Senin, 28 Desember 2009

Kebangkitan Perempuan dalam Perspektif Sosial Politik

KEBANGKITAN PEREMPUAN
DALAM PERSPEKTIF SOSIAL POLITIK

Oleh:

MUCHTAR EFFENDI HARAHAP
(Ketua Yayasan NSEAS, Jaringan Studi Asia Tenggara)

Cacatan Penulis:
Makalah ini telah disampaikan oleh Penulis pada Lokakarya Sehari, Wanita Persatuan Pembangunan (WPP) bertema: “Optimalisasi Peran Politik Perempuan yang Mandiri dan Bermartabat”, Jakarta, 26 Desember 2009.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------


1.Makna Kebangkitan Perempuan.

Kebangkitan perempuan dapat dimaknakan meningkatnya kesadaran perempuan akan peran, status dan partisipasi dalam politik pemerintahan, masyarakat madani dan dunia usaha. Dalam perspektif social politik, kebangkitan perempuan tergambar misalnya, dari sejarah organisasi-organisasi perempuan atau kegiatan Kongres Perempuan Indonesia I (KPI) 22-25 Desember 1928, Yogyakarta. Kongres yang dihadiri hampir 30 organisasi perempuan merupakan fondasi pertama gerakan perempuan dan sebagai upaya konsolidasi organisasi perempuan di Indonesia. Mereka sudah sadar akan status dan keberadaan dalam masyarakat dan politik, serta peran dibutuhkan untuk suatu tujuan.

Kebangkitan perempuan adalah bagian kebangkitan nasional. Tidak pernah absen dalam berbagai macam peristiwa pada masa pergerakan kemerdekaan (1908-1928), kolonial (1928-1945), revolusi (1945-1950), Orde Lama (1950-1965), peralihan (1965-1967), Orde Baru (1967-1998), dan Era Reformasi (1998-kini). Cita-cita kebangkitan perempuan berangkat dari “realitas obyektif perempuan” pada masanya.

2.Pendekatan Gender dan Perspektif Sosial Politik.

Pada era reformasi, Indonesia dilanda gelombang demokratisasi. Cita-cita kebangkitan perempuan sangat terkait dengan penegakan prinsip demokrasi: partisipasi, kesetaraan (nondiskriminatif), transparansi, akuntabilitas publik, dll. Cita-cita penegakan partisipasi dan kesetaraan (nondiskriminatif) telah ditegaskan dalam pendekatan gender.

Istilah “gender” kemudian menjadi populer, bermakna hubungan sosial antara perempuan dan laki-laki. Gender merupakan istilah digunakan untuk menjelaskan perbedaan perempuan dan laki-laki dalam hal peran, tanggungjawab, fungsi, hak, sikap dan perilaku yang telah dikonstruksikan sosial budaya, dan dapat berubah-ubah sesuai zaman. Keadilan dan kesetaraan gender dapat dicapai dalam sejumlah aspek kehidupan manusia melalui kebijakan, program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki-laki. Dalam proses demokratisasi, pendekatan gender menghendaki:

a.Adanya relasi yang seimbang antara perempuan dan laki-laki dalam pengambilan keputusan yang akan berdampak pada kedua pihak.. Setiap kebijakan politik sebagai landasan dalam penyelenggaraan pemerintahan harus menjamin kaadilan dan kepedulian terhadap kepentingan para pihak (perempuan dan laki-laki) yang terkena dampak implementasi kebijakan itu.
b.Adanya kesempatan yang sama (prinsip partisipasi dan kesetaraan) yang sama antara semua anggota masyarakat (perempuan dan laki-laki) dalam memberikan pendapat dan juga mendapatkan informasi. Partisipasi politik perempuan merupakan salah satu prasyarat terlaksanannya demokrasi. Tidak ada demokrasi seungguhnya jika masih terdapat pengingkaran kesamaan kesempatan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
c.Adanya peran politik perempuan dalam mendorong kebijakan berkeadilan sosial, terutama berkaitan dengan kehidupan perempuan, dapat melindungi kepentingan kaum perempuan dari berbagai bentuk kekerasan baik domestik maupun publik.

3.Perempuan di dalam Masyarakat Madani.

Dalam era reformasi ini proses demokratisasi telah menjadikan sasaran yakni pemerintahan, dunia usaha dan masyarakat madani. Karena itu, kebangkitan perempuan bermakna kebangkitan di bidang pemerintahan, dunia usaha dan masyarakat madani. Dalam perspektif sosial politik, kebangkitan perempuan dimaksudkan yakni meningkatnya kesadaran perempuan akan status, peran dan partisipasi di dalam “masyarakat madani” dan ”pemerintahan”. Beberapa karakteristik “masyarakat madani” sbb:

a. Hubungan warganegara dan negara:
•Warganegara terbebas dari perilaku kekerasan negara.
•Kelompok masyarakat otonom mengartikulasikan kepentingan/ keyakinan berbeda dengan institusi negara.
•Warganegara memiliki hak-hak sipil/politik tanpa rasa takut mengeskpresikan diri tentang masalah politik ekonomi, mengkritik rezim, tatanan sosio-ekonomi, ideologi yang berlaku.
•Warganegara berhak/bebas membentuk assosiasi/organisasi relatif independen dalam rangka memperjuangkan kepentingan mereka.
b.Perangkat relational networks (jaringan hubungan) atas dasar:
•Keluarga.
•Kepercayaan, kepentingan, ideologi terpisah dari negara.
c.Partisipasi masyarakat dalam pembuatan keputusan negara: memberikan kemungkinan penguatan rakyat tingkat “akar rumput”.
d.Memberikan landasan kokoh kehidupan demokrasi.
e.Kebebasan warganegara berpartisipasi membangun kebudayaan/peradaban, termanifestasi dalam bentuk partisipasi aktor:
•Parpol , Pers/Media massa, NGOs.
•Organisasi Masyarakat: Keluarga, Perkumpulan, Assosiasi, dll.

Masyarakat madani (civil society) bermakna bahwa terdapat suatu ruang kehidupan kelompok warganegara (perempuan dan laki-laki) yang dapat bergerak dan menegakkan eksistensi mereka, terbebas dari perilaku militeristik dan kekerasan negara. Kelompok warganegara ini saling bekerjasama dalam membangun masyarakat madani yang berkeadilan sosial dan menghormati hak-hak orang lain.

Di dalam masyarakat madani, hubungan perempuan dan negara harus ditandai adanya kelompok-kelompok perempuan otonom dalam mengartikulasikan kepentingan dan keyakinan mereka yang berbeda dengan institusi-institusi negara. Terdapat pula perangkat jaringan hubungan (relational networks) yang terbentuk berdasarkan keluarga, kepercayaan, kepentingan, dan ideologi perempuan terpisah dari negara .

Masyarakat madani bermakna adanya partisipasi perempuan dalam proses pembuatan keputusan negara, yang pada hakekatnya memberikan kemungkinan terhadap penguatan perempuan pada tingkat “akar rumput” (grass-root), dan memberikan landasan yang kokoh terhadap kehidupan demokrasi. Masyarakat madani menghendaki terbentuknya suasana kebebasan warga negara untuk berpartisipasi dalam membangun kebudayaan dan peradaban, yang termanifestasi dalam bentuk partisipasi aktor demokrasi seperti Parpolpolitik, pers/media massa, organisasi non-pemerintah, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan organisasi-organisasi masyarakat, keluarga, perkumpulan, asosiasi, dll. yang memungkinkan hubungan yang berdaya terhadap negara.

Di dalam masyarakat madani, individu dan kelompok perempuan sebagai institusi demokrasi relatif berkembang dan kuat. Langsung atau melalui institusi demokrasi ini perempuan memiliki hak-hak sipil dan politik, dan tanpa rasa takut berhak mengeskpresikan diri tentang masalah-masalah politik ekonomi, termasuk mengkritik pejabat, pemerintah, rezim, tatanan socioekonomi, dan bahkan ideologi perempuan yang berlaku. Para perempuan berhak dan bebas untuk membentuk asosiasi dan organisasi perempuan relatif independen dalam rangka memperjuangkan kepentingan perempuan.

Di dalam masyarakat madani menuju masa transisi demokrasi, diperlukan pengembangan dan penguatan institusi, aktor dan kelompok aksi perempuan yang berdaya terhadap perilaku militeristik dan kekerasan negara. Kebijakan politik yang perlu diambil untuk itu adalah pembaruan tata pengaturan masyarakat madani berdasarkan pelaksanaan dan penegakan prinsip partisispasi, kesetaraan, transparansi, akuntabilitas publik, dll.

4.Perempuan dalam Politik.

Demokratisasi menuntut perubahan dari pemerintahan (legislatif, eksekutif dan yudikatif) tidak partisipatif, tidak adil, tidak transparan dan tidak akuntabel bagi publik (warganegara) ke arah partisipatif, adil, transparan dan akuntabel bagi publik; dari pemilu yang tidak kompetitif, tidak bebas dan tidak jujur ke arah yang kompetitif, bebas dan jujur. Sementara pada negara yang otoriter, peranan institusi pemerintahan (negara) sangat dominan dan tidak menegakan prinsip demokrasi dan juga tidak terdapat pemilu yang kompetitif , bebas dan jujur.
Dalam era reformasi, sebagian kaum perempuan menilai, tahun 2008 sebagai tahun kebangkitan dan tonggak sejarah perempuan Indonesia dalam politik. Sebabnya, di awal tahun 2008 DPR-RI telah merumuskan 2 (dua) UU bidang politik, yakni UU No.2 tahun 2008 tentang ParpolPolitik dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. Kedua UU itu menggariskan jelas dan tegas mengenai 30 % keterwakilan perempuan dalam politik sebagai ketentuan hukum. UU No. 2 Tahun 2008 menggunakan “affirmative action” terhadap perempuan, yakni dalam kepengurusan Parpol di semua tingkatan, terdapat perempuan minimal 30 %. Affirmative action sering didefinisikan sebagai langkah strategis untuk mengupayakan kemajuan prinsip kesetaraan dan kesempatan yang lebih bersifat substantif—bukan sekedar formalitas, bagi kelompok2 seperti kaum perempuan atau minoritas kesukuan saat ini kurang terwakili di posisi menentukan di masyarakat.

UU No. 10 Tahun 2008 menggunakan “zipper system”, yakni penempatan 30 % calon perempuan dalam daftar calon tetap. Kedua UU ini diharapkan dapat mendorong kandidat perempuan mempunyai peluang terpilih lebih besar dalam Pemilu 2009. Daftar calon semacam ini juga sebagai respon atas gejala pengerucutan kehendak ke arah sistem proporsional terbuka terbatas yang berpotensi menutup partisipasi perempuan lebih banyak dalam parlemen. Dengan sistem zipper, kemungkinan kursi yang bisa diduduki perempuan menjadi lebih banyak.

Affirmative action adalah tindakan perlakuan khusus sementara dan “temporary special action”. Tindakan affirmatif sebenarnya issue masyarakat madani mulai mencuat sejak 2 Februari 2003 saat sidang paripurna DPR. Tindakan affirmatif jangka panjang harus mengkontekstualisasikan dengan kultur Indonesia dan kualitas perempuan dalam keterwakilan politik.

Kehadiran perempuan sangat diharapkan dalam mewarnai parlemen/legislatif, salah satunya agar lembaga ini dapat menghasilkan kebijakan yang tidak lagi “bias gender”.

5.Kemajuan dan Kendala

A. KEMAJUAN

Pemerintah Indonesia telah meratifikasi: (1) CEDAW (The Convention on the Elemination of All Forms of Discrimination Against Women0, Konvensi Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan; (2) The Convention of Political Rights for Women (Konvensi tentang Hak-hak Politik Perempuan). Berdasarkan ratifikasi dua konvensi ini, Pemerintah Indonesia wajib melaksanakan setiap pasal konvensi secara maksimal. Peraturan dan kebijakan negara harus memberikan keuntungan bagi perempuan dan tidak melestarikan budaya patriarkis.
Keterlibatan perempuan dalam politik masyarakat madani dan pemerintahan (legislatif, eksekutif dan yudikatif) sudah tidak terhindarkan lagi. Dalam politik masyarakat madani, kualitas kinerja perempuan mengalami kemajuan dari masa ke masa. Semakin meluas kebebasan dan keterbukaan bagi kaum perempuan untuk mengaktualisasikan diri mereka di ranah publik. Dalam pemerintahan, bahkan partisipasi perempuan semakin terlihat sebagai pemimpin lokal (Gubernur/Walikota/Bupati).
Jika mengacu pengalaman Pemilu 2004, dapat dilihat bahwa perempuan sebenarnya mempunyai pengaruh suara yang signifikan dalam pengumpulan suara bagi Parpolnya. Bahkan ada beberapa Parpol, Caleg perempuan memperoleh suara terbanyak, tetapi terpaksan harus “menyerahkan” suaranya kepada Caleg dengan nomor urut di atasanya karena mekanisme internal Parpol dalam penyusunan nomor urut Caleg. Sangat jarang Parpol menempatkan Caleg perempuan di peringkat “atas”. Proses “eleminasi” semakin diperkuat dengan pemberlakuan BPP (Bilangan Pembagi Pemilih). Hal ini berakibat menghambat dan merugikan Caleg nomor urut “tengah-bawah” untuk memperoleh kursi. Namun, di lain fihak, sesungguhnya perempuan mempunyai kemampuan bersaing memenangkan pemilihan.
Hingga kini partisipasi perempuan di legislatif (DPR-RI) masih minim, namun semakin banyak dari masa ke masa. Gambaran keterwakilan perempuan di DPR sbb:

TABEL KETERWAKILAN PEREMPUAN
DI DPR-RI
PERIODE
THN JLH KURSI ANG.
PEREMPUAN %
1982-1987 460 39 9
1987-1992 500 65 13
1992-1997 500 62 13
1997-1999 500 54 11
1999-2004 500 45 9
2004-2009 550 61 12
2009-2014 560 102 18

Tabel di atas menunjukkan peningkatan keterwakilan perempuan dalam politik (DPR) relatif lambat. Quota 30 % memang digugurkan dan berganti dengan pemilihan langsung. Ternyata menghasilkan persentase lebih besar bagi perempuan di parlemen. Dari 12 % Pemilu 2004 menjadi 18 % Pemilu 2009 saat pemilih mencontreng langsung nama Caleg. Kenaikan ini memang memberikan rasa optimisme akan dampak kehadiran perempuan.
Keterwakilan perempuan dalam DPD (Dewan Perwakilan Daerah) hasil Pemilu 2004 mencapai 27 orang dari 128 anggota. Sedangkan hasil Pemilu 2009 telah mencapai sekitar 35 orang (mencapai 30 %). Walaupun pertambahan anggota perempuan relatif sedikit dari Pemilu 2004 ke Pemilu 2009, hampir semua propinsi memiliki anggota DPD perempuan.

B. KENDALA

Masih banyak Parpol kesulitan memenuhi quota 30 % perempuan dalam Daftar Caleg. Setidaknya ada 10 Parpol hanya mampu memenuhi Quota 27 %. Dari sisi perempuan, masih banyak ditemukan Caleg perempuan tidak memiliki dukungan massa, kemampuan keuangan serta rendahnya pengalaman politik. Juga acapkali muncul keluhan Parpol, sulitnya mencari kader perempuan yang berkualitas. Hal ini lebih diperparah dengan kenyataan bahwa kaderisasi perempuan di tubuh Parpol masih sangat kurang.
Parpol dianggap masih sangat kurang memiliki komitmen untuk mendorong perempuan masuk dan terpilih dalam lembaga politik formal. Kepengurusan di Parpol masih didominasi laki-laki, kalaupun ada perempuan bukan di posisi strategis. Masuknya perempuan dalam kepengurusan Parpol masih belum mampu memberikan warna perubahan yang lebih baik bagi keterlibatan dan peran perempuan dalam proses pengambilan keputusan.
Minimnya keterwakilan perempuan dalam kepengurusan Parpol berpengaruh pada kebijakan yang diambil Parpol khususnya dalam impelementasi UU Pemilu (Quota 30% perempuan). Sebuah sumber menunjukkan hasil riset 2004: 90 % pengurus Parpol ternyata tidak sepenuhuhnya memahami visi dan misi Perpol. Artinya, proses pendidikan politik dan mekanisme pengkaderan dalam tubuh Parpolmasih lemah.
Kebijakan internal Parpol terhadap Caleg perempuan khususnya (anggota perempuan umumnya) dianggap tidak mendukung secara sungguh-sungguh dan jujur. Perempuan cenderung didukung hanya untuk dijadikan alat oleh Parpol untuk memenuhi Quota di tahap awal. Sedangkan di tahap selanjutnya dukungan diberikan kepada laki-laki. Hal ini tampak pada pemberian nomor urut “besar” dan Dapil (Daerah Pemilihan) yang bukan daerah binaan atau masa Caleg.
Menjelang pelaksanaan Pemilu 2009, setelah Keputusan MK (Mahkamah Konstitusi), penentuan caleg duduk di kursi telah dimiliki Parpol berdasarkan metode suara terbanyak, bukan nomor urut. Keputusan 30 % perempuan Caleg sesuai urutan nomor berdasarkan sistem zipper, menjadi tidak relevan dan tidak serta mereta menjamin perempuan berpeluang lebih banyak untuk terpilih. Keterlibatan Caleg perempuan tidak membawa pengaruh banyak karena peluang terpilihnya juga kecil mengingat kenyataan, para aktivis perempuan tidak terlibat dalam Parpol dari awal, tidak ikut membangun konstituen, sehingga praktis memiliki basis massa kurang.
Ketewakilan perempuan dalam legislatif tidak serta merta akan mampu menyuarakan kebutuhan dan kepentingan perempuan. Bagaimanapun setiap Caleg yang bertarung pada proses Pemilu membawa kepentingan dan agenda Parpol sehingga seorang Caleg perempuan terpilih akan berada di posisi sulit guna menentukan kepentingan siapa yang harus diperjuangkan, apakah kepentingan Parpol, kepentingan konstituen ataukah disuarakan mengingat Parpol yang telah mengantarkan seorang Caleg masuk menduduki kursi legislatif. Bahkan, Parpol peserta Pemilu 2009 dan pemilu sebelumnya tidak mengangkat issue perempuan sebagai issue vital dalam program sosial politik mereka.
Perempuan sebagai salah satu kelompok minoritas sampai saat ini masih berada dalam posisi subordinat dibandingkan laki-laki. Meskipun secara kuantitatif mereka lebih banyak tetapi hal ini tidak berarti ada jaminan terhadap hak-hak mereka,. Partisipasi perempuan dalam politik masih rendah. Faktor budaya merupakan salah satu penghambat perempuan untuk tampil dalam forum publik. Perempuan kurang semangat tampil beda dan kurang berani menerima tantangan dan persaingan politik.
Partisipasi laki-laki dalam publik sangat kuat dan menentukan setiap keputusan yang diambil meskipun itu menyangkut kehidupan perempuan. Hal itu menepatkan posisi perempuan semakin termarginalkan, terutama dalam partisipasi politik semata-mata karena mereka adalah perempuan. Inilah yang disebut diskriminasi berbasis gender.
Banyak suara yang meragukan mengingat legislator perempuan saat ini adalah mereka yang sebelumnya tidak memiliki pengalaman terjun dalam aktivitas politik atau organisasi kemasyarakatan. Bahkan, terdapat penilaian, umumnya mereka dari “kelas menengah-atas”, sangat jarang yang jatuh ke “kelas bawah” (bahkan belum ada). Pada umumnya, meskipun lapisan sosial ini memiliki tingkat pengetahuan dan pendidikan tinggi, akan tetapi biasanya kurang peka dan kurang terikat secara organik dengan massa perempuan di akar rumput.
Jajak Pendapat Litbang “KOMPAS”, 16-17 Desember 2009, (874 responden usia minimal 17 thn di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Padang, Pontianak, Banjarmasin, Makasar, Manado dan Jayapura, metode pencuplikan sistematis Buku Telepon), menunjukkan:
a.Mayoritas (58,9 %) responden merasa tidak puas tentang kinerja mereka di parlemen periode 2004-2009 saat ini.
b.Mayoritas (61%) responden menilai anggota parlemen perempuan belum banyak berperan aktif di parlemen. Kiprah perempuan masih kalah dibandingkan politisi laki-laki. Tetapi, mayoritas responden masih optimis, politisi perempuan di parlemen masih dapat mampu berkiprah lebih baik.
c.Sebanyak 61,7 % responden mengaku, mereka pernah mendengar para politisi perempuan di DPR saat ini memperjuangkan nasib perempuan di Indonesia.
d.Mayoritas (63,8 %) responden menilai, dalam dunia politik Indonesia masih ada perlakuan diskriminatif terhadap perempuan.
e.Dari 102 perempuan di parlemen saat ini, 94 orang telah mengenyam pendidikan setidaknya sarjana. Hanya 8 (delapan) perempuan yang lulus SMA. Hanya 1 (satu) aktivis yang lolos masuk parlemen. Sebagian besar berasal dari kalangan dinasti politik, pengusaha atau keluarga pengusaha, dan kalangan artis.

6. Apa seyogyanya Kaum Perempuan Lakukan?

Perlu adanya gerakan untuk mendesakkan keadilan dan kesetaraan bagi perempuan di segala bidang. Untuk itu, penting partisipasi pertempuan dalam sosail politik karena yang sungguh-sungguh memahami dan mengerti persoalan dan kondisi perempuan adalah perempuan itu sendiri.
Perlu diperkuat jaringan perempuan dalam masyarakat madani (Parpol, organisasi kemasyarakatan, LSM,/NGO, assosiasi perempuan, profesional, dll.) dan pemerintahan (legislatif, yudikatif, eksekutif) untuk terus menerus berpartisipasi dan berperan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan, kebijakan politik, dan ketentuan-ketentuan yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki-laki (pendekatan gender). Diharapkan, kehadiran perempuan dalam setiap organisasi masyarakat madani dan pemerintahan bisa lebih berperan nyata dalam memperjuangkan masuknya issue-issue dan perspektif perempuan mewarnai lebih banyak substansi kebijakan-kebijakan politik.
Kalangan aktivis perempuan seyogyanya terus menerus mengkampanyekan dan melakukan pendidikan politik terhadap masyarakat madani untuk percepatan demokratisasi sehingga prinsip-prinsip demokrasi (partisipasi, kesetaraan, transparansi, akuntabilitas`publik, dll) ditegakkan secara`konsisten dan konsekuen sehingga status, peran dan partisipasi perempuan dalam masyarakat madani dan pemerintahan semakin setara (tidak subordinat) dengan kaum laki-laki.
“Dan lainnya”.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda