Sabtu, 12 Desember 2009

Rekayasa Kriminalisasi dan Pelemahan KPK: Kajian Teori Konspirasi

REKAYASA KRIMINALISASI DAN PELEMAHAN KPK :
KAJIAN TEORI KONSPIRASI

Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP



SALAH satu issue utama politik nasional Indonesia awal kepemimpinan SBY-Boediono (Kabinet Indonesia Bersatu ke-2) adalah “pelemahan KPK” sebagai institusi penegak hukum untuk pemberantasan khususnya korupsi super desktruktif dan bersakala Negara. Berbagai indikasi dapat ditunjukkan, antara lain menjadikan Ketua KPK, Antasari, sebagai “terdakwa” dan dua Ketua lainnya, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, dikenal sebagai target “rekayasa kriminalisasi dan pelemahan KPK”. Bahkan, kini implikasi rekayasa kriminalisasi dan pelemahan KPK telah berujung dengan konflik manifest antara Polri (Buaya) dan KPK (Cicak).
Pelemahan KPK ini juga telah menjadi perhatian media asing dan internasional. Bahkan, Koalisi Masyarakat Anti Korupsi Indonesia, melaporkan upaya pelemahan KPK dalam konferensi UNCAC (United Nation Convention Against Corruption) ke-3 di Doha, Qatar, 9-13 November 2009. Koalisi ini menyerahkan laporan independen mengenai kondisi pemberantasan korupsi di Indonesia, yang didistribusikan kepada perwakilan negara peserta, lembaga sejenis KPK dari berbagai negara, media massa internasional dan sejumlah elemen sipil antikorupsi lainnya. Laporan bersisi antara lain kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK (Bibit dan Chandra) sebagai bagian dari skenario pelemahan terhadap KPK. Dilaporkan pula, dukungan politik terhadap KPK sangat lemah, termasuk dukungan Presiden SBY.
Berbagai teori dapat digunakan untuk memahami rekayasa kriminalisasi dan pemelamahan KPK ini, namun kajian ini akan menggunakan teori konspirasi (persekongkolan). Teori ini berusaha menjelaskan, penyebab tertinggi dari satu atau serangkaian peristiwa (pada umumnya peristiwa politik, sosial, atau sejarah) adalah suatu rahasia, dan seringkali memperdaya, direncanakan diam-diam oleh sekelompok rahasia orang atau organisasi yang sangat berkuasa atau berpengaruh. Secara pintas teori konspirasi berkaitan dengan terminologi konspirasi, yakni suatu kesepakatan atau persekongkolan antara dua atau lebih orang untuk melanggar hukum pada suatu saat demi tujuan-tujuan tertentu. Dengan perkataan lain, konspirasi adalah komplotan persekutuan bermaksud melakukan kejahatan atau perkumpulan gelap bermaksud jahat.
Berbagai penjelasan dapat ditemukan tentang teori konspirasi. Salah satunya dijelaskan bahwa teori konspirasi mencoba menjelaskan suatu peristiwa historis atau peristiwa terkini sebagai akibat dari komplotan rahasia yang dilakoni oleh kumpulan orang yang bersatu dan amat berkuasa dalam desain tertentu untuk mewujudkan kepentingan atau cita-cita mereka dalam sebuah organisasi. Pewujudan cita-cita itu biasanya dilakukan melalui fitnah, intrik atau tindakan jahat, bahkan sadis/keji dalam bentuk pembunuhan.
Teori konspirasi selalu muncul manakala ada kejadian yang diliputi tanda-tanya misterius, atau aroma mengejutkan, membingungkan, meragukan, dan prasangka negatif. Lazimnya teori konspirasi hanya muncul dalam peristiwa yang memiliki daya tarik besar, atau memiliki makna historis sangat penting.
Rekayasa kriminalisasi dan pelemahan KPK termasuk kasus yang memiliki daya tarik besar karena posisi mereka sebagai pimpinan KPK yang telah dan sedang melakukan berbagai tindakan hukum terhadap para koruptor dalam kerangka pemberantasan korupsi dan menjadi perhatian publik di Indonesia. Karena itu, kasus ini pun telah mengundang pengamat politik dan juga praktisi hukum untuk menggunakan teori konspirasi.
Kasus Antasari Azhar
Kasus hukum Antasari Azhar, Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang dikaitkan dengan kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, telah mengundang beberapa fihak menggunakan teori konspirasi. Pada intinya kasus Antasari dinilai sebagai hasil konspirasi (persekongkolan) besar, yang bertujuan terutama untuk memperlemah fungsi KPK dalam pemberantasan korupsi, termasuk diantaranya kejahatan ekonomi berskala besar atau korupsi sandera negara (state capture corruption).
Kasus Antasari dinilai juga sebagai upaya kelompok konspirasi untuk tetap mempertahankan dan memperkaya diri secara illegal tanpa terjerat penegakan hukum. Kelompok koruptor ini berupaya terus menikmati kebebasan memperkaya diri dengan cara korupsi. Mereka tidak memang membunuh rakyat secara massal, tetapi tentu saja mereka sudah mempunyai perencanaan strategis dalam jangka panjang untuk terbebas dari jeratan hukum, terutama oleh KPK. Mereka juga memanfaatkan celah-celah hukum yang dapat memperlemah justru fungsi KPK, tidak terkecuali dalam proses penentuan pimpinan KPK melalui DPR-RI. Bisa jadi, Antasari dipilih menjadi Ketua KPK justru dalam kerangka perencanaan strategis kelompok koruptor untuk memperlemah fungsi KPK itu sendiri. Mereka tidak akan membiarkan siapapun dan institusi hukum apapun dapat menjerat mereka sebagai penjahat-penjahat ekonomi negara Indonesia.
Teori konspirasi atas kasus Antasari pada prinsipnya menilai Antasari telah dijebak untuk menjadi “pesakitan” hukum terlibat sebagai pelaku pelanggar hukum untuk tujuan memperlemah fungsi KPK, bukan karena percintaan dengan Rhani Juliani, yang selama ini dibesar-besarkan oleh media massa sebagai bagian dari perencanaan strategis kelompok konspirator/koruptor dimaksud. Dikesankan secara terus menerus Ketua KPK sebagai otak pembunuhan dan bercinta/berselingkuh dengan Rhani, diharapkan KPK tidak mendapat dukungan publik dan menjadi tidak effektif dalam pemberantasan korupsi. Kerja besar KPK selama ini menjadi cepat kehilangan nafas dan mengalami krisis enerji. Padahal agar KPK dapat bekerja effektif dalam pemberantasan korupsi, dukungan public sangat diperlukan. Diumpamakan, jika koruptor sebagai tikus yang mengganggu padi di sawah, maka seluruh penduduk desa dan KPK bersama-sama mengadakan pengepungan tikus. Dukungan publik terhadap KPK bagaikan pengepungan penduduk desa terhadap tikus di sawah tersebut.
Pertama-tama yang mengajukan teori konspirasi ini adalah Kordinator Tim Kuasa Hukum Antasari, Juniver Girsang. Menurutnya, ada skenario besar di balik kasus pembunuhan dan ada pihak lain ingin mengarahkan agar Antasari menjadi tersangka. Selanjutnya datang dari Paranormal Ki Gendeng Pamungkas, menegaskan bahwa kasus Antasari ini merupakan konspirasi yang sontoloyo untuk menghancurkan Antasari dan juga intitusi KPK. Pamungkas mengaitkan kasus ini dengan kondisi KPK saat ini yang tengah menghadapi kasus korupsi berskala sangat besar. Akibat kasus Antasari ini pengungkapan kasus korupsi sekala besar atau “Ikan Kakap” dimaksud menjadi terjegal.
Fihak lebih tegas menggunakan perspektif konspirasi ini adalah Dr. AC Manulang, seorang pengamat inteligen. Baginya, kasus ini tidak jauh atau paling tidak ada hubungannya dengan situasi politik menjelang Pilpres Juli 2009. Fihak tertentu sudah lama merencanakan kasus ini dan masuk perangkap untuk merusak citra KPK. Tujuan lebih besar dari skenario itu adalah menggoyang kredibilitas Presiden SBY yang berkomitmen mendukung upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Sudah menjadi rahasia umum, Presiden SBY berhasil memberantas korupsi, dan KPK sebagai lembaga yang menanganinya. Rhani Juliani itu sendiri hanya digunakan sebagai umpan.
Terakhir, Mantan Kapolres Metro Jakarta Selatan, Komisaris Besar Wiliardi Wizar memberikan kesaksian dalam sidang perkara pembunuhhan berencana terhadap Nasrudin Zulkarnaen dengan terdakwa Ketua KPK Antasari, selasa 10 November 2009. Menurut Wiliardi, BAP (Berita Acara Pemeriksaaan) dirinya dikondisikan sama dengan BAP Sigit Haryo Wibisono (sebagai Terdakwa juga pada kasus sama), dengan sasaran menjerat Antasari. Sebagaimana diungkapkan di media massa, kesaksian Williardi Wizard, antara lain:
1.Menarik kembali BAP 23 April 2009 karena ada unsur pengaruh pihak ketiga.
2.BAP disiapkan pihak penyidik untuk ditandatangani pada pukul 00.00 WIB (12 malam) dengan imbalan hanya mendapat sanksi disiplin.
3.BAP sengaja memberatkan posisi Antasari di persidangan.
4.Pihak ketiga yang mempengaruhi Irjen Pol. Hadiatmoko, mantan Wakabareskrim, “Sudah kamu ngomong saja, kamu dijamin pimpinan Polri tidak ditahan, hanya dikenakan disiplin.” Saksi pada saat itu: Nova Wiliardi (Istri), Adik Kandung Wiliardi dan Saudara dari Istri (Ipar).
5.“Demi Allah, saya tidak melakukannya. Merekalah (penyidik) yang meminta menjerat Antasari. Mereka katakan Antasari adalah target kepolisian”.
Kasus Bibit dan Chandra.
Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah adalah masing-masing Wakil Ketua KPK yang kini telah nonaktif karena Polri telah menjadikan mereka sebagai ”tersangka” pemerasan, penyuapan dan penyalahgunaan wewenang atau dituduh menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power) dan menerima suap. Mereka akhirnya diberhentikan oleh Presiden melalui Keputusan Presiden (Kepres) No. 74 P/2009 tertanggal 21 September 2009. Mereka juga sempat ditahan Polri, tetapi mendapat reaksi negattif dari publik, dan dibebaskan dengan wajib lapor 2 (dua) kali seminggu ke Polri. Kepres ini sendiri telah dicabut Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan sela dalam permohonan uji materi yang diajukan oleh kuasa hukum Bibit dan Chandra.
Tindakan Polri menahan Bibit dan Chandra telah mengundang simpati publik tehadap KPK dan issue rekayasa kriminalasi pimpinan KPK menjadi meluas dan terus terbongkar. Salah satu skenario mengkriminalkan Bibit dan Chandra terpampang melalui pembukaan rekaman perbincangan antara Anggodo Widjojo dan sejumlah penegak hukum di Mahkamah Konstitusi (MK). Anggodo Widjojo adalah adik Anggoro Widjojo, Bos PT Massaro, buron kasus korupsi di Dep.Kehutanan. Bibit dan Chandra dituding Polri telah memeras Anggoro.
Sebelumnya, menghadapi issue rekayasa kriminaliasi pimpinan KPK, Bibit dan Chandra, dan gelombang protes masyarakat madani (khususnya klas menengah), Presiden SBY membentuk Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum atas Kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah (Tim 8), terdiri dari Adnan Buyung Nasution selaku Ketua, dan Anies Baswedan, Denny Indrayana, Amir Syamsuddin, Hikmahanto Juwana, T.Mulya Lubis, Komaruddin Hidayat dan Koesparmono Irsan masing-masing selaku anggota. Tim 8 yang dibentuk berdasarkan Keppres (Keputusan Presiden) pada dasarnya berkaitan dengan kasus dugaan rekayasa kriminalisasi dan pelemahan KPK.
Rekomendasi Tim 8 tidak hanya bersumber dari temuan fakta untuk menjawab apakah betul ada rekayasa atau proses yang wajar atas kasus Bibit dan Chandra. Tim 8 ini pada prinsipnya menilai, penuntutan terhadap Bibit dan Chandra tidak cukup bukti sehingga dugaan adanya rekayasa kriminalisasi pimpinan KPK semakin terbukti. Dari 8 butir rekomendasi ke Presiden, salah satunya menyebutkan:”Menghentikan proses hukum Bibit dan Chandra”. Dalam pekerjaan Tim 8, terungkap pula rekamanan percakapan antara Kabareksrim Komjen Susno Duadji dan Lucas, pengacara pengusaha Budi Sampurno merupakan latar belakang dalam kasus Bibit dan Chandra. Berdasarkan percakapan itu, ada dugaan usaha pencairan dana milik Budi Sampurno di Bank Century oleh Susno Duadji. Dalam hal ini Tim 8 merekomendasikan: ”Menuntaskan kasus korupsi Masaro, proses hukum terhadap Susno Duadji dan Lucas terkait dana Budi Sampoerno di Bank Century serta kasus pengadaan SKRT Departemen Kehutanan”.
Mayjen (Purn Pol.) Koesparmono Irsan, angggota Tim 8, dalam wawancaranya dengan Koran Tempo (1 Nov. 2009), menegaskan keyakinannya adalah rekayasa dalam kasus Bibi dan Chandra ini. Dulu, awal bekerja sebagai anggota Tim 8, ia tak yakin ada rekayasa. Tapi, belakangan, pendapatnya berubah. Ia kini yakin ada rerkayasa dalam kasus itu. ”Saya kira (penyelidikan Polri) tidak based on reality. Misalnya penyalahgunaan wewenang untuk pemerasan. Lho, yang diperes ki sopo (yang diperas itu siapa?”.
Penilaian fihak sangat berkompeten lain tentang adanya rekayasa, datang dari Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud Md seusai mengabulkan uji materi Pasal 32 ayat 1 c UU KPK yang diajukan oleh Bibit dan Chandra (Koran TEMPO, 26 November 2009). .. Mahfud menegaskan, dugaan rekayasa dalam kasus Bibi dan Chandra tidak bisa disasngkal lagi. ”Itu tidak bisa dibantah, itu benar,” ujar Mahfud . Sebelum mendengar langsung rekaman percakapan telepon Anggodo Wqidjojo, Mahfud mengira tak ada rekayasa dalam kriminalisasi terhadap pimpinan KPK itu. ”Ternyata lebih seu, (Anggodo) ngatur,” kata Mahfud. MK melihat indikasi rekayasa yang dilakukan Anggodo, adik Pengusaha buron Anggoro Widjojo, bersama okbum penegak hukum. Tujuan rekayasa, kata Mahfud, ”agar para pemohon (Bibit dan Chandra) menjadi tersangka dan terdakwa.”
Beragam Argumentasi
Beragam argumentasi telah diajukan untuk menjustifikasi penggunaan teori konspirasi untuk kasus Antasari, Bibit dan Chandra. Pada umumnya argumentasi berkaitan dengan posisi Antasari sebagai Ketua KPK dan Bibit serta Chandra masing-masing sebagai Wakil Ketua KPK. Para Koruptor yang sudah dan akan terkena tindakan KPK diyakini berupaya memperlemah fungsi KPK. Antasari sering mengungkap kasus korupsi dengan skala besar. Posisi strategis Antasari sebagai Ketua KPK pasti memiliki banyak musuh, terutama kalangan koruptor, yang ingin menyingkirkan Antasari dari posisi strategis dimaksud.
Salah satu cara untuk memperlemah fungsi KPK yakni mencopot Antasari, Bibit dan Chandra dari posisi strategis sebagai Pimpinan KPK. Pertama-tama, Kepolisian memutuskan status Antasari sebagai ”Tersangka”, dan pada gilirannya menjadi ”Terdakwa”. Penetapan status sebagai ”Tersangka” saja telah menyebabkan Antasari bisa dijadikan ”nonaktif”, apalagi menjadi ”Terdakwa”, semakin mudah untuk diberhentikan. Hal ini juga diberlakukan kepada Bibit dan Chandra walaupun hingga kini berlum sebagai ”terdakwa”. Jika tidak ada tekanan publik dan sikap pemihakan Presiden SBY kepada Bibit dan Chandra, nasib kedua pimpinan ini akan mengalami seperti Antasari, yakni diberhentikan sebagai pimpinan KPK.
Dengan menggunakan peraturan perundang-undangan, upaya mencopot Antasari sebagai Ketua KPK sangat mudah. Pasal 32 ayat (1) UU KPK Tahun 2002 menetapkan bahwa Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti atau diberhentikan karena: 1. meninggal dunia; 2. berakhir masa jabatannya; 3; menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan; 4. berhalangan tetap atau secara terus-menerus selama lebih dari 3 (tiga) bulan tidak dapat melaksanakan tugasnya; 5. mengundurkan diri; atau 6. dikenai sanksi berdasarkan UU ini. Memang kini Antasari masih menjadi ”Tersangka”, tetapi akan segera digiring menjadi ”Terdakwa”, sehingga menurut UU dia langsung diberhentikan.
Sesungguhnya untuk memberhentikan pimpinan KPK tidak terlalu sulit. Dirancang saja agar status Antasari bisa menjadi ”Tersangka” lalu meningkat menjadi “Terdakwa”. Sekalipun nantinya di pengadilan tidak terbukti bersalah, tetapi telah terlanjur status sebagai ”Terdakwa” dan diberhentikan sebagai pimpinan KPK. Karena telah diberhentikan, maka kelompok konspirator kemudian akan mengganti mereka dengan orang lain, yang tentunya juga diupayakan memiliki kelemahan dalam kompetensi dan keberanian memberantas korupsi atau kejahatan ekonomi negara terutama yang telah terjadi dalam sekala penyanderaan negara.
Argumentasi ini diperkuat dengan kasus adanya upaya anggota DPR-RI, khususnya Komisi III, untuk langsung mencari pengganti Antasari. Menurut para anggota Komisi III, Wakil Ketua yang berjumlah 4 orang itu tidak sah menggantikan posisi ketua KPK. Alasannya: Pasal 26 (1) Susunan Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas Ketua
Komisi Pemberantasan Korupsi dan 4 (empat) orang Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi. Indikasi ini mirip dengan upaya Kejaksanaan yang lebih dahulu membeberkan Antasari sebagai ”Tersangka”, padahal Polisi masih menetapkan sebagai ”Saksi”. Karena itu, DPR dinilai telah terlibat sebagai bagian perencanaan strategis konspirasi untuk kasus Antasari. DPR dinilai sudah mendahului Polisi, yang masih menetapkan Antasari sebagai ”Tersangka”, belum ”Terdakwa”.
Di lain fihak, upaya menggusur dari jabatan pimpinan KPK bisa melalui tuduhan lain berdasarkan UU KPK, berkaitan dengan Kode Etik (kepegawaian KPK). Antasari, misalnya, bisa dijerat Pasal 36 karena diduga melanggar ketentuan yang melarang pimpinan KPK bertemu dengan tersangka atau pihak lain yang terkait dengan tindak pidana korupsi yang memungkinkan konflik kepentingan sekecil apapun. Fihak konspirator bisa mendorong dan mengajukan bukti untuk dugaan Antasari melanggar Kode Etik.Sebagai contoh, pengakuan Antasari bertemu dengan Nasrudin yang kerap memberi keterangan adanya dugaan korupsi di PT Rajawali Nusantara Indonesia. Juga Antasari bertemu dengan Komisaris Utama PT Pers Indonesia Merdeka Sigid Haryo Wibisono, termasuk pertemuan dengan para pengusaha di Batam. Bukti-bukti semacam ini dapat dimanipulasi untuk menjadikan Antasari terkena hukuman maksimal 5 tahun penjara (Pasal 65).
Argumentasi berikutnya untuk menjustifikasi penggunaan teori konspirasi, yakni dendam kelompok tertentu di Kejaksaan Agung. Argumentasi ini menunjukkan orang-orang di Kejaksaan Agung boleh jadi juga termasuk mereka yang punya dendam terhadap Antasari. Kasus Artalyta dianggap sungguh telah mempermalukan dan merendahkan citra Kejaksaan Agung pimpinan Herdarman Supandji ini. Di mata sementara kolega di Kejaksaan Agung, Antasari (Mantan Pejabat Tinggi Kejaksaan Agung) tidak lebih seorang pengkhianat. Karena itu, dinilai tidak heran kalau Kejaksaan Agung menggebu-gebu menyikapi kasus Antasari.
Argumentasi kelompok tertentu di Kejaksanaan Agung ini juga mempertanyakan Kejaksaan Agung campur tangan dalam kasus pembunuhan – plus asmara segitiga. Juga, mempertanyakan Kejaksaan Agung dengan cepat menetapkan Antasari sebagai tersangka. Bukankah kewenangan untuk menetapkan ini berada pada Kepolisian sebagai penyidik? Bahkan, argumentasi ini mengajukan pula adanya pertemuan khusus Jaksa Agung Hendarman Supandji menjelang penahanan Antasari.
Argumentasi lain dikaitkan dengan institusi Kepolisian yang juga menginginkan melemahnya fungsi KPK. Beberapa informasi diajukan yakni adanya rapat untuk membahas rencana menghabisi nyawa Nasrudin berlangsung di salah satu ruang di Bareskrim Mabes Polri. Juga keterlibatan seorang Komisaris Besar Polisi (WW) dan identitas dua penembak jitu yang disebut- sebut oknum kesatuan Polri. Semua ini seolah-olah menambah kecurigaan bahwa Polri mungkin termasuk juga dalam kelompok konspirator untuk menjerat Antasari. Dicatatkan pula, di bawah kepemimpinan Antasari, dua Mantan petinggi Polri (masing-masing berpangkat Bintang 3 dan 4) sudah dijebloskan dalam sel penjara.
Citra Kepolisian semakin merendah karena KPK dalam pemberantasan korupsi terbukti lebih cekatan, cakap dan berani mengungkapkan berbagai kasus berat. Para penyidik KPK kebanyakan anak muda cerdas dan berprestasi. Prestasi KPK dimata publik memperburuk citra Kepolisian yang semakin lama dianggap tidak memiliki kemampuan untuk pemberantasan korupsi, dan bahkan institusi ini dinilai salah satu institusi negara paling korup sebagaimana diungkapkan oleh lembaga non pemerintah seperti Transparansi Internasional. Kepolisian menjadi merasa grogi atau kehilangan muka dimata publik. Akibatnya, tatakala KPK semakin memiliki kemampuan dan berprestasi memberantas korupsi, kelompok konspirasi di Kepolisian merasa tersaingi, dan tidak ingin KPK ini menyaingi kemampuan dan prestasi Kepolisian dalam hal pemberantasan korupsi.
Terkait dengan Kepolisian ini, juga ada argumentasi yang diajukan berdasarkan indikasi lambatnya Kepolisian memproses kasus Antasari. Mereka selalu membuat opini publik kacau dengan mengutamakan kasus perselingkuhan dengan Rhani, kemudian salah satu pelaku pembunuhan terkait perwira Kepolisian, WW, dengan pertemuan di Mabes Polri sendiri. Dalam hal ini Pejabat Polri acapkali menekankan bahwa mereka menggunakan metode saling mengkait-kaitkan satu sama lain, sehingga terbentuk suatu ikatan yang berhubungan. Hal ini menunjukkan, sekalipun sesungguhnya tidak ada kaitan dengan Antasari, tetap memang dipaksanakan dikait-kaitkan.
Argumentasi pejabat Kepolisian juga terlibat dalam konspirasi ini diperkuat lagi dengan terkuaknya beberapa fakta mengejutkan. Berinisial WW (seorang Komisaris Besar Polisi), salah satu tersangka utama dalam pembunuhan Nasrudin, sudah menarik laporannya. WW ingin meralat pernyataannya bahwa semua itu adalah hasil konspirasi beberapa lembaga Negara, di antaranya Kepolisian sendiri, Kejaksaan Agung, Anggota DPR, dan pejabat Bank Indonesia terkait aliran dana BI dan koruptor lain yang sekarang sedang berkeliaran. Kesemuanya ini merupakan musuh utama KPK, baik yang perkaranya sudah selesai disidangkan maupun yang sedang dalam proses.
Argumentasi berikutnya berkaitan dengan masih banyak orang yang tidak bisa tidur nyenyak, karena bakal berurusan dengan KPK. Info sudah bocor bahwa KPK sebentar lagi akan menjerat paling tidak lima Mantan Gubernur, Anggota DPR, petinggi BI, dan sejumlah cukong. Kelompok ini tidak akan berdiam diri dan akan melakukan perlawanan agar KPK tidak menjerat mereka secara hukum. Musuh-musuh Antasari menjadi banyak termasuk juga “para kapitalis dan rentenir ekonomi Indonesia”, atau pelaku kejahatan ekonomi seperti pelaku Cost Recovery PT. Pertamina EP (2004-2008) sekitar Rp. 21, 85 triliyun, korupsi BLBI, Aliran Dana BI sekitar Rp. 100 milyar, Aliran Dana Publik ke Bank Century (Rp. 6,7 triliyun) sebagai korupsi sandera negara yang melibatkan fihak eksekutif, legislatif, yudikatif, pengacara/lawyer, konsultan bahwa bahkan media massa.
Untuk memperkuat teori konspirasi ini, media massa dijadikan sebagai komponen strategis untuk membangun opini seolah-olah Antasari sungguh-sungguh menjadi otak pembunuhan Nasrudin karena terjadi ”cinta segi tiga” antara Antasari, Rhani Juliani dan Nasrudin. Pembunuhan Nasrudin dikesankan di publik diotaki oleh Atasari yang sebelumnya telah melakukan perselingkuhan dengan Rhani, ”istri” Nasrudin. Kasus Antasari menjadi terjebak atas bantuan media massa ke dalam hal ikhwal perselingkungan atau seksual, bukan upaya para koruptor kejahatan ekonomi negara bersekala besar untuk menghindarkan diri dari jeratan KPK. Lebih jauh, fihak Kepolisian selalu menggembor-gemborkan bahwa Rhani Juliani adalah ”saksi kunci” atas kematian suaminya, Nasrudin.
Agar kesan itu semakin dalam di publik, maka Rhani pun tidak pernah dan tidak bisa diwawancarai oleh media massa sehingga ”sangat gelap” akan kebenaran dari posisi Rhani sebagai ”saksi kunci”. Jika memang, persoalannya adalah perselingkungan, maka seyogyanya kasus hukum Antasari dihubungkan dengan perselingkungan, bukan pembunuhan. Untuk itu semua, posisi Rhani dibawah pengendalian Kepolisian yang dikilahkan bahwa Rhani disembunyikan karena pernah mendapat ancaman akan menjadi target pembunuhan setelah suaminya dibunuh. Wanita penyuka kupu-kupu ini hingga kini masih dalam ”simpanan ” polisi. Konon, ratusan juta rupiah telah habis untuk biaya hidup Rhani dan kedua orang tuanya. Dikhabarkan, Rhani akan disimpan selama ia masih meminta perlindungan Polisi. Seakan Rhani yang ingin dalam perlindungan Polisi sehingga tidak dapat diketahui opini pribadinya tentang kasus Antasari. Setelah digelar perkara Antasari di Pengadilan Jakarta Selatan dan pengakuan Wiliardi Wizard mengenai Antasari sebagai target Polri, baru Rhani dapat diwawancara media massa.
Teori konspirasi tentu akan menilai, Rhani sengaja dijadikan demikian untuk memperkuat kesan bahwa Antasari telah merencanakan pembunuhan Nasrudin karena kelakuan seksual/perselingkungan. Media massa turut membantu penciptaan kesan semacam ini dengan istilah ”Cinta Segi Tiga”. Seakan-akan kasus Antasari tidak ada hubungannya dengan kelompok koruptor yang menginginkan melemahnya fungsi KPK dalam menangani kejahatan ekonomi negara bersekala besar, tetapi menangani cukup hanya kelas ikan teri saja.
Teori konspirasi juga telag digunakan Adan Buyung Nasution saat meminta publik mewaspadai kemungkinan adanya operasi khusus untuk meruntruhkan KPK. Dia mengingatkan, jika operasi besar kali ini benar-benar ada, targetnya bukan hanya menyeret para pemimpin KPK ke penjara. ”Ada skenario untuk mengerdilkan atau meruntuhkan KPK”, ujar Buyung.
Indikasi adanya skenario besar tampak dari rekayasa pemidanaan Bibit dan Chandra. Dalam hal ini, Tim 8 berkesimpulan, penetapan kedua pemimpin KPK itu sebagai tersangka tak didasari bukti-bukti kuat. Indikasi adanya skenario besar semakin nyata setelah kesaksian Wiliardi Wizard, menyatakan adanya upaya petinggi kepolisian untuk menyeret Antasari dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen.
Uraian di atas pada prinsipnya mengarah pada penggunaan teori konspirasi untuk rekayasa kriminalisasi dan pelemahan KPK. Dalam batas-batas tertentu, argumentasi yang diajukan dapat diterima sekalipun masih membutuhkan pembuktiaan fakta yang lebih detail. Namun, kelompok konspirator untuk rekayasa kriminalisasi dan pelemahan KPK akan lebih mudah dijelaskan jika kita mengidentifikasi kelompok koruptor yang sesungguhnya sangat memiliki kepentingan agar KPK dalam posisi lemah dan tidak memasuki area tindakan korupsi mereka, yakni kelompok Korupsi Sandera Negara (State Capture Corruption) yang bercokol di Indonesia. Tentu saja kelompok konspirator ini bukan sekedar mereka yang mengeropsi uang negara kecil-kecilan seperti anggota DPR (hanya beberapa miliyar), melainkan pelaku kejahatan ekonomi seperti kasus Cost Recovery PT Pertamina EP (Rp. 21, 85 triliyun), BLBI, Aliran Dana BI, Skandal Korupsi Bank Century, dll. bersekala sangat besar.
Berdasarkan teori konspirasi, kajian ini menawarkan bahwa jenis koruptor yang sangat berkepentingan untuk memperlemah fungsi KPK bukanlah kelompok pelaku korupsi “kecil-kecilan”, melainkan pelaku korupsi/ kejahatan ekonomi negara dalam perspektif “korupsi sandera negara”. Jenis koruptor semacam inilah yang perlu dicermati sebagai pelaku konspirasi atas rekayasa kriminalisasi dan pelemahan KPK. Siapa saja kah mereka ?
Korupsi “Kecil-kecilan”
Definisi korupsi sesungguhnya beragam, namun di Indonesia dapat diklasifikasikan sebagai korupsi “kecil-kecilan”, “biasa” atau “berjemaah (petty corruption, petty bribery), dan “korupsi sandera negara”. Yang paling popular adalah “korupsi biasa”, sesuai dengan UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001, korupsi dirumuskan dalam 30 bentuk, dikelompokkan ke dalam kerugian Negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang , benturan kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa dan gratifikasi. Korupsi biasa juga mencakup uang sogokan dan uang pelican dari tingkat jalanan sampai tingkat menengah, korupsi birokratik yang berupa pencurian kekayaan Negara oleh birokrat yang menyalahgunakan wewenangnya.
Di lain fihak, korupsi diartikan sebagai “perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Korupsi “kecil-kecilan”, “biasa” atau “berjemaah” adalah korupsi yang terjadi karena berbagai hal yang merupakan gabungan dari rendahnya pendapatan/remunerasi, lemahnya pengawasan, kualitas SDM jelek, pandangan budaya yang salah, dan represi yang tidak menyentuh korupsi berjemaah. Di Indonesia korupsi “kecil-kecilan” ini masih merajalela.
KPK sesungguhnya sangat gencar memberantas korupsi “kecil-kecilan”, “biasa” atau “berjemaah” ini. Sudah banyak pejabat publik seperrti anggota DPR, gubernur, bupati, walikota, pegawai tinggi, dan pengusaha yang dihukum karena korupsi ini. Walaupun demikian, korupsi dan suap tetap berjalan, bahkan dalam bentuk yang lebih canggih.
Masyarakat masih berpersepsi bahwa korupsi di partai politik, pengadilan, DPR, dan instansi pemerintah sebagai lembaga publik masih sangat melembaga, sitemik, endemis dan meluas. Korupsi nampaknya tidak berkurang, hanya berubah bentuk. Persepsi negatif publik tentang institusi publik semacam itu masih kuat. Media massa juga tidak bersih dari korupsi, namun tidak separah institusi publik dan pengusaha.
Sesuai dengan hasil survey Global Corruption Barometer yang diumumkan 9 Juni 2009, untuk Indonesia, DPR dianggap paling korup, pengadilan kedua terkorup, partai politik dan birokrasi ketiga terkorup, dunia usaha keempat terkorup serta media massa kurang korup. Indonesia terburuk di ASEAN (Brunei Darussalam, Kamboja, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Namun. Rakyat tidak terlalu terkesan oleh pemberantasan korupsi yang dilakukan pemerintah,dan karena sektor swasta (pengusaha) ditengarai telah merusak negara melalui korupsi sandera negara.
Korupsi Sandera Negara
Di Indonesia telah menguat korupsi sektor swasta oleh pengusaha dalam bentuk korupsi sandera negara (state capture corruption) dengan mempengaruhi serta merebut negara dalam membuat kebijakan, legislasi, dan peraturan perundang-undangan dan peraturan daerah. Korupsi dilegitimasi melalui kebijakan pemerintah. Hasil korupsi ini tidak selalu mudah dilacak karena bisa masuk melalui transaksi off shore, pajak, saham di bursa. Kontrak-kontrak pertambangan berjangka panjang bisa terjadi karena penguasaan rezim berkuasa oleh korporasi besar.
Pengertian korupsi sandera negara yakni jenis korupsi yang super destruktif dan bersekala negara. Korupsi ini dilakukan oleh negara sendiri karena oleh pemerintahan yang sedang berkuasa, negara digadaikan pada kekuatan korporasi asing. Inti dari korupsi suversif ini adalah akomodasi keserakahan korporat oleh suatu negara yang para elitenya telah menghamba dan tunduk sepenuhnya pada kekuatan korporatokrasi.
Korupsi yang dilakukan oleh pemerintahan yang berkuasa yang tunduk dan setia pada kepentingan berbagai korporasi asing pada hakikatnya berkaitan erat dengan kejahatan korporasi, yakni kejahatan yang dilakukan oleh sebuah korporasi atau kejahatan yang dilakukan oleh perorangan yang diidentifikasi sebagai korporasi atau entitas bisnis. Dalam berbagai hal, kejahatan ini berhimpit dengan kejahatan kerah putih dan kejahatan terorganisasi. Kejahatan kerah putih kebanyakan dilakukan oleh mereka yang mewakili kepentingan korporasi. Sementara kejahatan terorganisir melakukan kejahatan lewat jaringan organisasi yang rapih dan canggih. Berbagai kendala peraturan perundang-undangan dapat diatasi oleh kejahatan terorganisir, yang merupakan cabang bisnis besar dan menjadi sektor illegal dari permodalan/kapital. Kejahatan korporasi ini muncul tatakala persekongkolan antara negara dan korporasi, di mana kekuatan korporasi menaklukkan kekuatan negara sehingga negara menjadi pelayan kepentingan korporasi.
Di Indonesia sesunggunya korupsi paling berbahaya bukanlah korupsi “kecil-kecilan”, “biasa” atau “berjemaah”, melainkan korupsi sandera negara, yang dilakukan pemerintah sedang berkuasa , pemerintah dalam arti luas yang melibatkan eksekutif, legislative dan yudikatif dan sampai batas-batas tertentu didukung oleh sebagian media massa, lewat kolusi dengan korporasi –korporasi besar. Melalui korupsi sandera negara ini, sebuah korporasi atau gabungan korporasi asing lewat pemerintah yang sedang berkuasa mampu membeli peraturan perundang-undangan, mendiktekan kontrak karya di bidang pertambangan dan bidang lain seperti perbankan, pertanian, kehutanan, pendidikan, kesehatan dll. Akibatnya, pemerintah hanya menjadi sekedar perpanjangan tangan kepentingan korporasi-korporasi besar.
Korupsi sandera negara sesungguhnya amat jarang diungkapkan atau dibahas dalam diskusi-diskusi publik dan juga media massa. Akibatnya, kekayaan Negara termasuk sumber daya alam, dijarah tanpa henti-hentinya oleh korporasi asing dengan bantuan rasionalisasi, justifikasi dan legalisasi pemerintah. Melalui pembelian keputusan politik atau persekongkolan DPR dan Pemerintah seperti UU, PP dan Peraturan Presiden, misalnya, korporasi besar menjarah kekayaan alam Indonesia.
Dengan perkataan lain, penyanderaan negara oleh korporasi-korporasi besar itu berupa usaha berbagai korporasi dimaksud untuk membentuk dan mempengaruhi aturan main, misalnya pembuatan UU, hukum, peraturan dan keputusan negara, melalui pembayaran privat/swasta kepada pejabat publik.

Kasus KPS/Cost Recovery.

Satu contoh korupsi sandera negara, yakni Kontrak Production Sharing (KPS), masyarakat awam mengetahui bahwa rasio antara Indonesia dan kontraktor berbanding 85%:15%. Namun, kontraktor asing memegang operatorship eksploitasi migas kita itu harus menghitung lebih dahulu cost recovery. Biaya produksi harus dibayar dahuulu ke korporasi asing sebagai kontraktor, baru setelah itu hasil bersih dibagi dengan rasio Indonesia 85%, kontraktor 15%. Dalam realitas obyektif, Indonesia mendapat hanya 58,98%, sedangkan kontraktor production sharing mencapai 41, 02%. Bagaimanapun, korporasi asing sangat pintar untuk melakukan mark-up cost recovery itu.

Perhitungan cost recovery memang menjadi biang kerugian negara dalam jumlah yang sangat besar, terbukti dengan banyaknya temuan dan penyimpangan oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Sebagai misal, PT. Pertamina EP, kontraktor dalam negeri, anak perusahaan PT. Pertamina, membebankan biaya depresiasi, sebagai alat cost recoverynya atas asset milik PT. Pertamina, selama 2004-2008 pada APBN kita sebesar Rp. 21,85 triliyun. Pembebanan cost recovery itu melalui Work Program and Budget (WP&B). Satu KPS dengan PT. Pertamina EP saja menyebabkan negara kebobolan sekitar Rp. 21 triliyun. Bisa jadi, kerugian negara melalui bentuk korupsi sandera Negara berlaku pada lusinan KPS dan KK (Kontrak Karya) seperti kasus PT. Pertamina EP ini dengan berbagai korporasi asing yang selalu berupaya memaksimalkan keuntungan dengan segala cara.

Dalam perspektif konspirasi, kelompok konspirator berdasarkan kasus Cost Recovery PT. Pertamina EP ini adalah Eksekutif (Khususnya Menteri Keuangan), DPR-RI (khususnya Kelompok Panitia Anggaran), dan fihak korporasi (PT. Pertamina EP) itu sendiri. Mereka yang membuat kebijakan cost recovery menyebabkan kerugian negara sekitar Rp. 21 triliyun sesungguhnya tergolong pelaku korupsi yang paling besar karena telah membuat kebijakan bersifat super-koruptif. Kasus ini sekalipun pernah diributkan di DPR-RI, kini telah sirna begitu saja, dan media massa pun tidak berupaya mengangkatnya. Para koruptor besar ini bisa jadi bertindak sebagai kelompok konspirator untuk rekayasa kriminalisasi dan pelemahan KPK yang menginginkan lemahnya fungsi KPK agar tidak bisa menyentuh mereka secara hukum..

Kasus BLBI

Satu bentuk lain korupsi sandera negara yakni kasus KLBI (Kredit Likuiditas Bank Indonesia) dan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Setelah bertahun-tahun Kejaksaan Agung sebagai penegak hukum menangani kasus KLBI/BLBI ini, namun kepercayaan publik sangat rendah, terutama setelah terkuaknya kasus Artalyta, dan pada gilirannya tuntutan publik mengarah pada KPK agar mengambilalih penanganan dan membongkar kasus BLBI ini. Salah satu kasus BLBI sangat populer, juga telah melibatkan Artalyta dan para petinggi Kejaksaan Agung, yakni Kasus Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) milik Sjamsul Nursalim.

Sejak Oktober 2008, KPK telah mengambilalih kasus BLBI dengan membentuk empat team, antara lain bertugas meneliti kasus yang telah diputus di pengadilan, kasus yang dihentikan karena diterbitkannya surat keterangan lunas, serta kasus yang dihentikan saat penyidikan. Fihak KPK memastikan masih terus mencari unsur korupsi dalam kasus BLBI.

Di tengah tuntutan publik agar KPK menangani dan membongkar kasus BLBI ini, fihak Kejaksaan Agung terkesan memperlemah KPK melalui berbagai pernyataan pejabat tinggi. Pertama-tama kesan muncul dari Jaksa Agung Hendarman Supandji dengan pernyataan: “kendati KPK telah membentuk team, siapapun yang hendak membongkar kembali kasus BLBI pasti akan terbentur sejumlah aturan yang menjadi paying hukum penyelesaian utang BLBI di luar pengadilan.” Dia lalu memisalkan, UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional, Ketetapan MPR No. X Tahun 2001, serta Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2002 dikenal sebagai Release and Discharge”. “Kalau mengejar dari sisi pidana kasus yang ditangani, saya kira, itu wasting time “, kilahnya.

Kejaksaan menilai KPK tidak akan sanggup membongkar kembali kasus KLBI/BLBI. Menurut Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Marwan Effendy, dirinya bahkan pernah mendengar jika KPK tidak akan membongkar lagi kasus pengucuran kredit sebesar Rp. 144 triliyun pada 1998 itu. Marwan dalam rapat konsultasi kasus KLBI/BLBI antara Kejaksanaan Agung dan DPR di gedung DPR/MPR, pernah menyatakan, apa yang terjadi di KPK, yakni Antasari dalam rapat kordinasi penanganan korupsi antara Kejaksanaan, KPK dan Kepolisian, di Mabes Polri beberapa waktu lalu mengatakan kasus BLBI tidak akan dibuka lagi demi memberi kepastian hukum. Antasari hanya akan menjelaskan jumlah uang negara diselamatkan.

Tentu saja para pelaku yang menikmati kasus BLBI ini lewat korupsi sandera negara sangat berkepentingan untuk memperlemah KPK dalam menangani kasus BLBI. Antasari dinilai merupakan ancaman karena beliau telah memasuki penanganan kasus BLBI. Karena itu, dapat diduga kaum konspirator untuk rekayasa kriminalisasi dan pelemahan KPK berasal dari para penikmat kasus BLBI. Kelompok pengusaha, DPR, Kejaksanaan, Kepolisian, penyusun Instruksi Presiden tentang Release and Discharge, sebagian media massa, yang diuntungkan dengan pembebasan mereka dari jerat hukum sangat berkepentingan agar KPK gagal menangani dan membongkar kasus BLBI.

Kasus Aliran Dana BI

Satu contoh lain tergolong korupsi sandera negara adalah Kasus Aliran Dana BI, yang telah menjerat beberapa petinggi BI dan juga Mantan Anggota DPR-RI. Kasus ini bermula dari kesepakatan para petinggi BI baik di BI untuk penggunaan dana BI yang ada di Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPBI) sekitar Rp. 100 miliyar. Kasus ini mencuat setelah Anwar Nasution, Ketua BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), melaporkan temuan BPK bahwa ada penyimpangan penggunaan dana milik BI pada tahun 2006. Atas tuntutan publik kemudian KPK memasuki penanganan dan pembongkaran kasus Aliran Dana BI ini, menjerat dan mengajukan ke pengadilan para koruptor terkait ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta. Para koruptor dimaksus antara lain Mantan Gubernur BI, Burhanuddin Abdullah, dan empat mantan Deputi Gubernur BI, yakni Aulia Pohon, Maman H. Soemantri, Bun Bunan E.J. Hutapea, dan Aslim Tadjudin. Aulia Pohan adalah Besan Presiden SBY.

Menurut salah seorang Jaksa KPK, dana BI sekitar Rp. 100 miliyar itu diberikan kepada Anggota DPR sebanyak Rp. 31,5 miliyar dengan alasan untuk diseminasi dan sosialisasi. Sisanya, Rp. 68,5 miliyar, digunakan untuk bantuan hukum bagi para petinggi BI. Pengadilan telah memvonis dua anggota DPR, Antony Zeidra Abidin dan Hamka Yandhu, masing-masing empat setengah tahun dan empat tahun penjara karena terbukti menerima aliran dana BI itu. Di Pengadilan Tinggi, April lalu, hukuman diubah menjadi lima tahun untuk Antony dan tiga tahun untuk Hamka. KPK mengajukan permohonan kasasi atas putusan ini.

Pelaku korupsi sandera negara dalam kasus aliran dana BI dapat diklasifikasikan menjadi empat kelompok besar. Kelompok pertama adalah mereka yang menyepakati penggunaan dana BI yang berada di YPPI di jajaran petinggi BI. Kelompok kedua adalah para anggota DPR yang menerima dana aliran BI untuk penyusunan atau pembuatan UU BI agar sesuai dengan kepentingan BI atau juga sektor dunia usaha keuangan dan perbankan tertentu. Kelompok ketiga adalah lawyer yang menerima dana bantuan hukum sehubungan para petinggi BI yang terlibat dalam kasus BLBI. Kelompok keempat yakni para penegak hukum baik di Kepolisian, Kejaksanaan dan juga Pengadilan yang menerima aliran dana BI sebagai dana bantuan hukum dimaksud. Berdasarkan kesaksian terdakwa Antony Zeidra Abidin dan Oey Hoey Tiong (mantan Petinggi BI), ada dua Jaksa yang diduga menerima uang.

KPK telah dan sedang menangani kasus Aliran BI ini. Sementara ini, KPK baru bisa menjerat para petinggi BI dan dua mantan anggota DPR. Sudah barang tentu mereka yang belum terjerat sangat ketakutan akan kiprah KPK lebih lanjut dalam penanganan dan pembongkaran kasus Aliran Dana BI ini. Empat kelompok tsb selalu menghindar dari jeratan hukum. KPK

Teori konspirasi atas rekayasa kriminalisasi dan pelemahan KPK bisa digunakan untuk menjelaskan kaitan antara mereka yang terlibat kasus aliran dana BI dengan upaya memperlemah fungsi KPK dalam penanganan kasus aliran dana BI ini. Dengan konspirasi politik memperlemah KPK, mereka berharap tentunya KPK kemudian tidak meneruskan penjeratan hukum atas mereka yang belum diajukan ke pengadilan. Pembuktian fakta hukum tentu perlu diarahakan secara serius oleh penegak hukum ke arah sana, namun menjadi mustahil terealisasikan jika institusi penegak hukum bersangkutan melalui pejabatnya justru merupakan bagian dari konspirasi tersebut.

Kasus Bank Century

Salah satu kasus “state capture corruption” adalah kasus aliran dana publik dari LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) ke Bank Century yang telah menjadi sorotan publik. Kasus Bank Century ini sesungguhnya mencakup dua masalah utama, yakni 1). penipuan manajemen terhadap nasabah; 2). Kebijakan pemerintah tentang aliran dana publik Rp. 6,7 triliyun dari LPS ke Bank Century, disebut kemudian sebagai Skandal Bank Century. Kebijakan ini diduga melanggar peraturan perundang-undangan, antara lain: UUD 1945, UU No. 7 Tahun 1972, telah diubah menjadi UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan; UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal; UU No. 23 Tahun 1999, telah diubah terakhir Perppu No. 2 Tahun 1998 tentang Lembaga Penjamin Simpanan; UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Kebijakan tentang aliran dana publik ini lebih mengutamakan kepentingan pemilik modal Bank Century (termasuk orang asing) dan korporat-korporat yang memiliki dana di Bank Century, sementara kepentingan nasabah kebanyakan diabaikan hingga kini. Kebijakan ini sesungguhnya merugikan keuangan publik. Kejagung telah menetapkan dua orang tersangka dalam kasus ini, yakni Komisaris Bank Century Hesyam Al Waraq dan pemegang saham pengendali Rafat Ali Rizvi yang berstatus buron. Keduanya menguasai Bank Century melalui perusahaan asing, First Gulf Asia Holdings Limited. Mereka dituduh telah melarikan aset Bank Century ke luar negeri Rp. 11, 6 triliyun.

Menurut Gorup Diskusi Aktivis 77/78, deposan kakap di Bank Century diduga adalah beberapa keluarga konglomerat. Walaupun mereka membantah, nama deposan perorangan kelas kakap dimaksud sering disebut yakni Boedi Sampoerno, Arifin Panigoro dan Murdaya Poo (Hartati Murdaya). Para deposan kakap ini dalam sorotan publik juga ikut campur dalam kebijakan aliran dana publik ke Bank Century ini. Mereka memproleh bunga lebih besar ketimbang nasabah lain, dan juga menjadi donator dari salah satu partai pemenang pemilu.

Masalah berikutnya berkaitan dengan tuntutan publik, khususnya kalangan nasabah Bank Century, agar dana mereka dikembalikan Bank Century. Hingga kini, mereka terus berjuang baik melalui jalur hukum maupun politik, namun Pemerintah maupun Bank Century (kini Bank Mutiara) belum juga memenuhi tuntutan mereka ini. Pada umumnya nasabah yang menuntut ini tergolong nasabah kecil, bukan korporat. Sekalipun mereka melalui jalur hukum telah berhasil memenangkan perkara, dan manajemen Bank Century diputuskan Pengadilan sebagai fihak bersalah (Pengadilan DI Yogyakarta), namun tetap saja Pemerintah tidak menindak lanjuti keputusan itu dalam bentuk pengembalian dana nasabah kecil-kecil ini.

KPK telah mulai melakukan penyelidikan atas skandal ini. yang cukup mendapat sorotan publik. Bahkan, kini sekandal ini telah berimplikasi terhadap konflik terbuka Polri-KPK karena Polri telah menjadikan Bibit dan Chandra (Wakil Ketua KPK) sebagai terdakwa dan pernah ditahan juga. Pubik menduga, Polisi telah melakukan rekayasa kriminalisasi Bibit dan Chandra dalam rangka memperlemah KPK, termasuk menanganai skandal korupsi Bank Century. Bahkan, telah muncul dugaan di publik, Antasari juga telah menjadi korban skandal Bank Century.

Kasus-Kasus Lain

Walaupun dalam perhitungan kerugian negara masih jauh rendah ketimbang Kasus KPS/Cost Recovery, BLBI, Aliran Dana BI, Bank Century, masih ada kasus-kasus lain dapat dijadikan dasar penggunaan teori konspirasi atas rekayasa kriminalisasi dan pelemahan KPK.

Pertama, kasus suap dalam pemilihan Deputi Gubernur BI, Miranda Gultom. Sebagaimana diungkapkan oleh Agus Condro Prayitno, Mantan Anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR dari Fraksi PDIP, sejumlah anggota DPR Komisi IX DPR periode 1999-2004 menerima uang yang diberikan setelah Komisi Keuangan dan Perbankan sukses meloloskan Miranda S. Goeltom menjadi Deputi Gubernur Senior BI pada Juni 2004. KPK telah menetapkan empat mantan anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR Periode 1999-2004 sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap yang dilaporkan Agus Condro. Mereka adalah Hamka Yandhu, Udju Djuhaeri, Dudhie Makmun Murod dan Endin AJ. Soefihara. Kasus korupsi sudah dalam penanganan KPK sehingga bagaimanapun juga kalangan anggota DPR tertentu menjadi tidak senang dan berupaya memperlemah KPK agar tidak dapat menangani lebih jauh ke tingkat penuntutan terhadap tindak pidana mereka.

Kedua, kasus penyimpangan biaya perkara di Mahkamah Agung. ICW (Indonesian Corruption Watch) telah menemukan indikasi Rp. 31.5 miliyar dana tidak dikelola dengan semestinya. MA sebagai lembaga negara bidang yudikatif tentu saja mengkhawatirkan jika KPK terus menanganan perkara ini ke tingkat penuntutan. Para petinggi MA bisa terlibat tentunya dalam kasus ini.

Ketiga, ada juga dugaan konspirasi politik atas kasus pimpinan KPK dikaitkan mulai masuknya KPK dalam penanganan kasus dugaan korupsi IT di KPU (Komisi Pemilihan Umum), yang konon bisa melibatkan para petinggi pemerintahan yang sedang berkuasa dan para anggota DPR sebagai penentu kebijakan penggunaan IT di KPU dan juga sektor swasta yang menyuap para penentu kebijakan dimaksud. Kasus ini sudah berada dalam penanganan KPK.

Keempat, kasus korupsi Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) Departemen Kehutanan (Dephut), yang melibatkan sejumlah anggota Komisi IV DPR, Anggoro Wijoyo, Bos PT. Masaro Radiokom. Keterlibatan Anggoro dalam kasus korupsi ini bermula pada Januari 2007, saat Dephut mengajukan usulan rancangan program revitalisasi rehabilitasi hutan senilai Rp. 4,2 triliyun. Yusuf Erwin Faishal Ketua Komisi IV DPR melansir rekomendasi pengalihan anggaran DIPA 69 menjadi pengadaan SKRT berupa radio yang hilang, pengadaan radio bagi Badan Konservasi dan Sumber Daya Air (BKSDA) dan pengadaan radio bagi Manggala Agni senilai Rp. 180 miliyar. Rancangan tersebut disetujui pada Juni 2007. Lembar pengesahan juga diteken Menhut MS Kaban. Sebulan kemudian Yusuf mengesahkan Rancangan Pagu Bagian Anggaran Program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan dalam lembar pengesahan. Anggoro juga berhasil meyakinkan Sekjen Dephut dan Pejabat Pembuat Komitmen untuk proses pengadaan SKRT. Proyek itu tanpa tender dan tanpa proses lelang untuk penyediaan alat. PT Masaro pun ditunjuk menjadi rekanan Dephut untuk menyelesaikan proyek SKRT. Yusun Erwin pun menerima uang seperti dijanjikan Anggoro. Kini Yusuf telah diadili di pengadilan dan menjalani hukuman penjara, namun Anggoro sang pengusaha masih menjadi buron dan lari ke luar negeri. Sementara, Anggodo Widjaja, adik Anggoro, berdasarkan rekaman percakapan yang dibuka di Mahkamah Konstitusi, bersama petinggi Kepolisian dan Kejaksanaan berusaha memperlemah KPK melalui kriminalisasi dua pimpinan KPK (Bibit dan Chandra).

Bagaimana Memecahkan Masalah?

Bagaimana memecahkan masalah rekayasa kriminalisasi dan pelemahan KPK ini? Teori konspirasi dalam memahami rekayasa kriminalisasi dan pelemahan KPK dapat dikombinasikan dengan teori korupsi sandera negara (state capture corruption) yang menunjukkan aktor (pelaku) korupsi, antara lain: eksekutif, legislatif dan yudikatif, korporasi nasional dan internasional, lawyers/pengacara, konsultan, dan juga jurnalis/pers. Mereka bisa secara sembunyi-sumbunyi atau terbuka, individual atau kelompok melakukan rekayasa kriminalisasi dan pelemahan KPK. Sebagai contoh tekanan dari legislatif, pada 15 Juni 2008, Ketua Komisi Hukum DPR, Trimedya Panjaitan mengusulkan agar anggota Dewan menggunakan hak inisiatif untuk mengajukan RUU Penyadapan. Pada 7 Mei 2009 Komisi Hukum DPR mempertanyakan status nonaktif Antasari dan kemungkinan ”deadlock” dalam pengambilan keputusan di KPK. Pada Mei itu juga Dephumham menyerahkan Draft UU Tindak Pidana Korupsi, yang isinya banyak melucuti kewenangan KPK dan Pengadilan Tipikor.

Eksekutif sebagai aktor dapat dicontohkan pada komentar Presiden SBY (24 Juni 2009). SBY menilai kedudukan KPK seperti ”super body”. ”KPK ini sudah power holder yang luar biasa”, ungkap SBY. Beberapa hari kemudian BPKP (Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan) langsung mau melakukan pemeriksaan terhadap KPK sehingga terjadi polemik di media massa. Bahkan eksekuitf melalui Menteri Tifatul Sembiring ingin penyadapan dilakukan lewat Departemen Konumikasi dan Informatika. Dia sedang menyiapkan peraturan pemerintah (PP) mengenai penyadapan dalam enam bulan ke depan. Lembaga antrikoruypsi Indonesia (ICW) menolak rencana pemberian hak penyadapan kasus korupsi kepada Departemen. Mekanisme penyadapan oleh KPK sejauh ini dinilai tidak ada masalah. ”saya curiga peraturan ini justru upaya pelemahan KPK”, ujar Manajer Hukum dan Monitoring Pengadilan ICW Emerson Yuntho (Koran TEMPO, 24 November 2009).

Belakangan muncul pula prakarsa ”harmonisasi” atau penataulangan hubungan antara lembaga KPK, Kejaksaan dan Kepolisian. Mula-mula prakarsa ini mencuat di Komisi Hukum DPR, lalu diangkat lagi oleh Menpolhukam Djoko Suyanto, yang ingin mengkordinasikan langkah tiga lembaga ini lewat forum yang digelar rutin. Prakarsa ini menimbulkan pertanyaan kritis: bagaimana mungkin KPK menangkap pejabat Kepolisian atau Kejaksanaan yang korup jika ada harmonisasi? Reencana ini jelas, menurut Editorial Koran TEMPO, 10 Des.2009, melanggar UU KPK. Berdasarkan UU KPK ini, KPK memiliki wewenang mengawasi, bahkan mengambil alih, kasus yang ditangani Kejaksanan dan Kepolisian.

Masalah rekayasa kriminalisasi dan pelemahan KPK ini tidak bisa dilihat hanya satu dua aktor saja seperti Polri dan Kejaksaan, tetapi harus dilihat sejak pembuatan UU KPK dan proses rekruitmen (seleksia) pimpinan KPK (DPR-RI) hingga kasus per kasus yang dihadapi kelembagaan KPK. Sebagai contoh untuk proses seleksi pimpinan KPK, rekam jejak tidak menjadi pertimbangan serius Panitia Seleksi bentukan Presiden SBY. ”Komisi III DPR tetap memilih Antasari Azhar, yang rekam jejaknya sebagai jaksa bermasalah di beberapa daerah”, ujar Danang Widoyoko, Koordinator ICW (Koran TEMPO, 10 Des.2209).

Bagaimanapun juga, masalah kriminalisasi dan pelemahan KPK ini amat sulit dipecahkan sepanjang Presiden SBY (Istana) sendiri tidak mempunyai ”kehendak politik” dan bertindak nyata untuk memecahkannya. Berbagai kebijakan Pemerintah SBY justru memperkuat proses kriminalisasi dan pelemahan KPK. Karena itu, publik harus meningkatkan kegiatan penekanan terbuka terhadap Pemerintah SBY agar tidak melakukan kriminalisasi dan pelemahan KPK. Di samping itu, publik juga harus selalu memantau dan memperkuat upaya KPK untuk terbebas dari kriminalisasi dan pelemahan KPK khususnya oleh Pemerintah, DPR atau lembaga-lembaga negara lain. Bagaimanapun, pelaku korup dalam negara cenderung menginginkan KPK melemah, bahkan dihilangkan keberadaannya di Indonesia agar mereka terbebas dari sanksi hukum tindak pidana korupsi.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda