kita bermaksud mengkaji fenomena kepartaian era reformasi sekarang ini, ada dua pertanyaan mendasar yang harus dapat kita jawab . Pertama, apa karakteristik politik kartel kepartaian? Kedua, mengapa kehidupan kepartaian mengarah pada politik kartel, bukan politik kerakyataan atau kepentingan konstituen? Tulisan ini akan mencoba menjawab pertanyaan pertama mengenai karakteristik politik kartel kepartaian.

Para pengguna teori politik kartel telah menunjukkan setidaknya lima karakteristik politik kartel kepartaian, yakni a. menghilangkan peran ideologi, b.mengutamakan koalisi, bukan oposisi, c. janji-janji tidak direalisasikan, d.memperoleh dana ilegal, e. menghindari penyingkapan korupsi. Berikut ini akan diuraikan satu per satu karakteristik politik kartel dimaksud.

1.MENGHILANGKAN PERAN IDEOLOGI

Karakteristik pertama adalah menghilangkan peran cita-cita (ideologi) Parpol sebagai penentu perilaku politik Parpol dalam kehidupan sehari-hari baik dalam pemerintahan maupun masyarakat. Ideologi hanya digunakan untuk kampanye Pemilu, tetapi menjadi tidak relevan saat berperilaku pada pasca Pemilu di legislatif (parlemen) dan eksekutif (pusat dan daerah). Menghilangkan peran cita-cita (ideologi) Parpol sebagai salah satu karakteristik politik kartel kepartaian di Indonesia era reformasi dapat dilihat dari realitas obyektif koalisi Parpol di pemerintahan setelah Pemilu yang tidak didasari kesamaan ideologi, bahkan berbeda satu sama lain.

Pada level daerah (lokal), peristiwa Pilkada acapkali terdapat koalisi/gabungan Parpol pendukung pasangan Calon Gubernur/Bupati/Walikota yang ideologi mereka saling berbeda dan bahkan saling bertentangan satu sama lain. Kesamaan motip politik kekuasaan atau perolehan dana, bukan ideologis, mewarnai Parpol pendukung suatu pasangan calon tertentu dalam Pilkada.

Karakteristik menghilangkan peran ideologi dapat juga dibuktikan dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas (17-19 Maret 2010) tentang ideologi 9 (sembilan) Parpol di DPR (Partai Demokrat, Partai Golkar, PDIP, PKS, PPP, PAN, PKB, Gerindra dan Hanura). Ada 1.097 responden dari 33 Ibukota provinsi se Indonesia menjadi sasaran jajak pendapat.

Di mata masyarakat Indonesia Parpol tertinggi konsisten mempertahankan ideologi adalah Demokrat, namun hanya sekitar 35 % responden, diikuti PDI-P (sekitar 25 %) dan PKS (sekitar 17 %), Golkar ( sekitar 12 %), Gerindra (sekitar 2 %), PAN (sekitar 1.5 %), PPP (sekitar 1 %), HANURA (0.6 %) dan PKB (sekitar 0.4 %). Tiga tertinggi tingkat konsistensi adalah Partai Demokrat, PDIP dan PKS. Secara umum di mata masyarakat, kiprah Parpol era reformasi ini adalah rendah tingkat konsistensi mempertahankan ideologi (cita-cita) mereka sendiri. Hasil jajak pendapat responden berdasarkan klasifikasi (1) pendidikan rendah menengah dan (2) pendidikan tinggi. Pada umumnya responden menilai Partai Demokrat adalah paling konsisten (tertinggi) mencapai 40.7 %-29.6%, diikuti PDIP 23.5 %-27.4%, dan PKS 13.2%-25.2%. PAN yang mengaku Parpol reformis ternyata di mata masyarakat memiliki tingkat konsistensi sangat rendah, yakni hanya 1.5%-0.9%, masih di bawah Parpol baru, Gerindra, yang mencapai 2.8%-3.5%.

Kiprah Parpol di era reformasi ini di mata masyarakat baik strata pendidikan rendah menengah maupun pendidikan tinggi lebih dominan menunjukkan, rendah tingkat konsistensi Parpol mempertahankan ideologi (cita-cita) mereka sendiri. Hal ini memperkuat penilaian sebagian besar pengamat bahwa perilaku Parpol cenderung berdasarkan pragmatisme, kalau tidak boleh disebut “ultra-oportunisme”.


2.MENGUTAMAKAN KOALISI, BUKAN OPOSISI

Karakteristik kedua yakni lebih mengutamakan politik “koalisi” dengan Parpol pemegang kekuasaan, kurang kompetitif dan tidak mengambil peran “oposisi” dalam hubungan dengan kekuasaan eksekutif. Parpol-parpol peserta Pemilu jika tidak berhasil memperoleh mayoritas anggota legislatif atau kekuasaan eksekutif, lebih mengutamakan koalisi, bukan oposisi. Prilaku oposisi menjadi tidak populer dan acapkali dianggap “merugikaan” karena tidak memperoleh kesempatan atau kekuasaan sebagai sumber dana bagi kepentingan Parpol.

Sebagai contoh, kepartaian pasca Pamilu 2009, sebagian besar dari sembilan Parpol yang mempunyai kursi di DPR, sekalipun berbeda ideologi dengan Partai Demokrat (Parpol SBY), berkoalisi dengan motip perolehan kekuasaan di Kabinet (jabatan Menteri). Mereka yang berkoalisi dengan SBY (Partai Demokrat) adalah Golkar, PPP, PAN, PKB, dan PKS. Padahal, ideologi PPP, PAN, PKB dan PKS (Islam) sesungguhnya berbeda dengan ideologi Partai Demokrat (sekuler).

Golkar semula tidak mendukung Pasangan SBY-Boediono dalam Pilpres 2009. Golkar mendukung Pasangan Jusuf Kalla-Wiranto, saat Jusuf Kala sebagai Ketua Umum Golkar. Namun, kekalahan Pasangan Jusuf Kalla-Wiiranto dalam Pilpres tidak menyebabkan Golkar juga kehilangan kekuasaan di eksekutif. Golkar berubah sikap menjadi mendukung kekuasaan SBY-Boediono sehingga mendaptkan beberapa jabatan Menteri dalam Kabinet hasil Pilpres 2009. Maksudnya, sekalipun mengalami kekalahan dan lawan politik meraih kemenangan, namun Golkar tetap saja berupaya memproleh kekuasaan melalui keanggotaan Koalisi pendukung SBY-Boediono. Posisi Golkar tidak menjadi kekuatan oposisional, melainkan kekuatan koalisi.

Karakteristik politik kartel di mana elite Parpol mengutamakan koalisi, bukan oposisi, sekalipun tergolong kalah dalam pertarungan perolehan suara dalam Pemilu legislatif, dapat dicontohkan pengalaman PAN saat penentuan dukungan terhadap calon Presiden RI dalam Pilpres 2009. Amien Rais adalah seorang aktor sangat menentukan keputusan DPP PAN terutama politik kekuasaan seperti penentuan rekruitmen politik anggota PAN di eksekutif dan juga legislatif. Jabatan formal Amin Rais di PAN saat itu adalah Ketua MPP (Majelis Penasehat Partai) DPP PAN, bukan sebagai Ketua Umum DPP PAN.

Menjelang Pemilu 2009, Amien Rais mengarang buku berjudul, Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia! (Yogyakarta, PPSK Press, 2008). Di dalam buku ini, Amien menilai:

a.Indonesia dewasa ini telah semakin dalam menjadi subordinat dari jaringan korporatokrasi internasional, yang jelas-jelas menguras habis-habisan kekayaan Indonesia. Korporatokrasi adalah sebuah jaringan ekonomi, keuangan, politik, militer, intelektual dan media massa yang dibangun oleh kekuatan-kekuatan kapitalis dan demokrasi liberal Barat. Kedaulatan nasional kita justru tergadaikan ke berbagai korporasi asing.

b.Pemerintah Indonesia telah menjadi pelayan kepentingan asing, yang diberi payung hukum dengan perundang-undangan dan berbagai keputusan politik. State capture corruption (korupsi sandera negara), yang paling berbahaya semakin menjulang. Sejauh ini Pemerintah SBY tidak menunjukkan kemauan dan komitmen politik untuk memberantas korupsi sungguh-sungguh.

c.Pemerintah SBY pada dasarnya telah menjadi “broken gevernment’, pemerintahan yang kucar kacir, pecah koordinasi dan kepentingan rakyat banyak tidak dilayani, misalnya antrian minyak tanah, makan nasi aking dan raskin, listrik mati di Jawa dan luar Jawa, kenaikan harga BBM sampai lebih dari 100%, kondisi infrastruktur jalan parah penuh berlubang besar.

Berdasarkan beberapa penilaian di atas antara lain, Amien lalu mengajak pembaca untuk tidak lagi memberi kesempatan kepada SBY memimpin Indonesia. Dikatakannya, bila kepemimpinan SBY, atau model kepemimpinan SBY diberi kesempatan memimpin Indonesia 5 tahun lagi sesudah 2009, penjajahan ekonomi asing semakin luas dan mendalam sehingga negeri ini agaknya tidak punya harapan untuk bangkit kembali dan kondisi multi-dimensional semakin terpuruk. Jenis “korupsi sandera negara” menjadi semakin sistematik, melembaga, mengakar makin mendalam dan desktruktif.

Buku Amien Rais ini menjadi populer di kalangan kader PAN dan telah dibedah di bebebapa kota yang dihadiri dominan kader PAN. Karena itu, apa yang terkandung di dalam buku ini menjadi acuan bagi para politisi PAN untuk membangun opini positif terhadap PAN baik menjelang maupun saat kampanye Pemilu legislatif tahun 2009 berlangsung. Namun, kandungan buku ini tidak konsisten dipertahankan segera setelah Pemilu legislatif tahun 2009 usai.

Amien mendahului Keputusan DPP PAN dipimpin Ketua Umum Soetrisno Bachir, menyampaikan sepihak pernyataan mendukung SBY menjadi Calon Presiden. Dikesankan, pernyataan ini sebagai keputusan pertemuan silahturahim MPP DPP PAN di Rumahnya sendiri, Yogyakarta. Pernyataan dukungan tidak dihadiri oleh beberapa petinggi DPP PAN, termasuk Ketua Umum DPP PAN Soetrisno Bachir. Intinya, dukungan terhadap SBY bukanlah bermula dari prakarsa atau gagasan DPP PAN, melainkan Amien Rais peribadi dikesankan sebagai hasil keputusan MPP DPP PAN.

Setelah Ketua MPP DPP PAN menyatakan dukungan politik itu, terjadilah rekayasa politik internal untuk mengadakan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) sepihak di Yogyakarta untuk menjustifikasi/memperkuat pernyataan. Keputusan Rakernas tidak ditandatangani oleh Ketua Umum DPP PAN Soetrisno Bachir. Konflik antara kedua tokoh PAN ini (Amien dan Soetrisno) sempat mencuat. Bahkan Soetrisno sempat menyatakan hendak mundur. Proses pengambilan keputusan harus domain DPP PAN telah diambialih oleh Amien sang Ketua MPP DPP PAN.

Alasan yang disampaikan Amien kepada publik mendukung SBY yakni Partai Demokrat telah menjadi Parpol pemenang Pemilu dan SBY masih berpeluang besar untuk menang. Itu setidaknya menjamin pemerintahan ke depan akan lebih kuat dan stabil. “Berkoalisi dengan the losing side, bukan the winning side, itu sebuah kemubaziran,” kilah Amin. Padahal sebelumnya, Amien dikenal publik sebagai pengkritik tajam model kepemimpinan SBY yang pro korporasi asing.

Kritikan terhadap perilaku politik Amien mendukung SBY datang dari kalangan kader PAN maupun luar PAN. Pendukung Soetrisno menganggap Amien tidak melaksanakan kesepakatan dengan Ketua Umum Sutrisno Bachir. Sesuai dengan kesepakatan, nama tokoh dan arah koalisi belum ditetapkan dan akan dibahas kembali dalam rapat kerja nasional di Jakarta. Selanjutnya, kelompok mengatasnamakan Komunitas Muda Pencinta Buku Amien Rais (Kompibar) akhir April 2009 mendatangani Rumah PAN di Jl. Warung Buncit Jakarta. Mereka sangat kecewa, kesal dan marah atas tindakan Amien yang meminta kader PAN mendukung SBY. Menurut Kompibar, tindak tanduk Amien sangat bertentangan dengan prinsip anti neoliberalisme yang digembor-gemborkannya selama ini. Inilah salah satu sebab mungkin, mengapa masyarakat menilai, tingkat konsistensi PAN mempertahankan ideologi (cita-cita) sangat rendah.

Koalisi sejumlah Parpol mendukung SBY ini telah secara terang-terangan membentuk suatu wadah/institusi dengan nama Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi Parpol pendukung Pemerintahan SBY. Wadah ini dibentuk di kediaman SBY, Puri Cikeas, Bogor, Kamis malam, 6 Mei 2010, dipimpin langsung Presiden SBY (Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat), sementara Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie sebagai Ketua Harian dan Syarif Hasan (elite Partai Demokrat dan Menteri Koperasi & UKM) sebagai Sekretaris. Kantor Setgab berlokasi di Jl. Diponegoro No. 42 Jakarta Pusat.

Pada rapat yang pertama kali dipimpin oleh Aburizal Bakrie akhir Mei 2010, terlihat hadir sejumlah Menteri, antara lain Menteri Agama Suryadarma Ali, Menteri PDT Helmy Faisal, Menteri Koperasi dan UKM Syarief Hasan. Di samping itu, hadir juga Ketua Fraksi PKB di DPR, Marwan Djafar. Sesuai rapat, Ical memberikan keterangan kepada wartawan. Katanya, Setgab bukanlah sebuah upaya melakukan menghambat aspirasi masing-masing anggota Setgab. Hal yang paling penting dari rapat-rapat ini, terdapat kesepakatan bahwa Setgab akan menjadi garda terdepan dalam mengupayakan penyelesaian berbagai persoalan krusial. Contoh masalah yang bisa diselesaikan dalam rapat Setgab antara lain pemilihan Kapolri dan UU APBNP.

“Setgab ini akan lebih banyak turun dalam menyikapi masalah-masalah krusial yang berdampak secara nasional dalam pembangunan berbangsa dan bernegara. Berbagai masalah krusial yang terjadi dari waktu ke waktu, contohnya soal UU APBNP, penetapan Kapolri dan lain sebagainya,” ujar Ical. Sembari menambahkan, posisi Setgab saat ini solid.

Ical juga berkilah, Setgab bukanlah alat negara, sehingga salah alamat jika ada pernyataan yang menyampaikan bahwa Setgab akan mengeleminir fungsi-fungsi lembaga negara tertentu. “Ini bukan lembaga negara. Sejak awal Setgab ini adalah koalisi yang sudah lama terbentuk. Di dalam politik, power harus disatukan. Kalau kita sepakat menjadi majority, maka kekuatan majority harus terjaga dengan baik”, ungkapnya.

Sebelumnya, Ical mengakui, perubahan format koalisi ini dilatarbelakangi perbedaan sikap Parpol Koalisi dalam kasus Bank Century. Sikap Parpol Koalisi terbelah, antara anggota koalisi yang menilai pemberian dana talangan senilai Rp. 6,7 triliyun itu benar dan tidak melanggar hukum dengan anggota sebaliknya menilai kebijakan itu salah dan melanggar hukum. Perbedaan sikap itu tidak terjadi jika dalam format koalisi, Parpol-parpol koalisi diajak berbicara dalam setiap pengambilan kebijakan. “Tanpa langkah itu, anggota koalisi sulit untuk mengamankan kebijakan pemerintah”, kilah Aburizal (Seputar Indonesia, 10 Mei 2010).

Senada dengan Ical. Sekjen Golkar Idrus Marham menambahkan, format Setgab lebih fokus pada sebuah forum komunikasi yang membahas masalah-masalah krusial nasional dan mencarikan jalan keluar atas berbagai masalah krusial itu. “Ini adalah forum komunikasi ide, gagasan dari masing-masing anggota,”ujar Marham. Sebelumnya, Marham (Kompas, 12 Mei 2010) menguraikan Koalisi Parpol ini memiliki tiga jenis rapat:

Pertama, rapat tertinggi yang langsung dipimpin Presiden SBY sebagai Ketua Setgab. Rapat ini membicarakan berbagai gagasan strategis dan penting.

Kedua, rapat yang dipimpin Ketua Harian Setgab, Aburizal Bakrie. Rapat untuk membahas kebijakan ini dihadiri pimpinan Parpol, Ketua fraksi, dan atas izin Presiden, juga dapat dihadiri menteri.

Ketiga, rapat operasional yang dipimpin Sektretaris Setgab, Syarif Hasan.

Masih dari politisi Golkar, Agun Gunanjar Anggota Fraksi Golkar di DPR, memprediksi, Setgab tidak mungkin menjadi satu Parpol besar karena ideologi dan platformnya tidak sama. Selain itu, Gunanjar menilai, Setgab juga dibentuk bukan untuk menyeragamkan anggota koalisi. Hal ini juga ditegaskan Aburizal Bakrie, Setgab dibentuk bukan untuk menyeragamkan pemikiran atau sikap anggota. Enam Parpol anggota koalisi diperbolehkan memiliki sikap sendiri. Kebijakan yang diambil di tiap Parpol dipastikan akan tetap disesuaikan dengan kehendak anggota Parpol sebagai pemilik kedaulatan.

Lebih lanjut, Agun Gunandjar menilai, Setgab hanya bisa menjadi lembaga yang memosisikan diri dan mengambil alih fungsi Parpol pendukung pemerintah dalam sistem presidensial. “Dalam sistem presidensial itu hanya ada dua kekuatan, yakni kekuatan parpol pendukung pemerintah dan Parpol di luar pemerintah. Setgab memosisikan diri sebagai kekuatan pendukung pemerintah,”ujarnya. Sembari mengingatkan, Setgab tidak mencederai nilai-nilai demokrasi, terutama kesetaraan. Semua anggota Setgab harus bisa menghargai kedaulatan tiap-tiap Parpol.

Selanjutnya, Pengusung hak Angket Bank Century dari Fraksi Golkar, Bambang Soesatyo, meminta untuk menghentikan salah tafsir atas Setgab, agar Polri, Kejaksanan Agung dan KPK lebih responsif dan konsisten memproses Bank Century. Kesungguhan itu menjadi bukti bahwa Setgab tidak berniat menutup-nutupi dugaan tindak pidana kasus Century.

Pembelaan pembentukan Setgab kebanyakan datang dari Parpol koalisi. Salah satunya, Marwan Djafar menegaskan (Harian Kompas, 26 Mei 2010), tuduhan berkembangnya oligarki politik dengan pembentukan Setgab merupakan tuduhan spekulatif dan terlalu berlebihan. “Itu justru memutarbalikkan persepsi publik”, katanya. Sembari berkilah, Setgab justru akan mendorong koalisi menjadi lebih solid dan bermartabat serta memperlancar komunikasi antar Parpol. Kelancaran komunikasi itu merupakan modal untuk melaksanakan pembangunan demi kepentingan rakyat.

Sebelumnya, melalui Harian Rakyat Merdeka (24 Mei 2010), Ketua DPP PKB ini, menolak pandangan Setgab sebagai monster politik yang menakutkan. Tetapi, harus dimaknai untuk menyamakan persepsi, visi dan misi untuk menciptakan pemerintahan yang solid dan tetap mempertahankan “check and balances”, terutama mengenai fungsi-fungsi parlemen. Tudingan bahwa Setgab untuk mempertahankan oligarki politik, menurut Marwan, adalah sangat spekulatif dan berlebihan, serta memutarbalikan persepsi publik. Justru dengan adanya Setgab, komunikasi politik antar Parpol koalisi menjadi lancar dan menghndari kesalahpahaman yang selama itu terjadi. “Setgab untuk mendorong koalisi lebih solid, bermartabat, dan untuk tujuan akselearsi pembangunan yang strategis demi cita-cita Indonesia yang mengedepankan kepentingan rakyat.”

Menurut Ketua Fraksi PKB di DPR ini, Setgab koalisi justru menjadi jembatan emas untuk memaksimalkan program-program pemerintah dengan dimusyawarahkan secara bersama-sama anggota parlemen. “Setgab adalah katalisator kepentingan rakyat yang dilembagakan dalam bentuk perumusan hal-hal yang fundamental dan strategis, demi perbaikan dan kebaikan bangsa dan negara”, kilahnya.

Pembelaan lebih kuat datang dari Partai Demokrat, partainya SBY. Salah satunya, Syarief Hasan yang juga Sekretaris Setgab, menekankan bahwa dalam aplikasinya Setgab tidak mereduksi peran individual para anggota DPR. Setgab justru memberikan ruang untuk memaknai “chekcs and balances”. Karena setiap anggota DPR pasti mempunyai pandangan berbeda. Jika ada perbedaan pandangan antara Parpol koalisi soal program atau kebijakan Pemerintah, maka didiskusikan di Setgab. Perbedaan itu didiskusikan untuk mencari jalan keluarnya sehingga ada kesamaan atau titik tentu antar Parpol koalisi.

Lebih jauh, Kader senior Partai Demokrat ini menegaskan, Setgab bertujuan untuk mengkomunikasikan dan mendukung program pemerintah. Setgab bukan pengambilan keputusan, melainkan forum diskusi dan komuniikasi antar Parpol koalisi untuk menyampaikan persepsi politik. Forum untuk memfasilitasi agar terbangun dukungan bagi program pemerintah dengan tetap menggunakan asas bersamaan dan “checks and balances”. Bukan forum pengambil keputusan! Penambilan keputusan adalah lembaga eksekutif. Dengan adanya Setgab, maka gejolak politik antar Parpol di DPR dalam menyikapi program dan pemerintah bisa ditekankan seminimal mungkin. Jadi supaya tidak ada gejolak di DPR, semua dikomunikasikan dulu di Setgab. “Tapi kalau disepakati di Setgab di DPR harus kompak”, tandas Menteri Koperasi dan UKM ini.
Politisi Partai Demokrat lain, Marzuki Alie menilai pembentukan Sekretaris Gabungan Partai Politik Koalisi bukan bertujuan untuk menggantikan peran pemerintah. Mantan Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrat ini pun membantah pembentukan Setgab sebagai taktik Partai Golkar. "Jadi, Setgab Parpol Koalisi ini bukan menggantikan pemerintahan. Ada pengamat yang mengatakan kalau hal ini melanggar konstitusi. Kalau berbicara tentang koalisi, itu pun tidak ada di dalam konstitusi. Jadi, mengapa dikait-kaitkan. Setgab ini di luar pemerintahan," kilah Ketua DPR RI ini kepada wartawan di Jakarta (Detik News, Jumat 15 Mei 2010). Marzuki juga membantah, bila pembentukan Setgab itu sebagai taktik dari Partai Golkar. Semua parpol anggota koalisi ikut ambil bagian dan duduk bersama di dalam Setgab untuk membuat kesepakatan terhadap kebijakan atau isue-isue yang disikapi pemerintah dan parlemen.

Menurut Marzuki, Setgab Parpol Koalisi bukanlah hal baru, tapi sudah diwacanakan sejak Pemilu 2009 lalu. Setgab Parpol Koalisi ini sebagai wadah komunikasi komunikasi di antara Parpol koalisi menjadi lancar. "Tujuan Setgab itu supaya komunikasi di antar Parpol koalisi tidak missed. Kebijakaan-kebijakan yang krusial bisa dibicarakan di forum ini, seperti masalah kenaikan BBM. Tetapi, kalau bukan kebijakan krusial, tidak perlu dibicarakan," jelasnya Sembari menekankan, dalam kontrak politik Parpol koalisi pendukung SBY memang telah disepakati semacam lembaga Sekretariat Gabungan. Sayangnya, koalisi parpol yang terbentuk selama ini kurang mendapat peran sebagai forum komunikasi. Baru ketika muncul kasus Bank Century, Presiden SBY kembali diingatkan agar segera mewujudkan Setgab tersebut sesuai dengan kontrak politik koalisi Parpol itu. "Jadi, kalau ada perbedaan pandangan dibahas di Setgab. Dengan demikian, kebijakan atau isu itu tidak menimbulkan perdebatan yang berkepanjangan kalau langsung dibawa ke parlemen," kilah salah seorang Calon Ketua Umum pada Kongres II Partai Demokrat.
Sementara itu, sekalipun PKS tergabung di dalam Setgab, politikus PKS Mahfudz Siddik memberi penilaian kritis. Baginya, pembentukan Setgab masuk di piagam koalisi yang didukung oleh seluruh Parpol yang mendukung pasangan SBY-Boediono. Namun, langkah mendirikan wadah itu sudah terlambat (Republika, 10 Mei 2010). Bahkan Ketua Mahfud Siddiq melihat Setgab sebagai bayi yang dilahirkan dengan efek kontaminasi. "Ibarat bayi, Setgab dilahirkan mestinya setelah pemerintah SBY-Boediono terbentuk, tapi kalau dilahirkan hampir setahun kemudian, bayi ini ya sudah biru-biru karena sudah terkontaminasi racun," ungkap Mahfud dalam sebuah diskusi mingguan sekitar Mei 2010. Menurutnya, kontaminasi pertama adalah kasus Bank Century, kontaminasi kedua adalah ketika SBY menghendaki ketua harian Setgab adalah Aburizal Bakrie, dan kontaminasi ketiga adalah ketika Setgab dibentuk sesaat setelah Sri Mulyani mundur.
PAN adalah Parpol anggota koalisi pendukung SBY. Namun, penilaian anggota Fraksi PAN di DPR tidak harus mendukung begitu saja pembentukan Setgab sebagai misal Wakil Ketua Komisi II DPR dari fraksi PAN Teguh Juwarno. Satu media intenet membeberkan bahwa Teguh Juwarno menyesalkan pembentukan Setgab usai kasus Century dan kemunduran Menteri Keuangan Sri Mulyani. Ia pun menegaskan pembentukan Setgab ini merupakan bukti telah terjadinya politik transaksional dalam pemerintahan SBY. "Sangat kita sesalkan. Ini adalah pembelajaran politik yang buruk bagi masyarakat. Kita lihat bagaimana dijalankan politik transaksional, bagaimana Golkar yang awalnya sangat kencang mengkritisi SBY terkait Century, targetnya hanya Sri Mulyani yang head to head dengan Ical (Aburizal Bakrie, Ketua Harian Setgab)," paparnya.
Ia pun melihat pembentukan Setgab ini sangat tiba-tiba dan sudah melukai masyarakat. "Setelah Sri Mulyani dan kasus Century, sekonyong-konyong dan tiba-tiba, dibentuk Setgab. Setgab benar-benar melukai publik." Lebih jauh lagi, Teguh mengatakan seharusnya pemerintah tidak perlu menggembar-gemborkan pembentukan Setgab ini. Pasalnya, koalisi dinilainya cukup untuk fungsi koordinatif saja dan cukup di dalam saja peranannya.
Teguh Juwarno sesungguhnya meragukan masa depan Setgab ini. Setgab ini hanya untuk kepentingan kedua partai saja, bukan untuk kepentingan rakyat seperti yang digembar-gemborkan selama ini. "Saya meragukan ke depannya. Dari awal kebenaran sudah menjadi transaksional. Ini terlihat dari Golkar yang menyatakan kasus Century sudah selesai. Ini sudah tidak sejalan dengan kepentingan rakyat," pungkasnya.
Berbagai penilaian kritis atas Setgab bermunculan bukan saja dari kalangan politisi Parpol non Setgab, pengamat politik, tetapi juga media massa. Mereka pada umumnya menilai Setgab sebagai praktik politik transaksional elite dan kartelisasi yang tidak mempresentasikan kepentingan rakyat. Salah seorang di antaranya, yakni politisi PDIP Ganjar Pranowo. Ia menggunakan pendekatan politik kartel tatkala menilai keberadaan Setgab. Baginya, pendirian Setgab ini akan menimbulkan kartelisasi politik nasional. Lewat kartelisasi ini, Pemerintah diduga akan mengamankan kebijakan-kebijakannya. Apalagi, ujar Ganjar, yang terpilih menjadi Ketua Harian adalah Aburizal Bakrie, Ketua Umum DPP Partai Golkar. Aroma kartelisasi ini, lanjut Ganjar, sudah tercium lama. Pertama kali terendus ketika skandal Bank Century masuk gedung DPR, hampir semua politikus berbicara keras, termasuk anggota koalisi Pemerintah. Belakangan, ketika Menteri Sri Mulyani dan Wakil Presiden Boediono diimbau mundur, tidak ada satupun mundur. Ini berlanjut ketika skandal Bank Century ditangani KPK. “Pada intinya, proses kartelisasi ini bertujuan untuk mengamankan banyak hal”, lanjut Ganjar.

Penilaian kritis Ganjar Pranowo juga telah dibeberkan di Harian Rakyat Merdeka (24 Mei 2010), menilai pembentukan Setgab sebagai bagian proses kartelisasi antara mereka yang melakukan negoisasi politik. Konteksnya sebenarnya hanya pragmatisme. “Jika memang alasan dibentuknya Setgab untuk membangun komunikasi, “bukankah sejak awal koalisi bisa melakukan komunikasi? “, tanya Ganjar. Kalau alasan dasar Setgab sebagai alat kontrol Parpol koalisi, “bukankah sudah asa semacam kontrak politik untuk mengontrol?” kilahnya. Sembari menekankan, jika ikuti ritme tertentuknya Setgab akan ada titik yang menunjukkan Setgab sebagai kartelisasi.

Beberapa indikator diajukan Ganjar untuk menjustifikasi penilaian Setgab sebagai kartelisasi. Pertama, ketika kasus Bank Century bergulir. Kalau pencopotan itu dilakukan ketika DPR menghimbau kepada Sri Mulyani (Menkeu) mundur maka kesan yang muncul tentu baik karena Presiden mendengarkan keinginan DPR. Kalau Sri Mulyani dianggap Menteri baik, semestinya Presiden meminta agar Sri tidak mengundurkan diri. Karena dia dibutuhkan bangsa ini. Logika Ganjar, Anggito saja (bukan Menteri) ketika ingin mengundurkan diri, Menko Ekuin Hatta Rajasa langsung merespon, ingin Anggito tidak mundur karena dianggap masih dibutuhkan. “Kenapa tidak dilakukan terhadap Sri Mulyani? “, tanya Ganjar Sembari menjawab pertanyaan, Parpol mana yang terlibat dalam kartelisasi politik, yakni semua Parpol koalisi.

Kartel itu, lanjut Ganjar, kekuasaan yang berkumpul menjadi satu untuk menentukan arah secara bersama sama. Ketika Sri Mulyani mundur, Setgab terbentuk. Dari teori politik cukup mudah dianalisis, kalau dahulu koalisi dikordinir Hatta Rajasa lalu kini di Setgab dikordinir Golkar. Rumusannya mudah, yakni yang kuat harus diajak bergabung. Selama ini Golkar merupakan Parpol yang paling keras, mengkritik kasus Century, bahkan sebelum Setgab terbentuk, politik Golkar ikut menandatangani penggunaan Hak Menyatakan Pendapat di DPR, meskipun belum semua orang Golkar tandatangan. Tetapi, lanjut Ganjar, ketika Sri Mulyani mundur, rencana penggunaan Hak Menyatakan Pendapat dianggap belum penting oleh politisi Golkar. Bahkan, ada yang menyatakan, sebaiknya kasus Century dipetieskan. “Semua fakta itu tentu mengusik akal sehat kita semua. Fakta-fakta itu telah mendistorsi demokrasi kita,” tandas anggota DPR ini.

Penilaian Setgab sebagai kartelisasi juga datang dari Sekretaris Jenderal DPP Partai Gerindra Ahmad Muzani (Harian Seputar Indonesia, Akhir Mei 2010) mengungkapkan, kesan forum baru itu menjadi saluran kepentingan jangka pendek cukup kuat. Muzani memprediksi keberlangsungan Setgab tidak akan lama. Wadah itu hanya akan efektif sebatas kepentingan masing-masing parpol di dalamnya terpenuhi. “Jika tidak, saya yakin ini akan rontok karena memang bangunan dasarnya kepentingan jangka pendek” ungkapnya. Bahkan, lanjut Muzani, Setgab nantinya akan berantakan jika masing-masing Parpol sudang mengusung tema yang dianggap populis untuk kepentingan penambahan suara pada Pemilu 2014. “Karena, Parpol pasti tidak akan mempertaruhkan masa depannya hanya untuk kepentingan koalisi”, tandasnya.

Di media cetak yang sama, Ketua DPP Hanura Yuddy Chrisnandi juga senada dengan penilai kritis sebelumnya. Menurutnya, masyarakat tidak membutuhkan Setgab karena forum yang mewadahi Parpol koalisi pendukung pemerintah itu tidak membangun demokrasi di Indonesia. Dalam perspektif ini, lanjut Chrisnandi, keberadaan Setgab tidak akan membantu masyarakat. Bahkan, Setgab juga dapat mengancam otoritas Parpol untuk bersikap secara obyektif ketika menghadapi suatu persoalan, dan hanya menjadi tempat bagi kalangan elite politik untuk melakukan tawar-menawar kepentingan. Mantan kader Golkar ini juga tidak sepakat apabila ada pendapatan yang menyatakan Setgab akan mengurangi otoritas SBY selaku Presiden.
Masih PDIP, politikus Arief Budimanta (Harian Kompas, 15 Mei 2010) menilai, Setgab itu merupakan model baru kroni kapitalisme pada era reformasi. “Ini adalah new model crony capitalism yang sebenarnya pernah terjadi pada era pemerintahan Soeharto. Saat itu Golkar punya peranan besar”, kata Ketua DPP PDIP ini. Sembari menekankan, pengukuhan koalisi Parpol pendukung pemerintahan itu akan mempertajam dikotomi oposisi dan koalisi pemerintah di parlemen, sebagai kutub pro rakyat dan kutub pro kekuasaan. Dilanjutkannya, keberadaan Setgab ini justru sebagai ancaman demokrasi dan demokratisasi. “Proses demokrasi yang kaitannya dengan kesetaraan dan keterbukaan tidak akan terwujud. Karena akan ada satu kelompok yang mengetahui informasi (kebijakan pemerintah) lebih dahulu, lebih banyak dan lebih dalam dibadingkan kelompok lain”, kilahnya.

Berikutnya, anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Desmond Junaidi, mengingatkan pembentukan Setgab jelas mengindikasikan kekuasaan Presiden SBY mulai rapuh. Penyelidikan skandal bailout Rp. 6,7 triliun kepada Bank Century dianggap sebagai awal kegagalan koalisi. Buktinya, Parpol koalisi tidak satu suara dalam memndang kasus ini. Desmon juga memperkirakan, pembentukan Setgab hanya bersifat sementara. “Ini perkawinan sementara saja. Pasti ada perbedaan pandangan. Jika tidak cocok, pasti cerai. Mendekati tahun 2014 pasti akan ribut-ribut lagi,” katanya (Harian Kompas, 12 Mei 2010)

Sementara itu, Pakar politik LIPI Ikrar Nusabhakti menilai adanya Sekretariat tersebut menunjukkan paling tidak dua hal (Harian Seputar Indonesia, 11 Mei 2010):n Pertama, Sekretariat ini merupakan kamar kedua dari Kabinet karena setiap kebijakan pemerintah amat krusial harus disetujui dan direkomendasikan oleh parpol-parpol koalisi. Kedua, sebagai Presiden dipilih langsung oleh rakyat, SBY akan tidak lagi memiliki otoritas penuh dalam mengendalikan pemerintahan. Mengacu penilaian Ikrar ini, Pemerintah SBY tidak lagi memiliki otoritas penuh, dan bergantung pada kompromi politik yang dihasilkan di dalam forum Sekretariat tersebut. Akibatnya, berbagai upaya penegakan hukum terhadap pelaku ilegal anggota Parpol koalisi dalam memperoleh uang negara atau tindak pidana korupsi akan selalu mendapatkan tantangan dari koalisi karena hal itu akan merugikan Parpol koalisi. Melalui Sekretariat ini akan lebih mudah untuk menghindari penyingkapan korupsi para anggota Parpol koalisi.

Pakar politik LIPI lain, Syamsudin Haris menilai, pembentukan Setgab dengan Aburizal sebagai pelaksana hariannya merupakan kemenangan besar Golkar karena memang itu yang diinginkan Golkar. Apa yang dilakukan Golkar ketika Hak Angket Bank Century, memang bertujuan untuk mendapatkan posisi seperti ini. “Ini menunjukkan watak asli Golkar. Jangan salah. Golkar kemarin kencang pada waktu hak angket memang untuk mendapatkan posisi seperti sekarang ini,” ujar Syamsudin (Harian Sinar Harapan, 12 Mei).

Melalui Harian Seputar Indonesia (24 Mei 2010), Syamsudin Haris juga mempertegas penilaiannya, antara lain: Setgab ini berpotensi melahirkan kolusi dalam pengambilan kebijakan dan keputusan strategis. Karena itu, ia mengajak semua kalangan harus pro aktif mengawasi kebijakan pemerintah jika nantinya DPR hanya menjadi tukang setempel kebijakan. Sebab mengharapkan kekuatan oposisi sangat tidak efektif karena hanya PDIP yang memiliki kekuatan signifikan. “Harapannya ya publiklah yang menjadi oposisi agar pemerintahan ini tetap berjalan sesuai harapan. Masyarakat sipil dan media sangat berperan dalam menjaga arah demokrasi ke depan agar sesuai harapan”, ujar ilmuwan pro reformasi dan demokrasi ini.

Senada dengan Harris, Lili Romli juga pakar politik LIPI mempertanyakan hubungan Setgab dengan Pemerintah sembari mengingatkan cikal bakal Setgab itu Parpol sehingga tidak memiliki garis komando dengan pemerintah yang berkuasa. “Prinsipnya, Setgab itu bukan negara, jadi harus menjaga jarak dengan pemerintah,” ujar Lili. Dia mengingatkan, Setgab ini bukanlah hasil pemilu, sehingga tidak memiliki kewenangan terlalu jauh, apalagi memanggil menteri. Sedangkan, pemerintah memiliki legitimasi karena merupakan hasil pemilu. Untuk membuat garis pemisah yang tegas antara pemerintah dengan Setgab, maka SBY harus meninggalkan Setgab. Hal itu diperlukan agar ada garis yang jelas agar Setgab dan pemerintah. “SBY harus tetap fokus pada tugasnya sebagai Presiden”, tandas Lili.
Menurut Lili, ada empat hal yang harus dilakukan Satgas agar keberadaanya lebih jela: pertama, SBY harus keluar dari struktur Setgab; kedua, tidak boleh ada kewenangan memanggil menteri; ketiga, posisi ketua harian harus digilir; keempat, terakhir, Setgab tidak boleh mengeluarkan keputusan yang sifatnya kebijakan publik. Dari sudut pandang akademis, keberadaan Setgab atau gabungan partai koalisi di sebuah negara ini memang bisa dimengerti. Apalagi di negara yang menganut sistem multipartai seperti Indonesia. “Namun, seharusnya tidak ada posisi untuk Presiden atau Perdana Menteri di dalamnya,” ujar Lili.
Jika Setgab memiliki kewenangan lebih, seperti mengeluarkan kebijakan atau memanggil Menteri, maka hal itu akan membuat pemilu menjadi tidak berarti lagi. Menurut Lili, Setgab ini sebenarnya tidak perlu dibentuk jika Parpol memiliki fatsun politik yang jelas dalam berkoalisi. Setgab idealnya hanya untuk menjalin komunikasi saja.
Pakar Politik lain, khususnya dari Perguruan Tinggi, dapat diambil penilaian Maswadi Rauf (Dosen Fisip UI). Ia berpendapat, keberadaan Setgab bisa membatasi kekuasaan Presiden SBY karena keputusan harus disepakati lebih dulu anggotanya. "Kalau koalisi mau efektif, harus ada forum komunikasi apa pun namanya, seperti Sekber atau Setgab, itu harus ada. Sekretariat Gabungan inilah yang membicarakan pada tahap awal kebijakan-kebijakan yang akan dibuat oleh Presiden," ujarnya saat menjadi pembicara dalam satu diskusi di Gedung DPD Jakarta pada 15 Mei 2010. Kebijakan Presiden itu, menurut Rauf, harus dibicarakan dengan anggota fraksi sehingga dicapai sebuah kebijakan yang disetujui oleh semua anggota fraksi.
Rauf juga mengakui, keberadaan Setgab itu memang akan membatasi kekuasaan Presiden karena dia tidak bisa lagi membuat keputusan menurut dirinya sendiri, karena harus mendengarkan pula pandangan fraksi setiap Parpol yang menjadi anggota koalisi.
I Wayan Sudhirta adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), bukan anggota DPR dan kader Parpol. Ia menilai senada dengan kader Parpol non koalisi seperti PDIP, Partai Hanura dan Partai Gerindra. Bagi Sudhirta, pembentukan Setgab parpol Koalisi SBY akan menyuburkan kolusi politik dan terjadinya politik transaksional yang merugikan rakyat dan antidemokrasi. Oleh karena itu, jika praktik politik yang demikian itu berlanjut, rakyat makin kehilangan kepercayaan kepada pemerintah dan DPR sehingga akan memunculkan gerakan politik jalanan. “Saya lihat Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie lebih kuat ketimbang Presiden Yudhoyono dalam mengendalikan Setgab. Sebagai contoh benar tidaknya lihatlah kasus Century. Apakah hak menyatakan pendapat dan kasus pajak akan terus berlanjut di DPR? Skandal Century saja sudah akan dipetieskan. Jadi, Setgab lebih banyak negatifnya dan membingungkan rakyat. Kalau DPR mati suri, rakyat pasti akan bergerak,” kata Anggota DPD dari daerah pemilihan Bali ini.
Beberapa Pakar Hukum Tata Negara yang menilai kkritis mkeberadaan Setgab yakni Refly Harun dan Irmanputra Sidin. Melalui Harian Suputar Indonesia (24 Mei 2010), Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun, menilai Setgab merupakan manuver politik yang bertujuan untuk bagi-bagi kekuasaan. Bahkan, Setgab akan memperarah kerusakan sistem presidensial yang diterapkan di Indonesia. “Sejak awal sistem presidensial telah rusak, Setgab ini kemudian merusak sistem presidensial lebih parah. Harun mengkhawatirkan, pembentukan Setgab nantinya akan menjadi pintu masuk intervensi kekuasaan dalam pemilihan komisioner beberapa Komisi negara seperti KPK, KPU dan Komisi lainnya. Jika itu terjadi, lanjut Harun, independensi Komisi dan beberapa lembaga akan terancam. “Kita menyesalkan jika untuk jangka pendek, untuk ranah jabatan publik, seperti Ketua KPK, KPU, Bawaslu dan lain-lain”, tandasnya.

Di lain pihak, Irmanputra Sidin menilai pembentukan Setgab merupakan langkah politik sembrono dan meniadakan konstitusi. Konstitusi telah mengatur jelas bahwa tiap lembaga memiliki tugas sendiri-sendiri. Karena itu, lanjut Irmanputra, Setgab bisa mengaburkan lembaga kepresidenan dan DPR. Dengan adanya Setgab, lembaga kepresidenan dan DPR bisa jadi kabur karena Presiden dan Ketua Parpol, Menteri, maupun anggota Parpol masuk Setgab itu. Setgab secara tidak langsung akan meniadakan fungsi eksekutif sebagai pelaksana pemerintahan dan fungsi legislaif sebagai pengawasan (Harian Media Indonesia, 12 Mei 2010)

Editorial Harian Media Indonesia (24 Mei 2010) tergolong media massa cetak yang sangat kritis terhadap eksistensi Setgab ini. Menurut Editorial, negara ini segera memasuki era pelumpuhan fungsi lembaga-lembaga negara. Sebab berbagai kewenangan institusi negara akan diambil alih Setgab (Sekber) Parpol Koalisi. Setgab ini menjadi instrumen yang sangat perkasa dan berkuasa; bisa memanggil Menteri, memetieskan kasus seperti kasus Bank Century; menentukan siapa yang menjadi pimpinan lembaga tertentu. Editorial mengutip pengakuan Sekjen PKB (anggota Setgab) Edy Lukman tentang adanya agenda untuk mengisi posisi di lembaga-lembaga negara. Setgab membidik siapa pejabat yang harus memegang kendali di KPK, KY (Komisi Yudisial), MA (Mahkamah Agung) dan Gubernur Bank Indonesia. Semua lembaga ini kini sedang menjaring pemimpin. Karena Sekber menguasai 75 % suara di DPR, Editorial percaya, segenap kemauan pemerintah akan mudah dikabulkan di parlemen. Enam Parpol koalisi bergabung dalam Setgab akan menjadi “abdi dalam” yang setia dan penopang paling masif bagi kebijakan pemerintah. Sebaliknya, hanya dengan 25 % suara, serangan kubu oposisi tidak bisa membuat pemerintah harus mendengarkannya, apalagi kelimpungan karenanya. “Terjadilah tirani mayoritas yang disetir satu markas komando...” tandas Editorial.

Dengan kekuasaan yang mutlak, ujar Editorial ini, Setkab menempatkan diri sebagai lembaga “superpower”. Adapun lembaga-lembaga negara yang sah, yang eksistensinya termaktub dalam konstitusi, justru ditempatkan di bawah ketiak Setgab. Kekuasaan terpusat di tangan Setgab, jelas menjungkirbalikkan semua nilai yang ditegakkan “founding fathers”. Kekuasaan yang sentralistis di Setgab itu sekaligus merupakan penghinaan terhadap konstitusi dan lembaga-lembaga negara. Sebab, kilah Editorial, institusi-institusi negara menjadi “aksesori” atau sekedar pelaksana keputusan-keputusan Setgab.

Lebih jauh, Editorial memprediksi, kekuasaan Setgab yang mutlak ini akan menahan laju pemberantasan korupsi. Tebang pilih penanganan kasus korupsi akan mudah dijumpai. Sahabat, meskipun salah dan korup, akan dibela. Sebaliknya, yang benar dan jujur, tetapi karena lawan dan musuh, bisa-bisa harus dibui. “Kita perihatin karena demokrasi akan dipukul mundur rezim ... sang superpower...”, tutup Editorial ini.

Di fihak lain, fenomena mengutamakan koalisi meminimalkan atau mengabaikan oposisi. Fenomena mengutamakan koalisi dan mengabaikan oposisi sesungguhnya dapat menjadi satu masalah utama bagi proses percepatan demokratisasi di Indonesia. Oposisi, beroposisi, oponen, oposisional merupakan konsep bentukan dari kata kerja “oppose”, bermakna menolak, melawan dan menentang. Secara umum oposisi dapat dipahami sebagai kelompok kekuatan yang menolak, melawan dan menentang serta berperan sebagai pengontrol dan penyeimbang pelaksanaan pemerintahan sehingga tidak terjerumus dalam penyalahgunaan kekuasaan. Salah satu komponen negara demokrasi yang membedakan dengan negara bukan demokrasi adalah keberadaan kekuatan oposisi. Oposisi adalah salah satu elemen penting untuk membangun negara demokrasi yang kuat. Peran oposisi tetap harus hadir agar demokrasi tetap dalam lajur benar, yakni demokrasi mengabdi kepada kesejahteraan rakyat, bangsa dan negara. Fungsi oposisi tetap harus dihadirkan bukan saja peran oposisi terhadap pemerintah tapi juga terhadap entitas politik di legislaif. Tanpa adanya oposisi, pemerintah menjadi tidak terkontrol dan dapat melakukan apapun dikehendaki tanpa hambatan berarti. Dalam konteks ini mempertahankan oposisi sejatinya sama dengan mempertahankan demokrasi.

Kekuasaan mempunyai kecenderungan bukan saja untuk memperbesar dan memperkuat tetapi juga memusatkan dirinya. Karena itu, pemikiran demokratis tentang kekuasaan selalu menekankan pembagian kekuasaan dan keseimbangan kekuasaan. Oposisi dibutuhkan pertama-tama sebagai kritik kepada kekuasaan dan pengawasan terhadap Pemerintah agar tidak semena-mena. Oposisi tidak saja bertugas memperingatkan pemerintah terhadap kemungkingan salah kebijakan atau salah tindakan tetapi juga menunjukkan apa harus dilakukan dan apa tidak harus dilakukan. Adalah kewajiban oposisi untuk melakukan kualifikasi apakah sesuai harus atau tidak harus dilakukan. Oposisi diperlukan juga karena apa yang baik dan benar dalam politik haruslah diperjuangkan melalui kontes politik dan diuji dalam wacana politik terbuka dan publik. Adalah naif, masih percaya bahwa pemerintah bersama semua pembantu dan penasehat merumuskan sendiri apa yang perlu dan tepat untuk segera dilakukan dalam politik, ekonomi, hukum, pendidikan dan kebudayaan.

Oposisi berkewajiban mengemukan titik-titik lemah dari suatu kebijakan Pemerintah sehingga apabila kebijakan itu diterapkan, segala sesuatu yang dapat meruakan efek samping merugikan sudah lebih dahulu ditekan/dikelola seminal mungkin. Kehadiran oposisi membuat pemerintah harus selalu menerangkan dan mempertanggungjawabkan mengapa suatu kebijakan diambil, apa dasar, apa pula tujuan dan urgensi dan dengan cara bagaimana kebijakan itu akan diterapkan.

Sesunggunya perilaku oposisi dalam era reformasi ini dijamin di dalam UUD 45 Perubahan (Amandemen), khususnya Pasal 20A yang mengatur fungsi dan tugas-tugas`DPR, antara lain memiliki ”hak interpelasi”, ”hak angket” dan ”hak menyatakan pendapat”. Bahkan setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas. Selain itu, pentingnya kehadiran oposisi di DPR juga untuk mengamankan dan mewujudkan hak-hak rakyat sesuai dengan Pasal 23, Pasal 27, Pasal 31, Pasal 33 dan Pasal 34.

Dalam kenyataannya, kebanyakan Parpol yang berhasil menempatkan anggota di DPR cenderung menghindari perilaku oposisional terhadap Pemerintah atau kekuasaan eksekutif. Hampir seluruh kekuatan politik di DPR diserap oleh Pemerintah. Semua Parpol besar dan menengah menempatkan wakil di jajaran Kabinet. Parpol terjebak pragmatisme, tidak memerlukan pemikiran matang dan ideologi kokoh. Pragmatisme hanya memperhitungkan keuntungan praktis. Uang dan kursi kekuasaan sering kali menjadi tawaran menarik bagi kaum pragmatis. Hal ini diperkuat lagi proses rekruitmen/penempatan anggota Parpol belum memadai, di samping kualitas pengetahuan sumber daya manusia (SDM) masih rendah dalam politik atau ”miskin” pengalaman politik, dan juga keterbatasan memahami fungsi dan tugas-tugas DPR. Di samping itu, tingkat loyalitas anggota DPR lebih tinggi terhadap kepentingan Parpol ketimbang kepada konstituen/rakyat. Parpol masih memegang kendali kuat atas anggota-anggota Parpol tersebut di DPR.

Ketidakhadiran oposisi politik di DPR akan membawa konsekuensi negatif terhadap proses demokratisasi, yakni watak rezim kekuasaan eksekutif mengarah otoriterianisme. Segala kebijakan Pemerintah akan mudah diterima sekalipun kebijakan berpotensi merugikan kepentingan rakyat. Mengacu pada sebagian pengamat politik di Indonesia, ketidakhadiran oposisi yang terlembaga bermakna rezim kekuasaan tidak demokratis, bahkan tergolong negara diktatorial. Karena itu, Parpol tidak dapat ikutserta melakukan upaya percepatan proses demokratisasi.

Sesungguhnya pengalaman Indonesia telah menunjukkan kehadiran oposisi sebagai kekuatan penggerak perubahan sejarah. Sejak awal, Indonesia mengenal oposisi, baik di lingkungan politik, birokrasi dan masyarakat. Pada dasawarsa 50-an tatkala Indonesia menganut sistem pemerintahan parlementer, posisi kelompok oposisi atau penyeimbang dinilai sangatlah penting. Sebagai contoh, Masyumi, PNI, NU maupun PKI pernah mengalami dua fungsi yang berbeda. Tatakala satu Parpol diberi mandat membentuk Kabinet/Pemerintah, Parpol tersebut berfungsi sebagai kekuatan yang memerintah. Sebaliknya, tatakala Parpol tertentu tidak dilibatkan dalam membentuk Kabinet/Pemerintah, Parpol dimaksud menjadi kekuatan oposisi atau penyeimbang, melakukan fungsi ”checks and balances”. Bahkan, peristiwa G30S/PKI dapat digolongkan sebagai gerakan oposisi.

Kehadiran Parpol oposisional ini menjadi sirna dalam kancah perpolitikan Indonesia sejak tampilnya kekuasaan rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Selalu hanya Golkar yang menjadi kekuatan yang memerintah dan dua kekuatan politik lain seperti PPP dan PDI tidak diberi kesempatan untuk ikut memerintah. Namun, dua parpol ini juga tidak pernah berperan sebagai kekuatan oposisi atau penyeimbang. Pada masa Orde Baru ini, Pemerintah dan legislatif merupakan kekuatan politik konspiratif yang saling mendukung. Konpirasi itu ternyata belum menghilang di era reformasi ini. Pemerintah dan legislatif saling mendukung tanpa adanya kekritisan (penolakan, perlawanan atau penentangan) dalam konteks fungsi pengawasan.

Untuk menjustifikasi realitas obyektif ini, para petinggi Orde Baru dan juga sebagian petinggi era reformasi menegaskan bahwa budaya politik Indonesia tidak mengenal oposisi, yang bermakna tidak mengenal Parpol oposisional. Mereka juga menyimpulkan, sistem presidensial Indonesia tidak mengenal pelembagaan oposisi. Kalangan intelektual tahun 70-80an mengimplementasikan ajaran masyarakat integralistik di dalam ruang perpolitikan Indonesia. Persatuan dan kesatuan bangsa dan simbol negara kesatuan merupakan tiga kualitas dasar berharga mati ajaran itu. Yang menimbang dan menafsirkan ketiga kualitas dasar itu adalah pemangku kekuasaan negara. Setiap perbedaan dengan timbangan dan tafsiran itu dianggap musuh persatuan dan kesatuan bangsa dan musuh negara kesatuan. Penolakan, perlawanan dan penentangan terhadap kekuasaan identik dengan penghinaan jabatan anugerah Tuhan. Karena itu, perilaku oposisi bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45. Di era reformasi ini, kita juga masih dapat menemukan kalangan intelekjtual dan politisi m memberikan ajaran-ajaran anti oposisi

3.JANJI-JANJI TIDAK DIREALISASIKAN

Karakteristik ketiga politik kartel yang melanda kepartaian era reformasi adalah janji-janji kampanye Parpol tidak direalisasikan secara konsisten dan konsekuen di legislatif atau eksekutif. Acapkali terjadi “pengkhianatan” Parpol terhadap konstituen. Kepentingan konstituen dan elite Parpol terputus. Elite Parpol cenderung melayani diri sendiri.

Setiap Parpol didirikan pasti memiliki cita-cita dan tujuan pendirian, dan berupaya menjamin terlaksananya cita-cita dan tujuan pendirian tersebut. Namun, tatkala cita-cita dan tunjuan pendirian sudah dicapai sebagaimana diakui sudah menjadi Parpol, sudah diakui negara, sudah menjadi peserta Pemilu, mendapatkan kursi di legislatif bahkan jabatan Menteri, maka setiap Parpol cenderungan menjadi tujuan dalam dirinya sendiri dilengkapai dengan sasaran-sasaran dan kepentingan sendiri. Pada gilirannya, Parpol melepaskan diri dari massa anggota/konstituen yang diwakili. Kepentingan massa anggota/konstituen menjadi sesuatu yang menghilang dan sirna !

Terjadi keterputusan antara kehendak konstituen dan elite Parpol. Saat akan mendulang suara konstituen, Parpol berupaya mendengung-dengungkan apa yang bisa membangkitkan sentimen konstituen atau calon pemilih, misalnya sentimen keagamaan, kelas atau cita-cita politik demokrasi, dll. Namun, usai memperoleh suara konstituen, elite Parpol pun cenderung mengejar kepentingan diri sendiri, dan kemudian bersama-sama elite Parpol lain bernegosiasi untuk memenuhi kepentingan sesama elite Parpol yang berbeda-beda. Sebagai contoh, setiap usai Pemilu legislatif era reformasi, para elite Parpol yang menang maupun kalah, melakukan negoisasi tentang siapa yang akan menjadi Ketua dan Wakil Ketua DPR, Ketua dan Wakil Ketua Komisi di DPR, bahkan Ketua dan Wakil Ketua MPR. Lebih jauh lagi, tingkat penyusunan kabinet di eksekutif, para elite Parpol ini bernegosiasi tentang siapa menduduki posisi Menteri. Semuanya hasil “tawar-menawar” antar elite Parpol.

PDIP, contohnya, sekalipun secara vokal menyatakan dirinya Parpol “oposisi” atau “penyeimbang” terhadap Pemerintahan SBY, namun Parpol ini juga di legislatif telah memperoleh posisi Ketua atau Wakil Ketua Komisi di DPR hasil negoisasi elite Parpol dimaksud. Posisi Ketua Komisi XI (Keuangan dan Pebankan) yang digunjingkan kalangan anggota DPR sebagai “Komisi basah” dipegang oleh seorang kader PDIP. Pada saat pembentukan pimpinan MPR hasil Pemilu 2009, bahkan Taufik Kemas (elite penting PDIP) mendapatkan posisi tertinggi Ketua MPR juga hasil negosiasi sesama elite Parpol.

Satu indikator lain untuk karakteristik ini adalah hasil Pemilu Legislatif 2009. Sebanyak 49.677.076 orang (29,01%) pemilih terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) tidak menggunakan hak pilihnya. Jumlah itu lebih besar dari perolehan suara Partai Demokrat sebagai pemenang Pemilu yaitu 21.703.137 suara. Data dan angka ini menunjukkan, masyarakat tidak mudah percaya dengan janji-janji seperti penghentasan kemiskinan, pengurangan pengangguran, biaya pendidikan dan kesehatan gratis, atau peningkatan jaminan sosial, apalagi janji penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.

Ketidakpercayaan masyarakat terhadap janji-janji Parpol dapat ditunjukkan dari hasil Jajak Pendapat Litbang Kompas lain ( 17-19 Maret 2010) dengan 1.097 responden di 33 ibukota Provinsi seluruh Indonesia. Hasilnya, sebagian besar responden (sebanyak 54.9 %) tidak percaya terhadap Parpol sebagai penyalur aspirasi politik dan sosial mereka. Hanya 39.9 % yang percaya, dan 5.2 % tidak tahu/tidak menjawab. Responden lebih memilih media massa sebagai penyalur aspirasi, yakni 42,4%.

Pada 26-27 Mei 2010 Litbang Kompas juga melakukan jajak pendapat tentang tingkat kepuasan responden terhadap kinerja Parpol. Tidak jauh berbeda dengan hasil sebelumnya, Litbank Kompas juga menyimpulkan, kepercayaan publik responden terhadap Parpol relatif rendah dibandingkan terhadap lembaga-lembaga lain. Parpol hanya menduduki peringkat keempat (9,5%) setelah media massa (35,5 %), dan lembaga agama (22 %), dan lembaga swadaya masyarakat (14 %) sebagai lembaga yang paling dipercaya menyalurkan aspirasi (kebutuhan) masyarakat. Jajak pendapat juga menghasilkan, 68,9 % publik responden tidak puas atas kinerja Parpol dalam hal penyeluran dan perjuangan aspirasi rakyat. Juga terdapat 68,6% publik responden tidak puas aterhadap Parpol sehubungan fungsinya melakukan pendidikan politik keada masyarakat; 60,9% tidak puas atas kegiatan Parpol melakukan pengawasan terhadap kinerja Peemrintah; 55,4 % tidak puas atas kegiatan Parpol menggalang partisipasi masyarakat dalam politik.

4.MEMPEROLEH DANA ILEGAL

Karakteristik keempat yakni agar dapat mempertahankan kesinambungan eksistensi Parpol, para elite berusaha mendapatkan dana/uang bersumber dari negara/pemerintahan melalui “perburuan rente” dengan cara bersaing merebut jabatan politik di parlemen dan eksekutif/kabinet. Kecenderungan anggota Parpol melakukan tindakan ilegal memperoleh dana/uang negara (tindak pidana korupsi) menjadi berlaku baik untuk keperluan Parpol maupun perubahan pola hidup yang semakin “mewah” anggota Parpol itu sendiri. Akibatnya, Parpol yang diharapkan anti korupsi menjadi pro korupsi. Salah satu sebab tindakan ilegal ini adalah ketidakmandirian Parpol menggalang dana dari anggotanya.

Menjelang Pemilu 2009, DPR telah menerbitkan UU No. 2 tahun 2008 tentang Parpol. UU ini juga mengatur sumber keuangan Parpol dan besaran sumbangan. Sementara, dana kampanye diatur dalam UU No. 10 Tahun 2008 tengang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Namun, ketentuan UU itu tidak mudah dilaksanakan atau kurang efektif. Harian Kompas (Maret 2010) pernah mewawancarai pimpinan atau bendahara sembilan Parpol, menyimpulkan bahwa hampir tidak ada yang dapat menjelaskan secara rinci kondisi keuangan Parpol. Mereka hanya mengungkapkan sumber dana Parpol sesuai ketentuan diatur UU No. 2 Tahun 2008. Penerimaan dana Parpol berasal dari iuran anggota; dari sumbangan; dan, dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sumber dana dari hasil tindak pidana korupsi anggota tidak pernah diakui oleh pimpinan atau pengurus Parpol ke publik.

UU No. 2 Tahun 2008 dimaksud juga sangat minim mengatur hal-ikhwal akuntabilitas (pertanggungjawab) publik dan transparansi Parpol. Akibatnya, praktik pendanaan Parpol tidak akuntabel dan transparan menjadi berkelanjutan. UU ini memberi kelonggaran dalam pengelolaan keuangan yang menjadi urusan internal Parpol.

UU ini sangat mengecilkan makna akuntabilitas publik. Publik tidak memiliki kesempatan untuk mengetahui berapa sebenarnya jumlah sumbangan yang masuk ke Parpol, terutama dari pihak lain selain Pengurus dan kader Parpol bersangkutan. Kualitas pengaturan keuangan Parpol lebih buruk UU No. 2 Tahun 2008 ketimbang UU No. 31 Tahun 2002 tentang Parpol. UU No. 2 Tahun 2008 tidak lagi mewajibkan Parpol melaporkan hasil audit dana Parpol bersangkutan setiap tahun ke KPU. UU ini memberi peluang lebih besar bagi Parpol untuk menerima dana ilegal. Hal ini diperkuat lagi, UU No. 2 Tahun 2008 meniadakan audit eksternal yang selama ini dijalankan oleh akuntan publik. Akibatnya, tidak ada standar baku model pencatatan, pelaporan dan audit keuangan Parpol. Pasal 39 UU No. 2 Tahun 2008 menggeser urusan standar pengelolaan keuangan Parpol menjadi hanya urusan internal Parpol lewat Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Parpol itu sendiri. Parpol tidak wajib diaudit oleh ouditor eksternal terkait sumbangan individu atau perusahaan. Yang diaudit hanya dana subsidi anggaran negara oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Bahkan, Paket UU Politik yang dirancang untuk mengatur Pemilu 2009 (disebut sebagai UU Bidang Politik) secara umum tidak bicara banyak hal-ikhwal pendanaan politik dan persyaratan dalam hal akuntabilitas dan transparansi. Parpol tidak di bawah pengawasan publik dalam hal pendanaan kampanye dan dana yang digunakan oleh Parpol.

Anggota Parpol baik di legislatif maupun di eksekutif setelah Pemilu usai harus tidak melakukan tindak pidana korupsi sebagai realitas subyektif. Pimpinan Parpol secara formal telah menandatangani “Piagam Deklarasi Antikorupsi Partai Politik”, 25 Februari 2009, di Gedung KPK Jakarta. Ada 38 Parpol nasional, beberapa di antaranya Parpol lokal Aceh, peserta Pemilu 2009 yang menandatangani Piagam Deklarasi. Kandungan Piagam dimaksud sebagai berikut:

“Dengan rahmat Tuhan Yang Maha esa, Kami partai politik Indonesia menyadari: Korupsi adalah kejahatan luar biasa yang mnghancurkan bangsa dan menyengsarakan rakyat Indonesia.

Kami, partai politik Indonesia bertekad: Mewujudkan kehidupan berpolitik Indonesia yang bebas praktik korupsi dan menjadikan Indonesia sebagai negeri yang bersih dari korupsi.

Kami partai politik Indonesia berjanji: berperan serta secara aktif dalam gerakan pemberantasan korupsi dan tidak melakukan korupsi.”

Jakarta, 25 Februari 2009.

Penandatangan Piagam ini dapat bermakna sebagai antara lain:

1.Dukungan terhadap KPK yang menangani perkara korupsi selama proses Pemilu 2009.
2.Komitmen Parpol untuk melaksanakan Pemilu yang bersih dan pemberantasan korupsi.
3.Pencegahan terjadinya korupsi dan menciptakan pemilu yang sehat.
4.Komitemen Parpol agar saat berkuasa akan menjalankan pemerintahan yang bersih.
5.Salah satu bentuk kepedulian mereka atas terciptanya pemerintahan anti korupsi dan pemilu yang sehat.

KPK yang memprakarasi acara ini meminta Parpol menjadikan pemberantasan korupsi sebagai agenda utama yang harus diusung dalam Pemilu 2009. “Bangsa ini perlu Parpol yang bersih dari korupsi” ujar Ketua KPK Antasari Azhar saat menyampaikan sambutan di hadapan perwakilan Parpol pada acara pendandatangan Piagam Deklarasi itu. Saat ini KPK tengah menangani sejumlah kasus korupsi yang melibatkan tokoh Parpol. Pelajaran ini yang dipetik KPK agar di musim Pemilu tidak ada lagi tokoh Parpol terlibat korupsi karena menggunakan uang negara un tuk kepentingan politiknya. “Parpol harus punya komitmen agar Pemilu nanti bersih”, tandas Antasari. Sembari menekankan, Pemilu merupakan momen sangat rawan politik uang. Karenannya, KPK merasa perlu untuk menegaskan bahwa yang menjadi ranah KPK adalah ketika yang digunakan uang negara. “Jika sumber dana yang diberikan kepada konstituen berasal dari APBD atau APBN, KPK akan menindak”, sambungnya. Ia menambahkan, kalai memberi sesuatu terhadap konsituen masuk delik Pemilu, dan KPK tidak akan masuk di wilayah ini.

Acara Penendatangan Piagam Deklarasi Anti Korupsi ini dihadiri antara lain Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla, Presiden PKS Tifatul Sembiring, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Hanura Wiranto, Ketua Umum PAN Sutrisno Bachir, Ketua Umum PPP Suryadharma Ali, Ketua Umum Partai Patriot Yapto Suryosumarno, Ketua Umum PBR (Partai Bintang Reformasi) Bursa Zarnubi, Ketua dan Sekjen DPP Partai Demokrat masing-masing Amir Syamsudin dan Marzuki Ali, Ketua Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) Roy BB Janis, Ketua Umum PKPI Meutia Hatta, Ketua Umum PBB MS Kaban, dan sejumlah elite Parpol lainnya.

Dalam kesempatan itu, para elite Parpol yang hadir menyatakan dukungan atas deklarasi tersebut. Bahkan mereka dengan semangat berlomba-lomba memberikan usulan dan pemikiran tentang pemberantasan korupsi. Misalnya, Agung Laksono, Wakil Ketua Umum Partai Golkar menegaskan pihaknya siap mendukung upaya KPK” Deklarasi ini harus didukung sepenuhnya hingga tidak ada tensi politik”, ujar Agung Sembari menekankan, tidak ada lagi resistensi politik, termasuk di kalangan legislatif, eksekutif bahkan fraksi di Dewan. Sementara itu, Sekjen PDIP Pramono Anung menyatakan tidak akan menoleransi kader partai yang terlibat korupsi. “PDIP takkan melindungi kadernya yang terlibat korupsi. Sanksi dari internal partai tetap akan diberikan”. Pramono kemudian menekankan, tidak ada lagi klaim politik soal kesuksesan KPK, meskipun pembentukan KPK di tahun 2002 dilakukan saat pemerintahan Presiden Megawati. “Jangan ada yang klaim kesuksesan KPK merupakan keberhasilan partai tertentu,” tandasnya.

Selanjutnya, Ketua DPP Partai Demokrat Amir Syamsudin menegaskan, membasmi korupsi itu jangan pandai berorasi dan beretorika, tapi kita melaksanakan. “Membasmi korupsi itu tidak karena kita pandai berorasi, yang perlu dilakukan adalah tindakan nyata” ujar Amir. Ia juga mendukung soal pembuktian terbalik merupakan suatu ide cerdas.

Yang lebih kocak datang dari pidato Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir. “PAN itu sejak dulu antikorupsi. PAN, Partai Anti Norupsi (no korupsi), “ ujarnya disambut gelak tawa hadirin.

Ketua Umum Partai Hanura Wiranto juga menyampaikan juga pidato. “Saya datang ke acara deklarasi ini, berarti saka setuju. Yaitu setuju untuk melawan tindak korupsi”, ujarnya.

Di lain fihak, di tempat yang sama, Ketua Umum PBB MS Kaban mengingatkan semua pihak agar perlawanan terhadap korupsi bukan hanya seremonial. Ia berharap, ada strategi dan arah yang jelas untuk membumihanguskan perilaku korup para pejabat publik. “Jadi jangan hanya banyak bicara tanpa ada realisasi, “ kilahnya Sembari mengingatkan, ada yang menilai deklarasi melawan korupsi ini tidak relevan.

Berbagai tanggapan positif bermunculan di publik atas penandatangan Piagam Deklarasi Anti Korupsi ini, namun beberapa di antaranya menunjukkan nada pesimistik. Belum sampai sebulan Piagam Deklarasi ditandatangani, salah satu kader Parpol justru tertangkap basah oleh KPK, yakni Abdul Hadi Djamal. Kasus ini mencoreng deklarasi. Bersama Kabag Umum Distrik Navigasi Tanjung Priok Darmawati dan Komisaris PT Kurniadjaya Wirabhakti Surabaya, Hontjo Kurniawan, Abdul Hadi ditangkap KPK sekitar pukul 22.12 WIB, 2 Maret 2009. Abdul adalah anggota DPR Komisi V dari Fraksi PAN.

Sementara itu, terdapat nada kritis negatif menekankan acara penandatangan Piagam Deklarasi ini sekedar acara seremoni. Ada kekhawatiran acara itu justru menjadi kampanye gratis Parpol menjelang Pemilu 2009. Nada kritis ini kemudian mengingatkan, bukan hanya sekedar deklarasi, janji dan kata-kata saja yang diperlukan, tapi tindakan konkrit dan nyata yang lebih mengena untuk mengaet suara rakyat. “Rakyat butuh bukti, bukan acara seremonial.” Mereka berharap, acara itu tidak menjadi sekedar klaim pemberantasan dari Parpol menjelang Pemilu. Parpol harus menunjukkan komitmen mengingat masih lemahnya pengaturan mekanisme keuangan Parpol dalam UU No. 2 tahun 2008 tentang Parpol.

Anggota DPR yang notabenenya anggota Parpol juga, harus tidak melakukan tindak pidana korupsi sebagai realitas obyektif dapat juga digunakan argumentasi acara pengucapan sumpah/janji. Setiap anggota DPR pasti mengikuti acara pengucapan sumpah/janji yang dipimpin oleh Ketua MA (Mahkamah Agung). Acara pengucapan sumpah/janji tersebut dilakukan sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing. Sumpah dan janji yang diucapkan memiliki tanggungjawab yang besar terhadap seluruh bangsa dan negara Indonesia sesuai dengan amanat dari Pancasila dan UUD 1945. Sumpah/janji merupakan sumpah/janji terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan kepada manusia yang harus ditepati dengan segala keikhlasan dan kejujuran . Intinya, sumpah/janji jabatan yang diucapkan anggota Parpol ketika dilantik menjadi anggota DPR adalah setia dengan Pancasila dan UUD 1945. Setia dengan Pancasila dan UUD bermakna tidak akan melakukan korupsi dan memperoleh dana negara secara ilegal. Anggota DPR juga harus taat dan mematuhi semua peraturan perundang-undangan yang di bawahnya seperti UU No. 31 Tahun 1999 junto UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Pancasila dan UUD 45 sama sekali tidak mengendaki perilaku korup, bahkan melarang setiap pejabat dan penyelenggara negara temasuk anggota DPR untuk menerima uang yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan berlaku.

Bahkan, perilaku gratifikasi juga dilarang sebagaimana diatur di dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tipikor. Gratifikasi merupakan pemberian dalam arti luas yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya. Pasal 12 B UU itu menyatakan bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

Dalam kenyataannya, Parpol di era reformasi tidaklah terbebas sama sekali dari perilaku koruptif atau memperoleh dana ilegal. Data dan fakta tentang perolehan dana ilegal anggota DPR dapat diperoleh dari pengakuan terdakwa atau saksi anggota DPR dan juga pernyataan Tim Jaksa Penuntut di sidang-sidang pengadilan Tipikor, Jakarta. Sebagai misal, pengakuan anggota DPR Yusuf Erwin Faisal (kader PKB) yang didakwa terlibat korupsi alih fungsi hutan di Sumatera Selatan. Yusuf Erwin Faisal menjadi terdakwa dugaan aliran cek senilai Rp. 5 miliar kepada sejumlah anggota DPR. Aliran cek itu bertujuan agar DPR memberikan rekomendasi terhadap permohonan alih fungsi hutan lindung Pantai Air Telang di Sumatera Selatan untuk dijadikan Pelabuhan Tanjung Api-api. Ia mengakui, para anggota DPR seringkali terbebani kewajiban untuk mencarikan dana guna membiayai keperluan Parpol. “Salah satu sebabnya adalah maraknya kompromi dan adanya pusaran politik. Ekspektasi Parpol terhadap kader sangat tinggi untuk mencari sponsor untuk kepentingan partai”, ujar Yusuf Erwin Faisal yang didakwa menerima suap Rp. 5 miliar saat membacakan pembelaan di Pengadilan Tipikor, jakarta, 23 Maret 2009. Pusaran politik yang bermuara ada Parpol, lanjut Erwin, sangat sulit dikendaliakan oleh anggota DPR. Beberapa anggota DPR lantas menyiasati hal itu dengan mencari sumber dana dari pihak ketiga atau swasta untuk menghindari kerugian negara. Semua anggota DPR mengetahui kode etik yang melarang anggota DPR menerima uang dari rekan kerja. Karena itu, menurut Erwin, biasanya uang langsung mengalir ke organisasi massa atau Parpol.

Fenomena rentannya Parpol terhadap perolehan dana ilegal dapat dilihat dari banyaknya kader Parpol yang terkait dengan kasus korupsi. Beberapa kasus terkait dengan anggota DPR dapat ditunjukkan sebagai berikut:

1.Andiwarsita Adinugroho, jabatan: Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (HPHI) dan Anggota DPR periode 1999-2004 dari Fraksi Golkar. Andiwarsita menjadi tersangka kasus APHI dan dituntut oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan 8 tahun penjara. Ia dituduh merugikan keuangan negara Rp. 9,5 miliar. Pada 12 November 2005 Pengadilan memvonis 6 tahun.
2.Al Amin Nur Nasution, jabatan: Anggota Komisi IV DPR Periode 2004-2009 dari Fraksi PPP. Kasus dugaan suap terkait pengalihan fungsi hutan lindung seluas 7.300 hektar di Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Ia ditangkap KPK pada 9 April 2008.
3.Sarjan Taher, jabatan: Anggota Komisi IV DPR Periode 2004-2009 dari Fraksi Partai Demokrat. Kasus dugaan suap terkait pengalihan fungsi hutan lindung seluas 7.300 hektar di Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Ditahan 2 Mei 2008. Status tersangka pada Sarjan Taher diputuskan KPK pada 27 Februari 2008.
4.Saleh Djasit, jabatan: Anggota Komisi VII DPR Periode 2004-2009 dari Fraksi Partai Golkar. Kasus dugaan korupsi pengadaan 20 alat pemadam kebakaran Pemrov Riau yang merugikan negara sekitar Rp. 4,7 miliar. Status vonis.
5.Hamka Yandhu, jabatan: Anggota Komisi XI DPR Periode 1999-2004 dari Fraksi Partai Golkar. Kasus Aliran Dana BI ke DPR. Vonis. Sudah diperiksa oleh Badan Kehormatan DPR.
6.Anthony Zeidra Abidin, jabatan: Anggota Komisi XI DPR Periode 1999-2004. Saat jadi tersangka, posisinya sebagai Wakil Gubernur Provinsi Jambi. Kasus Aliran Dana BI ke DPR. Status Vonis.
7.Noor Adenan Razak, jabatan: Anggota Komisi VIII DPR Periode 1999-2004 dari Fraksi Reformasi (PAN). Kasus suap bagi perubahan Anggaran Biaya Tambahan (ABT) untuk Pembangunan Pusdiklat Bapeten sebesar Rp. 250 juta dan bilyet giro sebesar Rp. 1.227.272.000,-
8.Bulyan Royan, jabatan: Anggota Komisi V DPR Periode 2004-2009 dari Fraksi PBR. Kasus Pengadaan Kapal Patroli di Dirjen Perhubungan Laut-Dephub. Status Vonis.
9.Hamka Yandhu, jabatan: Anggota Komisi XI DPR Periode 1999-2004 dari Fraksi Partai Golkar. Kasus penerimaan cek perjalanan/pelayat terkait pemilihan Deputi Bank Indonesia, Miranda Gultom. Status vonis.
10.Dudhie Makmun Murod, jabatan: Anggota DPR Periode 1999-2004 dari Fraksi PDIP. Kasus penerimaan cek perjalanan/pelayat terkait pemilihan Deputi Bank Indonesia, Miranda Gultom. Status vonis.
11.Udju Djuhaeri, jabatan: Anggota DPR Periode 1999-2004 dari Fraksi TNI/Polri. Kasus penerimaan cek perjalanan/pelayat terkait pemilihan Deputi Bank Indonesia, Miranda Gultom. Status vonis.
12.Endhin Soefihara, jabatan: Anggota DPR Periode 1999-2004 dari Fraksi PPP. Kasus penerimaan cek perjalanan/pelayat terkait pemilihan Deputi Bank Indonesia, Miranda Gultom. Status vonis.

Untuk memperoleh data dan fakta sehubungan dana ilegal ini, dapat digunakan dari pengakuan terdakwa pada sidang perkara korupsi anggota legislatif (DPR-RI) yang lain. Salah satu adalah sidang perkara terdakwa Mantan Direktur Hukum BI. Dalam sidang dengan terdakwa mantan Direktur Hukum BI (Bank Indonesia) Oey Hoey Tiong dan mantan Kepala Biro BI Rusli Simanjuntak di Pengadilan Khusus Tipikor, Jakarta 28 Juli 2008. Hamka Yandhu YR (kader Golkar), mantan Ketua Sub Komisi Keuangan di Komisi IV DPR saat diperiksa sebagai saksi mengungkapkan, semua anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 dari sembilan fraksi berjumlah 52 orang menerima dana dari BI dengan nilai total Rp. 21,6 miliar. Nama penerima dana itu dibacakan Majelis Hakim satu persatu sesuai fraksi masing-masing, yang kemudian dibenarkan Hamka. Pembagian dana berdasarkan fraksi, diberikan secara tunai tanpa tanda tangan, dan tidak ada pertanggungjawaban. Dana dari BI diterima Hamka untuk diiberikan pada Komisi IX dalam empat tahap: pertama, Rp.2 miliar, diterima Hamka Rp. 1,8 miliar; kedua, Rp. 5,5 miliar, diterima Hamka Rp. 4,95 miliar; ketiga, Rp. 10,5 miliar, diterima Hamka Rp. 9,45 miliar; keempat, Rp. 6 miliar, diterima Hamka Rp. 5,4 miliar. Keluruhan Rp. 24 miliar, diterima Hamka total Rp. 21,6 miliar.Terdapat 13 anggota Fraksi Golkar, Sembilan anggota Fraksi PDIP, tiga anggota Fraksi PPP, lima Fraksi PKB, lima Fraksi Reformasi, seorang angota Fraksi TNI/Polri, dua anggota Fraksi KKI, dan seorang anggota Fraksi PBB Untuk Fraksi Reformasi, ada empat anggota lain yang juga menerima aliran dana BI, namun nama-nama tidak terungkap. (Kompas, 28 Juli 2008, dan “Catatan Buruk Akuntabilitas Partai Politik”, Public Accountability—Indonesia Corruption Watch, Seri-Korupsi Politik dalam WWW.antikorupsi.org. Untuk gambaran ini, ICW menggunakan sumber dokumen pemeriksanaan Hamka Yandhu, Harian KORAN TEMPO, 1 Juli 2008).

Data dan fakta perilaku koruptif anggota DPR dapat dikumpulkan dari kesaksian Max Moeis pada sidang perkara pemberian cek pelayat/perjalanan kepada anggota Komisi IX DPR (Keuangan dan Perbankan) periode 1999-2004 di Pengadilan Tipikor terkait dengan kasus Pemilihan Deputi Bank Indonesia, Miranda Gultom. Ia mengaku menerima cek di ruang komisi dari seorang yang tidak bisa dipastikannya. Cek pelayat itu baginya adalah dana dari Parpol untuk mendukung kampanye pemilihan Presiden di daerah pemilihannya, Kalimantan Barat. Uang itu habis untuk kampanye tanpa ada pertanggungjawaban (Harian Kompas, 20 Maret 2010). Pengakuan Max Moein ini dapat menunjukkan, dana yang diperoleh seorang kader Parpol bisa berasal dari tindak pidana korupsi.

Selanjutnya, pada sidang perkara tersangka Hamka Yandu (kader Golkar) masih terkait dengan kasus pemberian cek pelayat, Hakim Hendra Yospin pernah mencecer Hamka mengenai kebiasaan suap di DPR dalam pemilihan pejabat. “Apakah mekanisme pemilihan pejabat lembaga tinggi negeri ini kalau tidak ada duitnya (calonnya) bisa tersingkir? Perilaku itu sudah dari dulu atau baru kali ini?” tanya Yospin. Hamka menjawab, “Hal itu biasa”. (Harian Kompas, 28 April 2010).

Anggota DPR memperoleh dana ilegal mewakili hampir semua Parpol. PAN sebagai kekuatan reformasi yang dulu getol mengangkat issue KKN Orde Baru, juga memiliki anggota dan bahkan salah seorang Ketua DPP PAN periode 2004-2009, Abdul Hadi Djamal. Ia adalah anggota Komisi V DPR dan Panitia Anggaran DPR, telah menjadi terpidana kasus suap Rp. 3 miliar dengan vonis penjara tiga tahun dan denda Rp. 150 juta subsider empat bulan kurungan seperti yang dijatuhkan di Pengadilan Tipikor, November 2009. Politikus PAN yang terbukti menerima suap Rp. 3 miliar untuk memuluskan dana stimulus fiskal itu tidak mengajukan banding dan kasasi, tetapi langsung PK (Peninjauan Kembali). Abdul harus gigit jari. Pada 10 Mei 2010 MA (Mahkamah Agung) memutuskan, tidak dapat menerima (niet ontvankelijk verklaard) permohonan PK Abdul Hadi Djamal. Ia didakwa telah menerima uang berturut-turut sebesar 80 ribu dolar US, Rp. 32 juta, 70 ribu dolar US, 90 ribu dolar US dan Rp. 54,5 juta. Menurutnya, uang tersebut rencananya akan diserahkan kepada Jonny Allen Marbun selaku Pimpinan Panitia Anggaran di DPR. Ia menjelaskan uang itu digunakan untuk memuluskan proyek pembangunan dermaga dan bandara di Indonesai Bagian Timur. Pengakuan Abdul Hadi Djamal dalam pemeriksaan KPK telah menyeret nama anggota DPR lain, antara lain Rama Pratama (kader PKS) dan Jhonny Allen Marbun (kader Partai Demokrat). KPK juga memeriksa Enggartiasto Lukito (kader Golkar) dan Emir Moeis (kader PDIP) sebagai saksi.

Sementara itu, masih terdapat sejumlah anggota DPR lain yang sudah divonis karena tindak pidana korupsi, antara lain Bulyan Royan (kader Partai Bintang Reformasi, PBR) dan Al Amin Nur Nasution dan Endin AJ Soefihara (kader PPP), keduanya anggota DPR periode 2004-2009. Dikhabarkan, Bulyan Royan yang mantan anggota Komisi Kelautan di DPR, telah merugikan keuangan negara sebesar Rp. 1,68 miliar dalam kasus pengadaan kapal patroli di Departemen Perhubungan. Ia tertangkap tangan di Plaza Senayan, sekitar pukul 17.00, oleh Tim KPK. Ketika tertangkap, KPK menemukan uang sebesar 66 ribu dolar US, dan 5.500 euro atau sekitar Rp. 607,2 juta (asumsi 1 dolar= Rp. 9.200) dan Rp. 79,75 juta (asumsi 1 euro=Rp. 14.500) dari tangan Bulyan Royan. Menurut KPK, uang itu terkait dengan posisi Bulyan Royan saat menjadi anggota Komisi V DPR. Satu sumber menyebutkan, pemberian uang adalah fee yang biasa diberikan sebelum tender, besarannya 7-8 % dari nilai tender. “Fee diberikan kepada sejumlah anggota DPR dan pejabat Dephub”.

Al Amin Nur Nasution tertangkap tangan terkait alih fungsi hutan lindung di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau. Al Amin tertangkap tangan, KPK mengembangkan penyelidikan hingga akhirnya kembali menahan Sarjan Tahir (anggota DPR, kader Partai Demokrat) terkait kasus pengalihan fungsi hutan bakau menjadi pelabuhan di Banyuasin, Sumatera Selatan. Sarjan Tahir tidak tertangkap tangan, tetapi berdasarkan penyelidikan KPK di lapangan mereka menemukan adanya keterlibatan Sarjan dalam kasus korupsi. Sebelum Al Amin, Sarjan Tahir dan Bulyan Royan, KPK sudah menahan Saleh Djasit, tapi penahanannya tidak terkait tugas Dewan, tetapi saaat menjabat sebagai Gubernur. Hampir dua minggu setelah Al Amin, KPK menahan Hamka Yandhu dan mantan anggota DPR Anthony Zeidra Abidin (kader Golkar) terkait kasus Aliran Dana BI.

Endin AJ Soefihara terkait kasus cek perjalanan/pelayat sehubungan pemilihan pejabat tinggi BI. Yang diajukan ke pengadilan Tipikor terkait dengan kasus cek perjalanan ini hanya empat orang anggota DPR Periode 1999-2004, yakni Endin (Fraksi PPP) Hamka yandhu (Fraksi Partai Golkar), Dudhie Makmun Murod (Fraksi PDIP), Udju Djuhaeri (Fraksi TNI/Polri). Diberitakan di media massa akhir Mei 2010, keempat mantan anggota DPR itu dinyatakan terbukti bersalah menerima cek perjalanan yang patut diduga terkait pemilihan Miranda S. Gultom sebagai Deputi Gubernur Senior BI. Endin dihukum satu tahun tiga blan penjara, Hamka (2,5 tahun), serta Dudhie Makmun Murod dan Udju Djuhaeri masing-masing dipidana dua tahun penjara.

Data dan fakta perolehan dana ilegal dapat juga digunakan dari pernyataan Jaksa tatkala mengajukan tuntutan terhadap Dudhie Makmun Murod (kader PDIP) di Pengadilan Tipikor di Jakarta (26 April 2010). Ada 16 anggota DPR dari Fraksi PDIP menerima cek pelawat (traveler’s cheque). Mereka adalah William Tutuarima, Sutanto Pranoto, Agus Condro Prayitno, Muh. Iqbal, Budiningsih, Poltak Sitorus, Aberson M. Sihalolo, Rusman Lumban Toruan, Max Moein, Jeffrey Tongas Lumban, Matheos Pornes, Engellina Pattiasina, Suratal H.W, Niluh Mariani Tirtasari, Soewarno, Panda Nababan, Sukardjo hardjosoewirjo, dan Izedrik Emir Moeis (Harian KORAN TEMPO, 23 April 2010).

Kasus korupsi di DPR ibarat fenomena gunung es. Publik meyakini kasus-kasus korupsi anggota DPR yang mengemuka hanya sebagian kecil saja, kasus-kasus tertutup dan terlindungi jauh lebih banyak. Sebanyak 56, 7 % responden jajak pendapat Litbang Kompas meragukan kasus-kasus korupsi yang melibatkan sejumlah anggota DPR akan dapat dituntaskan secara hukum. Citra buruk DPR di mata publik terus meningkat selama empat tahun terakhir. Pada 2005, sebanyak 58,8 % responden menilai buruk citra DPR. Dalam jajak pendapat bulan April 2008, sekitar tujuh dari sepuluh responden menyatakan citra DPR buruk dan dalam jajak pendapat kali ini, publik yang menilai buruk citra DPR meningkat lagi menjadi 81,3 % responden.

Data dan fakta perolehan dana ilegal anggota DPR dapat juga diperoleh dari sidang perkara Hamka Yandhu di pengadilan Tipikor Jakarta. Tim Jaksa Penuntut menyebutkan sebanyak 12 anggota Fraksi Golkar menerima cek perjalanan dengan total Rp. 7,35 miliar. Menurut Tim Jaksa, cek perjalanan yang berasal dari BII itu diberikan oleh Nunun Nurbaetie, Istri Komjen Pol (Purn.) Adang Daradjatun, Mantan Wakapolri. Adang kini menjadi anggota DPR dari Fraksi PKS, dan pernah menjadi Calon Gubernur DKI Jakarta atas dukungan PKS.

Belakangan ini, issue publik korupsi di DPR lain telah muncul tekait dengan pernyataan La Ode, Wakil Ketua DPD (Dewan Perwakilan Daerah) di Yogyakarta. Dikahabarkan, menurut La Ode, telah terjadi kasus korupsi besar di tubuh DPR, bahkan kasus ini lebih besar dibandingkan penggelapan pajak yang dilakukan Gayus Tambunan, pegawai Dirjen Pajak Kementerian Keuangan. Pelakunya, lanjut La Ode, memiliki posisi seperti dia, yaitu di tingkat wakil. Pelaku itu adalah salah satu pimpinan di lembaga legislatif pusat. “Kasus ini merugikan keuangan negara hampir Rp. 100 miliar. Perampokan uang negara ini berlangsung menjelang musyawarah nasional (Munas) salah satu partai politik.” La Ode berjanji akan membukanya.

Sementara itu, dikhabarkan juga, Mahfud MD Ketua MK (Mahkamah Konstitusi) juga menyatakan, telah memiliki data yang dapat membuktikan, telah terjadi korupsi dengan nilai lebih besar dibandingkan kasus Gayus Tambunan. Mahfud mengaku, data berasal dari anggota DPR yang menyatakan telah terjadi semacam penyalahgunaan wewenang sehingga mengakibatkan keluarnya uang secara tidak prosedural.

Fenomena korupsi anggota legislatif bukan saja di pusat tetapi juga di daerah. Sebagai gambaran pelaku korupsi legislatif (mantan, anggota DPR, DPRD dan MPR) Sumber ICW, Seri-Korupsi, WWW.antikorupsi.org menunjukkan tahaun 2005, terdapat 40 orang pelaku korupsi terdiri dari mantan.anggota DPR, DPRD dan MPR; tahun 2006 terdapat 35 orang mantan, anggota DPR, DPRD, MPR; tahun 2007 terdapat 162 anggota DPRD; dan tahun 2008 terdapat 178 anggota DPRD.

Masyarakat juga tidak percaya tentang jumlah dana yang diterima Parpol menjelang Pemilu sama besar seperti yang dinyatakan dalam iklan. Jajak Pendapat Litbang Kompas (17-19 Maret 2010) dengan 1.079 responden di 33 Ibukota Provinsi seluruh Indonesia menunjukkan, sebesar 73,3 % responden tidak percaya, hanya 11,2 % percaya, 1.7% tidak tahu dan 0.8 % tidak jawab. Intinya, di mata masyarakat, Parpol tidak menegakkan prinsip transparansi tentang penerimaan dana.

Korupsi penyakit terparah bangsa ini, telah menjadi wabah di semua institusi negara. Bahkan legislatif/parlemen yang berisi para wakil rakyat yang mengemban aspirasi dan kedaulatan rakyat justru menjadi sarang korupsi. Sudah banyak anggota DPR yang masuk bui karena suap dan manipulasi atau tindak pidana korupsi. Banyak pula anggota legislatif di pusat dan daerah masih aktif kini menjadi saksi dan berkelit di persidangan suap tanpa merasa bersalah.

Menurut data ICW, pada 2009 anggota DPR menempati urutan pertama pejabat yang menjadi tersangka korupsi. Setelah itu, disusul oleh pejabat Departemen. Anggota DPR/DPRD yang menjadi tersangka atau terpidana korupsi sebanyak 18,95 %, kemudian disusul oleh pejabat eselon/pimpro 17, 89%, Duta Besar/Pejabat Konsulat/Imigrasi 13,68 % dan Kepala Daerah (Gubernur, Walikota dan Bupati) 12,63 %. Sisanya ada pejabat di level Komisi Negara, Dewan Gubernur, BUMN, Aparat Hukum dan BPK, prosentase sebaran tersangka hanya di bawah 10 %. Hasil pengamatan ICW juga menunjukkan, dari 11 Komisi di DPR periode 2004-2009, hampir semuanya dijadikan sumber korupsi. Komisi yang dinilai rentan adalah Komisi VI (Bidang Perdagangan dan Industri), Komisi VII, Komisi VIII (Agama), Komisi X (Pendidikan) dan Komisi bidang Keuangan dan Perbankan.

Untuk perbandingan Indonesia dengan negara-negara lain, dapat digunakan hasil Survei Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang diadakan setiap tahun oleh “Transparency International tahun 2009. Hasilnya menunjukkan IPK Indonesia memperoleh skor 2,8, lebih baik daripada skor pada 2008 (mencapai 2,6). Indonesia termasuk negara tingkat korupsi sangat parah dan di kawasan ASEAN masih berada di bawah Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam. Semua upaya Pemerintah SBY ternyata tidak mampu mengubah persepsi negatif .

Political & Economic Risk Consultancy Ltd (PERC) adalah suatu perusahaan konsultan yang berbasis di Hongkong mengeluarkan hasil studi tahunan tentang tingkat korupsi di negara-negara tujuan investasi di kawasan Asia Pasifik. Hasil studi PERC tahun 2007 menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup kedua di Asia atau sejajar dengan Thailand. Hasil studi ini menunjukkan, Indonesia naik satu perinkat dari posisi sebelumnya yang menempati peringkat pertama negara terkorup di Asia. Studi ini dilaksanakan pada Januari dan Februari, melibatkan 1.476 pelaku bisnis asing (responden) di 13 negara Asia. Hasil studi ini kemudian digunakan untuk membuat peringkat mengenai persepsi terhadap tindakan korupsi dan penanganannya di Asia, menggunakan sistem skor 0-10. Negara yang dinilai bersih dari korupsi mendapat skor 0, sedangkan yang paling buruk mendapat skor 10. Indonesia bersama Thailand menduduki peringkat kedua dengan skor 8,03, setingkat di bawah Filipina yang mendapat nilai 9,40. Bagi Indonesia, hasil ini sedikit lebih baik setelah tahun lalu. Indonesia mendapat nilai 8,16.

Meski sudah mengindikasikan hasil positif, namun pada hasil studi PERC Maret 2009, memposisikan Indonesia naik ke peringkat teratas kembali sebagai negara terkorup dengan mencetak skor 8,32 dari nilai 10. Sementara Thailand memproleh skor 7,63, disusul Kamboja dengan skor 7,25, India 7,21 dan Vietnam 7,11. Sedangkan Filipina yang menjadi negara terkorup tahun 2008 mendapatkan skor 7,0 atau menempati peringkat enam sebagai negara terkorup di Asia. Sementara Singapura (1,07), Hongkong (1,89) dan Australia (2,4) menempati tiga besar negara terbersih, meskipun ada dugaan kecurangan sektor privat. Amerika Serikat menempati urutan keempat dengan skor 2,89.

Hasil studi PERC tahun 2010 tetap memposisikan Indonesia sebagai negara terkorup dengan mencetak skor 9,07 dari nilai 10. Angka ini naik dari 7,69 poin tahun lalu. Studi ini mencakup 2.174 responden eksekutif bisnis tingkat menengah dan senior di Asia, Australia dan Amerika Serikat. Hasil studi PERC dimaksud memposisikan Indonesia kembali terpuruk dalam peringkat korupsi antara negara. Dari 16 negera sasaran studi, menempatkan Indonesia sebagai negara paling korup, diikuti Kamboja di urutan kedua, Vietnam, Filipina, Thailand, India, Cina, Malaysia, Taiwan, Korea Selatan, Macao, Jepang, Amerika Serikat, Hong Kong, Australia dan Singapura. Skor Indonesia adalah 9,27 dalam skala 0-10 di mana 0 berarti sangat bersih, dan 10 sangat korup, turun cukup signifikan dari skor tahun lalu, yaitu 8,32. Pada tingkat Asean, Indonesia tingkat korupsi hampir sempurna dan lebih buruk daripada Kamboja (9,10), Vietnam (8,07), Filipina (8,06), Thailand (7,60), malaysia (6,47) dan Singapura (1,42).

Studi ini melihat bagaimana korupsi berdampak pada berbagai tingkat kepemimpinan politik dan pamong praja serta lembaga-lembaga utama. Studi ini juga mencakup penelitian tentang pengaruh korupsi terhadap lingkungan bisnis secara keseluruhan. Menurut PERC, dengan merajalelanya korupsi di semua level di Indonesia, perang korupsi yang dilakukan Presiden SBY telah terhambat politisasi issue yang dilakukan pihak yang merasa terancam oleh aksi yang dilakukan SBY. “(Hasil) korupsi digunakan oleh para koruptor untuk melindungi mereka sendiri dan untuk melawan reformasi. Seluruh perang terhadap korupsi terancam bahaya”, ujar Laporan PERC.

Mirip dengan penilaian Laporan PERC, sebelumnya Reuters melihat bahwa kasus Bank Century merupakan pertarungan antara kubu reformasi dan anti-reformasi. Menkeu Sri Mulyani telah melakukan reformasi birokrasi untuk membersihkan para pejabat korup di Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea Cukai yang berada di bawah kementerian yang dipimpinnya. Dengan mengutip seorang investor AS di Indonesia, Reuters membeberkan, para investor sangat khawatir dengan para politisi Indonesia yang lebih tertarik untuk bertarung memperebutkan kekuasaan daripada mendukung proses reformasi. “Kehilangan seorang reforman akan membuat investor khawatir bahwa Indonesia akan kembali ke kapitalisme kroni, yang akan sangat menyakitkan bagi para investor dan sebagian besar bangsa Indonesia, setidaknya bagi mereka yang bukan dari bagian para taipan atau secara politis berhubungan baik ataupun keduanya”, ungkap Investor tersebut.

Menurut PERC, Indonesia adalah negara terkorup dibandingkan negara-negara lain yang distudi. Hal ini seharusnya menjadi peringatan bagi Pemerintahan SBY untuk lebih serius dalam usaha pemberantasan korupsi. Turunnya skor Indonesia dalam studi PERC, dikhawatirkan menjadi kecenderungan bagi studi-studi lain yang mengukur kinerja dan performa pemberantasan korupsi di Indonesa, tatkala tahun 2009 dapat dikatakan memang mengalami keterpurukan akibat beragam persoalan antara lain: Cicak vs. Buaya, politisasi kasus Bank Century, dan usaha-usaha kriminalisasi dan pelemahan KPK.

Untuk perbandingan antar lembaga pemerintahan dan masyarakat sipil, dapat digunakan hasil studi lembaga Transparency International Indonesia (TII) dalam beberapa tahun terakhir. Hasilnya masih menempatkan DPR sebagai salah satu lembaga terkorup di negeri ini. Korupsi sudah merusak cara berpikir anggota DPR sedemikian rupa. Kasus-kasus korupsi yang dihadapi anggota DPR memperlihatkan penjarahan uang negara tidak dilakukan secara individual, tetapi beramai-ramai. Artinya korupsi di DPR dilakukan sistemik dan melembaga. Selama empat tahun (2003,2004, 2007 dan 2008) menempatkan Parpol dan parlemen pada peringkat ketiga besar lembaga terkorup dalam persepsi publik di Indonesai.

Hasil studi TII tahun 2003 menempatkan Parpol pada posisi kedua sebagai lembaga terkorup di negeri ini setelah lembaga peradilan. Hasil studi TII tahun 2004 menempatkan Parpol dan Parlemen menjadi lembaga terkorup pertama. Bahkan pada tahun sama, Transparency International (TI) mengumumkan, sebanyak 36 dari total 62 negara sepakat menyatakan Parpol adalah lembaga terkorup. Hasil studi TII tahun 2007 menempatkan Parpol menjadi membaik, berada di urutan ketiga setelah Kepolisian dan lembaga Peradilan. Sementara, Parlemen menjadi terkorup pertama. Hasil studi TII tahun 2008 menunjukkan posisi Parpol menurun kembali, berada di urutan kedua sebagai lembaga terkorup setelah Parlemen.

Resistensi atau penolakan anggota DPR cukup kuat terhadap terutama hasil survei TII tahun 2007 yang memotret persepsi publik tentang korupsi di lembaga-lembaga negara. Banyak anggota DPR, termasuk sang Ketua, mengaku tersinggung atas hasil yang menyebutkan lembaga tempat mereka “mengabdikan diri” sebagai lembaga yang paling banyak korupsinya. Namun, kalangan pengamat Parpol, berdasarkan hasil studi TII ini, sepakat bahwa Parpol sebagai fihak paling bertanggungjawab dalam menumbuhsuburkan korupsi di negeri ini. Diandaikan, korupsi politik seperti lingkaran setan dan Parpol berada di titik pusatnya. Dengan perkataan lain, Parpol sebagai sarana terpenting mencapai kekuasaan politik menjadi “episentrum” korupsi. Di dalam Parpol koruptor dididik dan kemudian membangun jaringan untuk melakukan korupsi berjemaah!

Resistensi anggota DPR juga cukup kuat terhadap kritik-kritik keras yang dialamatkan kepada mereka. Pada 2006, DPR rupayanya dibikin “gerah” oleh kritik pedas yang disuarakan Kelompok Musik Slank lewat lagu yang berjudul “Gosip Jalanan”. “Mau tau gak mafia di Senayan?” Kerjanya tukang buat peraturan. Bikin UUD, ujung-ujungnya duit.” Petikan syair itulah yang membikin para wakil rakyat gerah. Bahkan, Badan Kehormatan DPR sempat berniat memperkarakan kelompok musik Slank ini dan pencipta lagunya, meski kemudian dibatalkan.


5.MENGHINDARI PENYINGKAPAN KORUPSI

Karakteristik kelima politik kartel Parpol adalah sesama elite Parpol dalam koalisi baik di legislatif maupun eksekutif menghindari penyingkapan praktek penggunaan dana negara secara ilegal (tergolong tindak pidana korupsi). Parpol berperan penting dalam memperlambat pemberantasan korupsi di Indonesia. Mereka khawatir pemberantasan korupsi yang masif akan mengancam kader-kader Parpol. Karena itu, pemberantasan korupsi harus dimulai dari pembersihan Parpol.

Penilaian semacam ini muncul dari berbagai pengamat politik dan juga perilaku korupsi di Indonesia. Arif Nur Alam, Direktur Eksekutif Indonesia Budget Centre (IBC), misalnya, telah muncul memberi penilaian bahwa Parpol memiliki kepentingan besar untuk menghambat pemberantasan korupsi secara masif di negeri ini. Salah satu sebab, bagi Arif, hampir semua kasus korupsi besar melibatkan kader-kader Parpol. Indikasi ini bisa dilihat dari perilaku Parpol yang saling memberi perlindungan terhadap kader-kader mereka yang terlibat kasus korupsi. Bahkan, lanjut Arif, banyak orang bermasalah yang sengaja masuk ke Parpol untuk mencari tempat perlindungan dari proses hukum. “Parpol hanya akan mendorong penuntasan kasus korupsi sepanjang itu tidak menyinggung kader-kader mereka,” katanya (Harian Kompas, 8 Juli 2010).

Pengamat lain, Teten Masduki mengatakan, perilaku korupstif di aprpol ini bersumber pada tiadanya independensi dalam pembiayaan Parpol. “Dana Parpol hampir semuanya berasal dari sumber yang korup,” ujar Sekretaris Jenderal Transparansy International Indonesia ini. Pada kesempatan yang sama, juga Kordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Ibrahim Fahmi Badoh mengatakan, selama ini sumber pendanaan perorangan banyak diterima dari politisi. Sumbangan perorangan itu diterima dari potongan gaji politisi. Politisi itu kemudian mencari, sumber dana tambahan.

Lebih jauh, Ibrahim menegaskan, dukungan dana dari pengusaha untuk Parpol biasanya bertujuan untuk membangun patron. Tujuannya, agar penguasaha ini mendapatkan proteksi dan akses terhadap anggaran publik. Kader Parpol di Dewan kemudian menjadi broker proyek atau terjun ke proyek itu. Ibrahim mencontohkan kasus yang menjerat mantan anggota Dewan, Bulyan Boyan, yang tersangkut kasus suap dalam proses lelang pengadaan kapal patroli Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Departemen Perhubungan yang lalu. “Kasus lain, misalnya, dugaan adanya anggota DPR yang memiliki bisnis pemondokan dan katering haji,” ujar Ibrahim (Harian Kompas, 8 Juli 2010)

Terkait dengan karakteristik kelima ini, di mata masyarakat keterlibatan Parpol masih tergolong kecil dalam mendukung gerakan anti KKN (Korupsi, Kolusi dan nepotisme). Sebagaimana telah ditunjukkan hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 26-27 Mei 2010, terdapat 51,2 % publik responden merasa tidak puas atas kinerja Parpol dalam mendukung gerakan anti KKN. Hanya 44,3 % yang merasa puas, dan 1,5% tidak tahu/tidak jawab.

Untuk data dan fakta adanya penghindaran penyingkapan praktek penggunaan dana negara secara ilegal di lembaga legislatif (DPR), dapat ditunjukkan pada beberapa pengalaman berupa permintaan anggota DPR kepada penegak hukum untuk menutup kasus korupsi yang dilakukan anggota Parpol.

Kasus pertama yakni sebuah rapat Badan Musyawarah DPR (3 Oktober 2006) gabungan Komisi II dan III DPR, meminta agar Presiden menegur keras Jaksa Agung karena tidak tepat menggunakan dasar hukum dalam menangani sejumlah kasus korupsi melibatkan anggota DPRD (Kabupaten atau Kota) terkait dengan APBD (Anggaran Pembangun dan dan Belanja Daerah). Karena tekanan itu, kasus-kasus korupsi APBD dimaksud menghilang begitu saja. Kalaupun ada kasus yang dilimpahkan ke pengadilan, putusan Majelis Hakim cenderung membebaskan para pelaku. Alasan pokok yang digunakan DPR untuk mendesak menghentikan kasus korupsi atas anggota DPRD ini yaitu “kriminalisasi politik kebijakan pemerintahan daerah”.

Kasus kedua berikutnya terjadi dalam acara RDP (Rapat Dengar Pendapat) antara Komisi III DPR dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Harian Koran JAKARTA (3 Mei 2010) mengkhabarkan, pada hari pertama (Rabu, 28 April 2010), RDP tersebut hanya sedikit yang membahas skandal Bank Century yang menghabiskan uang negara Rp. 6,7 triliyun. Sebagian anggota Komisi Hukum tersebut hanya mempertanyakan mengapa Sri Mulyani dan Boediono tidak diperiksa di gedung KPK. Yang lebih memperhatinkan, ujar Koran JAKARTA, adalah kasus BLBI tidak menjadi perhatian sama sekali. Perkembangan kasus BLBI memang masuk draft pertanyaan. Wakil Ketua KPK Bibit Samad Riyanto menjawab pendek dan normatif, semua anggota DPR terlihat puas.

RDP hari kedua, Kamis 29 April 2010, makin terlihat aneh. RDP yang dimulai sekitar pukul 20.00 WIB bahkan tidak membahas kasus Bank Century sama sekali. Tidak ada seorang pun anggota DPR yang menanyakan hasil pemeriksaan KPK terhadap Sri Mulyani dan Boediono baru saja dilangsungkan. Namun, di penghujung rapat, setelah mencecar kinerja KPK, Komisi III DPR meminta KPK menghentikan penanganan sejumlah kasus korupsi yang melibatkan rekan mereka dari sejumlah Parpol. Situasi rapat digambarkan Harian Koran JAKARTA, sebagian anggota Komisi III DPR terlihat asyik mempermasalahkan tindakan KPK menahan Bupati Boven Digul Yusak Yaluwo. Anggota Fraksi Demokrat Ruhut Sitompul yang pertama kali mempermasalahkan hal tersebut pada siang hari sebelumnya.

Yusak Yaluwo adalah kader Partai Demokrat. Yusak Yaluwo sebagai Bupati Kabupaten Bouven Digul dijadikan tersangka oleh KPK karena diduga telah merugikan keuangan negara sebesar Rp. 49 miliyar terkait dengan penyalahgunaan dana otonomi khusus APBD 2005-2007 Kabupaten Boven Digul. Menurut Wakil Ketua KPK Chandra Martha Hamzah, kasus korupsi APBD Boven Digul yang disangkakan kepada Yusak Yaluwo telah diselidiki KPK sejak tahun 2008. Setelah ditetapkan sebagai tersangka, KPK telah memanggil Yusak Yaluwo untuk diperiksa. Namun, Yusak Yaluwo telah mangkir dari panggilan, karena itu KPK kemudian menangkap Yusak ketika sedang berada di Bandara Soekarno-Hatta. KPK menduga Yusak akan lari ke luar negeri.

Dalam RDP antara Komisi III dan KPK itu, Wakil Ketua KPK Chandra membantah bermain politik dalam penanganan perkara itu. Walaupun dia telah memberikan penjelasan, beberapa anggota Komisi III DPR tetap memprotes penangkapan tersebut. Menurut pantauan Harian Koran JAKARTA, anggota Komisi III DPR tersebut di antaranya Nasir Djamil (Fraksi PKS), Setia Permana (Fraksi PDIP), Nudirman Munir dan Azis Syamsuddin (Fraksi Fraksi Golkar), Pieter Zulkifli dan Edi Ramly Sitanggang (Fraksi P.Demokrat), Ahmad Yani (Fraksi PPP), dan Syarifuddin Sudding (Fraksi P. Hanura). Mereka mengulang-ulang pertanyaan dan pernyataan yang menilai KPK telah melakukan intervensi politik terhadap Pilkada dalam menangkap Yusak. Bahkan beberapa orang sempat menyatakan Boven Digul akan rusuh apabila Yusak tidak dibebaskan.

Selanjutnya, Komisi III DPR mempersoalkan tindakan KPK terhadap Syamsul Arifin, Gubernur Sumatera Utara, yang kini Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Golkar Sumatera Utara. Azis Syamsuddin (Fraksi Golkar) angkat bicara, mempersoalkan kasus dugaan korupsi APBD Langkat dengan tersangka Syamsul Arifin ini. Aziz mempersoalkan KPK hanya menyidik Syamsul Arifin dan menyerahkan tersangka lainnya ditangani oleh kejaksanaan Tinggi (Kejati) Sumatera Utara.

KPK telah menetapkan Syamsul Arifin sebagai tersangka tindak pidana korupsi atas dugaan penyelewenangan APBD Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, pada tahun 2000-2007. Korupsi terjadi saat Syamsul menjabat Bupati Kabupaten Langkat. Jumlah dugaan kerugian keuangan negara dalam kasus ini semula Rp. 102.7 miliyar. Tapi, dalam proses pengusutan, konon Syamsul mengembalikan uang sekitar Rp. 61 miliar sehingga kerugian negara menjadi sekitar Rp. 41 miliyar. Syamsul yang selama ini telah menjadi kader Golkar diusung oleh PKS, PPP, PBB dan sejumlah partai kecil, terpilih sebagai Gubernur Sumatera Utara pada Juni 2008. Pada tahun 2009 ia merapat ke Partai Golkar dan terpilih sebagai Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar Sumatera Utara.

Komisi III saat itu juga mempersoalkan kasus pengadaan sapi impor, mesin jahit dan sarung di Kementerian Sosial dengan tersangka mantan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, seorang politikus senior PPP. Anggota Komisi III DPR dan Fraksi PPP Ahmad Yani menilai penetapan Bachtiar, yang merupakan politikus senior PPP, sebagai tersangka tidak sah.

Bachtiar dijadikan tersangka oleh KPK pada Februari 2010. Saat sebagai Menteri Sosial diduga pada tahun 2006-2007 telah melakukan tindak pidana korupsi atas tiga kasus, yakni 1. kasus pengadaan sarung tahun 2006-2007; 2. kasus pengadaan sapi impor tahun 2006; dan, 3. kasus pengadaan mesin jahit tahun 2004. Untuk kasus pengadaan sapi impor dan mesin jahit, diduga Bachtiar Chamsyah telah merugikan keuangan negara Rp. 37,8 miliyar. Untuk kasus pengadaan sarung, KPK masih menghitung angka kerugian negara. Bachtiar Chamsyah adalah seorang anggota elite terpuncak PPP, dan tatakala dijadikan tersangka menjabat sebagai Ketua Majelis Pertimbangan Pusat (MPP) PPP.

KPK telah memeriksa anggota DPR Amrun Daulay dari Fraksi P. Demokrat dalam kaitan dengan kasus yang menimpa Bachtiar Chamsyah. Amrun Daulay diperiksa sebagai saksi dalam kapasitas sebagai Direktur Jenderal Jaminan dan Bantuan Sosial Departemen Sosial saat Bachtiar sebagai Menteri di Departemen tersebut.

Dalam RDP itu Komisi III DPR juga mendesak KPK menghentikan skandal penyuapan dan gratifikasi pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia Miranda Gultom. Sejumlah anggota DPR diduga telah terlibat, beberapa sudah dan sedang diproses di pengadilan Tipikor, yakni Hamka Yandhu (kader Golkar), Dudhie Makmun Murod (kader PDIP), Udju Djuhaeri (mantan anggota Fraksi TNI/Polri) dan Endhin Soefihara (kader PPP). Hamka Yandhu mantan anggota DPR dari Fraksi Golkar dalam suatu sidang pengadilan Tipikor Jakarta (11 Mei 2010) menyampaikan pembelaan. Ia mengaku, telah menerima sepuluh lembar cek perjalanan/pelayat dan membagi-bagikan kepada teman-temannya di Fraksi Golkar. “Saya akui menerima cek perjalanan senilai Rp. 1,5 miliar dibagi-bagikan ke teman-teman.” Anggota DPR menilai bahwa lebih baik menyelesaikan kasus Bank century terlebih dahulu, baru kemudian kasus-kasus lainnya.

RDP antara Komisi III DPR dengan KPK ini telah mengundang kritikan dan kecaman dari berbagai fihak, termasuk aktivis demokrasi dan media massa. Menurut Koran JAKARTA (3 Mei 2010), Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia Boyamin Saiman menilai, tindakan sejumlah anggota Komisi III DPR meminta KPK menghentikan sejumlah kasus sudah merupakan bentuk makelar kasus. “Patut diduga ada titipan pada pertanyaan-pertanyaan para anggota DPR tersebut. Kalau satu partai jelas memiliki kepentingan. Kalau beda partai, diduga titipannya uang”, kata Boyamin.

Sementara itu, Editorial Harian Media Indonesia (3 Mei 2010) antara lain mengecam, pembelaan terhadap tersangka kasus korupsi itu semakin memperlihatkan DPR bukan hanya lembaga terkorup, sebagaimana penilaian yang dilansir oleh “Transparancy International Indonesia” pada 2009, tetapi juga lembaga “bunker” bagi maling uang negara. “Kasus-kasus korupsi yang dihadapi anggota DPR memperlihatkan penjarahan uang negara tidak dilakukan secara individual, tetapi beramai-ramai dilakukan anggota DPR,” tandas Editorial ini.

Penilaian negatif atas perilaku Komisi III DPR di atas umumnya terkait dengan intervensi politik DPR terhadap KPK yang melanggar peraturan perundang-undangan antara lain UU No. 30 tahun 2020 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya pasal 3; dan, UU No. 27 tahun 2009 tentang MPR,DPR, DPD dan DPRD, khususnya pasal 69. Disadari atau tidak, anggota DPR sedang melakukan intervensi politik terhadap KPK yang dikhawatirkan dapat menjadi preseden buruk di DPR. Padahal, UU No. 30 tahun 2002,pasal 3, menyatakan bahwa KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenang bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Karena itu, intervensi dalam bentuk apapun terhadap KPK bertentangan dengan UU.

Di lahin pihak, DPR telah melewati batas keweanngan sebagai pengawas. UU No. 27 tahun 2009, pasal 68 ayat 1 dengan jelas menyatakan tiga fungsi DPR, yaitu legislasi, anggaran dan pengawasan. Pelaksanaan fungsi ketiga inilah menjadi sorotan publik, mengkhawatirkan sebagai justifikasi untuk intervensi atau campurtangan yang belebihan. Intervensi DPR terhadap KPK soal penanganan kasus korupsi ini pada dasarnya sudah keluar dari jalurnya. DPR telah melewati batas kewenangannya sebagai pengawas.

Data dan fakta lain karakteristik perolehan dana ilegal dalam perspektif politik kartel adalah kasus pengambilan keputusan DPR tentang skandal korupsi Bank Century. Sesungguhnya Indonesia terus tercatat sebagai “juara” di antara negara-negara yang tingkat korupsinya tinggi di dunia. Bahkan, fenomena “state capture corruption”, korupsi sandera negara, telah mengambil tempat semakin meluas, terutama di bawah era reformasi ini. Jenis korupsi yang “paling berbahaya” ini sedang melumpuhkan kemampuan bangsa Indonesia mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Kekuasaan negara seperti Pemerintah (eksekutif), DPR (legislatif) dan Mahkamah Agung (yudikatif) secara sadar atau tidak telah membuat keputusan-keputusan yang merugikan negara dan publik (korupsi) dalam rangka menghamba pada kepentingan korporasi lokal maupun asing (korporatokrasi internasional). Dengan perkataan lain, sebuah korporasi atau gabungan korporasi asing (korporatokrasi internasional) lewat pemerintah yang sedang berkuasa mampu membeli peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah, mendiktekan kontrak harga di bidang-bidang seperti perbankan, pertambangan, pertanian, kehutanan, pendidikan, pertahanan, dll. Akibatnya pemerintah sendiri hanya sekedar kepanjangan tangan korporasi-korporasi besar dan asing.

Menelaah secara cermat skandal korupsi aliran dana publik dari dari LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) ke Bank Century dapat menyimpulkan bahwa skandal ini tergolong “state capture corruption”, korupsi sandera negara, terjadi dalam era pemerintahan SBY (tahun 2004-2009). Sebagai tergolong korupsi raksasa, bagaimanapun, telah melibatkan sejumlah ‘aktor”, termasuk aktor-aktor tertentu dalam pemerintahan (terutama eksekutif dan legislatif), disamping korporasi lokal dan asing. Kebijakan pemerintah tentang aliran dana publik dari LPS ke Bank Century sebesar Rp. 6,7 triliyun tanpa persetujuan DPR-RI dan dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Masalah ini, disamping terkait dana Rp. 6,7 triliyun, menurunkan masalah lain yakni tindak pidana korupsi dalam proses pelaksanaan kebijakan. Diduga, dana tersebut mengalir kepada fihak-fihak yang sesungguhnya tidak berhak untuk menerima. Bahkan dalam sorotan publik diduga sebagian dana “talangan” itu telah digunakan untuk keperluan kampanye pasangan SBY-Boediono dalam Pemilu Pilpres 2009.

Tindak lanjut issu Bank Century ini terbentuk suatu Pansus Bank Century di DPR, yang mengundang sorotan publik paling besar sepanjang tahun 2009 dan awal 2010. Puncaknya adalah pemungutan suara rapat paripurna DPR untuk menentukan dua opsi, yakni opsi A dan opsi C.

Opsi A adalah kebijakan ‘bail out” dan aliran dana tidak bermasalah.
Opsi C adalah kebijakan “bail out” dan aliran dana diduga terdapat penyimpangan sehingga diserahkan kepada proses hukum.

Hasil “voting “ rekomendasi DPR menunjukkan pemilih opsi C lebih banyak ketimbang pemilih opsi A, yakni OPSI A 212 suara (Demokrat, PAN, PKB); oopsi B 325 suara (Golkar, PDIP,PKS,PPP, PKB,Gerindra, Hanura). Hasil pemungutan suara anggota DPR menentukan pilihan yang pada prinsipnya tidak satu pun kader Parpol tertuang dalam catatan hasil rekomendasi sebagai sasaran penegakan hukum.

Mereka telah dan akan diperiksa oleh penegak hukum hanyalah pejabat birokrasi, dominan pegawai Bank Indonesia yang notabenenya bukan kader Parpol. Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Wapres Boediono sebagai sasaran penegakan hukum sebagaimana rekomendasi DPR bukan juga anggota Parpol. Padahal, sebelumnya beberapa anggota Pansus mengungkapkan, adanya dugaan kader Parpol telah menggunakan dana bailout Bank Century. Dugaan sebagian dana “talangan” telah digunakan untuk keperluan kampanye pasangan SBY-Boediono dalam Pemilu Pilpres 2009 menjadi tidak ada jalan untuk membuktikannya karena memang tidak ada kader Parpol pendukung SBY-Boediono direkomendasikan DPR untuk diperiksa oleh penegak hukum (KPK, Kepolisian dan Kejaksanaan). Dengan perkataan lain, DPR berupaya menghindar dari penyingkapan keterlibatan kader Parpol dalam skandal korupsi Bank Century ini. Bagaimanapun, politik kartel telah mewarnai proses pengambilan keputusan DPR tentang skandal korupsi Bank Century.

Setelah skandal korupsi Bank Century mencuat di publik dan DPR mengambil keputusan melalui sidang paripurna terkait dengan rekomendasi/opsi pemecahan masalah, persoalan penegakan hukum atas kasus-kasus korupsi yang menimpa kalangan anggota DPR dari Koalisi Parpol pendukung Pemerintah SBY dan juga PDIP nampaknya kurang mencuat ke publik. Kalaupun ada, menyangkut kasus anggota DPR dari Fraksi PKS, Misbakhun dan salah seorang dari 9 (sembilan) penggagas Pansus Hak Angket Bank Century di DPR. Misbakhun diduga melakukan penyelewengan dokumen melalui LC fiktif terkait dengan Bank Century. Sementara kasus-kasus lain melibatkan kalangan anggota DPR jauh lebih besar dan penting bagi negara seperti “Cost Recovery PT. Pertamina EP yang merugikan negara Rp. 21,85 triliun” dan dugaan korupsi keberangakatan haji nyaris tak terdengar lagi. Jika dibandingkan kasus Bank Century, hanya Rp. 6,7 triliun, maka kasus cost recovery ini jauh lebih besar merugikan negara dan melibatkan bukan saja kalangan eksekutif dan korporasi, tetapi juga anggota DPR yang terlibat membuat keputusan sehingga negara dirugikan. Juga harus dapat memaksa Parpol untuk mengelola diri berdasarkan penegakan prinsip-prinsip demokrasi (good governance).

Kasus Cost Recovery PT. Pertamina EP telah dianalisis dan disimpulkan oleh Marwoto Mitrohardjono (Almarhum), Anggota DPR RI dari Fraksi PAN sebagai berikut:

1.Klaim cost recovery PT. Pertamina EP sebesar Rp. 21,85 triliun untuk tahun 2004 sampai dengan 2008 tidak dapat dipertanggungjawabkan baik secara akuntansi maupun secara legalitas (hukum) sehingga merugikan negara sebesar Rp. 21,85 triliun. Menurut Marwoto, temuannya tentang kesalahan akuntansi ini telah diakui baik oleh wakil-wakil dari Departemen Keuangan, Departemen ESDM, BP Migas maupun PT Pertamina (Persero) dalam rapat Panitia Anggaran DPR pada waktu itu.

2.Cost recovery yang telah dibayarkan melalui APBN tahun anggaran 2004, 2005, 2006 dan 2007 dengan perhitungan sejak penetapan aktiva PT Peramina (Persero) perposisi tanggal 17 September 2003 yang belum diaudit/unaudited sampai dengan 31 Desember 2007 mencapai sebesar US$ 2,327 juta (dua miliyar tiga ratus dua puluh tujuh juta dolar). Terkait dengan masalah ini, Marwoto mengusulkan agar cost recovery telah terlanjur dibayarkan sebesar US$ 2,327 juta tersebut segera ditarik kembali ke APBN secepatnya. Tetapi, menurut Marwoto, usulannya ini tidak mendapat persetujuan sepenuhnya dalam rapat Panitia Anggaran DPR.

3.Tidak tertutup kemungkinan penyimpangan akuntansi maupun legalitas (hukum) dalam masalah klaim cost recovery oleh KPS-KPS lain selain PT Pertamian EP potensial bisa merugikan negara. Untuk ini, Marwoto menganggap perlu dilakukan audit investigasi juga.

Issue dugaan korupsi keberangkatan haji sudah muncul menimpa DPR belum usai suasana lebaran Oktober 2008. Salah seorang anggota DPR, Soeripto, membeberkan issue ini kepada wartawan Detikcom (Oktober 2008). Menurut Soeripto, korupsi untuk masalah haji ini terbilang dahsyat. Selain nominalnya besar, paling utama para pelakunya tidak mempunyai belas kasihan terhadap rakyat kecil yang sudah susah mengumpulkan uang. Kasus korupsi ini telah melibatkan anggota DPR, dilakukan secara besar-besaran setiap tahunnya. “Saya menilai ini sudah keterlaluan sekali karena menipu rakyat yang sudah mengumpulkan uang demi kepingin berangkat haji”, tandas Anggota Komisi III DPR periode 2004-2009 dari Fraksi PKS ini sembari ingin mengetuk pintu hati kawan-kawan anggota DPR di Komisi VIII untuk tidak tergoda dengan permainan mafia haji.

Soeripto menyatakan, korupsi ini terjadi di Komisi VIII karena komisi tersbut merupakan pengawas pelaksanaan haji. Data korupsi ini hanya untuk ONH (Ongkos Naik haji) saja, bukan ONH Plus. Ada 187 ribu orang yang menunaikan ibadah haji. Jika ONH saja dikenakan Rp. 40 juta, berapa yang mereka terima jika sebenarnya harga ONH tersebut hanya separuhnya?. Untuk lebih jelasnya, Soeripto mengajak untuk membandingkan dengan Malyasia. Karena ONH di Malaysia tidak berbeda jauh dengan di sini namun karena banyak catutan maka jadi membengkak dua kali lipat. “Kalau tidak salah di Malaysia untuk ONH sekitar Rp. 20 juta”, kilahnya. Hingga kini, issue korupsi penyelenggaraan haji yang melibatkan anggota Komisi VIII sebagaimana dimaksud Soeripto masih juga belum tekuak di pengadilan atau ditangani penegak hukum.

Data dan fakta di atas menunjukkan DPR menerapkan standar ganda. Di satu sisi, sangat keras menuntut agar kasus korupsi dibongkar, tetapi di sisi lain cenderung menjadi “pembela” koruptor. DPR sangat gencar mendorong KPK mengusut Wapres Boediono dan Menkeu Sri Mulyani, tetapi dalam kasus dugaan korupsi yang melibatkan kader Parpol, DPR cenderung membela, bahkan secara resmi meminta KPK menghentikan pengusutan kasus korupsi yang melibatkan anggota Parpol. Sikap DPR semacam ini oleh sebagian pengamat politik, memperlihatkan parlemen masih menjadi bungker koruptor dari Parpol.

Sikap resistensi sejumlah fraksi di DPR menjadikan aktor paling menghambat pemberantasan korupsi yakni pihak DPR. Hasil pencatatan dan pengamatan ICW dari tahun ke tahun menunjukkan setidaknya enam argumen yang mendukung pernyataan ini:

Pertama, sikap serangan balik dan bahkan rencana revisi kewenangan penyadapan pada UU KPK pasca mulai banyak anggota DPR yang diperiksa dalam kasus korupsi. Kedua, penghapusan eksistensi Hakim Ad Hoc pada revisi kedua UU Mahkamah Agung. Ketiga, soal BPK tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan audit. Keempat, sikap pro status quo mayoritas ftaksi untuk memperpanjang usia pensiun Hakim Agung menjadi 70 tahun, yang sama saja sebagai sikap anti perubahan, anti regenerasi dan perbaikan kekuasaan kehakiman. Kelima, upaya mempertahankan klausal kewajiban adanya izin pemeriksanaan bagi anggota MPR,DPR, DPD dan DPRD dalam proses pemeriksaan tindak pidana. Berlindung di balik logika “imunitas legislatif” sikap itu justru menganulir asas semua orang dianggap sama di depan hukum dan mengarah pada strategi kebal hukum. Keenam, lembatnya pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda