Jumat, 18 Desember 2009

CATATAN AKHIR DISKUSI GD AKTIVIS 77/78 "MUNGKINKAH SBY DIMAKZULKAN KARENA CENTURY-GATE DAN KRIMINALISASI KPK?"

CATATAN AKHIR DISKUSI GD AKTIVIS 77/78
“MUNGKINKAH SBY DIMAKZULKAN KARENA CENTURY_GATE DAN KRIMINALISASI KPK?

Catatan:
Group Diskusi (GD) Aktivis 77/78 telah mengadakan diskusi yang dihadiri lintas generasi dengan topik “Mungkinkah SBY Dimakzulkan Karena Century-Gate dan Kriminalisasi KPK? “, Hotel Acacia, Jakarta, 17 Desember 2009. Para pembicara utama dari berbagai keahlian, khususnya ekonomi perbankan, hukum tata Negara, sosiologi dan politik, antara lain: Fuad Bawazir (ekonomi perbankan), Muchtar Effendi Harahap (politik), Margarito (Hukum Tata Negara), Hasto Atmojo (Sosiologi), dll. Diskusi yang dimoderatori Indro Tjahjono (Ketua Gerakan Aktivis 77/78), dihadiri sekitar 200 orang, telah mengeluarkan catatan akhir diskusi. Isi catatan dimaksud sebagai berikut:

Perkembangan pengusutan tentang skandal Bank Century atau Century-gate sedang berlangsung, baik oleh DPR melalui hak angket maupun oleh KPK sebagai kasus tindak pidana korupsi. Kedua proses pengusutan tersebut, dalam iklim sosial yang tidak jujur dan tidak adil, sangat berpotensi untuk dipermainkan dan melenceng dalam mencapai kebenaran. Pengusutan oleh kedua lembaga negara tersebut dikhawatirkan hanya berkutat pada pelanggaran di tingkat kebijakan (policy) dan pengelolaan (management), yang seperti biasa bisa berujung pada transaksi dan menemui jalan buntu.

Oleh karena itu harus diungkapkan kejahatan sistematik yang tidak terbantahkan sebagai penyebab mendasar munculnya baik skandal Century-gate maupun kriminalisasi KPK. Dua skandal ini saling berkaitan dan kedua-duanya didukung oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Penerbitan Perppu yang cenderung dilakukan dengan semena-mena ini patut dipertanyakan apakah sejalan dengan UUD Pasal 12 dan Pasal 22 serta UU Nomor 10 Tahun 2004.

Presiden Susilo Bambang Yudhjoyono (SBY) telah mengeluarkan dua Perppu, yakni Perppu Nomor 4 Tahun 2008 untuk mengatasi masalah Bank Century dan Perppu untuk mengatasi masalah KPK. Penerbitan kedua Perppu tersebut tidak memenuhi landasan sosiologis dalam pembuatannya, yakni adanya kebutuhan mendesak untuk berbuat (logical necessity), keterbatasan waktu yang tersedia (limited time), dan adanya ancaman yang membahayakan (dangerous threat). Perppu yang dikeluarkan oleh Presiden SBY juga lemah ditinjau dari landasan filosofis dan yuridis.

Walaupun Perppu setelah ditolak DPR masih tetap berlaku sampai Presiden membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) pencabutan Perppu, namun bukti-bukti pelanggaran yang dikemukakan dalam rapat Panitia Khusus (Pansus) Bank Century DPR akibat penerbitan Perppu tersebut dinyatakan ”sangat terang-benderang”. Dengan demikian jelaslah penerbitan Perppu Nomor 4 Tahun 2008 merupakan bagian dari tindakan penyalah-gunaan kekuasaan dan penyelewengan yang melawan konstitusi. Selanjutnya juga Pasal 28 I ayat (2) dan Pasal 28 D ayat (1).

Selain itu Perppu Nomor 4 Tahun 2008 terlah bertindak di atas hukum, khususnya seperti yang tercantum pada Pasal 29. Pasal ini berisi pernyataan yang memberikan kekebalan hukum kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Gubernur Bank Indonesia dalam mengambil kebijakan atas JPSK (Jaring Pengaman Sistem Keuangan). Pasal 29 pada Perppu ini dengan jelas membuktikan bahwa Presiden SBY melanggar Pasal 27 UUD yang menyatakan bahwa segenap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan dengan tidak ada pengecualian.

Terkait dengan penerbitan PERPPU tentang Plt Pimpinan KPK No. 4 tahun 2009, Perppu ini dinilai dapat menghancurkan independensi KPK, prematur dan melawan prinsip-prinsip praduga tak bersalah, serta menghancurkan KPK secara politik dan psikologis. Melalui Perppu tersebut Presiden SBY telah melakukan kriminalisasi KPK sehingga terjadi penonaktifan dua Wakil Ketua KPK, Bibit dan Chandra. Padahal, status kedua Wakil Ketua itu masih sebagai ”tersangka”, dan Kepolisian belum mempunyai bukti hukum cukup untuk menjadikan kedua orang itu sebagai ”tersangka”.

Dari fakta di atas dan melalui pembahasan yang serius dalam diskusi ini, para peserta berkesimpulan tanpa keragu-raguan sedikit pun bahwa Presiden SBY telah melakukan pelanggaran hukum dengan melawan UUD. Dengan demikian secara de facto apa yang dilakukan oleh Presiden SBY sudah dapat memenuhi ketentuan pemakzulan berdasarkan UU Nomor 27 Tahun 2009. Proses konstitusional ini harus didukung oleh lembaga-lembaga MPR, DPR, dan MK yang berwibawa dan berpihak pada rakyat Indonesia, untuk mencegah tindakan-tindakan inkonstitusional.***

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda