Minggu, 20 Desember 2009

Pemakzulan Presiden SBY: Mungkinkah?

OLEH
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP






Salah satu issue nasional terkait dengan skandal Bank Century dan Kriminalisasi KPK adalah kemungkinan pemakzulan (impeachment) Presiden SBY. Issue nasional ini belakangan ini muncul menjadi polemik di media massa dan forum diskusi tentang pemakzulan (impeachment) Presiden SBY terkait skandal Bank Century dan kasus kriminalisasi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).

Sekalipun telah terjadi beragam pemikiran/pendapat, namun terdapat kesamaan bahwa berdasarkan UUD 1945, terutama Pasal 7B ayat (1), di Indonesia memungkinkan terjadinya pemakzulan (impeachment) Presiden dan/atau Wakil Presiden. Presiden dapat ”dilengserkan” dengan dua sebab: pertama, melakukan pelanggaran hukum (lima jenis); kedua, tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Lima jenis pelanggaran hukum dimaksud yakni 1. pengkhianatan terhadap negara, 2. korupsi, 3. penyuapan, 4. tindak pidana berat lainnya atau 5. perbuatan tercela. Sesungguhnya jenis pelanggaran hukum tidak terlalu memunculkan masalah, kecuali frasa perbuatan tercela” karena sangat interpretative atau multitapsir.

Masalah utama dalam polemik yakni: “mungkinkah Presiden SBY dimakzulkan karena kasus Bank Century dan kriminalisasi KPK?” Masalah utama ini telah mendapat paling tidak dua kelompok jawaban. Kelompok pertama umumnya berdasarkan pertimbangan politik kekuasaan, menyatakan “tidak mungkin”. Berbagai argumentasi/alasan telah diajukan mereka, antara lain, tudingan yang menyebutkan usulan hak angket BANK CENTURY serta kasus kriminalisasi KPK bertujuan untuk memakzulkan Presiden SBY tidak memiliki logika dan aturan hukum yang kuat. Pemakzulan Presiden SBY dianggap sebagai isu jalanan dan terlalu jauh.

Bagi kelompok padangan pertama (tidak mungkin), sekarang mekanisme pemakzulan Presiden tidak semudah masa Gus Dur masih menjadi Presiden. Pasalnya? Berdasarkan UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, mekanisme pemakzulan berubah. Jika ditemukan pelanggaran dari Pemerintah atas kebijakan tertentu, DPR bisa menggunakan “hak menyatakan pendapat”. Level hak menyatakan pendapat ini jauh lebih tinggi ketimbang hak angket. Sebagaimana Tata Tertib DPR mengatur, tindak lanjut atas keputusan DPR tentang penggunaan hak angket ialah menyampaikan ”hak menyatakan pendapat” atas keputusan hasil penyelidikan melalui penggunaan hak angket.

Dengan perkataan lain, telah diatur hak menyatakan pendapat untuk menduga, ”Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”. Untuk menggunakan hak menyatakan pendapat, DPR akan membentuk pansus lagi dan menyatakan bakal memakzulkan Presiden. Tapi dalam memutuskan pemakzulan atau tidak, masih menunggu rekomendasi MK (Mahkamah Konstitusi).

Ketentuan Pasal 7B ayat (1) UUD 1945 sesungguhnya belum pernah dipraktekkan dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Kalau pendapat DPR bahwa benar hal itu terjadi maka MK yang harus memutuskan apakah pendapat itu terbukti atau tidak. Kalau MK memutuskan memang terbukti, DPR menyelenggarakan Sidang Paripurna untuk meneruskan usul pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR (Pasal 7B ayat 5 UUD 1945 juncto Pasal 190 Peraturan Tata Tertib DPR). Faktor sangat menentukan pemakzulan adalah proses politik di sidang majelis MPR. Sekalipun investigasi Panitia Angket DPR berhasil mengajukan data dan fakta, lalu MK memutuskan bahwa Presiden telah melanggar hukum sesuai dengan UUD 1945, terutama Pasal 7B ayat (1), namun bisa saja proses politik di MPR memutuskan tidak memakzulkan/mencopot Presiden. Alasan berikutnya diajukan berkaitan dengan UUD, pemakzulan sulit didasarkan pada “pengambilan kebijakan”.

Sementara itu, kelompok kedua yang menilai ”mungkin” dilakukan pemakzulan terhadap Presiden SBY dan Wapres Boediono (Mantan Gubernur BI). Khusus alasan penggunaan hak angket DPR, mereka menilai Presiden SBY dan Wapres Boediono memiliki peran amat besar dan dominan dalam skandal BANK CENTURY. Hal ini terkait dengan issue hukum dan kebijakan penalangan (bailout) sebesar Rp. 6,7 triliyun yang jumlahnya amat fantastis padahal posisi BANK CENTURY sudah dalam pengawasan khusus BI (Bank Indonesia). Kebijakan ini diperkuat oleh Presiden SBY melalui PERPPU No. 4 Tahun 2008. Lebih jauh, pada 26 September 2009, Presiden SBY di Amerika Serikat, menyebutkan bahwa penyelamatan BANK CENTURY pada akhir 2008 adalah demi kepentingan besar yakni menyelamatkan perekonomian nasional. Pernyataan senada diungkapkan Boediono (Wapres). Bahkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah mengakui, Presiden SBY mengetahui proses pengambilan kebijakan bailot BANK CENTURY senilai Rp. 6,7 triliyun itu. Sri Mulyani adalah Pembantu Presiden SBY.

Kelompok kedua (mungkin) menekankan, dominannya peran Presiden SBY membuka peluang hasil investigasi Panitia Angket BANK CENTURY berakhir pada proses pemakzulan sesuai dengan pelaksanaan angket memang ditujukan untuk memakzulkan Presiden. Angket itu penyelidikan untuk pemakzulan, tidak perlu dicemaskan, tidak untuk menangkap ikan “teri”, tetapi “kakap”.

Alasan lain, sebagaimana telah diungkapkan di atas (kebijakan Presiden SBY), kelompok kedua berkaitan dengan diterbitkannya PERPPU No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK), ditetapkan di Jakarta, 15 Oktober 2008, ditandatangani Presiden SBY. Masalahnya, PERPPU ini dalam Bab VIII Pasal 29 menegaskan, Menteri Keuangan, Gubernur Indonesia dan/ atau pihak yang melaksanakan tugas sesuai PERPPU ini tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam PERPPU ini. Rumusan Pasal ini jelas bertentangan dengan Pasal 28 I ayat (2), dan Pasal 28 D ayat (1) Perubahan Kedua UUD 1945.

PERPPU ini dinilai sebagai upaya mempersulit kontrol publik dan cenderung mengarah kepada penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan sempit dan sangat merugikan perekonomian negara, sehingga para perumus PERPPU ini yakni Gubernur BI, Menteri Keuangan dan Presiden SBY harus bertanggungjawab secara hukum. Beberapa penilaian Kelompok Kedua mengenai PERPPU No. 4 Tahun 2008, yakni:

1.Sebagai bukti salah langkah Presiden SBY dalam pembuatan kebijakan ekonomi yang syarat pelanggaran hukum.
2.Tidak memiliki mempunyai kekuatan hukum mengingat PERPPU ini telah ditolak DPR-RI dan inkonstitusional.
3.Pasal 29 cacat hukum/inskonstitusional. Pasal 29 ini menegaskan Menteri Keuangan, Gubernur BI dan/atau pihak yang melaksanakan tugas sesuai PERPPU ini tidak dapat dihukum karena telah mengambil kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam PERPPU ini.
4.Menyatakan kewenangan Presiden hal ikhwal kegentingan yang memaksa, untuk menetapkan PERPPU telah disalahtafirkan secara luas tanpa batasan yang jelas sehingga sangat berbahaya bagi kepentingan bangsa dan Negara.
5.Menyatakan Presiden RI telah menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangannnya dalam pembuatan PERPPU No. 4 Tahun 2008 tentang JPSK.

Penilaian ini sesungguhnya belum merupakan putusan lembaga peradilan semacam MK, namun kelompok kedua berharap Panitia Angket Bank Century memiliki penilaian yang sama. Jika Panitia Angket Bank Century memiliki penilaian semacam ini dan menjadi kandungan pendapat DPR, lalu juga menjadi putusan MK, maka langkah selanjutnya dapat issue hukum ini diproses selanjutnya di MPR untuk diputuskan sebagai dasar pemakzulan Presiden SBY.

Sesuai pengalaman Indonesia, memiliki sejarah panjang kejatuhan pemimpin akibat salah langkah kebijakan ekonomi. Mulai dari pemotongan nilai uang oleh Soekarno, kejatuhan rupiah oleh Soeharto, hingga skandal Bulog yang mengakhiri pemerintahan Gus Dur. Jika kebijakan bailout BANK CENTURY salah langkah, Pemerintah SBY bisa jatuh. Untuk itu, pandangan semacam ini menuntut agar Panitia Hak Angket BANK CENTURY dimemfokuskan diri pada penyelidikan dan pengumpulan data dan fakta yang bisa mengarah pada pemakzulan. Mereka harus mencari tahu: ”benarkah ada kekeliruan kebijakan saat menggelontorkan dana publik Rp. 6,7 triliyun ke BANK CENTURY?”.

Alasan berikutnya bagi kelompok kedua (mungkin) adalah kasus kriminalisasi KPK terkait dengan penerbitan PERPPU No. 4 tahun 2009. tentang Plt Pimpinan KPK. Dinilai, PERPPU ini dapat menghancurkan independensi KPK, prematur dan melawan prinsip-prinsip praduga tak bersalah, menghancurkan KPK secara politik dan psikologis. Mereka menilai, Presiden SBY telah melakukan kriminalisasi KPK melalui antara lain PERPPU yang ditandatanganinya sehingga terjadi penonaktifan dua Wakil Ketua KPK, Bibit dan Chandra. Padahal, status kedua Wakil Ketua itu masih sebagai ”tersangka”, dan publik melalui Tim 8 mengetahui bahwa Kepolisian belum mempunyai bukti hukum cukup untuk menjadikan kedua orang itu sebagai ”tersangka”. Dua Wakil Ketua ini sesungguhnya masih bisa bekerja seperti biasanya.

Polemik seputar pemakzulan Presiden SBY terus berjalan seiring dengan perjalanan Panitia Angket BANK CENTURY dan dinamika politik yang relatif ”tinggi” khususnya setelah Kabinet Indonesia Bersatu II dibentuk oleh Presiden SBY. Sangat penting untuk mencoba mencari jawaban lebih argumentatif dan lengkap dalam perspektif hukum, politik dan sosiologis melalui dialog/diskusi dan penelitian seksama. Pertanyaan lanjut seyogyanya diajukan sebagai berikut: apa yang dapat menjadi justifikasi hukum, politik dan sosiologis atas pemakzulan (impeachment) Presiden SBY dalam kaitannya dengan skandal BANK CENTURY dan fenomena kriminalisasi atau pelemahan KPK?

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda