Minggu, 14 Februari 2016

AHOK TIDAK LAYAK MENJADI GUBERNUR DKI JAKARTA: ALASAN DAN ARGUMENTASI

Beberapa alasan atau argumentasi mengapa Ahok tidak layak dan harus dimakzulkan sebagai Gubernur DKI Jakarta. Alasan PERTAMA: Ahok Secara Terbuka Bersikap Konflik dengan DPRD. Gubernur Ahok dan DPRD DKI Jakarta sebagai perwakilan rakyat seharusnya dapat terbangun dalam pelaksana tugas dan wewenang masing-masing dengan dasar kemitraan, hubungan kerjasa sama harmonis dan sinerjik untuk menjamin penyelenggaraan urusan pemerintahan efektif dan demokratis (UU No. 23/2014 tentang Pemerintah Daerah). Namun, Ahok secara terbuka bersikap konflik, memiliki visi berbeda dan bertentangan dengan DPRD. Ahok juga sering mengeluarkan kata-kata kotor dan kasar ke publik. Alasan KEDUA: Ahok Melakukan Pelanggaran terhadap Peraturan Perundang-Undangan. Tim Angket DPRD DKI Jakarta secara resmi menilai bahwa Ahok telah melakukan 4 (empat) pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan selama menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, yaitu: 1. Pelanggaran terhadap UU Nomor 11 tahun 2013 Pasal 34 ayat 1, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan Peraturan Pemerintah Tahun 2008. 2. Pelanggaran terhadap UU dalam penyelenggaraan system informasi keuangan Negara, yang dianalisiskan dalam tingkat daerah dalam bentuk e-Budgeting. 3. Pelanggaran terhadap etika dan norma, dalam melaksanakan kebijakan, dalam melakukan tindakan menyebarkan fitnah terhadap institusi dan anggota DPRD dengan menyatakan bahwa “DPRD sama seperti dewan perampok daerah”. Selain itu beberapa ucapan kata-kata yang terlontar dari Ahok seperti “bajingan, brengsek, lo piker pake otak, gebrak meja dan marah-marah gebrak mobil”, dari akun youtube dan media online. 4. Pelanggaran terhadap UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pasal 67, bahwa kewajiban Kepada Daerah dan Wakil untuk mentaati ketentuan dalam UU. Alasan KETIGA: Hak Menyatakan Pendapat (HMP) DPRD. Panitia Angket DPRD mengusulkan untuk menindaklanjuti pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang telah dilakukan oleh Ahok melalui penggunaan “Hak Menyatakan Pendapat” (HMP). Penggunaan HMP memaknakan Ahok telah melakukan tindakan melawan hukum dan memungkinkan untuk pemakzulan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta. Alasan KEEMPAT: Kinerja Ahok Buruk dan Rapor Merah dalam Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan. DPRD DKI Jakarta secara resmi menilai kinerja Ahok dan aparatnya pada 2014 buruk dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan. Penilaian DPRD ini merupakan “rapor merah” bagi Ahok. Ada 10 penilaian buruk dan rapor merah untuk Ahok: 1. Pendapatan tercapai hanya 66,8 persen atau Rp. 43,4 triliun lebih kecil dari rencana Rp. 65 triliun. 2. Realisasi belanja 59,32 persen adalah belanja terendah Jakarta, jika belanja terealisasi 100 persen maka terdapat defisit anggaran Rp 20 triliun. 3. Di sektor pembiayaan, realisasi PMP hanya 43,62 persen yang terdiri dari kegagalan realisasi PMP pada PT. KBN, PT. Pam Jaya, dan PT. Food Station. 4. Kenaikan NJOP yang semena-mena tanpa perhitungan matang terbukti memberatkan beban rakyat, diharapkan dike‎mbalikan seperti tahun 2013. 5. Kenaikan angka kemiskinan dari 371.000 jiwa pada tahun 2013 menjadi 412.000 jiwa pada tahun 2014 menujukan kegagalan Ahok dalam mensejahterakan masyarakat. 6. Pemberian izin reklamasi oleh Ahok melanggar UU No. 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Pantai, Peraturan Presiden Nomor 122 tahun 2012 tentang Reklamasi Pantai. 7. Ahok belum mampu mempertahankan aset-aset Pemda DKI Jakarta yang berpekara di pengadilan. 8. Penerimaan CSR selama ini tidak dikelola dengan transparan. 9. Ahok melanggar perundang-undangan khususnya UU No. 29 tahun 2007 pasal 22 tentang Organisasi Perangkat Daerah berkenaan dengan penghapusan jabatan Wakil Lurah. 10. Kinerja Ahok dan aparatnya pada tahun 2014 buruk. Buruknya kinerja Ahok juga dapat ditemukan melalui ahsil survei dilakukan Periskop Data pimpinan Muhammad Yusuf Kosim, yakni publik "tidak puas" dengan kinerja Ahok dan wakilnya Djarot Saiful Hidayat di bidang "perumahan rakyat", "kemacetan", dan "banjir". Survei Periskop Data dilaksanakan pada 1-7 Juni 2015. Survei ini dilakukan secara langsung melalui wawancara tatap muka. Metode yang digunakan adalah Multistage Random Sampling. Sampel pada survei ini adalah penduduk Indonesia yang berusia 17 tahun atau lebih atau sudah menikah. Pelaksanaan survei dilakukan di seluruh wilayah DKI. Jumlah sampel yang diambil sebesar 500 responden. Adapun margin of error survei ini sebesar 4,4 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Serapan anggaran DKI juga dapat dijadikan indikator rendahnya kinerja Ahok. Kementerian Dalam Negeri mengevaluasi penggunaan anggaran daerah pada Semester I 2015. Hasilnya, DKI menjadi salah satu provinsi dengan penyerapan anggaran terendah. Persentase serapan anggaran baru 22,86 persen dari total Rp. 69,2 triliun. Badan keuangan dan Aset Daerah DKI mencatat terdapat tiga dinas yang serapan anggarannya rendah. Ketiganya adalah Dinas Penanggulangan Kebakaran yang baru menyerap 2,08 persen dari total anggaran Rp. 900 miliar; Dinas Perumahan dan Gedung yang baru menyerap 3,25 persen anggaran dari total Rp. 2,1 triliun; serta Dinas Tata Air yang baru membelanjakan 3,49 persen dari Rp. 5,16 triliun. Mendagri Tjahjo Kumolo menyatakan, penyerapan anggaran terendah di Indonesia terjadi di DKI. "DKI Jakarta yang terparah", tandas Mendagri. Sementara Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah, Kemendagri, Reydonnyzar Moenek mengungkapkan serapan anggaran pemerintah DKI justru terbesar hanya ada di belanja pegawai."Sehaarusnya belanja jasa dan modal lebih besar dibandingkan pegawai", tegasnya (Harian TEMPO, 18 Agustus 2015). Sebagai catatan tambahan, pada 24 Februari 2016, Dewan Pimpinan Wilayah Barisan Muda Penegak Amanah Nasional (BM-PAN) DKI Jakarta menggelar diskusi sekitar Evaluasi Kritis Pembangunan DKI Jakarta. Muhammad Idrus, kader PKS, selaku narasumber menilai, ekonomi Jakarta saat hanya dinikmati oleh kalangan menengah atas. Gini Ratio (Kesenjangan Ekonomi) Jakarta sebesar 0,43. Angka ini menunjukkan nomor dua terendah di Indonesia setelah Papua. Alasan KELIMA: Implikasi Negatif Sikap Ahok terhadap DPRD. Sikap Ahok secara terbuka konflik dan mengabaikan prinsip hubungan kemitraan, kerjasama harmonis dan sinerjik dengan DPRD telah menimbulkan implikasi negatif terhadap rakyat DKI sebagai penyumbang terbesar terhadap APBD. Implikasi negatif dimaksud sebagai berikut: 1. Terhambatnya penggunaan anggaran pendidikan dan kesehatan yang pada gilirannya meganggu pelayanan publik. 2. Terganggunya pelayanan publik bisa menimbulkan konflik dan masalah antara rakyat dan birokrasi. 3. Proyek nasional di DKI terancam tertunda-tunda waktu pelaksanaan karena APBD DKI belum disahkan. 4. Ketiga, kinerja Pemerintah DKI tidak maksimal dan penyerapan anggaran akan semakin rendah dibandingkan tahun sebelumnya. 5. Rendahnya kualitas pelayanan publik. Alasan KEENAM: WDP untuk AHOK Opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) menurut istilah akuntansi adalah pendapat yang diberikan ketika laporan dikatakan wajar dalam hal material, tetapi terdapat sesuai penyimpangan (kurang lengkap) pada pos-pos tertentu, sehingga harus dikecualikan. Pengecualian itu sendiri mungkin saja terjadi karena bukti kurang cukup, adanya pembatasan ruang lingkup, atau terdapat penyimpangan dalam penerapan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Predikat WDP 2014 tidak berbeda dengan opini audit BPK pada laporan keuangan Pemprov DKI Jakarta pada 2013. Padahal pada periode kepemimpinan sebelumnya DKI Jakarta selalu mendapat opini audit WTP (Wajar Tanpa Pengecualian). Predikat WDP karena ada 70 temuan dalam laporan keuangan daerah senilai Rp. 2,16 triliun, berindikasi kerugian daerah senilai Rp 442 miliar. Dan berpotensi merugikan daerah sebanyak Rp. 1,71 triliun. Lalu kekurangan penerimaan dana daerah sebanyak Rp. 3,13 miliar, belanja administrasi sebanyak Rp. 469 juta dan pemborosan Rp. 3,04 miliar. Beberapa temuan wajib menjadi perhatian Pemprov DKI yakni asset seluas 30,88 hektar di Mangga Dua dengan PT.Duta Pertiwi yang dianggap lemah dan tidak memperhatikan faktor keamanan asset. Juga pengadaan tanah RS Sumber Waras di Jakarta Barat yang tidak melewati proses pengadaan memadai. Ada indikasi kerugian senilai Rp. 191 miliar. Pemprove DKI juga megalami kelebihan bayar premi asuransi senilai Rp. 3,7 miliar, juga pengeluaran dana Bantuan Operasional Pendidikan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan senilai Rp. 3,05 miliar. Temuan lain yakni penyertaan modal dan asset kepada PT. Transportasi Jakarta (Transjakarta) tidak sesuai ketentuan. Hal ini mengyangkut tanah seluas 794 ribu meter persegi, bangunan seluaas 234 meter persegi dan tiga blok apartemen yang belum diperhitungkan sebagai penyertaan modal kepada badan usaha milik daerah. Berdasarkan laporan BPK di atas, dalam perjalanan Ahok selaku Gubernur DKI terdapat data dan fakta lainnya bahwa Ahok gagal mengurus pemerintah dan rakyat DKI Jakarta. Data dan fakta dimaksud antara lain temuan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) tentang beberapa ketidkberesan dalam penggunaan anggaran oleh Pemerintah DKI tahun anggaran 2014. Atas dasar itu, BPK memberi opini "wajar dengan pengecualian (WDP)" untuk laporan keuangan tahun lalu. Predikat ini tak berbeda dengan laporan keuangan pada 2013. Beberapa temuan BPK yang mengakibatkan DKI mendapat "rapor merah" antara lain sensus aset yang masih berantakan (Tempo, 7 Juli 2015). Alasan KETUJUH: Dari kriteria integritas, ternyata Ahok sebelum menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI, telah menunjukkan adanya dugaan perilaku korupsi di daerah asalnya, Kabupaten Belitung Timur. Ahok dituding sekelompok orang berdemo (Forum Ketahanan NKRI) di depan Kantor Kejaksaaan Agung, Jakarta, 1 Juli 2015, melakukan dugaan tindak korupsi pembangunan dermaga Manggar Belitung Timur saat dirinya masih menjabat sebagai Bupati di sana. Akibatnya negara dirugikan sebesar Rp. 22 miliar. Kasus ini bermula pada tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupatenm Belitung Timur dan Program Strategis Departemen Perhubungan tentang Pembangunan Pelabuhan di Indonesia yakni dermaga Manggar--Ketapang. Pembangunan ini sendiri menggunakan APBN untuk dermaga dan APBD untuk lahan seluas 20.000 meter persegi terletak di Desa Baru Kecamatan Manggar, yang ditandatangani Ahok sewaktu menjabat Bupati Belitung Timur pada 2006. Ahpk turut diduga memalsukan dokumen negara terkait proyek ini. Kasus ini tertunda penanganannya karena situasi politik tahun 2012 yang masih dalam suasaan Pilgub DKI JAkarta (HArian Terbit, 2 Juli 2015). Sementara ini dimata publik, Ahok diduga telah melakukan tindak pidana korupsi sehubungan dengan kasus pemberlian Tanah RS Sumbr Waras, Jakarta Barat. JAKARTA. Salah satunya, dilaporkan oleh KOMPAS.com , Ahok dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi oleh seorang warga bernama Amir Hamzah. Ahok dianggap telah menyalahgunakan wewenang dalam pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras. Amir berharap KPK memeriksa hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan terhadap anggaran pendapatan dan belanja daerah DKI Jakarta tersebut. Menurut dia, hasil audit tersebut mengindikasikan adanya penggelembungan anggaran dan korupsi dalam kasus itu. Menurut Amir, ada beberapa faktor yang menimbulkan kecurigaan adanya korupsi. Salah satunya adalah penentuan harga tanah senilai Rp 755 miliar. Ia menganggap penentuan harga itu tidak melalui mekanisme penilaian wajar. Penentuan tersebut hanya berdasarkan pertemuan tertutup Ahok dengan direksi RS Sumber Waras. "Harusnya lewat proses sosialisasi dan lainnya memakan waktu tiga bulan. Tapi, ini langsung diputus sendiri sama Gubernur dan sehari jadi," kata Amir. Kasus Dugaan Korupsi pembeliaan tanah SUmber Waras ini bermula dari temuan BPK bahwa pembelian 3,64 Ha Tanah milik yayasan Kesehatan Kesehatan Sumber Waras terindikasi merugikan uang Negara. Lokasi tanah dimaksud berada di Jalan Tomang Utara, suatu kampong sempit yang selalu macet pada jam kerja. Berdasarkan sumber http://www.pkspiyungan.org (2015/07/12), Garuda Institute menemukan 12 fakta hasil kajian soal BPK versus Korupsi Ahok. Garuda Institute mengecam keras provokasi yang disampaikan Ahok melalui media terhadap pejabat BPK terkait audit laporan keuangan Pemprove DKI 2014, terutama menyangkut pembelian tanah 3,64 Ha milik Yayasan Kesehatan Smber Waras. 12 Fakta hasil studi Garuda Institute dimaksud sebagai berikut: 1. Pemprove DKI membeli sebidang tanah di bagian belakang areal Rumah Sakit Sumber Waras, Grogol, seluas 3,64 Ha. Tanah ini tidak siap bangun karena di atasnya terdapat sejumlah bangunan milik RS Sumber Waras yang hingga kini masih difungsikan. Tanah tersebut juag dikenal sebagai langganan banjir. 2. Tanah 3,64 Ha itu berbatasan dengan rumah penduduk (Utara) Jalan Tomang Utara IV (Timur), Jalan Tomang Utara (Barat), dan RS Sumber Waras (Selatan). Jalan Tomang Utara adalah jalan kampung sempit yang selalu macet pada jam kerja. Saat ini tanah tersebut tiadk mempunyai akses jalan kecuali melalui tanah RS Sumber Waras. 3. Pemprove DKI membeli tanah tersebut sehanrga Rp. 20,75 juta per meter atau Rp. 744,69 miliar cash. Harga Rp. 20,75 juta per meter adalah NJOP tanah bagian depas areal RS Sumber Waras berbatasan dengan Jalan Kyai Tapa. Sementara NJOP tanah bagian belakang areal RS Sumber Waras berbatasan dengan Jalan Tomang Utara hanya Rp. 7,44 juta. 4. Pemilik tanah 3,64 Ha itu adalah Yayasan Kesehatan Sumber Waras yang yang pengurusnya dipimpin oleh Kartini Muljadi, perempuan terkaya di Indonesia. Yayasan itu didirikan orang-orang Cina bergabung dalam Perhimpunan Sosial Candra Naya yang sebelumnya bernama Perkumpulan Sin Ming Hui. 5. Tanah 3,64 Ha yang dibeli Pemprov DKI memiliki sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 2878 per 27 Mei 1998 dengan masa berlaku 20 tahun, alias habis 27 Mei 2018. Berdasarkan Pasal 36 Ayat (12) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, tanah dengan sertifikat HGB yang habis jangka waktunya otomatis menjadi tanah milik Negara. 6. Tanah 3,64 ha yang dibeli Pemprove DKI memiliki tunggakan utang pajak bumi dan bangunan (PBB) senilai total Rp. 6,62 miliar. Tunggakan pajak itu tiadk menjadi pengurangan harga beli sebabagaimana lazimnya praktik transasksi tanah. Posisi terakhir, Yayasan Kesehatan Sumber Waras baru membayar 50 % dari tunggakan tersebut. 7. Transaksi pembelian tanah antara Yayasan Kesehatan Sumber Waras dan Pemprove DKI dilakukan saat yayasan masih terikat dengan Akta Perjanjian Perikatan Jual Beli (APPJB) tanah yang sama dengan PT.Ciputra Karya Unggul. Yayasan seperti si ataur dalam APPJB itu, juga telah menerima uang muka Rp. 50 miliar dari PT Ciputra Karya Unggul. 8. Harga tanah dalam APPJB tersebut disepakati Rp. 15,50 juta per meter, ditambah syarat Yayasan Kesehatan Sumber Waras mengurus perubahan peruntukan tanah tersebut dari umum menjadi komersial. Sementara itu, Pemprov DKI membeli tanah tersebut seharga Rp. 20,75 juta per meter, tanpa syarat perubahan peruntukan. 9. Pengurus Yayasan Kesehatan Sumber Waras menawarkan tanah 3,64 Ha itu kepada Pemprov DKI dengan alamat Jalan Kyai Tapa, dengan harga NJOP pada 2014 sebesar Rp. 20,75 juta per meter (Rp. 755,69 miliar). Padahal, lokasi fisik tanahnya berada di Jalan Tomang Utara, dengan NJOP pada 2014 hanya Rp. 7,44 juta (Rp. 564,35 miliar). 10. Pemprov DKI membeli 3,64 Ha tanah itu Rp. 755,69 miliar tanpa menawar dan mengecek, sama dengan penawaran Yayasan Kesehatan Sumber Waras. Penawaran disampaikan 7 Juli 2014, dan direspons langsung oleh Gubernur DKI Jakarta pada 8 Juli2014 dengan mendisposisikannya ke Kepala Bappeda DKI untuk dianggarkan dalam APBD-P DKI 2014. 11. Pemprov DKI membeli tanah itu untuk dijadikan Rumah Sakit. Padahal, selain lokasinya tidak strategis, belum siap bangun, langganan banjir, dan tidak mudah diakses karena berada pada jalan kampong, Pemprove DKI juga amsih mempunyai banyak tanah yang strategis. Apalagi, kebutuhan minimal tanah untuk rumah sakit hanya 0,25 Ha (2.500 M2). 12. Sekalipun Gubernur DKI Ahok telah mengklaim akan membatalkan transaksi pembelian tanah itu, pada praktiknya pembatalan tersebut nyata bukan sepenuhnya berada dalam kekuasaan Pemprov DKI. Selama yayasan Sumber Waras tidak mau membatalkannya, maka transaksi itu pun tidak bisa dibatalkan. Dugaan tindak pidana korupsi Ahok juga disuarakan pada 7 September 2015. DPD FPI DKI Jakarta bersama Tim Hukum FPI Jakarta dipimpin oleh Imam FPI DKI Jakarta, Hb.Muhsin b Zaid Alattas, didampingi oleh Ketua Syura FPI DKI Hb. Ali b Hasyim Alattas dan Ketua Tanfidzi FPI Jakarta KH Buya Abdul Majid Umar, secara resmi melaporkan AHOK ke Mapolda Metro Jaya atas dugaan KORUPSI berupa penyelewengan dana APBD / APBD-P 2014 Pemprop DKI Jakarta dengan INDIKASI KERUGIAN NEGARA mencapai Rp.1.891.310.956.699,- (Satu Trilyun Delapan Ratus Sembilan Puluh Satu Milyar Tiga Ratus Sepuluh Juta Sembilan Ratus Lima Puluh Enam Ribu Enam Ratus Sembilan Puluh Sembilan Rupiah), dengan rincian KASUS sebagai berikut : 1. Indikasi Kerugian Negara senilai Rp.1.691.393.636.322,- (Satu Trilyun Enam Ratus Sembilan Puluh Satu Milyar Tiga Ratus Sembilan Puluh Tiga Juta Enam Ratus Tiga Puluh Enam Ribu Tiga Ratus Dua Puluh Dua Rupiah) dalam proses Penetapan Nilai Penyertaan Modal dan Penyerahan Aset Pemprop DKI Jakarta kepada PT Trans Jakarta (BUMD) melalui INBRENG (Penyertaan Modal Pemerintah selain uang tunai) yang dilakukan lewat proses yang tidak sesuai ketentuan. 2. Indikasi Kerugian Negara senilai Rp.8.582.770.377,- (Delapan Milyar Lima Ratus Delapan Puluh Dua Juta Tujuh Ratus Tujuh Puluh Ribu Tiga Ratus Tujuh Puluh Tujuh Rupiah) dalam proses Penyerahan Aset INBRENG Pemprop DKI Jakarta berupa tanah seluas 234 meter persegi dan Tiga Blok Apartemen yang tidak diperhitungkan sebagai Penyertaan Modal Pemerintah pada BUMD. 3. Indikasi Kerugian Negara senilai Rp.191.334.550.000,- (Seratus Sembilan Puluh Satu Milyar Tiga Ratus Tiga Puluh Empat Juta Lima Ratus Lima Puluh Ribu Rupiah) dalam proses Pengadaan Tanah Rumah Sakit Sumber Waras dalam rangka pembangunan Rumah Sakit Khusus Jantung dan Kanker Pemprop DKI Jakarta. Memperhatikan LHPK – BPK, sebenarnya masih banyak kasus penyelewengan Keuangan Negara yang melibatkan AHOK yang nilai komulatifnya sangat fantastis mencapai Trilyunan rupiah. Hanya saja, tiga kasus tersebut di atas yang dilaporkan DPD FPI DKI Jakarta lebih fokus karena melibatkan AHOK secara langsung. DPD FPI Jakarta dalam laporannya merincikan peraturan dan perundang-undangan yang secara jelas dan nyata dilanggar oleh AHOK, yaitu sebagai berikut : 1.Dalam KASUS PERTAMA terbukti bahwa AHOK telah melanggar : a. Peraturan Pemerintah No 6 Th 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara / Daerah pasal 39 ayat 1 dan 2. b. Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri No 17 Th 2007 tanggal 21 Maret 2007 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pengelolaan Barang Milik Daerah romawi XII.5 Penyertaan Modal Pemerintah Daerah pada huruf b dan huruf c. c. Peraturan Menteri Keuangan No 2/PMK.06/2008 tentang Penilaian Barang Milik Negara pasal 44 ayat 1. d. Peraturan Menteri Dalam Negeri no 17 Th 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah pasal 50 dan pasal 52 ayat 1 s/d 3. 2.Dalam KASUS KEDUA terbukti bahwa AHOK telah melanggar : a. Undang-Undang No 1 Th 2004 tentang Perbendaharaan Negara pasal 41 angka 5. b. Undang-Undang No 40 Th 2007 tentang Perseroan Terbatas pasal 34 ayat 2. c. Peraturan Pemerintah No 6 Th 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara / Daerah pasal 39 ayat 1 dan 2. d. Peraturan Menteri Dalam Negeri no 17 Th 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah pasal 45 ayat 1 dan 2. e. Peraturan Daerah DKI Jakarta No 5 Th 2004 tentang Perubahan Bentuk Badan Hukum Perusahaan Daerah WNJ Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Yayaysan WJR menjadi PT JT dan Penyertaan Modal Pemprop DKI Jakarta pada PT JT pasal 2 ayat 2 dan pasal 11 ayat 2, serta Penjelasan pasal 11 ayat 2. f. Peraturan Daerah DKI Jakarta No 12 Th 2004 tentang Penyertaan Modal Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta pada PT JP pasal 14 dan Penjelasan pasal 14. g. Perjanjian Kerjasama No 1568 Th 1992 tanggal 5 Oktober 1992. Dalam perkembangannya, kasus dugaaan korupsi AHOk atas pembelian tanah Sumber Waras ini, yakni BPK telah menyerahkan hasil investagi kepada KPK pada 7 Desember 2015. Audit investigatif BKP dilakukan selama 80 hari ini atas permintaan KPK. Menurut Anggota III BPK RI, Eddy Mulyadi Supardi, BPK memukan Enam Penyimpangan Pembelian Lahan RS Sumber Waras. Yakni penyimpangan dalam tahap perencanaan, penganggaran, Tim, pengadaan pembelian lahan RS Sumber Waras, penentuan harga dan penyerahan hasil. Dengan diserahkannya audit investigasi ini, artinya BPK telah menyelesaikan audit investigasi dalam waktu empat bulan. Berbagai aktor dan kelompok masyarakat madani terus menuntut agar KPK mempercepat penyelesaian kasus dugaan korupsi Ahok ini. Salah satunya, Komite Tangkap dan Penjarakan (KTP) Ahok mendatangi Gedung BPK RI, Jl. Gatot Subroto, Jakarta, 7 Desember 2015. Mereka menuntut penyelesaian kasus dugaan korupsi Ahok. Kordinator Lapangan KTP, Fajrul Syam, menegaskan, dugaan penyalanhgunaan wewenang pada kasus diduga meugikana Rp. 191 miliar ini belum diusut tuntas. “Kami menilai, ada sebuah diskriminasi dan perbedaan sudut pandang dalam penanganan kasus ini. Seolah-olah Ahok tidak bisa tersentuh oleh hukum, apakah karena dekatr dengan sumber kekuasaan dan didukung pemilik modal”, tandas Fajrul. KTP Ahok adalah aliansi gerakan mahasiswa dan masyarakat Jakarta anti korupsi, mendesak tigak tuntutan untuk dipenuhi, antara lain: (1) Mendukung BPK agar segera menyampaikan audir investigasi ke KPK untuk mengungkjapkan dalang di balik kerugian negara yang melibatkan AHOK; (2).Tolak segala bentuk intervensi dari siapapun yang dapat melemahkan BPK. KTP Ahok kembali mendatangi KPK, 8/1/2015. Massa menuntut agar KPK segera jadikan Ahok sebagai tersangka terkait kasus pembelian lahan RS Sumber Waras. Dalam orasinya, Koordinator Lapangan (Korlap) Aksi KTP Ahok, Raden Hidayatullah mengatakan, KPK tidak boleh menutup mata dengan adanya laporan hasil audit investigatif BPK semestinya sudah menjadi dasar dalam menindaklanjuti penyelidikan dan pemeriksaan tanpa harus beretorika yang mengulur-ulur waktu. Bila KPK semakin berlarut-larut dalam pengusutan kasus pengadaan lahan merugikan negara hingga Rp191 miliar ini, kata Raden, KTP Ahok bakal mendesak Presiden Jokowi untuk segera mengganti komisioner KPK yang belum lama menjabat. "Karena mempenjarakan koruptor saja tidak mampu," cibirnya.‎ Kelompok kritis lain adalah gerakan "Lawan Ahok". Pada 7 Desember 2015 kelompok ini melakukan aksi di gedung KPK, Jakarta. Mereka menuntut KPK menindaklanjuti hasil audit investigasi BPK tersebut. Koordinator lapangan MHR Songge menegaskan, Ahok bersalah atas pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras. "KPK berani tangkap Ahok, hebat!" katanya, Menurut Songge, pembelian lahan tersebut merugikan warga dan merupakan bentuk korupsi Ahok, sapaan akrab Basuki. Ada empat tuntutan yang diajukan gerakan “Lawan Ahok”. Pertama, hasil audit investigasi BPK tentang pembelian lahan RS Sumber Waras disampaikan ke KPK harus sesuai dengan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK telah disampaikan dan dibacakan dalam sidang paripurna DPRD DKI, 6 Juli 2015. Kedua, KPK harus profesional dan bekerja untuk rakyat dan negara. Ketiga, KPK harus segera mengungkap dan mengusut secara tuntas dalang dibalik kerugian negara yang patut diduga melibatkan Gubernur DKI Ahok dan menyeret pelaku lainnya ke meja pengadilan. Keempat, Kami bersama warga Jakarta akan mengawal KPK serta institusi penegak hukum lainnya untuk mengusut kasus korupsi yang merugikan negara. Hari ini, BPK menyerahkan hasil audit investigasi lahan sumber waras kepada KPK. Audit tersebut diminta oleh KPK karena banyak lembaga swadaya masyarakat yang melaporkan Ahok karena dianggap bertanggung jawab dalam pembelian lahan tersebut. Laporan masyarakat didasari audit BPK atas laporan keuangan 2014. Kelompok berikutnya pimpinan Fahmi Idris, Mantan Menteri dan Kader Senior Golkar. Ia mendatangani KPK untuk mempertanyakan sejumlah kasus besar yang terkesan mangkrak, termasuk kasus dugaan korupsi Ahok. Fahmi meyakini para pimpinan KPK tidak mengabaikan kasus-kasus besar itu. Namun, Fahmi meminta KPK untuk mempercepat penanganan kasus-kasus tersebut. Hal ini agar kasus itu tidak berlarut-larut dan menimbulkan polemik di masyarakat Fahmi menyatakan, kedatangannya ini mewakili kelompok yang tergabung dalam Peduli Negara. Selain dirinya, kelompok ini terdiri dari sejumlah tokoh lainnya, di antaranya Lily Wahid, adik Presiden ke-4 Gus Dur. Pada 17 Februari 2016, sejumlah pimpinan dan puluhan anggota DPRD DKI Jakarta mendatangi KPK untuk mempertanyakan kelanjutan dari kasus pembeliaan lahan RS Sumber Waras. Agenda para legislator DKI Jakarta bertemu dengan KPK ini untuk mendesak agar komisi antirasuah itu dengan segera menindaklanjuti adanya dugaan kerugian pada belanja lahan Rumah Sakit Sumber Waras yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta. Selama kurang lebih satu setengah jam mereka bertemu dengan pimpinan KPK. Wakil Ketua DPRD DKI Abraham Lunggana (PPP) menegaskan, ingin segera membongkar kebohongan Ahok. Dia mengatakan, masyarakat harus tahu kebohongan Ahok. Sehingga, dia meminta KPK agar Ahok segera ditangkap. Dia berencana mendesak KPK dengan cara mendatangi KPK setiap satu bulan satu kali. Tugas pokok fungsi kami sebagai alat kontrol oleh karenanya kami datang kemari sebagai DPRD untuk mengontrol Sumber Waras. Ini kasus rakyat DKI, wajib pajak DKI sembari menegaskan, dia memiliki bukti baru terkait kasus Sumber Waras. Dia berharap status dari Sumber Waras ditingkatkan menjadi proses penyidikan. Di lain fihak, Wakil Ketua DPRD DKI M. Taufik (Gerindra) mengingatkan, audit investigasi BPK telah menyatakan, adanya penyimpangan dalam pembelian lahan di Jalan Kiai Tapa tersebut. Audit investigatif BPK ini seharusnya ditindaklanjuti oleh KPK. Alasan KEDELAPAN: Ahok pelanggar HAM. Terdapat juga penilaian bahwa Ahok tergolong pelanggar HAM. Hal ini dapat diperoleh dari pemberitaan Korang Tempo, 27 Agustus 2015. Diberitakan, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menemukan serangkaian pelanggaran yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam penggusuran warga Ibu Kota sepanjang tahun 2015. Berdasarkan data LBH JAkarta sejak Januari-Agustus 2015, terjadi 30 kasus penggusuran yang dikategorikan sebagai "penggusuran paksa". Termasuk yang terakhir adalah penggusuran di Kampung Pulo, Jakarta Timur pada 20 Agustus lalu. "Ada unsur pelanggaran hak asasi manusia," kata Alldo Fellix Januardy, Pengacara Publik LBG Jakarta. Alldo memperkirakan dari 30 penggusuran tersebut, sebanyak 3.433 keluarga terusir dan 433 unit usaha tutup. Penggusuran ini, kata Alldo, sarat dengan unsur pelanggaran karena dilakukan tanpa memenuhi pendekatan HAM, yakni setiap warga berhak atas penghidupan yang layak. "Salah satu unsur yang dilanggar, pemerintah tidak pernah menunjukkan bukti surat kuasa pengelolaan atas tanah yang disebut milik negara," Alldo menuturkan. Di lain pihak, Atika Yuanita, pengacara LBH Jakarta lainnya, mengatakan mayoritas penggusuran dilakukan dengan pengancaman alat berat, seperti yang terjadi di Kampung Pulo. Bahkan penertiban mengikutsertakan personel kepolisian dan tentara. "Seharusnya Polri dan TNI tidak terlibat karena keduanya bertanggungjawab melindungi masyarakat". Temeuan LBH Jakarta ini hampir sama dengan pernyataan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), bahwa ada pelanggaran HAM dalam pengguusuran Kampung Pulo. Tindakan kekerasan oleh aparat keamanan dianggap represif dan tidak manusiawi. Dalam tutur kata sesungguhnya Ahok sangat kontroversial dengan kelaziman pejabat penyelenggara negara dan politisi di Republik ini. Sudah banyk kecaman dan kritik muncul terhadap Ahok dengan tutur kakatanya yang dinilai tidak mendidik bagi kaum muda dan pelajar. mengingat tutur kata Ahok dipublisir melalui media massa cetak, audiovisual dan media sosial. Satu contoh kritik/kecaman pernah muncul dari anggota DPRD Kota Bekasi terkait dengan tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST) di Bantargebang, Bekasi. Harian Koran Tempo, 3 November 2015, memberitakan, Ketua Komisi A DPRD Kota Bekasi, Ariyanto Hendrata mengatakan lembaganya berencana mengsomasi Ahok yang menyebut anggoat Dewan menerima duit dari PT. Godang Tua Jaya, pengelola TPST Bantargebang. Menurutnya, Ahok telah mencemarkan nama dan menghina lembaga perwakilan rakyat Kota Bekasi. Ada enam bentuk penghinaan Ahok terhadap DPRD Kota Bekasi, diantaranya menyebut anggoat Dewan sombong, kekanakkanakan, melarang warga Bekasi bekerja di Jakarta, dan mengejek "mulut Dewan bau sampah". Tindakan Ahok pelanggar HAM dapat juga dibuktikan dengan penggusuran perumahan tempat tinggal warga di Kalijodoh. Dengan alasan tanah Kalijodoh milik negara, sekalipun tidak pernah menunjukkan bukti hukum tanah Kalijodoh itu milik negara, akan digunakan jalur hijau atau daerah ruang terbuka. Beragam penilaian kritis telah muncul atas tindakanAhok menggusur warga Kalijodoh. Di antaranya, Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, dibeberkan di dalam VIVA.co.id , 14 Februari 2016. Menurutnya, penggusuran tidak harus selalu dilakukan dengan cara kekerasan. “Saya tidak sepakat penggusuran dilakukan secara paksa. Pendekatan diplomatis sebenarnya bisa ditempuh untuk memindahkan warga dianggap menempati wilayah Kalijodo, sekaligus rencana menutup lokalisasi di area tersebut. Sebagai contoh, cara ditempuhnya saat memindahkan warga yang ada di Waru Gunung, Surabaya. Komunikasi lebih dutamakan, lalu mereka dipindahkan ke rumah susun dan bersedia. Dengan mengedepankan komunikasi, Risma yakin proses penggusuran Kalijodo akan berlangsung dengan baik. Lebih jauh, tak ada warga yang bakal merasa dirugikan. Kritik Waikota Surabaya ini senada dengan Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta asal Fraksi PPP, Abraham “Lulung” Lunggana. “Harusnya didahulukan dulu komunikasi. Jangan didahulukan kekerasan. Kalau itu terjadi, Ahok selalu beropini agar membuat jarak masyarakat kepada TNI-Polri,” Lulung menuntut Basuki membangun komunikasi terlebih dahulu dengan warga Kalijodo sebelum melakukan penggusuran rumah-rumah warga. Dia meminta Basuki berani mendengarkan suara masyarakatnya sendiri daripada omongan pihak lain. “Ahok harus berani mendengarkan masyarakatnya sendiri. Kalau dia khawatir, ada Muspida punya tempat, undang masyarakat. Ahok ngomong, bangun komunikasi,” tegasnya. Lulung tidak setuju langkah dilakukan dengan menimbulkan ketakutan warga sekitar karena melibatkan aparat kepolisian dan tentara (beritasatu, 16 Februari 2016). Selanjutnya kritik dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mempertanyakan rencana penggusuran Kalijodo. Rencana operasi penggusuran dilakukan Ahok dengan berkoordinasi dengan lembaga lain adalah tanpa memiliki perspektif hak asasi manusia (HAM) (Sumber Kabar24.com, 25 Februari 2016). Kontras sendiri mengajukan tiga pertanyaan, yaitu: 1. Apakah merelokasikan warga Kalijodo mampu membawa solusi berkelanjutan pada kebutuhan ekonomi, sosial, partisipasi warga? Sejauh mana publik paham peta dan rencana pemerintah dalam Operasi Kalijodo? Ataukah jangan-jangan yang dibutuhkan oleh warga Kalijodo saat ini adalah jaminan rasa aman dengan pengelolaan transparansi kota dengan perspektif HAM dan demokrasi? 2. Apa landasan hukum dan kebijakan politik lokal Gubernur DKI Jakarta untuk menggunakan kewenangannya dalam mengkoordinasikan kepolisian dan militer dalam Operasi Kalijodo 2016 ini? Mengingat dalam relasi peraturan perundang-undangan yakni Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia tidak pernah menempatkan jabatan Gubernur untuk membangun koordinasi keamanan dalam mengimplementasikan suatu kebijakan politik lokal. 3. Apa komitmen dan pertanggungjawaban Gubernur DKI Jakarta jika operasi penggusuran Kalijodo memicu diskriminasi vertikal-horizontal, kekerasan yang tidak bisa dikendalikan (baik dilakukan oleh aparat keamanan negara dan kelompok sipil lainnya), pelanggaran HAM yang masif sebagai akibat dari perencanaan yang minim konsep HAM? Pemerintah Kota DKI Jakarta harus memahami bahwa mengelola kota dengan berperspektif HAM telah menjadi tren global yang dilakukan di banyak tempat, kota dan ibukota di dunia. Harus ada peranan pemerintah hingga di tingkat lokal untuk menjamin keberlanjutan HAM, DI antaranya adalah hak atas pendidikan, hak atas perumahan, hak atas kesehatan, hak atas lingkungan hidup serta hukum dan ketertiban. Bahkan sebagian pengkritik menilai sikap Ahok menggusur Kalijodo hanya sebagai politik pencitraan dalam rangka Pilkada DKI Jakarat 2017. Beberapa pengkritik dimaksud antara lain Anggota Komisi VIII DPR RI Hidayat Nur Wahid dan Sekjen Dewan Syuro DPD FPI Jakarta, Habib Novel Bamukimin(HNW. Disajikan di dalam NONSTOP.com-25 Februari 2016, ngototnya Ahok membongkar kawasan prostitusi Kalijodo dinilai punya maksud tertentu. Ini sebagai alat Ahok untuk maju kembali di Pilkada DKI 2017 mendatang. Seperti disampaikan oleh Anggota Komisi VIII DPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW). Menurutnya, jika ini dikatakan tidak ada kaitan dengan politik maka bisa dibilang bohong, karena tahun ini tahun politik. “Sekarang tahun politik kan? Beliau akan maju jadi calon gubernur. Jadi, apabila beliau ingin menyelesaikan masalah Kalijodo tanpa tafsir politik seharusnya diselesaikan tahun-tahun sebelumnya,” kata Hidayat . Sembari menegaskan upaya penggusuran itu juga bisa ditafsirkan sebagai bagian kampanye dari Ahok. “Kalau diselesaikan beberapa tahun yang lalu pasti tidak akan menimbulkan tafsir atau bagian dari kampanye karena memang seharusnya hal-hal semacam ini diselesaikan lebih awal,” kata Hidayat. Penilaian Hidayat ini senada dengan Sekjen Dewan Syuro DPD FPI Jakarta, Habib Novel Bamukimin, (Sindo.news.Com, 14 Februari 2016, 11 Februari 2016), yakni (Ahok) menertibkan Kalijodo bernuansa politis dan pencitraan. Pasalnya, 2016 ini merupakan tahun politik menjelasng Pilgub DKI 2017 mendatang. Warga Jakarta sebaiknya tidak dengan mudah percaya terhadap langkah-langkah Ahok dalam menjalankan program kerjanya di tahun politik ini. Termasuk rencana pembongkaran lokalisasi Kalijodo serta program kerja lainnya yang bersifat pencitraan. "Jelas ini kental nuansa politik. Apalagi pada 2017 mendatang Ahok bakal mencalonkan diri sebagai gubernur lagi. Segala macam cara bisa dia lakukan," kata Habib Novel Sembari menekankan, jika nanti Ahok terpilih menjadi Gubernur DKI maka semuanya akan berbanding terbalik. Apa yang dilakukan di tahun politik ini tidak akan terjadi jika Ahok nanti kembali terpilih menjadi Gubernur.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda